Anda di halaman 1dari 34

A.

Pengertian dan objek kajian fiqh serta tujuan mempelajarinya


1. Pengertian

Definisi atau pengertian fiqih menurut bahasa adalah faham seperti aku
faham ucapan mu. Adapun fiqih menurut istilah adalah ilmu yg menjelaskan
hokum-hukum syara’ yg berkaitan dengan perbuatan manusia yg digali melalui
dalil-dalilnya yg rinci.
Dari sini bisa diketahui bahwa fiqih terbentuk dari kumpulan hukum-
hukum syara’ yg berhubungan dengan ucapan dan perbuatan manusia yg
diambil dari nash-nash atau yg dikeluarkan dari dalil-dalil syara’ yg lain.
2. Objek Kajian
Objek kajian fiqih adalah perbuatan seorang mukallaf ditinjau dari
ketepatannya terhadap hokum-hukum syar’i, oleh karena itu, seorang ahli fiqih
membahas tentang sholatnya orang mukallaf, puasanya, hajinya, jual belinya, sewa
menyewanya, pencuriannya, pernikahannya, tolaqnya dan lain sebagainya dengan
tujuan untuk mengetahui hokum-hukum syara’ atas perbuatan perbuatan tersebut.
3. Tujuan

Tujuan ilmu fiqih adalah menerapkan hokum-hukum syar’i terhadap


perbuatan manusia dan ucapannya. Adapun tujuan ilmu usul fiqih adalah
menerapkan kaidah-kaidah dan teori-teorinya pada dalil-dalil yg rinci untuk
diambil hukum syara’ nya.

B. Sejarah dan perkembangan fiqh (Periode / Masa Nabi SAW dan Sahabat)
1. Masa Nabi
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum
Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber
fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa
sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum.
Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul
untuk menjadi gubernur di Yaman.

Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada
saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori
Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian
hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran,
kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan
maka dapat berijtihad.1
2. Pada masa sahabat
Pada zaman sahabat dan tabi’in, pengetahuan mereka sempurna tentang hukum-
hukum yang terrdapat di dalam Al-Quran dan mengetahui pula sebab-sebab
turunnya, serta rahasia syariat dan tujuan karena pergaulan mereka pada zaman
nabi saw. Karena itu mereka tidak memerlukan peraturan-peraturan dalam
mengambil suatu hukum. Mereka tidak menggunakan pengetahuan Ushul Fiqh
dalam teori, tetapi dalam praktek sesungguhnya ilmu ini telah diterapkan dan
menjadi teladan bagi umat sesudahnya.
C. Sejarah dan Perkembangan Fiqh (Periode / Masa Imam Mujtahid pada abad ke 2
H samapi abad ke 4 H/ Pertengahan)

Tarikh al-tasyri’ menurut Muhammad Ali al-sayis adalah : “Ilmu


yang membahas keadaan hukum Islam pada masa kerasulan
(Rasulullah SAW masih hidup) dan sesudahnya dengan periodisasi
munculnya hukum serta hal-hal yang berkaitan dengannya,
(membahas) ciri-ciri spesifikasi keadaan fuqaha’ dan mujtahid
dalam merumuskan hukum-hukum tersebut”.
Pada pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H.
Periode ini disebut sebagai periode gemilang karena fiqh dan ijtihad
ulama semakin berkembang. Pada periode inilah muncul berbagai
mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu Mazhab Hanafi,
Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali. Pertentangan
antara Madrasah al-hadits dengan Madrasah ar-ra’yu semakin
menipis sehingga masing-masing pihak mengakui peranan ra’yu
dalam berijtihad.
Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan
pemerintah pun mulai menganut salah satu mazhab fiqh resmi
1 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqih, ( Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 2002 ), cet. VIII, hlm. 11
negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang
menjadikan fiqh Mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di
pengadilan. Disamping sempurnanya penyusunan kitab fiqh dalam
berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab ushul
fiqh, seperti kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam Syafi’i.
Sebagaimana pada periode ketiga, pada periode ini fiqh iftirâdî
semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam
fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser
pada pendekatan teoritis. Oleh sebab itu, hukum untuk
permasalahan yang mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan.

D. Sejarah dan Perkembangan Fiqh (Periode/Masa kemunduran dan Masa bagkitnya


kembali)

6) SEJARAH PADA PERIODE KEMUNDURAN

Periode ini lahir pada abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang berarti sebagai penutupan
periode ijtihad atau periode tadwin (pembukuan). Mula-mula masa kemunduran
dalam bidang kebudayaan Islam, kemudian berhentilah perkembangan hukum Islam
atau Fiqih Islam. Pada umumnya, ulama yang berada di masa itu sudah lemah
kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagiamana dilakukan oleh
para pendahulu mereka pada kejayaan seperti disebut diatas.2

Situasi kenegaraan yang barada dalam konflik, tegang, dan lain sebagainya itu
ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji ajaran Islam
langsung dari sumber aslinya Alqur’an dan Hadits. Mereka telah puas hanya dengan
mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan kepada tingkat
tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah yang
mengantarkan Dunia Islam ke alam taklid, kaum Muslimin terperangkap ke alam
pikiran yang jumud dan statis.Disamping kondisi sosialpolitik tersebut, beberapa
faktor lain berikut ini kelihatannya ikut mendorong lahirnya sikap taklid dan
kemunduran. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

 Efek samping dari pembukuan fiqih pada periode sebelumnya

Dengan adanya kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama sebelumnya, baik
untuk persoalan-persoalan yang benar-benar terjadi atau diprediksi akan terjadi,

2 ash-Shiddieqy, m.hasbi. PENGANTAR FIQIH. 1974. Hal 35


memudahkan umat Islam pada periode ini merujuk semua persoalan hukumnya
kepada kitab-kitab yang ada itu.

 Fanatisme mazhab yang sempit

Pengikut imam mujtahid terdahulu itu berusaha membela kebenaran pendapat


mazhabnya masing-masing dengan berbagai cara. Mungkin akibat pengaruh arus
keidakstbilan kehidupan politik, dimana frekuensi sikap curiga dan rasa tidak senang
antara seseorang atau antar kelompoknya dengan mencari-cari argumentasinya yang
pada umumnya apologetic serta menyanjung imam dan mazhabnya dengan sikap
emosinalitas yang tinggi. Akibatnya, mereka tenggelam dalam suasana chauvinism
yang tinggi, jauh dari sikap rasionalitas ilmiah dan terpaling dari sumber-sumber
hukum yang sesungguhnya, Alqur’an dan Hadits.

 Pengangkatan hakim-hakim muqallid

Kehidupan taklid pada periode semakin subur ketika pihak penguasa mengangkat
para hakim dari orang-orang yang bertklid. Bila pada periode sebelumnya para
penguasa memilih dan mengangkat hakim-hakim dari kalangan mujtahid dan mereka
diberi kebebasan berijtihad sendiri, hasil ijtihadnya sering menjadi sasaran kritikan
pedas dari penganut-penganut mazhab tertentu, termasuk penguasa.Umat islam
menyadari kemunduran dan kelemahan mereka yang sudah berlangsung semakin
lama itu. Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh terhadap perkembangan fiqih.
Banyak diantara pembaharuan itu juga adalah ulama’-ulama’ yang berperan dalam
perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat Islam meningglakan taklid
dan kembali kepada Alqur’an dan hadits dan mengikuti jejak para ulama’ terdahulu.
Mereka inilah yang disebut sebagai golongan salaf. Periode ini ditandai dengan
disusunnya kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adiyyat di akhir abad ke-13 H, mulai 1285
H sampai tahun 1293 H (1869-1876 M).

 Contoh-contoh ijtihad yang dilakukan

Perluasan daerah dari suatu Negara akan berdampak semakin luas pada jumlah dan
bobot persoalan yang dihadapi, baik menyangkut sosial politik ketatanegaraan
maupun hal-hal yang perlu diselesaikan oleh pemimpin dan para ulam’nya. Mereka,
terutama ulama’-ulama’ dituntut untuk berfatwa dalam menghadapi persoalan-
persoalan hukum yang frekuensinya selalu bertambah dari masa ke masa. Keadaan
ini menentang mereka untuk menafsirkan ayat-ayat Alqur’an atau hadits-hadits nabi
berdasarkan penalaran ilmiah yang intens (ijtihad).

7) MASA KEBANGKITAN FIQH

Fase ini dimulai dari akhir abad ke-13 H sampai pada hari ini. Oleh karena itu fase
ini mempunyai karakteristik dan corak tersendiri, antara lain dapat menghadirkan
fiqh ke zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, dapat memberi
saham atau masukan dalam menentukan jawaban bagi setiap permasalahan yang
muncul pada hari ini dari sumbernya yang asli, menghapus taqlid, dan tidak terpaku
dengan mazhab atau kitab tertentu.Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat
dilihat dari dua aspek pertama pembahasan fiqh islam dan kedua kodefikasi fiqh
islam.

1. Pembahasan Fiqh Islam

Pada zaman ini para ulama’ memberikan perhatian yang sangat besar pada fiqh islam
baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji sehingga fiqh islam bisa
mengembalikan kegemilangannya melalui tangan ulama’ apabila kita ingin melihat
kebangkitan fiqh islam pada zaman ini dapat kita rincikan sebagai berikut:

Memberikan perhatian khusus terhadap kajian madzhab-madzab utama dan


pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui dengantetap mengedepankan prinsip
persamaan tanpa ada perlakuan khusus antara satu madzhan dengan madzhab yang
lain.

 Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh yang tematik (terperinci).

 Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh komparasi (perbandingan


antara madzhab fiqh islam)

 Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia


fiqh.

2 Kodifikasi Hukum Fiqh;

Yang dimaksud dengan kodifikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah


fiqh dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor. Dan jika ada masalah maka
setiap masalah akan dirujuk pada materi yang sudah disusun dan pendapat ini akan
menjadi kata putus dalam menyelesaikan perselisihan .

 Tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan berikut:

Menyatukan semua hokum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan sehingga
tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing hakim member keputusan sendiri, tetapi
seharusnya mereka sepakat dengan materi undang-undang tertentu dan tidak boleh
dilanggar untuk menghindari keputusan yang kontra.

Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hokum fiqh dengan susunan
sistematik, ada bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.

Upaya untuk menjadikan fiqh sebagai undang-undang bukan sesuatu yang baru
terjadi selama ini. Upaya tersebuut sudah muncul sejak awal abad kedua hijriah
ketika Ibnu muqofa’menulis surat kepada khalifah Abu jafar Al-Mansur agar undang-
undang Negara diambil dari Al-Quran dan Sunnah dan ketika tidak ada nash maka
cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan umat.

E. Hubungan ilmu fiqh dan ilmu tauhid, akhlak dan falsafah hukum

1. Ilmu Tauhid
Tauhid dalam bahasa artinya menjadikan sesuatu Esa.Yang dimaksud disini
adalah mempercayai bahwa Allah SWT itu Esa.Sedangkan secara istilah ilmu Tauhid
ialah yang membahas segala kepercayaan-kepercayaan yang diambil dari dalil-dalil
keyakinan dan hukum-hukum di dalam Islam termasuk hukum mempercayakan
Allah SWT itu Esa.Ilmu tauhid adalah sumber semua ilmu-ilmu keIslaman, sekaligus
yang terpenting dan paling utama.Allah SWT berfirman :
Q.S Muhammad : 19
‫فاعلم انه لالهالاا واستغفر لذنبك وللمؤمنت واللهيعلم متقلبكم ومثوكم‬

Artinya :

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembah,


Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi
(dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan.Dan Allah
mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.”

Ketika islam dating, ajaran pertama yang disampaikan oleh Rasulullah setelah
fungsinya sebagai utusan-Nya adalah ajaran Tauhid yang mengesakan Tuhan.
Ilmu fiqh sangat erat hubungannya dengan ilmu Tauhid, karena sumber ilmu fiqh
yang pokok adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mengakui Al-Qur’an sebagai sumber
hukum yang pertama dan paling utama, berangkat dari keimanan bahwa Al-Qur’an
diturunkan Allah SWT dengan perantaraan malaikat kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai utusan-Nya.Disini ilmu fiqh sudah memerlukan keimanan kepada Allah,
keimanan kepada para malaikat, keimanan kepada kitab-kitab Allah sebagai wahyu
Allah SWT, keimanan kepada Rasul, keimanan kepada Hari Kiamat dan keimanan
kepada Qada dan Qadar.

Selanjutnya oleh karena tujuan akhir ilmu fiqh untuk mencapai keridhaan Allah
SWT di dunia maupun di akhirat, maka sudah pasti harus yakin pula akan adanya
hari akhirat.Hari pembalasan segala amal perbuatan manusia.Seperti yang kita
ketahui aspek hukum dari perbuatan manusia ini menjadi objek pembahasan ilmu
fiqh.Masalah-masalah yang berkaitan dengan keimanan ini dibahas di dalam ilmu
Tauhid.Singkatnya hubungan ilmu fiqh dengan ilmu Tauhid seperti hubungan antara
bangunan dan fondasinya.Ilmu Tauhid merupakan fondasi yang kokoh, sedangkan
bangunan yang berdiri tegak dengan megahnya di atas fondasi yang kokoh dan kuat
itulah ilmu fiqh.
2. Ilmu Akhlak
Pengertian ilmu Akhlak adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku
manusia sebagai gejala yang tampak dan dijadikan bahan kajian dalam melihat
keadaan kejiwaan manusia yang sesungguhnya berhubungan erat dengan psikologi.
Menurut Imam al-Ghazali akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Menurut Hamzah Ya’qub, secara terminologis ilmu akhlak adalah:

1. Ilmu yang menentukan batas antara yang baik dan buruk, antara yang terpuji dan
tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin;
2. Ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang biak dan buruk, ilmu yang
mengajarkan pergaulan manusia, dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari
seluruh usaha dan pekerjaan mereka.

Jadi, ilmu Akhlak adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia
sebagai gejala yang tampak yang meliputi penerapannya kepada manusia dan juga
ilmu pengetahuan, yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk suatu
perbuatan manusia.

Ilmu fiqh tidak bisa dipisahkan dari ilmu akhlak, meskipun keduanya bisa
dibedakan, tetapi keduanya saling terkait.Pemisahan ilmu fiqh dari ilmu Akhlak
secara tajam akan mengakibatkan ilmu fiqh kehilangan keindahannya.Tanpa ilmu
Akhlak, ilmu fiqh hanya merupakan bangunan yang kosong, sunyi dan tidak
membawa kepada ketentraman dan ketenangan hati. Juga sebaliknya ilmu Akhlak
tanpa ilmu fiqh dalam artinya yang luas akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan
syari’ah.Pada gilirannya penyimpangan-penyimpangan ini sulit untuk bisa
dipertanggungjawabkan.Untuk menggambarkan bagaimana eratnya hubungan antara
ilmu fiqh dengan ilmu akhlak bisa dijelaskan dengan contoh sebagai berikut.

Kita mendapatkan perintah dari Allah untuk melakukan shalat.Rasulullah SAW


bersabda:

“Hal pertama yang diwajibkan oleh Allah SWT atas umatku adalah
sholat lima waktu, hal pertama yang diangkat dari amalan-amalan
mereka adalah shalat lima waktu dan hal pertama yang
dipertanyakan kepada mereka adalah shalat lima waktu.” (Kanzul
‘Ummal, jilid, hadits 18859).

Cara-cara sholat ditentukan di dalam hadits, kemudian dibahas oleh para Fuqaha
tentang rukun shalat, syarat-syarat sahnya sholat dan hukum-hukumnya yang diambil
dan dipahami dari Al-Qur’an dan hadits-hadits yang banyak sekali tentang shalat dan
yang berhubungan dengan shalat. Di samping itu kita pun mendapat perintah untuk
menerapkan akhlak terpuji di dalam ibadah yaitu:
1. Khusyu dalam melaksanakan sholat
Kekhusyuan sangat diperlukan dalam beribadah karena khusyu’ dalam shalat, berarti
seorang muslim dapat memaksimalkan komunikasinya dengan Allah SWT untuk
menyenangkan dan mencapai ridho-Nya sebagai wujud rasa syukur pada-Nya yang
telah menciptakan umat manusia, memelihara dan member kesempatan untuk hidup
dan menikmati karunia-Nya.
2. Tidak riya dalam melaksanakan ibadah
Riya ialah melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah
SWT akan tetappi untuk mencari pujian atau kemasyuran di masyarakat.
3. Tidak melalaikan shalat
Lalai berarti mengabaikan shalat, diantaranya adalah wudhu yang tidak sempurna,
gerakan shalat (rukuk, sujud dan lain-lain yang tidak sempurna), meng-akhirkan
shalat (tidak meng-awalkannya) tanpa alas an yang dapat diterima.Orang yang lalai
dalam shalatnya maka ia akan celaka seperti yang dijelaskan dalam Firman Allah
SWT dalam:

Q.S Al Maa’un: 4-6 yang Artinya:

”Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-


orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat Ri’ya.”
Oleh karena itu ilmu akhlak memberi isi kepada ilmu fiqh dan sebaliknya ilmu fiqh
memberikan kerangka pengaturan lahir agar ilmu Akhlak berjalan di atas relnya yang
ditentukan.

Salah seorang ulama besar dalam ilmu fiqh yang termasuk mujtahid fi al-
madzhab dan didalam ilmu tasawuf merupakan tokoh besar ialah Abu Hamid Al-
Ghazali yang lebih dikenal di Indonesia dengan nama Imam Ghazali. Salah satu jasa
besar dari Imam Ghazali adalah usahanya untuk mencoba mendekatkan dan
menggabungkan ilmu fiqhdan ilmu tasawuf, meskipun akhirnya tampak
kecenderungannya kepada ilmu tasawuf lebih besar dari pada ilmu fiqh. Inilah yang
menyebabkan Al-Ghazali tidak sampai kepada tingkat mujtahid mutlak dalam
bidang ilmu fiqh.
Di bawah ini diuraikan salah satu contoh bahasan Al-Ghazali yang
menunjukkan beliau tidak meninggalkan ilmu fiqh didala Tasawufnya:

“Thaharah itu ada empat tingkatannya. Tingkatan yang pertama: kebersihan lahir
dari hadats dan najis. Tingakatan kedua: kebersihan anggota badan dari kejahatan-
kejahatan dan dosa. Tingakatan yang ketiga: kebersiahn hati dari ahklak-ahklak
yang tercela dan sikap-sikap rendah yang dibenci. Tingkatan keempat: kebersihan
sir (rahasia) dari yang selain Allah SWT. inilah kebersiahn para nabi dan
Shiddiqin.”

