Anda di halaman 1dari 13

TAJDÎD FIQH DARI KONSERVATIF TEKSTUAL

MENUJU FIQH PROGRESIF KONTEKSTUAL

Nasrulloh
Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
nasrullah.said@gmail.com

Abstrak

By reference to Rule (al-mashaqqah tajlib al-Taysir) and (idza dhaqa ittasa'a), the
need to reconstruct the fiqh through tajdîd considered a necessity when there are
difficulties to implement it. On one side there is an opinion that tajdîd should be
limited to new problems that are not listed in the qath'i texts, but on the other hand
argue that all texts are dzanni, so there is no limit in the realm of tajdîd and ijtihad.
Through this theme, the authors also cite some of the thinking that distinguishes
between authenticity of the revelation as the God‟s will and the authenticity of Hadis
which is still questionable. Then, a distinction efforts also should be made between
the revelation of God's will as an ideal and the truth of human understanding (fiqh)
that is relative so it needs to be reconstructed in order to remain relevant anywhere
and anytime.

Dengan mengacu pada kaidah (al-mashaqqah tajlib al-taysîr) dan (idza dhâqa
ittasa‟a), kebutuhan untuk merekonstruksi fiqh melalui tajdîd dianggap sebuah
keharusan manakala terdapat kesulitan untuk menerapkannya. Disatu sisi ada yang
berpendapat bahwa tajdîd harus dibatasi pada masalah–masalah baru yang tidak
tercantum dalam nash yang qath‟i, namun pada sisi yang lain ada yang berpendapat
bahwa semua nash bersifat dzanni, sehingga tidak ada batasan dalam ranah tajdîd
dan ijtihad. Melalui tema ini, penulis juga mengutip beberapa pemikiran yang
membedakan antara wahyu sebagai kehendak Tuhan yang otentik dan hadis yang
masih perlu dipertanyakan keotentikannya. Disamping itu upaya pembedaan juga
perlu dilakukan antara wahyu sebagai kehendak Tuhan yang ideal, dengan
pemahaman manusia (fiqh) yang kebenarannya bersifat relatif sehingga perlu
direkonstruksi agar tetap relevan dimanapun dan kapanpun.

Kata Kunci : Fiqh, Tajdîd, Ijtihad, Tekstual,

Ada kecendrungan fiqh sering maka syariah Islam jelas tidak mungkin bisa
disejajarkan dengan ‗firman Tuhan‘, sehingga relevan di manapun dan kapanpun, sehingga
pendapat seorang faqîh disakralkan dan bahkan visi rahmatan lil „alamîn tidak dapat terwujud.
disetarakan dengan ‗kalâm Tuhan‘. Tidak Karenanya agar syariah Islam yang dibawa
sedikit dari para penggemar ilmu-ilmu agama oleh Nabi Muhammad Saw tetap relevan, maka
Islam membuat pernyataan bahwasannya pintu perlu ada upaya obyektif kreatif inovatif,.
ijtihad sudah tertutup, sehingga tidak mungkin Setelah mengkaji dengan seksama
ditemukan lagi seorang faqîh setingkat fuqaha‟ pemikiran kreatif inovatif Khaled Abu el-Fadl
zaman klasik yang mampu memahami makna dan Jaseer Audah, penulis menemukan banyak
al-Qur‘an dan al-Sunnah. Pernyataan semacam perubahan dalam memahami syariah Islam
itu sepertinya masih mengakar kuat di benak yang begitu fleksibel dan terbuka untuk
para pengkaji ilmu-ilmu keislaman yang masih interpretasi. Dari mengerjakan kedua tugas
‗awam‘. Paradigma semacam itu jika dibiarkan, tersebut, ditambah konstribusi dari
Prof Amin Abdullah, terbersit secara mengkonsep tajdîd fiqh yang relevan untuk
spontan dalam pikiran penulis untuk saat ini, sehingga dapat dijadikan sebagai

20
Nasrulloh, Tajdîd Fiqh Dari Konservatif Tekstual…| 21

referensi tambahan untuk tajdîd di masa dulu dengan sekarang. Misalnya menghukumi
datang. haram dalam masalah photografi tidak bisa
dibenarkan, alasannya karena pada zaman
Rekonstruksi Fiqh Sebuah Keniscayaan dahulu belum ada elektronik semacam
Untuk merekonstruksi fiqh, perlu photografi. Dalam hal ini pembaruan makna
adanya pemilahan istilah antara syariah, fiqh istilah dalam fiqh sangat diperlukan, sehingga
dan fatwa dalam perspektif Jaseer Audah, menghasilkan hukum yang berbeda pula yang
meskipun tidak semua ‗ulama‘ sepakat sesuai dengan dinamika perkembangan zaman.2
dengannya. Menurut Jaseer, sebenarnya ada Harus diakui, bahwa ada beberapa
perbedaan antara syariah, fiqh dan fatwa. produk fiqh yang saat ini dengan meminjam
Syariah adalah wahyu yang diterima Nabi istilah Prof. Amin Abdullah ‖expire‖. Ini harus
melalui malaikat Jibril as. Sedangkan fiqh dipahami karena memang fiqh lahir dari sebuah
adalah beragam kumpulan pendapat para pemahaman seorang mujtahid yang sangat
fuqaha atas hasil pemahaman mereka sendiri– terkait dengan kondisi, adat dan lingkungan
sendiri yang didasarkan pada al-Qur‘an dan dimana ia hidup. Misalnya, seperti apa yang
sunnah, melalui pendekatan dan metode yang telah dilakukan oleh Imam Syâfi‘i yang
berbeda–beda, di berbagai sisi kehidupan mencoba menjembatani dua aliran besar saat
sepanjang sejarah Islam yang sudah lebih dari itu, ahl al-ra‟yi dan ahl al-hadîts. Buah dari
14 abad. Adapun fatwa merupakan hasil upaya tajdîd-nya ini kemudian melahirkan
penerapan dalil-dalil syariah dan fiqh pada metode baru dalam mengistinbat hukum
kehidupan ummat hari ini yang selalu up to sebagaimana tertuang dalam buku-bukunya
date.1 Hal ini memberikan pamahaman kepada terutama dalam al-Risâlah.3
kita bahwasannya tidak ada pendapat fiqh yang Khalifah Sayyidina Umar Ibn
benar-benar bisa diyakini kebenarannya secara ‗Abdul ‗Aziz ketika menjabat Gubernur di
mutlak. Menurut Wahbah Zuhaily, dalam Madinah bersedia member keputusan hukum
hukum islam ada sesuatu yang bersifat tsawâbit bagi gugatan penggugat bila ia bisa
dan mutaghayyirât, sebagai wujud keluwesan mengajukan dua orang saksi atau satu orang
syariah yang memberi ruang berfikir bagi saksi disertai sumpah dari penggugat. Sumpah
ulama juga untuk menyesuaikan dengan tersebut dimaksudkan untuk mengganti
kemaslahatan dimanapun dan kapanpun. kedudukan saksi yang lain. Akan tetapi, setelah
Dinamika kehidupan mengharuskan beliau menjabat khalifah yang berkedudukan di
untuk menerima dan juga memilah sesuatu ibu kota Negara saat itu yaitu Syam, beliau
yang dianggap baru. Dalam ranah fiqh, tajdîd enggan memberikan ketetapan hukum atas
diperlukan selama tidak berseberangan dengan pengajuan formula saksi yang sama. Ketika
nash syar‟i yang qath‟i, yang bertujuan untuk ditanya tentang perubahan itu beliau
kemaslahatan ummat bersama. Kebutuhan menjawab; ―orang madinah berbeda dengan
untuk merekonstruksi fiqh dianggap sebuah orang Syam.‖4 Dalam hal ini masih banyak
keharusan manakala terdapat kesulitan yang lagi contoh–contoh yang bisa kita temukan
sangat dalam penerapannya. Upaya dalam literature–literature kitab sejarah, fiqh
rekonstruksi ini sesuai dengan kaidah (al- maupun hadis tentang hal semacam ini.
mashaqqah tajlib al-taysîr) dan (idza dhâqa
ittasa‟a). Tajdîd juga harus dibatasi pada Salah satu doktrin Islam yang
masalah–masalah yang baru yang tidak mendapat perhatian serius dan mempunyai
tercantum dalam nash. Disamping itu, tajdîd dampak yang besar pada pola kehidupan dan
diperlukan juga pada masalah penggunaan cara berfikir ummat dari dulu hingga saat ini
istilah, seperti phografi yang dikenal sekarang adalah fiqh. Sampai-sampai seorang pemikir
dalam bahasa Arab dengan tashwîr. Jika istilah
tashwîr dulu dengan sekarang berbeda, maka 2
Wahbah al-Zuhayli, Tajdîd Al-Fiqh Al-Islamy (Bairut:
hukumnya pun berbeda antara tashwîr zaman Dar Al-Fikr), h. 167-172
3
http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/29/tajdid-al-
fiqh-why-not/ diakses tanggal 24 Januari 2010
1 4
Jaseer Audah, Maqasid al-Shari‟ah Falsafah Li al- Abu Yasid, Islam Akomadif; Rekonstruksi Pemahaman
Tashri‟I al-Islami (London; The International Institute Islam Sebagai Agama Universal (Yogyakarta: Lkis,
Of Islamic Thought, 2007), h. 8 2004), h.118
22 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014, hlm. 20-32

