Anda di halaman 1dari 11

31 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 31-40

KORELASI MAQẢSHID AL-SYARỊ’AH


DENGAN METODE PENETAPAN HUKUM

Achmad Musyahid Idrus

Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar


Email: ahmad musyahid@yahoo.co.id

Abstract: Maqashid al-Syariah is known as a method of Islamic law philosophy. It put


a reason to explore the inner meaning of the text by connecting reality that appeared
arround it. Meanwhile, the method of decision law is one way to find and act the law
among the people. Maqashid syariah and method of decision law has corelation to
fulfill the ideal meaning of law in the text and in other way, maqashid syariah
purposes to realize the maslahat for peoples.
Kata Kunci: Koreasi, Maqashis Syariah, Metode Penetapan Hukum

I. PENDAHULUAN kemashlahatan manusia itu sendiri secara


Pada mulanya term syari‟ah keseluruhan, yakni untuk menjaga eksis-
(Indonesia: syari‟at) meliputi semua tensi, mengembangkan baik kualitas mau-
ajaran agama Islam yang mencakup pun kuantitas), baik material maupun
aqidah, syarị‟ah (hukum) dan akhlak,1 spiritualnya, yang dalam keputakaan
namun dalam perkembangannya term itu Hukum Islam disebut maqâshid al-
mengalami reduksi makna sehingga hanya syarị‟ah. Sejak dikonstruksi di masa awal,
mengandung satu makna saja, yaitu khususnya abad pertengahan, maqâshid
syari‟ah (hukum). Dari situlah, apa yang al-syarị‟ah terus digali oleh para pakar
disebut dengan syari‟at Islam selalu Hukum Islam sehingga terus mengalami
diasosiasikan dengan hukum Islam, yang perkembangan. Untuk menegakkan
di kalangan para ahli Hukum Islam maqâshid al-syarị‟ah itulah sehingga
(fuqaha‟) disebut fiqh, yang menurut dilakukan ijtihad dari waktu ke waktu
bahasa bermakna “tahu” atau “faham.”2 yang dikembangkan melalui metode
Jadi, antara syari‟ah, Hukum Islam, dan tertentu.
fiqhi, pada prinsipnya memiliki pengertian Sementara maqāsid syari‟ah adalah
yang sama yaitu Hukum Islam. Dari sini, sebuan teori pendekatan filsafat hukum
Mahmud Syaltut, mendefinisikan syari‟ah Islam untuk merealisasikan kemaslahatan
sebagai sebutan bagi berbagai peraturan umat manusia dan perhatiannya terhadap
dan hukum yang telah disyari‟atkan Allah, implikasi-implikasi penerapan hukum
atau disyariatkan prinsip-prinsipnya, lalu yang dalam istilah Syatibi disebut dengan
diwajibkan-Nya kepada kaum muslimin al-Nazar fi al-Ma‟ālat menempakan
dalam berhubungan dengan Allah dan maqāsid syari‟ah sebagai bentuk peng-
dengan sesama manusia.3 ekspresian penekanan hubungan kan-
Hukum Islam ditetapkan oleh Allah dungan hukum Tuhan dengan aspirasi
dan Rasul-Nya sebagai pembuat hukum hukum yang manusiawi.4 Untuk melihat
(al-syâri‟) dengan suatu tujuan bagi urgensi maqāsid syari‟ah dalam ijtihad,
maka seseorang harus memiliki dua
32 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 31-40

kriteria yaitu dapat memahami maqāsid pembahasannya disinggung dalam ber-


syari‟ah secara sempurna dan adanya bagai disiplin keilmuan Islam seperti
kemampuan untuk menarik kandungan tafsir, hadits, fikih, dan usul fikih, maka
hukum atas dasat pengetahuan dan sejarah awalnya dikembalikan pada
pemahaman maqāsid syari‟ah dengan periode kerasulan (masa turunnya wahyu
bantuan pengetahuan bahasa Arab serta pada Nabi Muhammad Saw), sebab kata
al-Qur‟an dan hadis. Kedua kriteria ini
al-maqāsid (esensi) dan sinonimnya,
menurut Syatibi saling terkait karena
seperti kata al-Hikmah, al-Illat (motif), al-
kriteria kedua sebagai alat bantu dan
Asrar (rahasia), dan al-Ghāyat (tujuan
kriteri pertama sebagai tujuan.5
Pengetahuan dan pemahaman akhir) sudah banyak disinggung baik
maqāsid syari‟ah merupakan aspek dalam al-Qur'an maupun al-Sunnah. Fase
penting dalam melakukan ijtihād karena ini dikenal dengan istilah maqāshid saja
teori ini menjadi kunci keberhasilan dan belum dalam bentuk yang telah
seorang mujtahid dalam ijtihadnya karena dibakukan seperti istilah maqxasid
landasan hukum menjadi tujuan dari syari‟ah yang dikenal dalam filsafat
setiap persoalan yang dihadapi manusia, hukum Islam.
baik persoalan baru yang belum ada Kedua, apabila yang dimaksud
secara harfiah dalam wahyu maupununtuk dengan maqāshid al-syari'ah adalah
mengetahui apakah suatu kasus dapat sebuah disiplin keilmuan yang independen
diterapakan suatu ketentuan hukum atau (ilm mustaqil), keilmuan yang memiliki
tidak karena telah terjadi pergeseran nilai definisi, kerangka pembahasan dan target
sebagai akibat adanya perubahan sosial.
kajian tersendiri, maka sejarah awalnya
Mengacu pada beberapa faktor yang
dinisbatkan pada Imām al-Syatibi (w: 790
telah dikemukakan di atas, maka penting
H/ 1388 M) yang telah menjadikan satu
dikaji mengenai konsep maqāsid syari‟ah
dalam sejarah sosial hukum Islam, bab dalam bukunya al-Muwāfaqāt sebagai
kemudian metode penetapan hukum apa lembaran khusus membahas secara tuntas
yang tepat digunakan dalam konteks maqāshid al-syari'ah.7 Namun sayang
ijtihad dewasa ini dan bagaimana proyek besar Imam al-Syātibi yang ditulis
hubungan antara maqāsid syari‟ah tersebut setengah abad sebelum runtuhnya kota
dengan metode penetapan hukum. Granada terkubur begitu saja dan baru
pada tahun 1884 M buku al-Muwāfaqāt
II. PEMBAHASAN mulai dikenal dan dikaji pertama kali di
A. Historigrafi dan Substansi Konsep Tunis. Sejak saat itulah orang mulai
Maqâshid al-Syarị’ah6 „memanfaatkan‟ dan mengkaji konsep
Penggunaan istilah maqāsid syari‟ah maqāshidnya Imām al-Syātibi. Ide
mengandung pengertian yang berbeda- mengenai ilmu baru “Ilmu Maqāshid al-
beda. Sebagaimana dijelaskan oleh Syariah” kembali muncul di abad 20
Nuruddin al-Khadīmi dalam bukunya al- dengan Muhammad al-Thahir bin „Asyur
Maqāsid fi al-Mazdhab al-Maliki yang (1879-1973 M) sebagai tokohnya. Bahkan
mengemukakan secara diplomatis dua tokoh besar asal Tunisia ini dianggap
alasan historisitas istilah maqāshid sebagai bapak maqāshid kontemporer,
syari‟ah yaitu; setelah Imām al-Syātibi. Dialah yang
Pertama, apabila maqāsid syari'ah paling serius menggoalkan konsep ilmu
adalah sekedar wacana ilmiyah yang baru ini sebagai ilmu yang terlepas dari
33 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 31-40