Dari contoh diatas jelas bahwa tingkatan pertama dan kedua masih dalam ruang
lingkup fiqh, tetapi tingakatan selanjutnya merupakan bahasan ilmu tasawuf. Al-
Ghazali menekankan tercapainya tingkatan keempat, setelah memulai tingkatan
pertama, kedua dan ketiga.

Di dalam imu fiqh gerak hati yang menjadi motivasi perbuatan seseorang adalah
penting sesuai dengan kaidah fiqh:

‫ال مور بمقا صد ها‬


“Segala macam hal itu
sesuai dengan niatnya”
Singkatnya hubungan antara ilmu fiqh dengan ilmu akhlak adalah seperti
bangunan dan isi serta hiasan bangunan tersebut.Jadi, ilmu Tauhid merupakan
pondasinya yang kokoh dan kuat, ilmu fiqh merupakan bangunannya yang megah,
dan ilmu Akhlak merupakan isi dan hiasannya yang indah.

5. Falsafah Hukum
Ilmu fiqh berkaitan erat dengan Falsafah Hukum, khususnya Falsafah Hukum
Islam yaitu : “Satu Falsafah tentang Syari’ah Islam yang membuahkan pengertian,
pengenalan, pengetahuan, dan penghayatan terhadap makna, kegunaan kaidah-kaidah
dan aturan-aturan syari’ah untuk mengatur kehidupan manusia sehingga
menggerakkannya untuk melaksanakan Syari’ah sebagai dasar di dalam
kebijaksanaan hidup.
Falsafah hukum Islam juga merupakan hakikat dan tujuan hukum Islam baik
yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya atau Falsafah yang
digunakan untuk memancarkan, menguatkan dan memelihara hukum Islam sehungga
sesuai dengan maksud dan tujuan Allah SWT menetapkan di muka bumi, yaitu untuk
kesejahteraan umat manusia seluruhnya.
Falsafah hukum Islam menjelaskan antara lain tentang rahasia-rahasia, makna,
hikmah serta nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu fiqh, sehingga kita
melaksanakan ketentuan-ketentuan Islam disertai dengan pengertian dan kesadaran
yang tinggi. Dengan kesadaran hukum masyarakat ini akan tercapai ketaatan dan
disiplin yang tinggi di dalam melaksanakan hukum dengan Falsafah hukum Islam
kita bisa membedakan mana hukum yang kekal dan tidak berubah-ubah sepanjang
waktu, yang mengarahkan kehidupan manusia seluruhnya, sehingga lenyap
ketidakpastian, serta mana yang mungkin berubah yang menjamin diperolehnya
kebebasan manusia yang bertanggung jawab di dalam hidupnya.
Seorang yang mempelajari ilmu fiqh bersamaan dengan mempelajari Filsafat
Hukum Islam, akan semakin memahami dimana letak ketinggian dan keindahan
ajaran Islam, sehingga menimbulkan rasa cinta yang mendalam kepada Sumber
Tertinggi Hukum yaitu Allah SWT., kepada sesama manusia, kepada alam dan
kepada lingkungannya dimana ia hidup.
Dengan memahami ushul fiqh, kaidah-kaidah fiqh dan maqasidu Syari’ah
sesungguhnya kita sudah mulai memasuki sebagian Falsafah Hukum Islam.

F. Pembidangan fiqh ( Fiqh ibadah, Jinayat dan Siyasah)


Telah menjadi suatu kewajiban kita sebagai Mukholakun(yang diciptakan) oleh
sang Khalik untuk beribdah kepadanya, dan pada dasar Alloh menciptakan
makhluknya semata-mata untuk beribadah kepadanya sebagai mana firmannya dalam
Q.S Adzariyat ayat 56.
‫ن‬ ‫س إ نلل ل ني يععب د د‬
‫دوُ ن‬ ‫ن يوُاَعل نن ع ي‬ ‫ت اَل ع ن‬
‫ج ل‬ ‫خل ي ع‬
‫ق د‬ ‫ماَ ي‬
‫وُي ي‬
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku. ( Q.S Adzariyat;56)
Belandaskan ayat di atas, jelas sekali bahwa manusia dalam hidupnya mengemban
amanah ibadah, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, alam serta
lingkungannya3[2]
Menurut ulama fiqih, ibadah adalah semua bentuk pekerjaan yang bertujuan
memperoleh keridlaan Allah Swt dan mendapatkan pahala darinya di akhirat.
Sedangkan menurut bahasa ibadah adalah patuh, tunduk, taat,mengikuti, dan doa.
Ibadah dalam arti taat diungkapkan dalam Al-Quran, antara lain dalam surat yasin
ayat 60
Artinya : “Bukankah aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya
kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata
bagi kamu”
Ibadah ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya ada lima macam, yaitu:
a. Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan(ucapan), seperti berdzikir, berdoa, tahmid,
dan membaca Al-Quran.
b. Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti: jihad,
menolong orang lain, membantu, dan tajhiz al- janazah(mengurus jenazah.
c. Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya, seperti:
shalat, puasa, zakat, dan haji.
d. Ibadah yang tata cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan diri seperti: puasa,
iktikaf, dan ihram.
e. Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah
melakukan kessalahan terhadapdirinya dan membebaskan seseorang yang berutang
kepadanya.
Ibnu Rusyd dalam kitabnya bidayatul Al-mujtahid mensistematisasikan bidang ilmu
fiqh yang meliputi:
1) Pembahasan Tharah,
Thaharah menurut bahasa berarti bersuci. Menurut syara’ atau istilah adalah
membersihkan diri, pakaian, tempat, dan benda-benda lain dari najis dan hadas
menurut cara-cara yang ditentukan oleh syariat islam.
Soal thaharah atau bersuci dan segala seluk beluknya termasuk bagian ilmu
yang paling penting, terutama karena syarat-syarat shalat telah ditetapkan bahwa
seseorang yang akan mengerjakan shalat bersuci dari hadas dan pula badan, pakaian,
dan tempatnya dari najis4[3]. Penulis menyimpulkan pembahsan tharah meliputi
tharah dari najis maupun dari hadas baik hadas kecil maupun hadas besar yaitu
dengan cara berwudhu’, mandi dan bertayamum serta membahas perangkat-

4
perangkat lainnya seperti macam-macam air, benda-benda yang termasuk najis,
istinja’, darah yang keluar dari Rahim perempuan, amal yang dilarang karena
hadas5[4].
2) Pembahasan Sholat
Secara etimologi shalat berarti do’a dan secara terminology atau istilah, para
ahli fiqih mengartikan secara lahir dan hakiki. Secara lahiriah shalat berarti beberapa
ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang
dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat – syarat yang telah ditentukan
(Sidi Gazalba,88)
Adapun secara hakikinya ialah “berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, secara
yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa
kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya” atau “mendahirkan hajat dan
keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan atau
dengan kedua – duanya” (Hasbi Asy-Syidiqi, 59)
Adapun pembahsan mengenai Sholat meliputi pembahasan sholat lima waktu
dan sholat-sholat sunnahnya, syarat sah sholat, rukun-rukun sholat, tata cara sholat,
serta hal-hal yang berhubungan dengan sholat, termasuk didalamnya sholat jenazah.
3) Pembahasan sekitar zakat.
Zakat (Bahasa Arab: ‫ زكاة‬transliterasi: Zakah) dalam segi istilah adalah harta
tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan
kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya).Zakat dari
segi bahasa berarti bersih,suci,subur,berkat dan berkembang.Menurut ketentuan yang
telah ditetapkan oleh syariat Islam.Adapun pembahsannya meliputi Tentang wajib
zakat, harta-harta yang wajib dizakati, nisab, haul, dan mustahik zakat, serta zakat
fitrah.
4) Pembahasan sekitar shiyam.
Shiyam atau Puasa menurut bahasa Arab artinya adalah menahan diri dan arti
yang lain adalah angin yang tidak bertiup. Shiyam itu menahan segala keinginan
yang zhahir ataupun yang bathin. Ketika melaksanakan shiyam, kita menahan makan
secara zhahir, maka kita juga harus menahan membayangkan makanan di dalam
bathin. Ketika melaksanakan shiyam kita menahan pandangan untuk melihat hal-hal
zhahir yang dilarang, maka kita pun harus mampu menahan hati untuk
membayangkannya di dalam bathin. Shiyam adalah suatu proses latihan
pengendalian diri untuk mengoptimalkan penjagaan hati supaya lebih mengerti nilai
suatu kehidupan dan supaya lebih dekat kepada Allah.
Adapun pembahsan mengenai Shiyam yaitu klasifikasi Puasa wajib dan
Sunnah, rukun-rukunnya dan hal-hal yang terkait sekitar shiyam.
5) Pembahasan tentang I’tikaf
I’tikaf berasal dari Bahasa arab yang berarti menetap, mengurung diri atau
terhalangi. Pengertiannya dalam konteks ibadah dalam Islam adalah berdiam diri di
dalam masjid dalam rangka untuk mencari keridhaan Allah SWT dan bermuhasabah
(introspeksi) atas perbuatan-perbuatannya. Orang yang sedang beriktikaf disebut juga
mutakif.6[5]