muslim dari Maroko Muhammad Abîd Al- ―kesewenang-wenangan‖ dalam diskursus


Jâbirî berkomentar, ―jika kita boleh hukum Islam‖ (the authoritative and the
menamakan peradaban Islam dengan salah satu authoritarianin Islamic discourse).7
produknya, maka kita harus mengatakan Di tengah deretan karya pembaruan fiqh
peradaban Islam adalah peradaban fiqh.‖5 di atas, karya seorang cendikiawan muslim
Pengakuan itu kiranya ada benarnya, Bahkan Khaled Abou El Fadl patut mendapat sambutan
al-Habib Salim al-Shatiri dalam salah satu hangat untuk dikaji dan dikritik. Di mana posisi
ceramahnya menegaskan bahwa ilmu agama karya-karya Khaled dalam diskursus
Islam yang paling utama adalah fiqh.6 pembaruan fiqh di atas melakukan pembaruan
Dikatakan demikian, karena berdasarkan pada dalam ranah metodologis sekaligus tematis.
kuantitas dan kualitas perhatian umat Islam Dalam karya-karyanya Khaled mengundang
terhadap fiqh. Dari segi kuantitasnya karya fiqh kita untuk melakukan pembaruan-pembaruan
banyak mendominasi, meski tidak bisa terhadap hal-hal mendasar dalam masalah
dikatakan terbanyak dalam kekayaan khazanah metode/ epistemologi penetapan dan
intelektual Islam. Sedangkan dari segi kualitas, penggalian hukum (manhaj/ tharîqah itsbâth
fiqh mampu menaklukkan umat Islam di wa intinbath al-ahkam) seperti meninjau
hadapan otoritasnya. Tidak satu pun gerak- kembali pemahaman terhadap sumber-sumber
gerik umat Islam bisa lepas dari jeratan hukum primer hukum Islam yaitu al-Quran, Sunnah
fiqh. dan varian mekanisme ijtihad, qiyâs (analogi),
Namun di sisi lain, sikap umat Islam ijma‟ (konsensus), mashalih al-mursalah, dll).
yang sangat berlebihan terhadap fiqh tersebut Pada selanjutnya, metode tersebut, digunakan
ikut andil melahirkan aspek-aspek negatif. oleh Khaled sebagai pisau analisis untuk
Umat Islam terlalu silau dengan berjibunnya membedah beberapa tema aktual saat ini.
karya-karya ulama fiqh klasik sehingga Kebanyakan tema-tema yang sangat mengakar
sebagian orang menganggap kewajiban kita dan mempunyai dampak yang serius adalah
‗cuma‘ menerapkannya saja. Fiqh menjelma tema yang berkaitan dengan persoalan jender.
bagaikan anak yang dimanja, sehingga tidak
boleh disentuh apalagi dikritik. Akibatnya, fiqh Pembaruan Hukum Islam
yang awal-mulanya adalah ikhtiar pemahaman Dalam beberapa dekade terakhir,
manusia yang dinamis terhadap problem- muncul gerakan untuk melakukan ―pembaruan
problem kemanusian melalui perspektif syariat fiqh‖ (tajdîd al-fiqh) maupun gagasan ―fikih
Tuhan, enjelma menjadi pemahaman manusia baru‖ (fiqh jadîd). Wacana pembaruan dalam
yang otoriter. Tidak bisa dibedakan antara hukum Islam ini paling tidak bisa
Kehendak Tuhan yang ideal dengan dikategorikan menjadi dua macam, yaitu (1)
pemahaman manusia yang terbatas. Sikap pembaruan yang berangkat dari akar
demikian bukan hanya mambunuh kreatifitas, metodologis dan epistimologis. Pembaruan
tapi juga semakin mengukuhkan fiqh sebagai model ini lebih menitikberatkan pada
doktrin Islam yang otoriter dan membendung rekonstruksi ilmu ushul fikih sebagai pijakan
kemajuan umat Islam. Maka dari itu Khaled, dasar ilmu fiqh. Beberapa karya penting ulama
mengajak kita melakukan pembongkaran- kontemporer yang patut menjadi rujukan
pembongkaran terhadap otoritarianisme dalam adalah: Tajdîd al-Fiqh al-Islamî karya Dr.
hukum Islam. Sebagai langkah awal, perlu Jamaluddin Athiyah dan Dr. Wahbah Zuhayli,
memberi batasan yang tegas antara ―yang al-Tajdîd fî Ushul al-Fiqh karya Dr Hasan al-
otoritatif‖ dan ―yang otoriter‖; antara Turabi, al-Fiqh al-Islamî fî Thariq al-Tajdîd
―kewewenangan‖ yang berbeda dari karya Dr Muhammad Salîm al-‘Awwa‘, Nahw
Fiqh Jadîd karya Jamal al-Banna dan lain-lain.
5
Idza jaza lana al -nusammi‟ al-hadlarah al-islamiyah
bi ihdza muntajatiha fa‟innahu sayakunu „alayna al- 7
http://www.facebook.com/note.php?note_id=19987790
naqûlu „anha innaha hadlarah fiqh. Muhammad Abid 5389 Membongkar Otoritarianisme dalam Hukum Islam
Al-Jabiri, Takwin al-„Aql al-„Arabi (Beirut: Al-Markaz oleh Mohamad Guntur Romli pada 31 Oktober 2009 jam
al-Tsaqafî al-‗Arabî), h. 96 11:21
6
Disampaikan di Pondok Pesantren Mambaus Sholihin
Gresik sekitar bulan Januaru 2011
Nasrulloh, Tajdîd Fiqh Dari Konservatif Tekstual…| 23