ushūl fiqh setelah sebelumnya merupakan al-Baidhāwi (w.685), al-Isnāwi (w.772),


bagian darinya.8 Ibn Subki (w.771), dan beberapa tokoh
Sebenarnya al-Syātibi dan Ibnu lainnya.
Atsyūr bukanlah orang pertama yang Sekalipun istilah maqāsid syari‟ah
menggulirkan istilah ini karena jauh telah dikenal sebelum Syatibi, namun
sebelum al-Syātibi, Abu al-Ma‟ali al- menurut penulis tetap saja tidak dapat
Juwāini yang lebih dikenal dengan dipisahkan dari pemikiran Syatibi karena
sebutan Imām al-Haramāin (w.478 H) dialah yang pertama kali memperkenalkan
telah menggagas permasalahan ini dengan teori ini secara lengkap sebagai sebuah
melontarkan ide maqāshid al-syariah metode pemikiran filosofis apalagi buku-
sebagai „ilmu baru‟ yang mempunyai nya al-Muwāfaqāt berpengaruh terhadap
karateristik „kepastian‟ dalil-dalilnya dan tokoh-tokoh sesudahnya seperti Muham-
melampaui perbedaan-perbedaan mazhab mad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha,
fikih dan bahkan dari usul fikih yang Abdullah Darraz, Muhammad Thahir bin
bersifat zhaniyyah itu sendiri.9 Asyur dan „Allal Fasy. Muhammad
Meski konsep yang ditawarkan al- Abduh adalah orang pertama yang
Juwaini ini tidak begitu dalam dibanding mengumumkan pentingnya ulama-ulama
dengan Imam al-Syātibi, tetapi ia telah dan para mahasiswa Timur Tengah untuk
memberikan andil yang cukup besar mempelajari karya-karya Imam Syatibi
dibanding tokoh-tokoh semasanya dalam terutama al-Muwāfaqāt. Sama halnya
menggulirkan ide tersebut sehingga dengan muridnya, Rasyid Ridha yang
dijadikan sebagai pijakan dan inspirasi bukan saja terpengaruh dengan ide
orang-orang setelahnya, termasuk al- maqāshidnya Imam Syatibi, ia juga sangat
Syātibi sendiri. Lebih jauh lagi apa yang terpengaruh dengan al-I‟tishamnya demi
disebutkan oleh Ahmad al-Raisūny dari menghidupkan kembali harakah salafiy-
penelitiannya bahwa istilah maqāshid al- yah yang sejak lama diusungnya. Demi-
syariah telah digunakan oleh orang-orang kian juga dengan Thahir bin Asyūr yang
sebelum Imām Haramāin. Tokoh-tokoh mencoba mengenyampingkan ushūl fiqh
yang memberikan concern terhadap tema dan menggantinya dengan maqāshid
ini antara lain;10 Al-Turmudzi al-Hakim syari‟ah sebagai ilmu yang berdiri sendiri
(abad III), dia termasuk orang yang („ilm mustaqil) dan terlepas dari ilmu
pertama kali menggunakan dan meng- ushūl yang dipandangnya sebagai ilmu
gulirkan istilah maqāshid, meski dengan yang telah usang dan produk fiqhnya
teorinya yang khas, seperti yang tertuang cenderung kurang manusiawi. Bahkan
dalam karyanya, al-shalāt wa maqūha. buku Allal Fasy, Difa‟ „an al-Syari‟ah dan
Berikutnya adalah Abu Mansur al- Maqashid al-Syari‟ah al-Islamiyyah wa
Maturīdī (w.333), Abu Bakar Al-Qaffal Makarimuha merupakan perluasan dan
(w.365), Abu Bakar al-Abhāry (w.375), terkadang pengulangan dari apa yang
al-Baqillāni (w.403), dilanjutkan Imam tertulis dalam al-Muwāfaqāt.
Haramain, Imam al-Ghazāli (w. 505), al- Karena besarnya pengaruh Syatibi
Rāzi (w. 606), al-Amidī (w.631), Ibn dengan al-Muwāfaqātnya inilah, ulama-
Hājib (w. 646), Izzudin bin Abdul Salām ulama ushul kemudian sepakat menjadi-
(660) yang tertuang dalam karyanya kan Imām Syatibi sebagai bapak maqā-
Qawāid al-Ahkām fi Mashālih al-Anām, shid syari‟ah pertama yang telah menyu-
34 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 31-40