6
Pembasahan tentang I’tikaf meliputi cara dan susila tentang ber-I’tikaf.
6) Pembahasan tentang Ibadah Haji.
Haji adalah salah satu rukun Islam yang lima. Menunaikan ibadah haji adalah
bentuk ritual tahunan bagi kaum muslim yang mampu secara material, fisik, maupun
keilmuan dengan berkunjung ke beberapa tempat di Arab Saudi dan melaksanakan
beberapa kegiatan pada satu waktu yang telah ditentukan yaitu pada bulan
Dzulhijjah.7
Dalam pembahsannya membicarakan tentang hukum dan syarat-syarat haji,
perbuatan yang dilakukan dan yang ditinggalkan saat melakukan ibadah haji dan hal-
hal yang berhubungan denggan ibadah haji.
7) Pembahasan sekitar jihad. Membicarakan tentang hukumnya, cara-carnya, syarat-
syaratnya, tentang harta ghanimah, fay’, dan jizyah.
8) Pembahsan tentang sumpah, tata cara sumpah, macammacam sumpah dan kifarah
sumpah.
9) Pembahasan nazar, macam macam nazar dan akibat hukum nazar.
10) Pembahasan tentang kurban. Hukumnya, macamnya binatang untuk kurban, umur
binatan untuk dikurbankan, dan jumlahnya sertahukumnya tentang daging kurban.
11) Pembahasan sembelihan.
12) Pembahsan tentang berburu.
13) Pembahsan tentang makanan dan minuman.
Dalam pandangannya para ulama memiliki pendapat berbeda-beda dalam
mensistematisasikan fiqh ibadah, adakalanya pembahasan tentang jihad termasuk
dalam bidang jinayah, atau termasuk dalam bidang mu’amlah. Ketidaksamaan
penyusunan sitematika antara lain disebabkan perbedaan tinjauan dan penekanan
terhadap masalah tertentu8[7]. Namun kebanyakan para ulama mensistematisasikan
bidang fiqh ibadah, masalah tharah, shalat, shiyam, shiyam, haji, itikaf, nazar,
kurban, sembelihan, a’qidah, berburu dan makanan.

c. Bidang Fiqh Jinayah atau Al-Ahkam Al-Jinayah


Fiqh Jinayah adalah Fiqh yang mengatur cara-cara menjaga dan melindungi Hak
Allah. Hak Masyarakat dan Hak individu dari tindakan-tindakan yang tidak
dibenarkan menurut hukum.9
Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinahah
merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi jana
berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau
perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian,
seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan
yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau
lainnya.
Dalam asas-asas hukum islam dibicarakan tentang pentingnya hukum pidana
(jarimah) macam-macam jarimah, unsur-unsur jarimah yang meliputi aturan pidana,
7 Sulaiman rasjid, fiqh islam, (Bandung:sinar baru algensindo, 2014)cet.69 hlm.247
8

9 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007), hlm. 7


perbuatan pidana dan pelaku pidana. Kemudian dibahas tentang sumber-sumber
aturan pidana dan lingkungan berlakunya aturan pidana. Percobaan melakukan tindak
pidana, turutberbuat dalam tindak pidana, pertanggung jawaban, pidana hukuman,
dan sebab-sebab terhapusnya hukuman.
Adapun materi fiqh jinayah meliputi pembunuhan sengaja, semi sengaja dan
kesalahan disertai dengan rukun dan syaratnya. Sanksi pembunuhan, kemudian
dibahas tentang penganiayaaan sengaja dan penganiayaan tidak sengaja,
pembuktiannya, pelaksanaan hukuman, hapusnya hukuman zina.
e. Bidang Fiqh Siyasah
Fiqh siyasah membahas tentang hubungan antara seseorang pemimpin dengan yang
dipimpinnya atau antara lembaga-lembaga kekuasaan di dalam masyarakat dengan
rakyatnya. Oleh karena itu pembahasan Fiqh siyasah ini luas sekali, yang meliputi
antara lain soal: hak dan kewajiban Imam, bai’ah, wuzarah ahl-halli wal-aqdi, hak
dan kewajiban rakyat, kekuasaan peradilan, pengaturan orang-orang yang pergi haji,
kekuasaan yang berhubungan dengan pengaturan ekonomi, fai, ghanimah, jizyah,
kharaj, baitulmal, hubungan muslim dan non-muslim dalam aqad, hubungan muslim
dan non-muslim dalam kasus-kasus pidana, hubungan Internasional dalam keadan
perang dan damai, perjanjian internasional, penyerahan penjahat, perwakilan-
perwakilan asing serta tamu-tamu asing.

G. Sumber-sumber fiqh islam (Al-qur’an dan hadist sebagai sumber hukum)

A. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah nama bagi kitab suci umat Islam yang berfungsi sebagai
petunjuk hidup (hidayah) bagi seluruh umat manusia. Al-Qur’an diwahyukan
olah Allah kepada Nabi Muhamad SAW. setelah beliau genap berumur 40 tahun.
Al-Qur’an diturunkan kepada beliau secara berangsur-angsur selama 23 tahun.10
Secara etimologi, Al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan
atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-
dlammu). Huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara
teratur dikatakan al-Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan
intisari dari ilmu pengetahuan.
Sedangkan secara terminologi, Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai Rasul terakhir melalui
perantara malaikat Jibril, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan

10Mukadimah Al-Qur’an dan tafsirnya, (Jakarta: LP Al-Qur’an Departemen Agama, 2009),


hlm.6.
surat an-Naas.11 Sedangkan menurut para ulama, Alquran adalah Kalamullah
yang diturunkan pada Rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan
diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
B. Hadist/Sunnah
Ditinjau dari segi bahasa terdapat perbedaan arti antara kata “Sunnah”
dengan “Hadis”. Sunnah berarti tata cara, tradisi, atau perjalanan, sedangkan
Hadis berarti, ucapan atau pernyataan atau sesuatu yang baru. As-Sunnah juga
berarti pula jalan hidup yang dibiasakan, baik jalan hidup yang baik atau buruk,
terpuji atau tercela.12 Jumhurul Ulama mengartikan Al-Hadis, Al-Sunnah, Al-
Khabar dan Al-Atsar sama saja, tetapi ada sebagian lainya yang membedakannya.
Sunnah diartikan sebagai sesuatu yang dibiasakan atau lebih banyak dikerjakan
dari pada ditinggalkan. Sebaliknya, Hadis adalah sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi, namun jarang dikerjakan. Selanjutnya Khabar adalah ucapan,
perbuatan, dan ketetapan yang berasal dari sahabat, dan Atsar berasal dari
tabi’in.13
C. Ijtihad /Ijma’
1. Pengertian
Ijma’ menurut ulama ushul fiqih adalah kesepakatan
semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya
Rasulullah.atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
Namun, ada beberapa ulama ushul berbeda pendapat dalam
mendefinisikan ijma’ menurut istilah, diantaranya:14
a. Pengarang kitab Fushulul Bada’i berpendapat bahwa ijma’
itu adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat
Muhammad Saw, dalam sustu masa setelah beliau wafat
terhadap hukum syara’.

11Rois Mahfud, Al-Islam (Pendidikan Agama Islam), (Erlangga, 2011), hlm.108.


12Musthafa Al-Siba’i, Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991), hlm.1.
13Khaer Suryaman, Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif
Hidayatullah, 1982), hlm.31.
14Wahhab, Khallaf Abdul. Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Aman, 2003). hlm. 45
b. Pengarang kitab Tahrir, Al Kamal bin Hammam
berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid
suatu masa dari ijma’ MuhammadSaw, terhadap masalah
syara’.

H. Ijtihad (Defenisi, macam-macam dan implementasinya)

Pengertian ijtihad

Ijtihad menurut bahasa adalah bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran.


sedangkan menurut istilah syara’ ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemmpuan dan
pikiran dengan sungguh-sungguh dalam menetapkan hukum syariat dengan cara-cara
tertentu. Ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-qur’an dan hadis,
yang berfungsi untuk menetapkan suatu hukum apabila hukum tersebut tidak
dibahas didalam Al-Qur’an dan hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan yang matang. orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid.
Orang yang melakukan ijtihad (mujtahid) harus benar-benar orang yang taat dan
memahami betul isi Al-Qur’an dan hadis. Berikut syarat-syarat menjadi seorang
mujtahid

Macam-Macam Ijtihad

1) Ijma'
Ijma’ ialah kesepakatan hukum yang diambil dari fatwa atau musyawarah para
Ulama tentang suatu perkara yang tidak ditemukan hukumnya didalam Al qur'an
ataupun hadis . Tetapi rujukannya pasti ada didalam Al-qur’an dan hadis. ijma’ pada
masa sekarang itu diambil dari keputusan-keputusan ulama islam seperti MUI.
Contohnya hukum mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu adalah haram, karena dapat
memabukkan dan berbahaya bagi tubuh serta merusak pikiran.
2) Qiyas

Qiyas adalah menyamakan yaitu menetapkan suatu hukum dalam suatu perkara baru
yang belum pernah masa sebelumnya namun memiliki kesamaan seperti sebab,
manfaat, bahaya atau berbagai aspek dalam perkara sebelumnya sehingga dihukumi
sama. Contohnya seperti pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan “ah”
kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan dan menghina,
sedangkan memukul orang tua tidak disebutkan. Jadi diqiyaskan oleh para ulama
bahwa hukum memukul dan memarahi orang tua sama dengan hukum mengatakan
Ah yaitu sama-sama menyakiti hati orang tua dan sama-sama berdausa.

3) Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah ialah suatu cara menetapkan hukum berdasarkan atas
pertimbangan kegunaan dan manfaatnya. Contohnya: di dalam Al Quran ataupun
Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al
Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.

4) Saddu adzari’ah

Saddu adzari’ah adalah memutuskan suatu perkara yang mubah makruh atau haram
demi kepentingan umat.

5) Istishab

istishab adalah tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan sampai ada alasan yang
mengubahnya. Contohnya: seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu
ataupun belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang/ yakin kepada keadaan
sebelum ia berwudhu’, sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah
bila tidak berwudhu.

6) ‘Uruf

‘Uruf yaitu suatu tindakan dalam menentukan suatu perkara berdasarkan adat
istiadat yang berlaku dimasayarakat dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan
hadis. Contohnya : dalam hal jual beli. sipembeli menyerahkan uang sebagai
pembayaran atas barang yang ia beli dengan tidak mengadakan ijab Kabul, karena
harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.

7) Istihsan

Istihsan yaitu suatu tindakan dengan meninggalkan satu hukum kepada hukum
lainnya, disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk
meninggalkannya. Contohnya: didalam syara’, kita dilarang untuk mengadakan jual
beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syara’
memberikan rukhsah yaitu kemudahan atau keringanan, bahwa jual beli
diperbolehkan dengan sistem pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim
kemudian.

Implementasi Ijtihad

Penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal, Para ulama berkumpul untuk berdiskusi


mengeluarkan pendapatnya untuk menentukan awal Ramadhan dan penentuan 1
syawal. Setiap ulama memiliki dasar hukum dan cara dalam penghitungannya, jika
telah ditemukan maka muncullah kesepakatan dalam penentuan 1 ramadhan dan 1
Syawal.
I. Ijma dan Qiyas sebagai metode ijtihad

1) Ijma'
Ijma’ ialah kesepakatan hukum yang diambil dari fatwa atau musyawarah para
Ulama tentang suatu perkara yang tidak ditemukan hukumnya didalam Al qur'an
ataupun hadis . Tetapi rujukannya pasti ada didalam Al-qur’an dan hadis. ijma’ pada
masa sekarang itu diambil dari keputusan-keputusan ulama islam seperti MUI.
Contohnya hukum mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu adalah haram, karena dapat
memabukkan dan berbahaya bagi tubuh serta merusak pikiran.
2) Qiyas

Qiyas adalah menyamakan yaitu menetapkan suatu hukum dalam suatu perkara baru
yang belum pernah masa sebelumnya namun memiliki kesamaan seperti sebab,
manfaat, bahaya atau berbagai aspek dalam perkara sebelumnya sehingga dihukumi
sama. Contohnya seperti pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan “ah”
kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan dan menghina,
sedangkan memukul orang tua tidak disebutkan. Jadi diqiyaskan oleh para ulama
bahwa hukum memukul dan memarahi orang tua sama dengan hukum mengatakan
Ah yaitu sama-sama menyakiti hati orang tua dan sama-sama berdausa.

J. Hukum syara (Hukum taklifi dan hukum wadhi)

A. Hukum Taklifi
Hukum taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian
bebansedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan dan
tuntutan. Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai perbuatan
seorang mukallaf(balig dan berakal sehat). Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi
menuntut seorang mukallaf untuk melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan
secara pasti. misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-
Baqarah, 2:110. Artinya: ”Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.”(Q.S. Al-
Baqarah,2:110) Tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan suatu perbuatan, misalnya
firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’, 17:33. Artinya: ”Dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan
sesuatu alasan yang benar.”(Q.S. Al-Isra’,17:33) Tuntutan Allah SWT mengandung
pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya,
Dengan demikian, taklifi dibagi menjadi lima macam, yaitu
1. Wajib ( Tuntutan untuk memperbuat secara pasti )
Yaitu tuntutan untuk memperbuat secara passti dengan arti harus di perbuat
sehingga orang yang memperbuat patut mendapat ganjaran, dan orang yang
meninggalkan patut mendapat ancaman ALLAH SWT . contohnya sholat, puasa
ramadhan , dan sebagainya .

a. Pembagian wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaan.


- Wajib muthlaq
Yaitu kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila
waktu pelaksanaannya ditunda sampai ia mampu melaksanakannya.
Contohnya wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh
syara’

- Wajib muaqqad
Yaitu apabila di mintta oleh syar’i memperbuatnya dengan passti , tidak jelas
waktunya untuk melakukannya . seperti kifarat yang di wajibkan bagi orang yang
bersumpah dan yang melanggar sumpah . untuk berbuat ini tidak di jelaskan
waktunya dan orang yang melanggar sumpah yang di langgar . seperti haji, wajib
bagi yang sanggup , kewajiban hajinya tidak dikerjakan secara detail . dan ada
sebagian ulama yang berpendapat bahwa muthlaq ( bebas ) yang pelaksanaanya tidak
di batasi oleh waktu tertentu , sehingga seandainya di laksanakan oleh waktu tertentu
sehingga seandainya dilaksanakan sampai batas akhir masa kemampuan untul
melaksanakan tidak dosa . seperti mangadakan puasa ramadhan bagi orang yang
tidak berpuasa lantaran ada “ udzur “
Wajib ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Wajib muwassa’
Yaitu ialah pekerjaan wajib yang diluaskan waktunya yakni waktunya lebih luas
daripada waktu mengerjakannya, contohnya waktu shalat lima waktu, shalat isya dari
petang sampai subuh.
2. Wajib mudhayyaq (yang disempitkan) atau mi’yar
Yaitu pekerjaan yang disempitkan waktunya tidak melebihi kadar pekerjaan.
Contohnya puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit
fajar sampai maghrib. Contoh lain adalah akhir waktu sholat . dalam wajib ini
kewajiban harus segera dilakukan waktu itu juga .
3. Wajib dzu syahnaini
Yaitu kewajiban yang pelaksanaan nya dalam waktu tertentu dan waktunya
mengandung dua sifat di atas yaitu muwassa’ dan mudhayyaq.yaitu waktu mulainya
sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya ibadah haji.
Misalnya waktu haji itu ckup lapang dan sesorang bisa melaksanakan beberapa
amalan haji pada waktu itu berkali – kali , tetapi yang di perhitungkan syara’ hanya
satu amalan saja . oarang itu bisa berulang – ulang melakssanankan amalan haji ,
tetapi amalan yang beruang itu tidaklah diperhitungkan syara’ sebagai suatu
kewajiban . akan tetapi ulama ‘ syfi’iyah berpendapat bahwa waktu untuk beribadah
haji , termaksud dalam waktu wajib almutlaq , karena seseorang boleh melaksanakan
ibadah haji kaoan saja ia mau selama hidupnya
b. Pembagian wajib dari segi pelaksana.
- Wajib ‘ain
Yaitu sesuatu yang mesti atau harus dikerjakan oleh setiap mukallaf sendiri , seperti
sholat yang lima waktu , puasa dan sebagainya .
- Wajib kifayah
Yaitu sesuatu yang telah di anggap cukup apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari
orang – orang mukallaf . dan berdosalah seluruh jika tidak sesorang pun dari mereka
mengerjakannya, seperti menyolatkan dan menguburkan jenazah.
c. Pembagian wajib dari segi kadar yang dituntut.
- Wajib muhaddad
Yaitu sesuatu dinyatakan oleh pembuat hukum kewajibannya kadar yang ditentukan ,
dengan arti bahwa mukallaf belum terlepas dari tanggungnya terkecuali bila ia telah
melaksanakan sesuai dengan jumlah yang telah di tentukan pembuat hukum syar’i
seperti zakat yang di tentukan adalah zakat fitrah . kewajiban zakat harta atau zakat
fitrah telah di kadarnya , dalam arti jika telah terpenuhi syarat – syarat wajib ,
seseorang harus melaksanakan menurut ukuran yang telah di tentukan . ia belum di
anggap melaksanakan kewajiban menurut ukuran yang di tentukan . ia belum di
anggap melaksanakan kewajiban kecuali kadar yang sudah di tentukan telah di
laksanakan.
- Wajib ghairu muhaddad
Yaitu sesuatu kewajiban yang pelaksanaanya tidak di tentukan ukuran pembuat
hukum ( syar’i ) seperti untuk kerabat . nafkah kerabat ini termaksuk kewajiban yang
tidak di tentukkan ukuran kaddarnya untuk diberikan pada kerabat tersebut . cintoh
lain kewajiab menafkahi istri , sebagian ulama berpendapat bahwa nafkah nafkah
istri terhadap suaminya termaksud wajib muhaddad, walaupun mereka berbeda
pendapat dalam menetapkan kadar yang diberikan ada yang mengatakan bahwa
nafkah itu diberikan kepadda istri , semampu suami memberikan kepadda istri.
Selain pendapat itu ada sebagian ulama yang menyebutlan bahwa padda dasanya
memberi nafkah kepadda istri merupakan wajib ghairu muhadda , kemudian baru ia
menjaddi wajib muhaddad.

d. Pembagian wajib dari segi bentuk perbuatan yang dituntut.