Disamping itu, ada juga beberapa buku Kehendak Tuhan dijelaskan melalui Kalâm-
yang secara khusus mengkaji tema maqashid Nya yang telah tertulis. Demikian juga Nabi,
al-syari‟ah seperti Nadzariyah al-Maqâshid sebagai pemegang otoritas kedua setelah Tuhan
„Indza al-Imam al-Syathibi karya Dr. Ahmad melalui tradisinya (Sunnah) yang telah
al-Raysuni, al-Maqashid al-‟Ammah li al- terkodifikasi. Pada konteks ini telah terjadi
Syari‟ah al-Islamiyah karya Dr Yusuf Hamid proses pengalihan dari ‗suara‘ Tuhan dan Nabi
al-Alim, Nahw Taf‟il Maqashid al-Syari‟ah menjadi teks-teks yang tertulis dalam al-Quran
karya Dr Jamaluddin ‗Athiyah, Maqashid al- (mushaf) dan kitab-kitab Hadis.
Syari‟ah al-Islamiyah wa Makarimuha karya Dihadapan kita saat ini tentu telah ada
‗Allal al-Fasi, Maqashid al-Syari‟ah karya sekumpulan teks-teks yang dipandang
Jaseer ‗Audah, Maqâshid al-Syari‟ah al- mewakili ‗suara‘ Tuhan dan Nabi. Kemudian
Islamiyah karya Syekh Thahir bin Asyur dan yang menjadi pertanyaan, sejauh mana teks-
lain-lain. Kedua, adalah pembaruan yang teks tersebut memiliki otoritas mewakili
mengupas tema-tema fiqh terkait tinjau-ulang ‗suara‘ Tuhan dan Nabi? Bagaimana kita
terhadap hukum fiqh. Karya yang mengupas memahami kehendak Tuhan dan Nabi melalui
pembaruan model kedua ini sangat banyak dan perantara teks-teks tersebut? Bagaimana bentuk
melebihi usaha pertama. Biasanya pemilihan aturan-aturan wakil Tuhan agar bisa
tema fiqh didasarkan pada alasan kebutuhan menyampaikan kehendak Tuhan tanpa
yang darurat dan mendesak. Seperti menganggap pendapatnya sebagai kehendak
pembahasan seputar masalah-masalah Tuhan? Untuk merespon pertanyaan-
ekonomi, politik dan sosial yang dikaitkan pertanyaan tersebut, menurut Khaled kita harus
dengan pembahasan fiqh. Ataupun masalah- memerhatikan tiga hal, yaitu: Pertama
masalah ibadah ritual seperti gagasan berkaitan dengan ―kompetensi‖ (autentisitas).
penyatuan antara zakat /pajak dan peninjauan Kedua, berkaitan dengan ―penetapan makna‖.
ulang waktu haji oleh Masdar F Mas‘udi, Ketiga berkaitan dengan ―perwakilan‖.9 Tiga
fatwa-fatwa kontemporer milik Dr. Yusuf al- pokok persoalan tersebut telah menjadi tiga
Qaradlawi, tema Jihad oleh Dr Ramadlan al- kunci bagi Khaled untuk memisahkan
Bûthî, dan lain-lain. Untuk sekedar diskursus yang otoritatif dan otoriter dalam
mengingatkan, di Indonesia sendiri telah terbit Islam.
sekumpulan pembaruan fiqh tematis yang Persoalan pertama mengenai
menyulut kontroversi di mana-mana. Buku itu kompetensi (autentisitas) adalah bagaimana
berjudul Fiqh Lintas Agama yang mengulas kita mengetahui bahwa perintah tersebut benar-
hukum-hukum relasi muslim dan non-muslim, benar datang dari Tuhan dan Nabi-Nya. Teks-
seperti hukum nikah beda agama, teks yang memiliki kompetensi (autentisitas)
mengucapkan salam, saling mendoakan, dan dinilai sebagai teks-teks yang otoritatif,
lain-lain. sedangkan teks-teks yang tidak memiliki
Dalam salah karya terbaiknya Speaking kompetensi, tidak memiliki otoritas mewakili
in God‟s Name: Islamic Law, Authority and ‗suara‘ Tuhan dan Nabi. Penggunaan teks-teks
Women8, Khaled Abou El Fadl menyajikan yang tidak otoritatif akan menjerumuskan
sebuah kerangka konseptual untuk membangun manusia pada otoritarianisme, yaitu
gagasan tentang toritas dan otoritarian dalam penganugrahan otoritas pada yang tidak
Islam. Pembahasan otoritas sangat penting otoritatif.
karena tanpa otoritas maka kita akan beragama Dalam konteks kompetensi al-Quran,
secara subjektif, relatif dan individual. Untuk Khaled menggunakan asumsi berbasis iman
itu perlu ada hal-hal yang baku (al-tsawâbit) bahwa al-Quran adalah firman-Tuhan yang
dalam agama. El Fadl membangun konsep abadi dan terpelihara kemurniannya.
otoritas dalam Islam dengan doktrin Kompetensi al-Quran tidak bisa diganggu-
Kedaulatan Tuhan dan Kehendak Tuhan. gugat. Maka dari itu, persoalan kompetensi
(autentisitas) hanya berlaku pada Sunnah tidak
8
Khaled Abou El Fadl, Speaking in God‟s Name, Islamic
9
Law, Authority, and Women (Oxford: Oneworld Khaled Abou El Fadl, Speaking in God‟s Name, Islamic
Publication, 2003), edisi bahasa Indonesia, Atas Nama Law, Authority, and Women, h. 25-26
Tuhan (Jakarta: Serambi, 2004)
24 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014, hlm. 20-32

pada al-Quran. Kompetensi Sunnah perlu legislasi. Hadis Mutawatir memiliki kadar
dipertanyakan agar benar-benar otoritatif bisa kompetensi (autentisitas) lebih kuat.12
mewakili ‘suara‘ Nabi. Khaled sendiri dalam Seorang pemikir liberal Mesir Jamal
membahas kompetensi Sunnah menggunakan al-Banna memberikan komentar lebih jauh
metodologi kritik hadis klasik (mushthalâh al- ketika menjelaskan persoalan al-tsubût
hadits) dari kritik trasmisi (naqd al-sanad) dan (autentisitas/ orisinilitas) dengan al-hujjiyah
kritik perawi (‟ilm al-rijâl). (kompetensi) ketika membahas Sunnah.
Namun yang perlu diperluas menurut Persoalan al-tsubût berkenaan dengan
Khaled adalah kajian hadis harus menyentuh orisinilitas transmisi Sunnah. Menurut Gamal,
realitas sejarah. Dalam pandangan Khaled dalam masalah ini, Sunnah memiliki problem
menilai perawi dalam rantai periwayatan; bisa serius. Penulisan sunnah dilarang waktu Nabi,
dipercaya atau tidak dipercaya, memang cukup dan Sunnah baru dikodifikasi pada paruh abad
membantu, tapi tidak meyakinkan. Maka dari kedua Hijriah tepatnya pada era Khalifah
itu Khaled ingin mengembangkan kajian hadis Sayyidina Umar bin Abd Aziz. Oleh karena
pada kritik redaksi hadis (naqd al-matan) yang itu, Gamal sangat berhati-hati dalam
memungkinkan seseorang mengkaji konteks menggunakan Sunnah. Menurutnya hadis palsu
sosio-historis hadis. Dan yang lebih penting lebih banyak dari hadis yang asli (shahîh).
lagi adalah, persoalan sesungguhnya bukan Sedangkan hadis ahad lebih banyak daripada
Nabi telah mengatakan atau tidak mengatakan hadis yang mutawatir. Ketika berbicara
sesuatu, tapi peran apa yang dimainkan Nabi mengenai hujjiyah (kompetensi) Sunnah,
dalam sebuah riwayat tertentu (the issue is not hadis-hadis tersebut harus disesuaikan dengan
wether the Prophet said or did not say standarisasi Al-Quran sebagai satu-satunya
something but what the role did the Prophet sumber hukum Islam yang tetap dan akurat.
play in a particular report).10 Hadis-hadis yang melawan otoritas al-Quran
Pemahaman peran sosok Nabi itu akan tidak dianggap hadis-hadis otoritatif lagi.
melahirkan perbedaan fungsi pada Sunnah. Jika Sedangkan persoalan kedua mengenai
Nabi melakukan sebagai sosok manusia biasa, penetapan makna, bagaimana kita menetapkan
maka Sunnah tidak memiliki otoritas sebagai makna dari Kehendak Tuhan itu? Seperti yang
sumber hukum (al-sunnah ghayr tasyri‟iyyah). telah dimaklumi bahwa Tuhan telah
Sebaliknya, jika Nabi memerankan sebagai menggunakan sarana teks untuk
utusan Tuhan, maka Sunnah itu memiliki menyampaikan kehendak-Nya, sedangkan teks
otoritas untuk diikuti (al-sunnah al- tidak bisa berbicara sendiri, dia butuh manusia
tasyri‟iyyah). Menurut Jaseer ‗Audah, tidak untuk berbicara. Dalam hal ini, Manusia
setiap hadis Nabi mempunyai makna tasyri‟. dihadapan pada teks adalah ‗lidah‘ sebagai
Jaseer menyimpulkan bahwa hadis Nabi artikulatur sekaligus interpreter teks.
mempunyai dua belas makna bila ditinjau dari
segi maqâsid al-syaria‟h, yaitu tasyri‟, fatwa,
12
penyelesaian sengketa (posisi Nabi sebagai Hadis Ahad diriwayatkan melalui mata rantai
hakim bagi kaum muslimin), ‗imârah, al- periwayatan tunggal sedangkan Hadis Mutawatir
diriwayatkan melalui beberapa mata rantai periwayatan
irshad, musalahah, isharah kepada al- dan diasumsikan hadis mutawatir tidak mungkin
mustashîr, nasihat, penyempurnaan keadaan dipalsukan. Namun ‗Abd Razzaq Id dalam bukunya
jiwa atau hati, tujuan pengajaran hakikat yang Sadnah Hayâkil al-Wahm, Naqd al-‟Aql al-Fiqhî:
luhur, al-ta‟dîb dan yang terakhir tidak (Beirut: Dar al-Thalî‘ah, 2003), h. 36-40, menyangsikan
ditujukan untuk kepentingan pengajaran.11 keberadaan hadis-hadis mutawatir itu. Karena peristiwa-
peristiwa besar dalam sejarah Nabi; seperti usia Nabi,
Selain itu Khaled juga menegaskan perlu hari/ tanggal wafat dan pemakaman Nabi, serta hari
membedakan kriteria Hadis Ahad dengan pembaiatan Abu Bakar, yang seharusnya setiap sahabat
Hadis Mutawatir karena keduanya memiliki mengetahui secara pasti namun realitanya tidak ada
perbedaan kadar ororitas dalam proses kesepakatan riwayat di antara sahabat Nabi. Jika
peristiwa-peristiwa besar itu saja tidak diriwayatkan
melalui hadis-hadis mutawatir maka sabda-sabda Nabi
10
Khaled Abou El Fadl, Speaking in God‟s Name, yang lain—yang belum tentu didengar oleh banyak
Islamic Law, Authority, and Women, h. 87-88 sahabat—sangat mustahil disebut hadis mutawatir. ‗Abd
11
Jaseer Audah, Maqasid As Philoshophy Of Islamic Razaq juga menyebut lebih dari 300 khutbah jumat Nabi
Law , h. 234-236 yang semestinya menjadi hadis-hadis mutawatir hilang.
Nasrulloh, Tajdîd Fiqh Dari Konservatif Tekstual…| 25