sun teori-teorinya secara lengkap, sistema- demikian, tujuan Tuhan menetapkan suatu
tis dan jelas.11 syari‟at bagi manusia tidak lain adalah
Inti atau substansi dari konsep untuk kemaslahatan manusia. Untuk itu,
maqāsid syari‟ah adalah kemaslahatan Tuhan menuntut agar manusia memahami
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn dan melaksanakan syari‟at sesuai dengan
al-Qayyim al-Jauziyah bahwa maqâshid kemampuannya. Dengan memahami dan
al-syarị‟ah adalah mencegah kerusakan melaksanakan syari‟at, manusia akan
dari dunia manusia dan mendatangkan terlindung di dalam hidupnya dari segala
kemaslahatan kepada mereka, pengen- kekacauan yang ditimbulkan oleh hawa-
dalian dunia dengan kebenaran, keadilan, nafsu.14
dan kebajikan serta menerangkan tanda- Adapun tujuan syari‟at ditinjau dari
tanda jalan yang harus dilalui di hadapan sudut tujuan mukallaf ialah agar setiap
akal manusia.12 Sementara itu, Abdul mukallaf mematuhi keempat tujuan
Wahhab al-Khallaf, menulis sebagai beri- syari‟at yang digariskan oleh Syari‟ di
kut bahwasanya maksud umum Syāri‟ atas, sehingga tercapai tujuan mulia
menetapkan hukum ialah untuk menegak- syari‟at, yakni kemaslahatan manusia di
kan kemashlahatan manusia dalam ke- dunia dan di akhirat. Agar kemaslahatan
hidupan ini, menarik manfaat dan meno- manusia dapat terwujud, maka seorang
lak kemudaratan bagi mereka. Karena mujtahid harus memiliki kemampuan
sesungguhnya kemashlahatan manusia untuk memahami maqāsid syari‟ah ter-
dalam kehidupan ini terdiri dari urusan- sebut yaitu dengan memiliki pengetahuan
urusan dharuriyyah, hajiayât dan tahsi- bahasa Arab, memiliki pengetahuan
niyyât. Apabila urusan-urusan tersebut tentang sunnah, memiliki pengetahuan
telah terpenuhi dan terangkat maka tentang sebab turunnya ayat. Terkait
tegaklah kemashlahatan mereka. Syari‟at dengan ketiga syarat dalam memahami
Islam menetapkan hukum-hukum dalam maqāsih syari‟ah para ulama memilki
bermacam-macam aspek amal manusia corak pemahaman yang berbeda-beda
adalah untuk menegakkan ketiga urusan yaitu;15
(dharuriyyah, hajiyyât dan tahsiniyyât) Pertama, ulama yang berpendapat
baik bagi perorang maupun masyarakat.13 bahwa maqāsid syari‟ah adalah sesuatu
Sementara substansi maqāsid yang abstrak tidak dapat diketahui kecuali
syari‟ah yang dikemukakan Syatibi dalam melalui petunjuk Tuhan dalam bentuk
al-Muwāfaqāt adalah kemaslahatan dan zhāhir lafaz yang jelas. Petunjuk itu tidak
kemaslahatan itu dapat dilihat dari dua memerlukan penelitian yang pada giliran-
sudut pandang yaitu; Pertama, maqashid nya bertentangan dengan kehendak
al-syari‟ (tujuan Tuhan). Kedua, maqa- bahasa. Petunjuk dalam bentuk zāhir lafaz
shid al-mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat itu, baik disertai untgkapan bahwa taklif
dari sudut tujuan Tuhan, maqashid al- tidak berkaitan dengan kemaslahatan
syari‟ah mengandung empat aspek, yaitu: hamba atau sebaliknya dengan menyata-
(1) tujuan awal dari Syari‟ menetapkan kan keharusan urgensi kemaslahatan,
syari‟at yaitu kemashlahatan manusia di maka pandangan ini menolak analisis
dunia dan akhirat; (2) penetapan syari‟at dalam bentuk qiyās. Kelompok ini disebut
sebagai sesuatu yang harus dipahami; (3) ulama Zāhiriyah.
penetapan syari‟at sebagai hukum taklifi Ulama yang tidak menempuh pen-
yang harus dilaksanakan; (4) penetapan dekatan Zāhir al-Lafz dalam mengetahui
syari‟at guna membawa manusia ke maqāsid sy ari‟ah yang terbagi dua yaitu
bawah lindungan hukum. Dengan kelompok ulama yang berpendapat bahwa
35 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 31-40