- Wajib mu’ayyan ( kewajiban tertentu )
Yaitu apa ada yang dituntut oleh pembuat hukum sesuai perbuatan yang sudah
tertentu artinya subjek hukum baru dinyatakan telah menunaikan tuntuaan bila
sesuatu yang ditentukan itu telah dilaksanakanya dan tidak ada pilihan untuk pilihan
lainya contohnya adalah membayar hutang yang ahrus dibayar kepada orang yang
dihutanginya atau contoh kedua adalah membaca alfatia dalam sholat.
- Wajib mukhayyar
Yaitu sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum untuk dilaksanakan dengan
memilih salah satu diantara hal yang telah ditentukan, artinya tanggung jawab dari
yang dituntu baru dinyatakan telah terlaksana bila ia telah melakukan satu piliha dari
beberapa kemungkinan yang di tentukan contohnya pilihan diantaraa dua hal adalah
pilihan pembahassan tawaran dan uang tebusan.sebagaiman telah di tengan oleh
Allah SWT dalam ayat Qs. Muhammad : 4 .

2. Sunah ( Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti )


Sunah atau mandub dalam fiqh merupakan tuntuan untuk memperbuatkan
secara tidak pasti dengan arti perbuatan itu dituntut untuk dilakssanakan . terhaddap
yang melaksanakan berhak mendapatkan ganjaran akan kepatuhannya , tetapu bila
tuntutan tersebut tidak dilakukan atau ditinggalkan maka tidak apa –apa . oleh karena
itu yang meninggalkan itu tidak patut mendapat ancaman doa. Tuntutan seperti ini
disebut “Nabd” pengatuh tuntuan terhadap perbuatan disebut Nabd juga sedangkan
perbuatan yang dituntu disebut dengan “Mandub” seperti memberi sumbagan kepanti
jompo , shodaqah , berpuasa senin kamis dal lain – lain. Secara bahasa mandub
adalah sseruan untuk sesuatu yang penting . adapun dalam artian definisi yaitu
sesuatu yang di tuntut memperbuatnya secara hukum syari’i tanpa celaan terhadap
orang yang meninggalkan secara mutlhaq.
Mandub(sunah) dibagi menjadi:
- Dari segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan sunah tersebut.sunah dibagi 2
a. Sunah muakkadah
Yaitu perbuatan yang selalu dilakukan oleh nabi disamping adda keteranga yang
menunjukan bahwa perbuatan ini bukanlah sesuatu yang fardu . misalnya sholat
witir, dua rokaa’at fajar sebelum sholat shubuh. Sebagian ulama menyatakan bahwa
orang yang meninggalkan dicela , tetapi tidak berdosa karena yang meninggalkan
secara sengaja berati menyalahi sunah yang biasa dilakukan nabi.
b. Sunah ghairu muakkadah
Yaitu sunnah yang dilakukan oleh nabi tetapi tidak melazimkan dirinya untuk berbuat
demikain seperti sholat sunah 4 rakaat sebelum dsuhur dan sebelum ashar . adda
yang mengartikan bahwa sunah ini tidak dikerjakan oleh rasul secara kontinyu.
- Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, sunah terbagi dua, yaitu
a. Sunah hadyu
Yaitu perbuatan yang di tuntut untuk melakukan karena begitu besar faedah yang
didapt darinya dan orang yang meninggalkan dinyataka sesat dan tercela, bahan bila
satu kelompok kaum sengaja meninggalkan secara terus menerus, maka kelompok
ini harus diperangi . sunah ddalam bentuk ini merupakan kelengkapan dari kewajiban
keagamaan seperti adzan , sholat jamaan , sholat hari raya . jika di katagorikan sunah
ini termaksud kepadda sunaan hari raya. Jika dikatagorika ini termaksud sunah
muakkad karena besar pahalanya
b. Sunah zaidah
Yaitu sunah yang apabila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik tetapi bila
ditinggalkan, yang meninggalkan tidak mendapat dosa, seperti cara cara yang biasa
dilakukan oleh nabi dalam kehidupan sehari – hari. Sunah zaidah ini ditempatkannya
addalah dibawah derajat sunag ghairul muakkad.
c. Sunah nafal
Yaitu sesuatu perbuatan yang ddituntun sebagai tambahan bagi perbuatam wajib ,
seperti shat sunah 2 rakaat yang mengitingi shoalt wajib , sholat tahajud , dan lainya
dalam istilahnya disebut sunah ghairul muakkad.

3. Haram ( Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti )


Haram secara bahasa berarti sesutau yang lebih banyak kerusakannya.kadang
kadang digunakan dalam arti larangan..dalam istilah hukum haram adalah sesuatu
yang dituntut syar’i(pembuat hukum)untuk tidak memeprbuatnya secara tuntutan
yang pasti.sedangkan istilah haram menurut pendapat ulama jumhur yang
mengartikan haram yaitu larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan,baik
ditetapkan dengan dalil yang qathi maupun dalil zhanni.Menurut mereka dalil dalil
zhanni itu dapat dijadikan argumentasi dalam amal perbuatan.
Sedangkan menurut madzhab hanafi ,hukum haram harus didasarkan pada
dalil qathi yang tidak mengandung keraguan sedikitpun.sehingga kita tidak
mempermudah dalam menetapkan hukum haram,sebgaimna Q.s an-nahl ayat
116.Sedangkan abu hanifah,abu yusuf dan muhamad malah menyebutnya makruh
saja,agar tidak dikatakan haram.
Contoh dari hukum haram yaitu makan bangkai kecuali bangkai ikan,minum
khamr,berzina,membunuh seorang yang diharamkan Allah tanpa ada hak.

Atas dasar tersebut hukum haram ini terbagi menjadi dua yaitu :
- Haram li-dzatih
yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah karena bahaya tersebut terdapat dalam
perbuatan itu sendiri.seperti makan bangkai, minum khamr, berzina,mencuri yang
bahayanya berhubungan langsung dengan lima hal yang harus dijaga yatu
badan,keturunan,harta benda,akal dan agama.Perbuatan yang diharamkan li-dzatihh
adalah bersentuhanlangsung dengan salah satu dari lima tersebut.
- Haram lighairi’aridhi
yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’,dimana adanya larangan tersebut bukan
terletak pada perbuatan itu sendiri,tetapi perbuatan tersebut dapat menimbulkan
haram li’dzatih.seperti jual beli barang secar riba diharamkan karena dapat
menimbulkan riba yang diharamkan karena dzatiyahnya sendiri.contoh laim membeli
barang yag sudah ditawar oleh orang
Perbedaan antar haram lidzatih dengan lighairih adalah bahwa haram lidzatihi tidak
diperbolehkan sama sekali,kecuali dalam keadaan darurat(terpaksa).alasannya karena
haram lidzatih adalah langsung berhubungan dengan hal hal yang sangat
vital,sehingga keharaman tersebut tidakk dapatdihilangkan,kecuali oleh sebab vital
juga.jika meminum khamr diharakan karena merusak akal fikiran.maka khamr
tersebut tidak boleh kecuali orang yang bersangkutan dikhawatirkan akan mati
lantaran dahaga.jadi dharurat yang memeperbolehkan perbuatan yang diharamkan
adalah karena dharurat tersebut langsung berhubungan dengan masalah yang amat
vital.sedangkan haram lighairih boleh dikerjakan bila ada hajat,meskipun tidak
sampai tingkat darurat (terpaksa).alasannya tidak berhubungan langsung dengan
masalah yang vital.karena itu,bagi seorang dokter yang akan mendiagnose untuk
memberikan terapai pada pasien perempuan, diperbolehkan melihat auratnya apabila
untuk memberikan terapi tersebut memang mengharuskan melihat auratnya.(zahrah
abu,2011:54)

4. Makruh ( Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti )


Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secar tidak pasti dengan arti
masih mungkin ia tidak meninggalkan larangan itu.Orang yang
meninggalkanlarangan berarti ia telah mematuhi yang melarang.Karenanya ia patut
mendapat ganjaran pahala Tetapi karena tidak pastinyalarangan ini,maka yang tidak
meninggalkan larangan tidak mungkin disebut menyalahi yang melarang.Karenanya
ia tidak berhak mendapat ancaman dosa ,larangan dalam bentuk ini disebut
karahah.Pengaruh larangan tidak pasti terhadap perbuatan yang dilarang secar tidak
pasti disebut makruh.seperti merokok

Makruh dibagi menjadi 2 :


- Makruh tahrim
Yaitu larangan yang pasti yang didasarkan pada dalil dzanni yang masih mengandung
keraguan,seprti memakai sutera,cincin dari emas dan perak bagi kaum laki
laki,poligami bagi orang yang khawatir tidak dapat berbuat adil.makruh ahrim ini
merupakan lawan dari hukum wajib.
- Makruh tanzih
Yaitu suatu larangan syara’ terhadap suatu perbuatan,tetapi larangan tersebut tidak
bersifat pasti,lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan atas haramnya perbuatan
tersebut.makruh tanzih ini merupakan lawa dari hukum mandub sunat.Menueurt
jumhur ulama ,pelaku yang berbuat makruh ini tidak dicela ,sedangkan orang yang
meninggalkannya adalah terpuji.menurut pendapat hanafi,pelaku makruh tahrim
tergolong tercela,sedangkan pelaku makruh tanzih tidak,dan orang yag meninggalkan
kedua macammakruh tersebut adalah terpuji.