Memposisikan manusia dalam subjek teks, tindakan ―mengunci‖ atau mengurung


bukan tanpa masalah, melainkan sebaliknya. Kehendak Tuhan atau kehendak teks, dalam
Karena tidak jarang, kita jatuh pada sebuah penetapan tertentu, dan kemudian
―pembunuhan teks‖ dan ―pelacuran menyajikan penutupan tersebut sebagai sesuatu
hermeneutika‖ yang merampas kesucian yang pasti, absolut dan menentukan.14 Pada
(autentisitas) teks. Ketika semua berhak posisi ini pembaca hanya akan melahirkan
bersetubuh dengan teks tanpa kewewenangan, penafsiran yang otoriter, bahkan melahirkan
tidak ada yang bisa menjamin teks tersebut fanatisme yang mengkultuskan pada
ditafsirkan sebebas-bebasnya. Dalam posisi ini, penafsiran-penafsiran sehingga menganggap
teks akan ditelanjangi dari autentitas, makna hasil penafsirannya memiliki kompetensi yang
dan tujuannya. Dalam pandangan Khaled, sikap sama dengan teks asal (al-Quran dan Sunnah).
tersebut merupakan tindakan sewenang- Meskipun siapapun bebas untuk
wenang yang menyuburkan penafsiran otoriter. menjadi ―wakil khusus Tuhan‖ yang
Bagaimana menjaga kesucian menginterpretasi ulang teks, namun patut
(autentisitas) teks ini, agar tidak mudah dipertimbangkan lima syarat yang ditawarkan
‗disetubuhi‘ dan selaras dengan makna aslinya? oleh Khaled sebelum memasuki wilayah
Menurut Khaled untuk menjawab persoalan ini penfsiran, yaitu: (1) Kejujujuran (honesty),
kita membutuhkan keseimbangan kekuatan bahwa seorang wakil Tuhan harus bisa
yang harus ada antara maksud teks, pengarang dipastikan kejujurannya, sehingga dapat
dan pembaca (balance of power between the dipercaya; (2) Kesungguhan (diligence), bahwa
author, reader and text). Penetapan makna seorang wakil khusus harus dipastikan telah
berasal dari proses yang kompleks, interaktif, mengerahkan segenap upaya rasional untuk
dinamis dan dialektis antara ketiga unsur di menemukan dan memahami Kehendak Tuhan;
atas (teks, pengarang dan pembaca). Salah satu (3) Kemenyeluruhan (comprehensiveness),
maksud tiga unsur itu tidak ada yang bahwa seorang wakil khusus harus dipastikan
mendominasi. Penafsiran yang tepat adalah telah melakukan penyelidikan secara
penafsiran yang menghormati peranan, menyeluruh untuk memahami Kehendak
otonomi dan integritas teks. Menghormati Tuhan; (4) Rasionalitas (reasonableness),
otonomi teks bertujuan menghindari kooptasi bahwa seseorang wakil khusus dipastikan telah
dan otoritarianisme pembaca terhadap teks melakukan upaya penafsiran dan menganalisis
sehingga teks bisa ditafsirkan sebebar- perintah-perintah Tuhan secara rasional; (5)
bebasnya. Maka dari itu, Khaled menegaskan Pengendalian diri (self-restraint), bahwa
gagasan tentang teks yang terbuka (the open memiliki kerendahan hati dan pengendalian diri
text). Al-Qur‘an dan Sunnah—dengan dalam menjelaskan Kehendak Tuhan. Seorang
meminjam istilah Umberto Eco, merupakah wakil harus memiliki kewaspadaan untuk
―karya yang terus berubah‖ (“works in menghindari penyimpangan atas peran Tuhan,
movement‖). Keduanya adalah karya yang berarti dia harus mengenal batasan peran yang
membiarkan diri mereka terbuka bagi berbagai menjadi haknya saja. Seorang wakil khusus
strategi interpretasi (they are works that leaves jika tidak memiliki syarat di atas maka akan
themselves open to multiple interpretative mudah melakukan pemahaman dan tindakan
strategies).13 yang otoriter dengan mengatasnamakan
Sedangkan sikap otoriter adalah proses Tuhan.15
pemasungan teks sehingga teks tidak bisa
leluasa bergerak dan berinteraksi dengan Rekontruksi Makna Ijtihad
keragaman makna. Dalam bahasa Khaled, Teks (al-Qur‘an dan al-Sunnah) tetap
―Authoritarianism is the act of “locking” or bebas, terbuka, dan otonom sebagaimana yang
captivating the Will of Divine or the will of the pernah disampaikan oleh Farid Esack dengan
tex into the spesific determination, and then memahami al-Quran sebagai ―pewahyuan
presenting this determination as inevitable,
final, and conclusive‖ (Otoritarianisme adalah 14
Khaled Abou El Fadl, Speaking in God‟s Name,
Islamic Law, Authority, and Women, h. 93
13 15
Khaled Abou El Fadl, Speaking in God‟s Name, Khaled Abou El Fadl, Speaking in God‟s Name,
Islamic Law, Authority, and Women, h. 146 Islamic Law, Authority, and Women, h. 54-56
26 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014, hlm. 20-32