maqāsid syari‟ah bukan dalam bentuk nya. Karena itu dapat dikatakan bahwa
zāhir dan bukan pula yang dipahami dari ijtihad merupakan suatu upaya berpikir
tunjukan Zāhir al-Lafz itu. Maqāsid secara optimal dalam menggali Hukum
syari‟ah merupakan hal lain yang ada Islam dari sumbernya untuk kemudian
dibalik tunjukan Zāhir al-Lafz yang memperoleh jawaban terhadap permasa-
terdapatbdalam semua aspek syari‟at lahan hukum yang muncul dalam masya-
sehingga tidak seorangpun dapat ber- rakat.16
pegang dengan Zāhir al-Lafz yang Ijtihad dari aspek subyeknya terbagi
memungkinkan ia memperoleh pengertian kepada ijtihad perseorangan (ijtihad
maqāsid syari‟ah. Kelompok ini disebut fardhy)17 dan ijtihad kolektif (ijtihad
ulama Batiniyyah. Sementara kelompok jama‟i).18 Wahbah Zuhaily, membagi
kedua, berpendapat bahwa maqāsid ijtihad kepada tiga macam, yaitu: 1)
syari‟ah harus dikaitkan dengan penger- Ijtihâd al-Bayâny yaitu ijtihad terhadap
tian-pengertian lafal. Artinya Zāhir al- yang mujmal, baik karena belum jelas
Lafz tidak harus mengandung tunjukan makna yang dimaksud maupun karena
mutlak. Apabila terdapat pertentangan suatu lafal mengandung makna ganda
Zāhir al-Lafz dengan nalar, maka yang (musytarak) ataupun adanya dalil-yang
diutamakan dan didahulukan adalah tampak ditempuh jalan al-jam‟u wa al-
pengertian nalar. Kelompok ini disebut taufīq (mengumpulkan dan mengkom-
ulama al-Muta‟ammiqīn fi al-Qiyās. promikan kemudian ditarjih). 2) Ijtihad al-
Ketiga, ulama yang melakukan Qiyasy yaitu yang menganalogikan hukum
penggabungan dua pendekatan Zāhir al- yang disebut dalam kepada masalah baru
Lafz dan pertimbagan makna illah dalam yang belum ada hukumnya, karena adanya
suatun bentuk yang tidak merusak persamaan illat. 3) Ijtihad al-Istishlahy
pengertian Zāhir al-Lafz dan tidak yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak
merusak kandungan makna illah agar disebutkan di dalam sama sekali secara
syari‟ah tetap berjalan secara harmoni khusus maupun tidak ada mengenai
tanpa kontradiksi-kontradiksi. Kelompok masalah yang ada kesamaannya. Dalam
ini disebut ulama al-Rāsikīn. masalah demikian, penetapan hukum yang
dilakukan berdasarkan illat untuk kese-
B. Metode Penetapan Hukum lamatan.19 Hampir sama dengan Wahbah
Ijtihad sebagai sebuah konsep Zuhaily, al-Tiwana, dari segi ini membagi
penemuan hukum dalam filsafat hukum ijtihad kepada tiga macam yaitu ijtihad
Islam mempunyai metode penetapan dalam memberi penjelasan dan penafsiran
hukum, baik sebagai masādir al-ahkaām (bayan) terhadap. Ijtihad dalam melaku-
maupun sebagai adillah al-ahkām. kan analogi (qiyas) terhadap hukum-
Dengan demikian, ijtihad merupakan hukum yang telah ada dan disepakati.
sarana dalam pembentukan atau penetapan Ijtihad dalam arti penggunaan al-ra‟yu.20
(tasyri‟) Hukum Islam, tanpa ijtihad akan Dalam konteks kekinian, maka
mengalami kesulitan dalam melaksanakan metode ijtihad yang tepat menurut penulis
kandungan al-Qur‟an dan hadis, karena adalah model ijtihad maqāsidī yang ber-
keduanya tidak aplikatif sehingga harus tumpu pada illat dan kemaslahatan
digali lebih dulu kandungannya agar sehinga mampu merespon pesatnya per-
menjadi kaedah hukum dan norma hukum kembangan zaman. Sekalipun telah di-
yang praktis digunakan untuk mengatur kenal metode-metode penetapan hukum
kehidupan masyarakat dalam berbagai dalam ushūl fiqh seperti qiyas, istihsan,
aspeknya, termasuk maqâshid syarị‟ah- istishlah, istishab, sad al-Zara‟i.21 Terkait
36 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 31-40