Catatan untuk perkara yang mubah :


- Jangan berlebihan
- Jangan membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau
tanpa ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana kemaslahatan
yang lain.
- Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
5. Mubah ( Sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara
mengerjakan atau meninggalkan )
Jadi, disini tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. hal
ini tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang. Hukum dalam bentuk ini disebut
“ibahah” sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu
disebut “mubah”.
Contohnya: melakukan perburuan setelah melakukan tahallul dalam ibadah haji, dll.

B. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i merupakan perintah Allah yang berbentuk ketentuan yang
ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur pebuatan mukallaf, tetapi berkaitan
dengan perbuatan mukallaf itu, dengan kata lain Hukum wad’i adalah hukum yang
menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat
bagi sesuatu yang lain. Bisa juga diartikan hukum wadh’i adalah hukum yang
menjelaskan hukum taklifi atau yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi
Hukum wadh’i terbagi kedalam beberapa macam, yaitu:

1. Sebab
Sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai alasan bagi
ada dan tidak adanya hukum. Seperti masuknya bulan ramadhan menjadi tanda
datangnya bulan ramadhan,dan kewajiban puasa harus dijalankan setiap umat
muslim. Atau keadaan dalam perjalanan menjadi sabab bolehnya mengqashar
shalat.Perjalan dijadikan sebagai sabab bolehnya mengqashar shalat.
Adanya sesuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu
melazimkan tidak adanya hukum

Ulama membagi sebab ini kepada dua bagian yaitu sebagai berikut:
- Sebab yang diluar kemampuan mukalaf.
Misalnya, kedaan terpaksa menjadi sebab bolehnya memakan bangkai dan tergelincir
atau tenggelamnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat. Sebagaimana firman
alloh swt.
Artinya:” Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam
(dan dirikanlah sholat) subuh, sesungguhnya sholat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).(Qs. Al-isra: 78).
- Sebab yang berada dalam kesanggupan mukalaf.
Sebab ini dibagi dua, yaitu sebagai berikut:
a. Hukum taklifi, seperti menyaksikan bulan menjadikan sebab wajib melaksanakan
puasa, di dalam firman alloh SWT.
Artinya: ”Bulan ramadan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan
alquran,sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara yang benar dan batil). Karena itu, barang siapa di antara
kamu ada dibulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam
perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan mengagungkan Allah atau petunjuk-NYA yang diberikan kepadamu,
agar kamu bersyukur.”( Q.s Al-Baqarah : 185).
b. Hukum wad’i, seperti perkawinan menjadi sebabnya hak warisan antara suami istri
dan menjadi sebab haramnya mengawini mertua, dan lain sebagainya.

2. Syarat
Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat ialah sesuatu yang dijadikan
syar’i (Hukum Islam), sebagai pelengkap terhadap perintah syar’i, tidak sah
pelaksanaan suatu perintah syar’i, kecuali dengan adanya syarat tersebut. Atau
sesuatu yang menyebabkan ketiadaan hukum ketika ketiadaannya. Namun, tidak
semestinya wujud hukum ketika kewujudannya.
Syarat berada di luar hukum tetapi ia memainkan peranan yang sangat
penting dalam mempengaruhi sesuatu hukum itu
Misalnya:
- Sampainya nisab pada harta menjadi syarat bagi adanya kewajiban zakat
- Adanya perbuatan wudhu’ menjadi syarat adanya perbuatan shalat
Pembagian syarat ada tiga macam, yaitu;
- Syarat ‘aqli
seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui. Adanya pahammenjadi
syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.
- Syarat ‘adli
artinya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku, seperti bersentuhnya api dengan
barang yang dapat terbakar menjadi syarat berlangsungnya kebakaran
- Syarat syar’i
3. Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah suatu keadaan atau peristiwa yang ditetapkan syar’i
menjadi penghalang bagi adanya hukum atau membatalkan hukum. Selain itu,
mani juga disebut tegahan atau halangan yang menyebabkan sesuatu hukum
itu tidak dapat dilaksanakan. Ini bermakna, apabila syarat dan sebab
terjadinya hukum taklifi sudah ada, ia masih lagi belum berlaku sekiranya ada
mani'.

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa mani’ itu terbagi kepada dua
macam:
- Mani’ terdapat hukum.
Misalnya perbedaan agama antara pewaris dengan yang akan diwarisi adalah mani’
(penghalang) hukum pusaka-mempusakai sekalipun sebab untuk saling mempusakai
sudah ada, yaitu perkawinan. Begitu juga najis yang terdapat di tubuh atau di pakaian
orang yang sedang shalat. Dalam contoh ini tidak terdapat salah satu syarat syah
shalat, yaitu suci dari najis. Oleh sebab itu, tidak ada hukum sahnya shalat. Hal ini
disebut mani’ hukum
- Mani’ terhadap sebab hukum
Misalnya,seseorang yang memiliki harta senisab wajib mengeluarkan zakatnya.
Namun, karena ia mempunyai hutang yang jumlahnya sampai mengurangi nisab
zakat ia tidak wajib membayar zakat, karena harta miliknya tidak cukup senisab lagi.
Memiliki harta senisab itu adalah menjadi sebab adanya hukum wajib zakat. Dengan
demikian, mani’ dalam contoh ini adalah menghalangi sebab hukum zakat. Hal ini
disebut mani’ sebab.”

4. Akibat
Termasuk juga kedalam pembahasan hukum wadh’i, hal hal yang menjadi
akibat dari pelaksanaan hukum taklifi. dalam hubungannya dengan hukum wadh’i
yaitu:

- Shah , yaitu akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya
sebab, sudah terpenuhi semua syarat syarat yang ditentukan, dan telah terhindar dari
semua mani’.
Misalnya;
Shalat dzuhur yang dilakukan setelah tergelincirnya matahari, dan dilakukan oleh
orang yang telah berwudhu’ serta orang yang tidak dalam keadaan haidh (berhadast)
- Bathal , yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau
syarat, atau terpenuhi kedua duanya,akan tetapi ada mani’ yang menghalanginya.
Misalnya:
Shalat maghrib sebelum tergelincirnya matahari, atau tidak berwudhu’, atau sudah
keduanya, akan tetapi dilakukan oleh wanita berhaidh.

5. Azimah dan Rukhsah


Rukhsah adalah ketentuan yang disyariatkan allah sebagai keringanan
(dispensasi) terhadap mukalaf karena ada hal-hal khusus. Contohnya jamak dan
qosor salat karena sedang dalam perjalanan jauh.

Macam-macam rukhsah adalah sebagai berikut:


- Diperbolehkannya yang haram karena dalm keadaan darurat. Contohnya
diperbolehkannya memakan bangkai dalam keadaan kelaparan.
- Boleh meninggalkan kewajiban karena ada uzur. Misalnya tidak puasa karena dalam
perjalanan jauh atau sakit.
- Mengubah syariat lama dengan syariat baru. Contoh bertaubat dari dosa (tobat
nasuha) sebagai pengganti bunuh diri yang berlaku pada syariat Nabi Musa a.s.,
mencuci pakaian dengan air untuk menghilangkan najis sebagai pengganti dari
memotong/ merobek pakaian untuk menghilangkan najis pada syariat Nabi Musa a.s.

Azimah adalah syariat asal yang berlaku umum. Syariat ini berlaku disaat
normal tidak ada uzur,darurat, dan mampu dilakukan mukalaf.
Contohnya dalam pernikahan jika akad nikah diucapkan oleh si laki laki
secara sempurna,lantang dan lancar tidak ada jeda maka sah dia dalam
mengucapkannya sehingga sah dalam prosesi pernahan itu,dan jika sebaliknya maka
akan batal dan harus mengulang lagi.

K. Mazhab-mazhab dalam fiqh ( Mazhab hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali)

L. a. Madzhab Hanafi
M. Pendiri madzhab Hanafi ialah: Nu'man bin Tsabit bin Zautha. Dilahirkan pada
masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H
bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi'i R.A. Beliau lebih dikenal dengan
sebutan: Abu Hanifah An Nu'man.
Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh
beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua
hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama Tabi'in, seperti Atha bin Abi
Rabah dan Nafi' Maula Ibnu Umar.
Mazhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi
mazhab Hanafi adalah nama dari kumpulan-kumpulan pendapat-pendapat
yang berasal dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-
pendapat yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan
perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya
adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama-ulama Irak (Ahlu Ra'yi).
Maka disebut juga mazhab Ahlur Ra'yi masa Tsabi'it Tabi'in.
b. Madzhab Maliki
Madzhab Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam
Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia.
Nama lengkap dari pendiri madzhab ini ialah: Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun
93 M = 712 M di Madinah. Selanjutnya dalam kalangan umat Islam beliau lebih dikenal
dengan sebutan Imam Malik. Imam Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadis
Rasulullah SAW.
Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah
Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi' Maula Ibnu Umar dan Ibnu
Syihab Az Zuhri.
Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi'ah bin Abdur Rahman. Imam
Malik adalah imam (tokoh) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.

c. Madzhab Syafi’i
Mazhab ini dibangun oleh Al-Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi'i seorang keturunan
Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf. Beliau lahir di Gaza (Palestina) tahun 150 H
bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi Mazhab yang pertama.