progresif.‖ Tuhan yang Maha Hidup terlibat sudah sepatutnya kita menkaji makna ijtihad
aktif dalam urusan dunia dan umat Islam. Salah setelah membahas tentang nash. Karena hanya
satu manifestasinya adalah mengutus para nabi dengan ijtihad itulah suatu nash tidak hanya
sebagai instrumen pewahyuan progresif-Nya. menjadi sebuiah bangunan materi yang mati
Karakteristik al-Quran juga bersifat progresif tetapi ia menjadi hidup mengikuti perubahan
seperti proses turunya al-Qur‘an secara zaman. Dalam hal ini, kedudukan nash
bertahap (tadriji).16 Suatu teks tentu memiliki bagaikan jasad sedangkan ijtihad bagaikan ruh.
makna tersendiri, begitupula pembacanya yang Ijtihad pada dasarnya adalah usaha
bersifat subjektif untuk melahirkan makna nalar (juhd fikri) untuk mencari solusi dengan
lain. Kemudian yang menjadi pertanyaan, suatu hukum yang proporsional. Realitas umat
bagaimana relasi dialektis dua makna tersebut? selalu muncul silih berganti, sehingga produk
Terkait relasi tersebut Khaled Abou El Fadl hukum yang dikatakan fiqh sebenarnya adalah
tidak menjelaskan lebih lanjut, kecuali hanya ijtihad. Hal ini merupakan konsekuensi dari
memberikan kaidah ―perimbangan kekuatan‖ penolakan terhadap skripturalisme pada nash.
antara pengarang yang diwakili teks dengan Sikap yang berkutat pada nash akan
pembaca. Untuk itu penulis ingin menyajikan mengantarkan stagnasi pemikiran yang dengan
pendapat Nashr Hamid Abu-Zayd dalam sendirinya akan menutup pintu ijtihad. Padahal
bukunya Naqd al-Khithâb al-Dîni tentang sesungguhnya tidak seorang pun yang bisa
perbedaan ―makna statis‖ dan ―makna menutup pintu ijtihad. Bahkan ijtihad
progresif.‖ Dalam hal ini Nashr Hamid merupakan kebutuhan umat Islam sepanjang
membedakan arti ―historis-orisinil‖ teks yang masa seperti yang telah disinyalir oleh Nabi
disebut ma‟nâ (pengertian) dan arti ―realistas- Muhammad: "Sesungguhnya Allah akan
modern‖ teks yang disebut maghza mengutus dalam umat (Islam) ini stiap awal
(signifikansi). satu abad, orang yang memperbarui agama
Menurut Nashr Hamid Abu-Zayd, mereka." Jadi, agama butuh pembaharuan agar
perbedaan makna dan signifikansi terletak pada tetap eksis bagi umatnya. Tentu yang
dua aspek. Pertama, ―makna‖ adalah diperbaharui di sini adalah pemahamannya
pemahaman terhadap teks yang berasal dari bukannya teks yang merupakan sumber dari
konteks internal bahasa (al-siyaq al-lughawi agama itu sendiri.
al-dhakhili) dan konteks eksternal sosio- Salah satu format ijithad yang sering
kultural (al-siyaq al-tsaqâfi al-ijtima‟i al- dilegimitasi oleh ulama klasik adalah qiyâs.
khariji). Sedangkan ―signifikansi‖ adalah Namun seperti yang sudah disinggung, peran
pemahaman terhadap teks sesuai dengan akal di dalam qiyâs hanya terbatas untuk
kondisi kekinian melalui perspektif pembaca. mencari illat yang banyak berkutat pada lafal.
Hubungan antara makna dan signifikansi Sedangkan landasan dasar qiyâs berupa
seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisah. kejadian yang sudah ada hukumnya dan
Bahkan, ―signifikansi‖ lahir dari pemahaman bersifat terbatas dengan kejadian serupa dan
kita terhadap makna asal teks-teks tersebut. baru. Hal ini menurut M. Abid al Jabiri
Kedua, ―makna‖ bersifat statis-relatif (al-tsabit merupakan penyebab tertutupnya pintu
al-nisbi), yaitu karena ia merupakan makna asli ijtihadi.18 Dikatakan demikian, karena proses
(otonom) teks sehingga terus menyertai teks ijtihad hanya berputar dalam lingkaran lafal
tersebut, sehingga memiliki ―keterbatasan‖ dan illat yang sempit.
ruang dan waktu. Sedangkan ―signifikansi‖ Sudah waktunya kita merekontruksi
terus bergerak mengikuti perputaran dan makna ijtihad dan bukan sekedar ajakan
perubahan cakrawala pembaca.17 membuka pintu ijtihad. Artinya ijithad tidak
Sebuah nash tidak ada artinya jika tidak hanya terbatas mencari illat dalam qiyâs,
'digauli' oleh akal untuk difahami dan ditafsiri namun kita harus mencari alternatif yang
sesuai dengan kondisi realitas mujtahid. Maka sifatnya lebih komprehensip. Kita harus

16 18
Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas (Bandung: Abid al Jabiri, al Din wa al Daulah wa Tatbiq al
Mizan, 2000), h. 87 Syariah. http://www.mizan-
17
Nashr Hamid Abu-Zayd, Naqd al-Khithab al-Dini poenya.co.cc/2010/08/kritik-nalar-fiqh-menuju-fiqh-
(Cairo: Madbuli, 1995), h. 221 yang.html
Nasrulloh, Tajdîd Fiqh Dari Konservatif Tekstual…| 27

mengadakan reinterpretasi makna ijtihad. Hal Aksentuasi ijithad yang dilandaskan


ini mengharuskan kita untuk menggunakan pada maqâsid al-shari‟ah bisa kita temukan
maqashid syariah sebagai metode pendekatan akarnya dalam ijtihad sayyidina Umar ibn
system sebagaimana yang ditawarkan oleh Khatab. Dalam suatu riwayat, sayyidina Umar
Jaseer ‗Audah, sehingga akal dalam ijtihad tidak melaksanakan potong tangan pada
punya andil yang semestinya. pencuri di masa paceklik, tidak membagikan
Kenapa harus akal? Inilah pertanyaaan ghanimah pada yang berhak tapi dialihkan ke
yang telah dicoba dijawab oleh Imam Syatibi. baitul mâl, tidak mendistribusi zakat kepada
Ia menegaskan bahwa ijtihad model lama golongan muallaf, dan membebaskan jizyah
sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan. pada seorang yahudi yang sudah tua renta.
Sebagai gantinya kita harus mengadakan ta'shil Ijitihad-ijtihad yang disebut fiqh sayyidina
al ushûl dengan menjadikan maqashid syariah Umar merupakan bentuk implementasi ijtihad
sebagai poros ijtihadi ta'shil ushûl mempunyai yang berporos pada maqâsid syariah. Jika kita
arti bahwa pembaharuan tidak hanya dalam analisa lebih lanjut melalui epistemologi ijtihad
furu' atau juziyyat, lebih dari itu pembaharuan maslahah dan contoh yang diberikan sayyidina
harus dilakukan dari akarnya. Meskipun Jamal Umar, maka akan segera kita sadari bahwa
al Bana menganggap pemikiran Imam Syatibi ijtihad model tersebut justru akan lebih memuat
kurang orisinil.19 Namun itu adalah sebuah nilai-nilai humanis sehingga mampu
gebrakan yang patut dicontoh. Terbukti memecahkan problem-problem yang sedang
Muhammad Abduh sempat mengusulkan kitab melanda umat.
Al Muwâfaqat untuk dijadikan muqarrar dalam Di dalam ijtihad fiqhinya Qardhawi,22
bidang ushul fiqh. telah berhasil membuat sebuah formulasi baru
Pernyataan tersebut telah dalam memperlakukan fiqh, terutama ketika ia
diaktualisasikan oleh Jaseer ‗Audah dengan berhadapan dengan persoalan-persoalan
memperluas cakupan dari maqâsid al-shari‟ah kontemporer. Diantara formula yang dibangun
klasik (menurut al-Syatibi dan dipopulerkan adalah mengenai perlunya dibangun sebuah
oleh al-Ghazali, yaitu menjaga agama, jiwa, fiqh baru (fiqh jadîd) yang akan dapat
harta, akal dan keturunan)20 menuju maqâsid membantu menyelesaikan persoalan-persoalan
al-shari‟ah yang mampu menjawab tantangan baru umat. Meskipun demikian, yang
global kekinian. Perluasan untuk bergeser dari dimaksud dengan fiqh, seharusnya tidak
hukum berorientasi individual kepada orientasi hanya terbatas pada persoalan-persoalan yang
ummat manusia secara umum. Hifdzu al-nasl berkaitan dengan hukum-hukum juz‟i yang
(perlindungan keturunan) diperluas menjadi diambil dari dalil-dalil terperinci (tafshili)
hifdzu al-usrah, hifdzu al-„aql (perlindungan seperti persoalan-persoalan thaharah, shalat,
akal) menjadi perlindungan berfikir ilmiyah zakat dan lain sebagainya, bukan pula hanya
atau perwujudan semangat mencari ilmu merupakan sebuah sistem ilmu dalam Islam,
pengetahuan, hifdzu al-nafs (perlindungan melainkan lebih dari itu, seraya mengutip al-
jiwa) menjadi hifdzu al-karâmah al-insaniyah Ghazali, yang menyatakan bahwa fiqh adalah
(perlindungan kehormatan manusia), hifdzu al- sebuah pemahaman yang komprehensif
dîn (perlindungan agama) menjadi hifdzu terhadap Islam, yaitu sebagai al-fahm
hurriyatu i‟tiqâd (perlindungan kebebasan (pemahaman).
beragama), hifdzu al-mal (perlindungan harta), Adapun fiqh baru yang berusaha
menjadi perwujudan solidaritas social.21 dibangun antara lain: (1) Keseimbangan (fiqh
al-Muwazanah), yaitu sebuah metode yang
19
Letak kekuarang-orisinilan ini menurut Jamal al Banna dilakukan dalam mengambil keputusan hukum,
terlihat dalam tambal sulam yang dilakukan Imam pada saat terjadinya pertentangan dilematis
Syatibi dalam maqashid Syariah sebagai justifikasi antara maslahat dan mafsadat atau antara
terhadap perintah Tuhan. Imam Syatibi tidak memasuki kebaikan dan keburukan, karena menurutnya,
pembahasan sebenarnya yaitu masalah hikmah dan di zaman kita sekarang ini sangat sulit mencari
masalahah yang diperdebatkan oleh al Thufi dan al Izzu
20
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh sesuatu yang halal seratus persen atau yang
(Bairut; Dar al-Kutub al-‗Ilmiyah, t.t), jilid. 1.
21 22
Jaseer Audah, Maqasid As Philoshophy Of Islamic http://imadu.multiply.com/journal/item/5. (diakses 5
Law, h. 3-4 oktober 2011)
28 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014, hlm. 20-32