dengan metode penetapan hukum tersebut, ijtihad kolektif yang dapat dilakukan oleh
maka Syatibi menawarkan sebuah konsep sekelompok orang yang melibatkan
ijtihad maqāsidī yang berupaya mereali- ilmuan yang ahli tentang suatu masalah
sasikan kemaslahatan tersebut yaitu model tanpa harus memenuhi standar syarat-
ijtihad istinbāti dan Ijtihād Tatbiqī. Ijtihad syarat ijtihad tersebut. Dalam kasus ini,
istinbāti adalah sebuah upaya untuk ilmuan dibutuhkan untuk memberi
meneliti illah yang dikandung oleh nās informasi dan konfirmasi terhadap suatu
sementara ijtihad tatbīqī adalah upaya masalah di mana masalah tersebut,
untuk meneliti suatu masalah di mana mungkin seorang ulama tidak memiliki
hukum diidentifikasi dan diterapkan kompetensi tentang hal tersebut. Misal-
sesuai ide yang dikandung oleh nas. nya, dalam dunia kedokteran, operasi
Ijtihad ini disebut juga dengan Tahqīq al- ganti kelamin, penanaman alat genetik
Manāt yang berfokus pada upaya atau permak ulang maka yang dibutuhkan
mengaitkan kasus-kasus yang muncul dalam masalah ini adalah pengetahuan
dengan kandungan makna yang ada dalam seorang dokter ahli. Persoalan-persoalan
nas.22 seperti inilah menurut penulis yang akan
Pembagian yang dikemukakan terus berkembang dan tidak berhenti
Syatibi ini dapat mempermudah untuk sampai akhir zaman.
memahami mekanisme ijtihad karena Sekalipun peran ijtihad tatbīqi lebih
dalam ijtihad istinbāti seorang mujtahid menonjol pada aspek sosial budaya dan
dapat memfokuskan perhatiannya pada politik dibanding ijtihad istinbāti yang
upaya penggalian ide-ide yang dikandung lebih terfokus pada nas syar‟i tidak berarti
oleh nas yang abstrak sedangkan dalam kedua model ijtihad ini tidak memiliki
ijtihad tatbīqi seorang mujtahid berupaya hubungan antara keduanya. Di dalam
menerapkan ide-ide yang abstrak tadi pelaksanaan ijtihad tatbīqi, ijtihad istin-
terhadap permasalahan-permasalahan yang bāti memegang peranan yang amat
konkret tadi. Jadi objek kajian ijtihad penting karena pengetahuan tentang esensi
istinbāti adalah nas sementara tatbīqi dan ide umum suatu nas tetapmenjadi
adalah manusia dengan dinamika dan tolok ukur dalam penerapan hukum.
perkembangan yang dialaminya. Ijtihad Kekeliruan dalam menetapkan ide ayat
tatbīqi dapat juga disebut dengan upaya akan melahirkan kekeliruan pula dalam
sosialisasi dan penerapan ide-ide nas pada menilai masalah-masalah baru dan peneta-
tataran kehidupan manusia yang senan- pan hukumnya. Artinya, ijtihad tatbīqi
tiasa berkembang dan berubah sehingga yang disebut tahqīq al-manāt harus
wajar jika Syatibi menyebut ijtihad tatbīqi dikaitkan dengan takhrīj al-manāt dan
ini sebagai ijtihad yang tidak akan tahqīq al-manāt sebagai ijtihad istinbāti.
berhenti sampai akhir zaman.23 Misalnya, kata adil dalam QS at-Thalāq
Mencermati dua model ijtihad yang ayat 2.‫ع من م اش ا‬
dikemukakan oleh Syatibi tersebut di atas, Ayat ini menunjukkan bahwa orang
maka menurut analisis penulis model yang dapat menjadi saksi adalah orang
ijtihad istinbāti adalah ijtihad yang dapat yang bersifat adil. Kata adil merupakan
dilakukan seorang diri maupun kelompok kata kunci dalam ayat ini. Dalam mela-
yang memiliki persyaratan-persyaratan kukan ijtihad seseorang harus mengetahui
ijtihad seperti pengertahuan bahasa Arab, dengan teliti sifat adil yang dimaksud oleh
pengetahuan tentang sunnah dan penge- nas dan upaya mengetahui kriteri sifat adil
tahuan tentang sebab turunnya ayat. dapat disebut ijtihad istinbāti sedang
Sebaliknya, ijtihad tatbīqi adalah model meneliti pada siapa sifat adil itu yang
37 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 31-40

ditunjuk nas bisa ditemukan merupakan urgensi dan efektifitasnya sangat men-
model ijtihad tatbīqi. dukung maqāsid syari‟ah. Istihsan adalah
Dalam konteks hubungan antara sebuah metode yang menekankan kebai-
maqāsid syari‟ah dan ijtihad sebagai kan atau kemaslahatan bagi umat manusia.
sebuah metode penemuan dan penetapan Metode ini memang ditolak oleh Syafī‟i
hukum, maka corak penalaran yang disebabkan substansi istihsan yang
dikembangkan dewasa ini adalah corak dijelaskan oleh pengikut Abu Hanīfah
penalaran ta‟lili dan corak penalaran tidak utuh sehingga tidak mencerminkan
istislāhi. Corak penalaran ta‟lili adalah substansi istihsān yang sesungguhnya.
sebuah upaya penggalian hukum yang Sementara zarā‟i adalah sebuah metode
bertumpu pada penentuan illah-illah yang menekankan pada dampak suatu
hukum yang terdapat dalam suatu nas. tindakan (al-al-nasar fi al-maālat) yang
Penalaran ta‟lili ini didukung oleh suatu berimplikasi pada dua dampak perbuatan
kenyataan bahwa nas al-Qur‟an maupun seorang mukallaf yaitu yang berpotensi
hadis dalam penuturannya tentang suatu maslahah karenanya didukung oleh nās
masalah hukum sebagian diiringi dengan dan perbuatan yang berpotensi mafsadah
penyebutan illah-illah hukumnya.24 karenanya dilarang oleh nās.
Dengan memperhatikan illah yang Dari uraian yang telah dikemukakan
terkandung dalam nas, maka permasala- di atas, tampaknya pengembangan metode
han-permasalahan hukum yang muncul ijtihad yang telah dilakukan oleh ulama
diupayakan pemecahannya oleh seorang baik dalam corak penalaran ta‟lili maupun
mujtahid melalui penalaran terhadap illah corak penalaran istislāhi sangat memung-
yang ada dalam nas tersebut. Dalam kinkan karena dapat berperan besar dalam
perkembangan pemikiran ushūl fiqh, memberikan pemecahan terhadap masa-
corak penalaran ta‟lili ini adalah dalam lah-masalah hukum yang muncul dewasa
bentuk metode qiyās dan istihsān.25 ini apabila diberi muatan dan pendekatan
Sementara corak penalaran istislāhi maqāsid syari‟ah. Jika teori maqāsid
adalah sebuah upaya penggalian hukum syari‟ah ini dikaitkan dengan pesatnya
yang bertumpu pada prinsip-prinsip dan kompleksnya persoalan yang dihadapi
kemaslahatan yang disimpulkan dari al- umat sekarang ini, maka metode peneta-
Qur‟an dan hadis. Kemaslahatan yang pan hukum yang dapat dikembangkan
dimaksudkan di sini adalah kemaslahatan adalah metode ijtihad tatbīqi dengan
yang secara umum ditunjuk oleh kedua memadukan corak penalaran ta‟līli dan
sumber hukum tersebut. Artinya, kemas- corak penalaran istislāhi karena yang
lahatan itu tidak dapat dikembalikan dibutuhkan dewasa ini adalah kolektivitas
kepada suatu ayat atau hadis secara keilmuan sehingga hasil ijtihad itu
langsung baik melalui proses penalaran menjadi komprehensif.
bayāni maupun ta‟lili melainkan dikem-
C. Korelasi Maqāsid Syari’ah dengan
balikan kepada prinsip umum kemas-
Metode Penetapan Hukum
lahatan yang dikandung oleh nas. Dalam
perkembangan pemikiran ushūl fiqh, Keterkaitan antara maqāsid syari‟ah
corak penalaran istislāhi ini terintegrasi dan metode penetapan hukum dapat
dalam metode maslahah al-mursalah dan dilihat pada substansi maqāsid syari‟ah
al-zari‟ah.26 tersebut yakni mewujudkan kemaslahatan
Menurut penulis bahwa metode dan pengembangan metode penetapan
penetapan hukum seperti istihsān dan hukum tatbīqi dengan corak penalaran
zarā‟i perlu dipertimbangkan karena ta‟līli dan istislāhi. Keberadaan kedua
38 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 31-40

corak penalaran tersebut di atas, menun- bahkan ada yang tidak dikemukakan
jukkan bahwa antara maqāsid syari‟ah (sirr).
dan metode penetapan hukum dalam Dengan demikian, untuk mengeta-
filsafat hukum Islam memiliki hubungan hui maqâshid al-syari‟ah dari hukum-
yang erat sebagaimana yang terlihat dalam hukum yang telah ditentukan oleh Allah
mekanisme ijtihad istinbāti dan tatbīqi khususnya yang mafhum dan sirr, orang
tersebut di atas. harus berijtihad dengan menggunakan
Ijtihad istinbāti mempunyai kaitan metode-metode yang ada dengan ditopang
yang tidak dapat dipisahkan dengan oleh pengembangan pemahaman metodo-
keharusan pemahaman maqāsid syari‟ah logis, seperti metode al-bayân dari Imām
karena ijtihad istinbāti merupakan upaya al-Syafi‟i dan metode al-istiqra‟ dari
menggali ide-ide hukum yang terkandung Imām al-Syathibi dan metode pemahaman
dalam nas al-Qur‟an dan hadis yang lain. Sebab dengan semakin diketahuinya
merupakan khitab al-Syāri. Sementara maqâshid al-syari‟ah yang lain (selain
ijtihad istinbāti dan ijtihad tatbīqi mem- yang telah dikenal: al-dharûriyyah al-
punyai hubungan yang saling memer- khamsah), maka dapat dibuat produk-
lukan, maka secara tidak langsung ter- produk hukum yang relevan dengan itu.
dapat kaitan antara ijtihad tatbīqi dengan Bahkan untuk hal-hal yang belum
maqāsid syari‟ah walaupun kaitan itu diketahui sekalipun, sesungguhnya para
tidak secara langsung. Dari kaitan ini mujtahid dapat membuatkan produk
diapat ditegaskan bahwa hubungan antara hukumnya (fiqh iftiradhy).28
maqāsid syari‟ah dan metode penetapan
hukum dalam ijtihad tidak dapat dipisah- III. KESIMPULAN
kan. Dari pembahasan yang telah
Atas dasar hubungan tersebut di dikemukakan di atas, maka ada beberapa
atas, maka maqâshid al-syari‟ah dan hal yang dapat disimpulkan mengenai
metode penetapan hukum tidak dapat korelasi maqāsid syari‟ah dengan metode
dipisahkan satu sama lain. Maqâshid al- penetapan hukum dalam filsafat hukum
syari‟ah adalah menjadi cita-cita utama Islam.
daripada pembentukan hukum Islam. 1. Istilah maqāsid syari‟ah telah diguna-
Dengan melakukan ijtihad berdasarkan kan sebelum Syatibi, tetapi peng-
metode yang telah ada seperti qiyas, gunaannya terbatas pada masalah-
istihsan, istishlah, sad al-zara‟iy, maka masalah yang berkaitan dengan illah,
para mujtahid akan dapat melahirkan hikmah dan fiqh. Maqāsid syari‟ah
produk-produk hukum yang mampu sebagai sebuah metode dalam mema-
mendukung maqâshid al-syari‟ah. hami tujuan Syāri tidak dapat dilepas-
Keterkaitan lainnya adalah bahwa kan dari Imām Syatibi yang kemudian
tidak semua persoalan hukum mendapat dikembangkan oleh Thāhir ibn Asyūr,
pengaturan di dalam Alquran dan hadis. mereka dikenal dengan bapak maqāsid
Banyak persoalan hukum baru yang tidak syari‟ah.
ditemukan dalil-dalil hukumnya dalam 2. Metode penetapan hukum yang dapat
Alquran dan hadis.27 Oleh karena itu, dikembangkan dalam memahami
Allah dan Rasul-Nya sebagai pembuat maqāsid syari‟ah adalah metode ijtihad
hukum (al-syâri‟) tidak mengemukakan istinbāti dan metode ijtihad tatbīqi.
semua maqâshid al-syari‟ah secara Kedua metode ini didukung oleh corak
tersurat (mantuq), akan tetapi sebagian penalaran ta‟lili dan corak penalaran
dikemukakan secara tersirat (mafhum), istislāhi. Penalaran ta‟līli dengan
39 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 31-40