haram seratus persen. Menurutnya, dengan bagaimana mencairkan kejumudan umat Islam
menggunakan sistem fiqh seperti ini kita akan dalam menghadapi zaman. Menurutnya, salah
dapat memahami bahwa pada kondisi seperti satu penyebab kejumudan tersebut adalah
apakah sebuah kemudaratan kecil boleh berhentinya kreativitas umat dalam berijtihad
dilakuakan untuk mendapatkan kemaslahan yang merupakan dapur utama kemajuan
yang lebih besar, atau kerusakan temporer yang mereka. Dari masa ke masa, persoalan umat
boleh dilakukan untuk mempertahankan selalu berkembang, terutama setelah terjadinya
kemaslahatan yang kekal, bahkan kerusakan inovasi-inovasi baru dalam bidang sains dan
yang besar pun dapat dipertahankan jika teknologi, sementara seperti kita fahami
dengan menghilangkannya akan menimbulkan bersama bahwa jumlah ayat al-Quran dan
kerusakan yang lebih besar. (2) Fiqh realitas hadits nabi, sampai kiamat mustahil akan
(Fiqh Waqi‟i), yaitu sebuah metode yang bertambah. Oleh sebab itu, tidak ada cara lain
digunakan untuk memahami realitas dan untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut
persoalan-persoalan yang muncul di hadapan kecuali melalui jalan ijtihad yang didasarkan
kita, sehingga kita dapat menerapkan hukum pada prinsip-prinsip utama ajaran Islam.
sesuai dengan tuntutan zaman. (3) Fiqh Menurut Prof. Amin Abdullah,
prioritas (Fiqh al-Aulawiyat), yaitu sebuah setidaknya ada dua pilar penyangga yang
metode untuk menyusun sebuah sistem dalam sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk
menilai sebuah pekerjaan, mana yang membangkitkan kembali semangat ijtihad
seharusnya didahulukan atau diakhirkan. Salah seperti diurai dimuka dan mengurai benang
satunya adalah bagimana mendahulukan ushûl kusut yang membelenggu dinamika pemikiran
dari furu‟, mendahulukan ikatan Islam dari Islam pada umumnya dan pemikiran hukum
ikatan yang lainnya, ilmu pengetahuan sebelum Islam khususnya. Dua pilar dimaksud adalah
beramal, kualitas dari kuantitas, agama dari pilar normativitas dan historisitas. Pilar
jiwa serta mendahulukan tarbiyah sebelum normativitas diperoleh dari teks al-Qur‘an,
berjihad. (4) Fiqh al-Maqashid al-Syari‟ah, surat Yusuf ayat 76, yang menyatakan dengan
yaitu sebuah fikih yang dibangun atas dasar tegas bahwasanya “wa fauqa kulli dzi „ilmin
tujuan ditetapkannya sebuah hukum. Pada ali.” Makna ayat tersebut penulis terjemahkan
teknisnya, metode ini ditujukan bagaimana secara bebas bahwa di atas setiap orang,
memahami nash-nash syar‘i yang juz‟i dalam kelompok, organisasi atau institusi keagamaan
konteks maqashid al-Syari‟ah dan yang merasa pandai, mesti ada orang,
mengikatkan sebuah hukum dengan tujuan kelompok, organisasi, atau institusi keagamaan
utama ditetapkannya hukum tersebut, yaitu lain yang lebih pandai lagi.‖
melindungi kemaslahatan bagi seluruh Dari ayat tersebut dapat dipahami
manusia, baik dunia maupun akhirat. Ibn bahwa tidak ada finalitas dalam beragama.
Qayyim yang mengatakan, bahwa prinsip Petunjuk al-Qur‘an ini secara tegas sangat
utama yang menjadi dasar ditetapkannya bernuansa hermeneutis, sekaligus menepis
syari‟ah adalah kemaslahatan bagi seluruh anggapan sementara kalangan yang meragukan
umat manusia. Oleh karena itu, maka seluruh pendekatan hermeneutik dalam studi
kandungan syari‟ah selalu berisi keadilan, keislaman. Tampak sekali bahwa adanya ruang
kasih sayang Tuhan dan hikmah-Nya yang relativitas dalam budaya Islam dimanapun
mendalam. Dengan demikian, segala sesuatu mereka berada. Ruang relativitas tersebut
yang di dalamnya mengandung kelaliman, sangatlah diperlukan untuk menghidupkan
kekejian, kerusakan dan ketidakbergunaan, kembali semangat mengoreksi kesalahan
maka pasti ia bukanlah syari‟ah. (5) Fiqh pemahaman, keyakinan, praktik-praktik ajaran
perubahan (Fiqh al-Tagyîr), yaitu sebuah agama, termasuk fatwa-fatwa keagamaan yang
metode untuk melakukan perubahan terhadap barangkali tidak sesuai dengan ruh ajaran al-
tatanan masyarakat yang tidak Islami dan Qur‘an dan as-Sunnah itu sendiri.
mendorong masyarakat untuk melakukan Pilar kedua diperoleh dari historisitas
perubahan tersebut. praktik budaya intelektual Muslim sepanjang
Disamping itu, kontribusi lain yang abad. Kalimat yang biasa dikutip oleh penulis
diberikan Qardhawi dalam bidang fiqh adalah dan pengarang Muslim di bagian akhir
Nasrulloh, Tajdîd Fiqh Dari Konservatif Tekstual…| 29

tulisannya “wa Allahu a‟lam bi as-sawab” kelompok fundamental. Fakhr Al-Din Al-Razi
(Dan Allahlah yang lebih Mengetahui yang meringkas beberapa perbedaan alasan para ahli
terbenar). Meskipun ungkapan ini sangat hukum tentang kenapa dalil al-khitab dari
bernuansa hermeneutis, namun disini perlu sebuah teks hanya bersifat zanni dengan
penafsiran dan pemaknaan baru. Dikatakan beberapa alasan:24 (1) Ada kemungkinan
demikian karena seringkali para penulis yang hukum yang kita adopsi berasal dari sebuah
menggunakan prasa ini, dalam bermasyarakat teks tunggal sudah dibatasi oleh suatau keadaan
sikap intelektualnya masih juga cenderung tertentu; (2) Ada kemungkinan bahwa
otoriter-angkuh. Kalimat ini menunjukkan ungkapan dari teks tunggal tersebut
bahwa setiap keputusan hukum yang diklaim mempunyai makna majaz; (3) Referensi bahasa
pasti oleh pembuatnya sesungguhnya belum kita adalah dari ahli bahasa, sehingga setiap
tentu dapat memenuhi rasa keadilan orang mempunyai kemungkinan untuk salah;
pemohonnya. Karena benturan antara keduanya (4) Gramatika bahasa arab disampaikan kepada
yang sulit dikompromikan, intelektual Muslim kita melalui syair–syair arab kuno dengan jalur
lalu buru-buru bersandar kepada Tuhan sebagai riwayat ahad; (5) Sangat dimungkinkan satu
penjamin terakhir kepastian dan keadilan. kata atau lebih dari sebuah teks mempunyai
Sampai disini memang bagus, tetapi itu lebih banyak makna atau tafsir; (6) Ada
cocok untuk era klasik yang menepikan kemungkinan satu kata atau lebih dari sebuah
dimensi sosiologis-antropologis-psikologis teks maknanya sudah dirubah, dan pada waktu
manusia. selanjutnya yang merubah adalah makna awal
Pada era modern dan lebih lagi era yang dirubah tadi; (7) Ada kemungkinan
postmodern, untuk mendekatkan ―rasa terdapat makna tersembunyi dari sebuah
keadilan‖ (dalam kasus ini adalah penafsiran ungkapan yang kita tidak faham; (8) Boleh jadi
bias gender dan kasus-kasus lain sejenis) dan hukum yang kita pertimbangkan dari sebuah
―kepastian hukum‖ (fatwa-fatwa yang teks tunggal sudah di mansûkh tanpa
dikeluarkan oleh CRLO yang dianggap final) sepengetahuan kita; (9) Boleh jadi hukum
haruslah melibatkan partisipasi seluruh yang kita pertimbangkan dari sebuah teks
masyarakat penafsir (community of tunggal berlawanan dengan logika kebenaran.
interpreters). Dalam prosedur kerjanya, selain Disamping itu, akal adalah sarana kita
menggunakan bukti-bukti teks yang tersedia, untuk memastikan keabsahan dari sebuah hadis
juga memanfaatkan pengalaman kultural- itu sendiri. Dikatakan akal memiliki kedudukan
sosiologis, mempertimbangkan kebiasan dan lebih tinggi daripada hadis, karena tanpa akal
perangai psikologis manusia, mencermati nilai- nash tidak dapat difahami. Karenanya kita
nilai fundamental secara filosofis, dan seharusnya mengikuti akal untuk menentukan
kemajuan ilmu pengetahuan. Tanpa melibatkan kebenaran pada tiap kasus, bukannya
sekelompok masyarakat penafsir dari berbagai mengikuti dalil ilmu kebahasaan dari sebuah
latar belakang keilmuan, agaknya hukum Islam teks. Di sini Jaseer ingin menambahi tiga poin
akan mudah terjebak pada authoritarianism, dari sembilan poin di atas: (1) Ada
sehingga akan menghadapi tantangan serius kemungkinan sebuah teks mempunyai makna
pada era kontemporer. yang bertentangan dengan teks lainnya,
sehingga teks semacam ini biasa dikenal
Memahami Fiqh Dengan Semangat dengan istilah al-nushûs al-muta‟aridah. (2)
Komprehensif-Progresif-Objektif Ada jarak yang sangat memungkinkan
Menurut Jaseer, sekarang ini penerapan terjadinya kesalahan dalam penyampaian hadis
produk fiqh selalu ikhtizaliyyan bukannya ahad, yang mana hadis Nabi sangat banyak
shumuliyyan, harfiyyan bukannya akhlaqiyyan, yang diriwayatkan secara ahad; (3) Ada jarak
ahadiy al-bu‟di bukannya ahadiy al-ab‟ad.23 yang sangat memungkinkan terjadinya
Sedikit ahli hukum yang memperhatikan interpretasi dari setiap teks tunggal, sehingga
batasan dari pendekatan reduksi dan atomism mempengaruhi cara pandang kita dalam
yang mana metode ini biasa digunakan oleh
24
Muhammad Ibn ‗Umar al-Razi, al-Mahsul, ed. Taha
23
Jaseer Audah, Maqasid al- Shari‟ah Falsafah Li al- Jabir al-Alwani (Riyadh: Imam Muhammad University
Tashri‟I al-Islami, h. 11 Press, 1400 H), jilid. 1, h. 547-573
30 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014, hlm. 20-32