metode qiyās dan istihsān serta


8
Sebenarnya Ibn „Asyur pun bukan satu-
satunya orang yang pertama kali mengangkat tema
penalaran istislāhi dengan metode itu pada masa kontemporer. Sebelumnya, tema
maslahah mursalah dan zarā‟i, yang sama diangkat oleh Mohammad Munir
kesemuanya terkait dengan maqāsid „Imran dalam disertasi yang diajukan pada
Madrasah Qadla al-Syar‟i di Mesir tahun 1930 M
syari‟ah. dengan judul “Qasd al-Syari‟ min Wadl'i al-
3. Hubungan antara maqāsid syari‟ah dan Syariah”, dan seorang juris Islam asal Tunis yang
metode penetapan hukum tidak dapat semasa dengan Ibn „Asyur, Mohammad Abdul
dipisahkan karena keduanya memiliki Aziz telah membahas topik di atas dan dimuat di
majalah al-Zaetuniyah tahun 1936 M dengan judul
keterkaitan yang erat. Maqāsid “Maqasid Syariat wa Asrar al-Tasyri‟. Jamaluddin
syari‟ah sebagai tujuan dan metode Atiyyah, Nahw Faaliyat al-Maqashid al-Syariah.
sebagai alat dalam memahami maksud Edisi 23 (al-Muslim al-Muashir, 2002. h. 19.
dan tujuan Syāri menurunkan hukum. Imām al-Haramāin al-Juwāini mengung-
9

kapkan keprihatinannya akan kemerosotan


peradaban sosial, terutama cendekiawan dan
Catatan Akhir:
politisi Islam, menurutnya untuk keluar dari
1
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia kondisi ini tidak ada cara selain “membangun
(Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, maqāshid al-syariah yang universal dan
2000), h. 4. mengangkatnya dari level zhonni sebagai
2 karakteristik ushāl fiqh ke level qoth‟i. Lihat
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Abdul Majid al-Shogir, al-Fikr al-Ushuly wa
Ushul Fiqhi (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, Isykâliyyat al-Sulthah al-Ilmiyyah fi al-Islam (Cet.
1978), h. 30. I; Beirut, Dar al-Muntakhob al-Arabi, 1994), h.
3
Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa 356.
Syari‟ah (Mesir: Dar Alqalamih, 1966), h. 111. 10
Ahmad Raisuni, Nadhariyyat al-Maqashid
4
Lihat Wael B. Hallaq dalam Asapri Jaya „Inda al-Imam al-Syatibi, (Cet. I; Mesir: Dār al-
Bakri, Konsep Maqāsid Syari‟ah Menurut Syatibi. Kalimat, 1997), h. 24-44.
Ed. 1; (Cet. 1; jakarta: Raja Grafindo Persada, 11
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqih, (Cet.
1996), h. 156. 1; Jakarta : Prenada Media, 2005), h. 35.
5
Abū Ishāq al-Syatibi. al-Muwāfaqāt fi Ushūl 12
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, I‟lām al-
al-Syari‟ah. Jilid IV Beirūt: Dār al Maārifah, t, th), Muwaqqi‟in, Juz III (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadis,
h. 105-107. 1969), h. 177.
6
Pengertian dari pada maqashid al-syari‟ah 13
Abdul Wahhab Khallaf, „Imu Ushul Fiqh
ini Secara lughawi, maqashid syari‟ah terdiri dari (Cet. III; Kuwait: Mathba‟ al-Nasyr, 1977), h. 198.
dua kata, yakni maqashid dan syari‟ah. Maqashid
adalah bentuk jama‟ dari maqashid yang berarti
14
Fathurrahman Djamil, Fathurrahman
kesengajaan atau tujuan. Syari‟ah secara bahasa Djamil, Filsafat Hukum Islam (Cet. 1; Jakarta:
berarti ‫ ال الماء‬yang berarti jalan menuju sumber Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 43.
air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula 15
Asafri, op. cit., h, 89-91.
dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok
kehidupan. Totok Jumantoro dan Samsul Munir 16
Abd. Al-Wahab Khallaf, „Imu Ushul Fiqh
Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh (Cet.I: Sinar (Cet. III; Kuwait: Mathba‟ al-Nasyr, 1977), h. 216.
Grafika Offset, 2005), h. 196. 17
Ijtihad fardy ialah setiap ijtihad yang belum
7
Kesimpulan Nuruddin al-Khadīmi tersebut atau tidak memperoleh persetujuan dari para
diambil karena sebelum Imām Syātibi, para ulama mujtahid terhadap suatu masalah yang dihasilkan
semisal Abu Bakar al-Qaffāl (w: 365 H / 975 M), oleh seseorang. Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar
al-Juwaini (w: 478 H / 1185 M) al-Ghazāli (w: 505 Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung: al-
H / 1111 M), Izzuddin bin Abd. Salam (w: 660 H / Ma‟arif, 1986), h. 381.
1261 M), al-Qarrafi (w: 684 H / 1285 M), dan Ibn 18
Ijtihad jama‟i ialah setiap ijtihad yang telah
al-Qayyim (w: 751 H/1350 M), hanya
mendapat persetujuan dari para mujtahid terhadap
menyinggung tentang maqāshid secara sekilas di
suatu masalah yang diijtihadkan. Ibid.
tengah pembahasan mereka seputar masalah fiqh
19
atau ushul fiqh. Nuruddin al-Khadimi, Al- Wahbah az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-
Maqashid fi al-Mazhab al-Maliki (Cet. I; Tunis: Islamy, Juz II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 1041.
Dār al-Tunisiyah, 2003), h. 30-36.
40 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 31-40