memahami makna atau maksud dari sebuah lafal masih memerlukan penggunaan nalar.
hadis.25 Kaidah la ijtihada ma al nash sebenarnya
Dari paparan diatas, seorang faqîh perlu merujuk pada reduksi (ikhtizâl) hukum dalam
kiranya memperluas pandangannya untuk bentuk qiyâs yang bersifat penjelas hukum
memperdalam keluasan ilmunya, terutama (muzhîr) bukan pencipta hukum (munsyi'). Jika
sebelum mengeluarkan fatwa yang sangat demikian berarti ia bukanlah ijtihad sebenarnya
berpengaruh pada masyarakat. Maka dari itu, seperti apa yang telah dilakukan oleh Muaz bin
seorang faqîh tidak bisa membuat produk Jabal.27
hukum hanya dengan bersandar pada satu dalil Terdapat kelompok ulama‘ yang
baik dari al-Qur‘an maupun hadis untuk dibuat mempunyai perspektif lain dari yang sudah kita
hujjah. tulis, yaitu pemahaman nash sebagai teks yang
sudah ditulis oleh para ulama klasik. Diantara
Ranah Ijtihad teks karya ulama, ada yang diklasifikasikan
Wahbah Zuhayli menegaskan bahwa mu'tabarah dan ghair mu'tabarah. Kenyataan
tidak diperbolehkan seorang mujtahid bahwa teks-teks yang sesuai dengan
berijtihad dalam masalah yang sudah terdapat kelompoknya dimasukkan sebagai mu'tabarah
nash (sebagian besar ulama‘ mengartikan nash dan yang tidak sesuai dimasukkan dalam
dengan redaksi teks al-Qur‘an dan al-Sunnah) lingkaran ghair mu'tabarah. Corak pemikiran
yang sudah qath‟i, seperti kewajiban shalat, ini berakar pada sisitem taklid karena
puasa, haji, zakat dan lain-lain. Adapun ruang kepercayaan masa ijtihad sudah tertutup.
ijtihad bagi seorang mujtahid hanya terbatas Artinya ada asumsi yang berkembang bahwa
pada wilayah yang tidak terdapat nash sama sekarang tidak ada orang yang mumpuni dan
sekali dari al-Qur‘an, hadis maupun ijma‘ mampu memenuhi syarat-syarat ijtihad yang
ulama‘ yang tidak ditentang oleh satupun telah digariskan oleh ulama klasik, sehingga
muslim.26 Menurut Zuhayli, yang dimaksud satu satunya jalan adalah hanya mengikuti hasil
nash dalam kaidah la ijtihada fi ma fîhi nash ijtihad yang sudah dicapai oleh ulama zaman
adalah nash yang bersifat qath'I, sedangkan dahulu. Konsekuensi dari pemikiran tersebut
lafal yang bersifat zhanni merupakan ruang adalah adanya ketergantungan pada teks-teks
ijitihad manusia. Pemikiran semacam ini tidak dalam kitab turats untuk menjawab
bisa dibenarkan secara mutlak, bahkan problematika modern umat.
dianggap sebagian kelompok keliru. Pemikiran Hingga saat ini, tradisi yang
ini dikuatkan oleh perkataannya Imam Ali ra: menyandarkan pada kitab-kitab turats masih
"Al-Quran mengandung banyak banyak berlaku di Indonesia terutama di
makna(hammal aujuh), Al-Quran adalah sebagian pondok pesantren dan dalam forum
tulisan di antara dua sampul yang tidak bisa bahsul masâil yang dijadikan rujukan umat
berbicara, yang berbicara hanyalah orang- dalam bidang hukum. Apabila tidak ditemukan
orang." Kata-kata Imam Ali ini merupakan nash dalam permasalahan yang ada, maka jalan
kunci interaksi teks Al-Quran maupun hadis. selanjutnya adalah menganologikan
Kegagalan dalam memegang kunci ini berarti permasalahan yang tidak ada hukumnya
kegagalan pula dalam manhaj ijtihad. Hal ini dengan permasalahan yang sudah ada
dikuatkan oleh beberapa ijtihad Sayyidina umar hukumnya dalam aqwâl pada ulama karena ada
ibn al-Khattab dan ‗Sayyidina umar ibn kesamaan illat. Dalam hal ini, tidak boleh
‗Abdul ‗Aziz seperti contoh yang telah analogi langsung dengan menggunakan nash
disebutkan diatas. Al-Quran dan hadis karena yang berhak untuk
Masih berkenaan dengan nash, Jamal al itu adalah seorang mujtahid. Bahkan sikap
Banna melihat bahwa dalam tataran praktisnya, yang lebih ekstrim lagi adalah apa yang telah
ijtihad sebenarnya memerlukan eksplorasi dikatakan oleh salah satu ulama hanafiah (Al
makna dalam nash. Apapun tingkat kejelasan Karkhi): "Setiap ayat atau hadis yang tidak
sesuai dengan pendapat imam kita (Abu
25
Jaseer Audah, Maqasid As Philoshophy Of Islamic 27
Law, h. 198 Jamal al Banna, Nahwa Fiqh Jadid (Dar al Fikr al
26
Wahbah al-Zuhayli, Tajdîd Al-Fiqh Al-Islamy (Bairut: Islami), jilid. III, h. 217
Dar Al-Fikr), h. 190-19
Nasrulloh, Tajdîd Fiqh Dari Konservatif Tekstual…| 31

Hanifa) harus dinasakh atau dita'wil." Kita disebut oleh Imam Syatibi maqâshid syariah.
boleh heran kenapa orang sekaliber Al Karkhi Melakukan pembedaan diantara keduanya
sampai mengatakan seperti itu? Sebabnya tidak merupakan tugas penting, sebab keduanya akan
lain adalah karena adanya t'asshub mazhab dan memotong jalan ―ulama‖ kontemporer yang
pengkultusan terhadap tokohnya. tidak segan-segan menkafirkan orang hanya
Kalau kelompok ulama sebelumnya untuk menjaga status sosial yang ia miliki dan
menganggap nash adalah semua teks Al-Quran monopoli kebenaran karena tidak ada
dan hadis, maka kelompok ulama kedua kemampuan rasionalitas dan intelektualitas
menganggap bahwa yang dimaksud nash untuk memahami seluk beluk hukum-hukum
adalah berupa teks ulama klasik. Dalam hal ini, yang mereka capai melalui nash wahyu.28
eksplorasi hukum hanya berkutat dalam
lingkaran teks ulama klasik tersebut. Fenomena Kesimpulan
ini tentunya lebih jauh ke belakang dari yang Menyamakan kedudukan nash kitab-
pertama, sebab kelompok ulama yang kitab fiqh dengan nash-nash syariat merupakan
sebelumnya masih mengakui adanya ijtihad kesalahan. Karena kita perlu melakukan
dan boleh langsung menyentuh nash Al-Quran pembaharuan secara terus menerus untuk
maupun hadis, sedangkan kelompok ulama melakukan kritik terhadap pemikiran yang
yang kedua tidak mengakuinya. salah tentang fiqh. Pembaharuan dalam bidang
Problem pengkaburan makna nash yang pemikiran fiqh harus dilakukan melalui kajian
sudah sampai pada taraf penyamaan nash Al- tentang tajdîd untuk menjawab tantangan
Quran dan nash ulama sudah terjadi sejak dulu. perubahan zaman. Tulisan ini hanya sekedar
Menurut M. Arkoun pembedaan antara Al- memberikan gambaran singkat bahwa syariat
Quran dengan tafsir fuqaha sangat urgen Islam yang mempunyai makna al-Qur‘an dan
karena antara keduanya memang secara dasar al-Sunnah sebagai syariat Allah yang
tidak patut disamakan, sebab yang satu dari paripurna untuk dapat menjawab tantangan
Tuhan dan lain merupakan pemikiran manusia perubahan zaman. Mekanisme ijtihâd yang
murni. Menurut Arkoun, perlu diletakkan jarak ditempatkan pada posisi yang semestinya
antara maqâshid Al-Quran dan apa yang merupakan kunci untuk menjawab semua itu.

28
M. Arkoun, Min aI Ijtihad ila Naqd al Aqli al Islami
(Dar al Saqi), h. 70
32 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014, hlm. 20-32

DAFTAR PUSTAKA

Audah, Jaseer. Maqasid As Philoshophy Of Women, Oxford: Oneworld Publication, 2003,


Islamic Law. London: The International edisi bahasa Indonesia, Atas Nama
Institute Of Islamic Thought, 2008. Tuhan. Jakarta: Serambi, 2004.
Audah, Jaseer. Maqasid al- Shari‟ah Falsafah Esack, Farid. Membebaskan Yang Tertindas.
Li al-Tashri‟i al-Islami. London: The Bandung: Penerbit Mizan, 2000
International Institute Of Islamic http://imadu.multiply.com/journal/item/5.
Thought, 2007. http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/29/taj
Arkoun, Muhammad. Min aI Ijtihad ila Naqd did-al-fiqh-why-not/ diakses tanggal 24
al Aqli al Islami. Dar al Saqi, t.t. Januari 2010
Al-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul http://www.facebook.com/note.php?note_id
al-Fiqh. Bairut: Dar al-Kutub al- =199877905389Membongkar Jabiri,
‗Ilmiyah, t.t. Abid al, al Din wa al Daulah wa Tatbiq
Al-Banna, Jamal. Nahwa Fiqh Jadid. Beirut: al Syariah, http://www.mizan-
Dar al Fikr al Islami, t.t poenya.co.cc/2010/08/kritik-nalar-fiqh-
Al-Zuhayli, Wahbah. Tajdîd Al-Fiqh Al- menuju-fiqh-yang.html
Islamy. Bairut: Dar Al-Fikr, t.t. Otoritarianisme dalam Hukum Islam oleh
Al-Jabiri, Muhammad Abid. Takwin al-„Aql al- Mohamad Guntur Romli pada 31
„Arabi. Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafî al- Oktober 2009 jam 11:21
‗Arabi, t.t. Yasid, Abu. Islam Akomadif: Rekonstruksi
Al-Razi, Muhammad Ibn ‗Umar. al-Mahsu., ed Pemahaman Islam Sebagai Agama
Taha Jabir al-Alwani. Riyadh: Imam Universal. Yogyakarta: Lkis, 2004
Muhammad University Press, 1400 H Zayd, Nashr Hamid Abu. Naqd al-Khithâb al-
El Fadl, Khaled Abou. Speaking in God‟s Dini. Cairo: Madbuli, 1995
Name, Islamic Law, Authority, and

Anda mungkin juga menyukai