Abū Ishāq al-Syatibi. al-Muwāfaqāt fi


20
Muhammad Musa al-Tiwana, Ijtihad wa
Mada Hajatina Ilaih fi Haza al-„Asr (t.t.: Dâr al- Ushūl al-Syari‟ah. Jilid IV Beirūt:
Kutub al-Hadisah, t.th.), h. 39
Dār al Maārifah, t, th.
21
Abd. Wahab Khallaf, Mashâdir al-Tasyri‟ fi
ma la fihi (Kuwait: Dar Al-Kalam, 1972), h. 67. al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim, I‟lām al-
22 Muwaqqi‟in, Juz III. Kairo: Dar al-
Syatibi, IV. op. cit., h. 89.
23
Kutub al-Hadis, 1969.
Ibid.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqhi, Jilid I.
24
Muhammad Mustafa Syalābi, Ta‟lil al-
Ahkām (Beirūt: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah,
Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1981), h. 14-15. 1997.
25
Qiyas menurut bahasa adalah mengukur Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Pengantar
atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Ushul Fiqhi. Cet. III; Jakarta: Bulan
Secara terminologi, qiyas adalah menghubung Bintang, 1978.
sesuatu masalah yang tidak ada nya baik dari
Alquran maupun hadis dengan sesuatu masalah Djamil, Fathurrahman Djamil, Filsafat
yang ada nya, karena memiliki persamaan illatnya Hukum Islam. Cet. 1; Jakarta: Logos
sehingga dihukumkan sama. M. Abdul Mujieb et
Wacana Ilmu, 1997.
al., Kamus Istilah Fiqh (Jakarta: PT. Pustaka
Firdaus, 1994), h. 280. Istihsan, ialah berpaling Hallaq, Wael B. dalam Asapri Jaya Bakri,
pada sesuatu dari sesuatu hukum tentang satu Konsep Maqāsid Syari‟ah Menurut
masalah kepada hukum lain tentang masalah itu
karena ada dalil yang lebih kuat. Oleh karena itu,
Syatibi. Ed. 1; Cet. 1; Jakarta: Raja
al-Istihsan itu bermacam-macam yaitu istihsan Grafindo Persada, 1996.
dengan , seperti akad salam, istihsan dengan ijma‟,
Jamaluddin Atiyyah, Nahw Faaliyat al-
seperti aqad istishna, istihsan dengan al-„uruf,
seperti mengatakan suci sisa minuman binatang Maqashid al-Syariah, al-Muslim al-
buas lantaran sukar menghindarinya, istihsan Muashir, Edisi 23, 2002.
dengan mashlahah (karena ada maslahah), seperti
mengharuskan tukang dobi membayar harga dobi Jumantoro, Totok dan Samsul Munir
apabila hilang di tangannya. Lihat Hasbi, op. cit., Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh.
h. 214. Lihat pula Muktar Yahya, op. cit., h. 66 & Cet.I: Sinar Grafika Offset, 2005.
217.
26
Khallaf, Abd. Wahab. Mashâdir al-
Mashlahah al-Mursalah, adalah tiap-tiap Tasyri‟ fi ma la fiqhi. Kuwait: Dar
mashlahah yang tidak dikaitkan dengan syara‟
yang menyebabkan kita menghargainya atau tidak Al-Kalam, 1972.
menghagainya, padahal dalam menghargainya ada -------, „Imu Ushul Fiqh. Cet. III; Kuwait:
manfaat, atau menolak mudlarat. Dzari‟ah ialah
sesuatu yang dapat mengantarkan sampai kepada
Mathba‟ al-Nasyr, 1977.
sesuatu yang dilarang yang mengandung M. Abdul Mujieb et al., Kamus Istilah
kerusakan. Atau oleh Ibnu Qayyim diartikan
Fiqh. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,
sebagai apa yang menjadi wasilah dan jalan
kepada sesuatu. Ibid., h. 220. 1994.
27
Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqhi, Jilid I Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa
(Cat. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. Syari‟ah. Mesir: Dār Alqalamih,
105. 1966
28
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., h. 166.
Muhammad Musa al-Tiwana, Ijtihad wa
Mada Hajatina Ilaih fi Haza al-
DAFTAR PUSTAKA „Asr. t.t.: Dâr al-Kutub al-Hadisah,
Abdul Majid al-Shogir, al-Fikr al-Ushuly t.th.
wa Isykâliyyat al-Sulthah al- Muhammad Mustafa Syalābi, Ta‟lil al-
Ilmiyyah fi al-Islam. Cet. I; Beirut, Ahkām. Beirūt: Dar al-Nahdah al-
Dar al-Muntakhob al-Arabi, 1994. Arabiyyah, 1981.
41 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 31-40

Nuruddin al-Khadimi, Al-Maqashid fi al- Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqih. Cet.
Mazhab al-Maliki. Cet. I; Tunis: Dar 1; Jakarta: Prenada Media, 2005.
al-Tunisiyah, 2003. Yahya,Mukhtar. Dasar-Dasar Pembinaan
Raisuni,Ahmad. Nadhariyyat al-Maqashid Hukum Fiqh Islam. Bandung: al-
„Inda al-Imam al-Syatibi. Cet. I; Ma‟arif, 1986.
Mesir: Dar al-Kalimat, 1997. Zuhaily, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-
Islamy, Juz II. Beirut: Dâr al-Fikr,
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. 1986.
Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000.

Anda mungkin juga menyukai