Guru Imam Syafi'i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam
Syafi'i sanggup hafal Al-Qur-an pada usia tujuh tahun. Setelah beliau hafal Al-Qur-an barulah
mempelajari bahasa dan syi'ir; kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh.
Madzhab Syafi'i terdiri dari dua macam; berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukim.
Yang pertama ialah Qaul Qadim; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidup di Irak. Dan
yang kedua ialah Qul Jadid; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir
pindah dari Irak.
Keistimewaan Imam Syafi'i dibanding dengan Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau
merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar Risaalah. Dan
kitabnya dalam bidang fiqh yang menjadi induk dari mazhabnya ialah: Al-Um.

d. Madzhab Hambali
Pendiri Madzhab Hambali ialah: Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili
Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk
mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Syria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau
dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.

Corak Pemikiran Hukum :


Tradisional (fundamental)

Metode Fiqh Madzhab Hanafi


Metode fiqhnya diambil berdasarkan:
1. Al-Qur’an atau As Sunnah
Yaitu apabila beliau menemukan nash baik dari Al-Qur’an maupun hadist beliau tidak lagi
memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak pula memperhatikan pendapat-pendapat para
sahabat.
2. Fatwa sebagian sahabat, yaitu jika beliau tidak mendapatkan nash maka beliau
berpegang teguh pada fatwa sahaby jika fatwa tersebut tidak ada yang menantangnya.
3. Pendapat sebagian sahabat, beliau memandang pendapat sebagian sahabat sebagai
dalil hukum. Jika terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah maka beliau mengambil
pendapat yang lebih dekat kepada Kitab dan Sunnah.
4. Hadist mursal atau hadist dhoif, yakni Hadits yang dimarfu’kan (diangkat) oleh seorang
tabi’in kepada Rasulullah saw, baik berupa sabda, perbuatan dan taqrir, baik itu tabi’in kecil
ataupun besar. Hal ini dipakai jika hadis tersebut tidak berlawanan dengan suatu atsar atau
pendapat seorang sahabat.
5. Qiyas, jika beliau tidak memperoleh sesuatu dasar diantara yang tersebut di atas maka
dipergunakanlah qiyas.

N. Hukum islam di Indonesia (Wakaf, Waris Perakwinan dan Zakat)

3. Hukum Perkawinan (Munakahat)

Seperti diberitakan al-Qur’an, bahwa umat manusia yang kini berjumlah lebih dari 6
milyar orang di seluruh penjuru dunia, mulanya berasal dari satu orang (nafsin-
wahidah) yang kemudian diciptakan pasangan (istrinya), dan dari pasangan inilah
kemudian berkembang biak melalui reproduksi biologis dalam kaitan ini Adam dan
Hawa. Allah berkalam:

Hai sekalian manusia, bertakwalah kamu kepada Rabb-mu, yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan
(kemudian) dari keduanya, Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan
(dalam jumlah) yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu Menjaga dan Mengawasi kamu
(an-Nisa (4): 1).

Ayat di atas, tepatnya dalam kalimat “wa-khlaqa minha zaujaha,” sebagaimana


diperkuat oleh beberapa ayat yang lain,[1] mengisyaratkan bahwa secara sosiologis,
institusi “perkawinan” telah dikenal sejak generasi pertama manusia dalam teks dan
konteks ini adalah Adam dan Hawa. Sejak perkawinan yang pertama ini, umat
manusia dari generasi ke generasi terus memelihara lembaga perkawinan itu. Dari
sudut pandang sejarah keagamaan, khususnya Islam, perkawinan bagaimanapun
dipandang sebagai institusi yang dianggap paling sakral dan sebagai sebuah
keniscayaan bagi siapapun yang hendak menyalurkan nafsu biologisnya sereta untuk
membentuk sebuah rumah tangga lengkap dengan anak keturunannya.

Wiwaha menurut agama Hindu adalah pranata sosial (social institution) yakni
kebiasaan yang dimuliakan. Setiap perkawinan dalam agama Hindu dipandang
sebagai suatu jalan untuk melepaskan derita orang tuanya di waktu mereka telah
meninggal. Kecuali itu, dalam pandangan Hindu, kawin juga dianggap sebagai suatu
darma, yang diabadikan berdasarkan kitab Weda, merupakan salah satu sarira
samskara (pencucian badan) melalui perkawinan. Hukum perkawinan Kristen
mengakui bahwa perkawinan adalah lembaga suci yang asalnya dari Tuhan dan
ditetapkan olehnya untuk kebahagiaan masyarakat. Bagi umat Katolik, perkawinan
oleh Christus dinaikkan menjadi sakramen (sacrament) dalam pengertian tidak ada
perbedaan antara perjanjian (kawin) dengan sakramen. Perjanjian adalah sakramen,
dan sakramen adalah perjanjian.

Hukum Islam, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an (surat an-Nisa (4): 21),
menjuluki perkawinan (munakahat) sebagai “perjanjian yang amat sangat kuat)
mitsaqan ghalizhan yang lebih-kurang berarti “sebuah perjanjian yang amat sangat
kuat” (a firm and strong covenant). Mengingat perkawinan itu sebagai perjanjian
yang amat sangat kuat, maka mudah difahami jika dalam hal pelaksanaan akad
perkawinan, Islam menentukan beberapa syarat di samping unsur-unsur perkawinan
itu sendiri, semisal keharusan adanya wali, saksi dan lain-lain.

Dibandingkan dengan agama lain, yang boleh jadi memungkinkan atau bahkan
membenarkan atau sekurang-kurangnya tidak menganggap sebagai perbuatan zina
terhadap sebuah persenggamaan atau persetubuhan yang dilakukan seorang pria
dengan seorang wanita berdasarkan asas suka-sama suka sebelum pernikahan
berlangsung, Islam menyatakan dengan tegas bahwa setiap persetubuhan yang
dilakukan di luar perkawinan (pernikahan) yang sah dinyatakan sebagai perilaku zina
dan hukumnya adalah haram. Zina, dalam hukum Islam dinyatakan sebagai salah
satu dosa besar (itsmun kabir), dan maksimal ancaman hukumannya adalah dera 100
kali sebagaimana diatur dalam surat an-Nur (24): 2. Semua itu diatur dalam hukum
Islam dalam rangka menjunjung tinggi institusi perkawinan di satu pihak, dan
pengamanan kesejahteraan keluarga dan masyarakat di sisi yang lain.

Betapaun baik dan indahnya konsep perkawinan dalam hukum Islam, pada
pelaksanaannya di tengah-tengah masyarakat luas tetap memerlukan pengaturan
lebih lanjut. Di sinilah terletak arti penting dari kehadiran peraturan perundang-
undangan yang secara khusus mengatur perkawinan masyarakat Muslim, yang
faktanya di Indonesia ummatan Muslimatan itu merupakan penduduk terbesar,
bahkan juga terbesar untuk ukuran dunia sekalipun.[2] Ihwal hukum perkawinan ala
hukum Islam ini berikut institusi penyelenggaranya terutama Kantor Urusan Agama
dan Peradilan Agama, di Negara Hukum Indonesia telah diatur sedemikian rupa
melalui sejumlah peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang


Perkawinan;

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 9 tahun 1975 tentang


Pelaksanaan Undang-UNdang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan;

3. Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi


Hukum Islam;

4. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan


Agama, jo. Undang-Undang Republik Indoneia nomor 3 tahun 2006 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama;
5. Peraturan perundang-undangan terkait lainnya yang karena pertimbangan
waktu dan keterbatasan halaman, tidak dapat dituliskan satu persatu di dalam
makalah ini.[3]

4. Hukum Kewarisan Islam

Betapapun awamnya seorang Muslim/Muslimat niscaya dia tahu dan memang layak
tahu bahwa sumber utama dan pertama hukum Islam – termasuk atau tidak terkecuali
hukum kewarisan — adalah al-Qur’an al-Karim. Kemudian diikuti dengan as-
Sunnah an-Nabawiyah yang oleh para juris Islam (ifuqaha’) lazim diposisikan
sebagai sumber hukum pentinmg kedua setelah al-Qur’an. Al-Qur’an begitu peduli
terhadap eksistensi hukum kewarisan, hal ini antara lain daapt dibuktikan dengan
pengaturan kewarisan di dalam al-Qur’an yang tidak saja mengatur perihal siapa-
siapa yang berhak menjadi ahli waris, akan tetapi juga sekaligus merincikan bagian
masing-masing ahli waris di samping menetapkan kapan (waktu) dan bagaimana
pembagian kewarisan itu dilakukan. Perihal ini diatur dalam surat an-Nisa (4),
terutama ayat-ayat: 7, 8,11,12, 33 dan 176.

Pengaturan suatu bidang hukum yang demikian lugas dan rinci dalam al-Qur’an,
nyaris tidak terjadi dalam sub-sub bidang hukum yang alin selain persoalan ibadah
dan hukum kewarisan. Itulah sebabnya maka mengapa tidak sedikit ulama yang
menggolongkan hukum kewarisan ke dalam kelompok ibadah. Selain karena
keterkaitannya yang demikian erat dengan ihwal perkawinan, hukum kewarisan
juga ,erupakan hukum yang hampir segala sesuatunya benar-benar telah diatur dan
ditentukan sedemiakian rupa oleh Allah s.w.t., sebagaimana layaknya berbagai
macam ibadah yang juga diatur secara rinci dalam al-Qur’an.

5. Hibah dalam Hukum Islam

Sama halnya dengan kata nikah dan kata waris yang telah lebih dulu dibahas, hibah
juga berasal dari bahasa Arab Qur’ani.[4] Hibah, yang diambil dari kata habub-arrih
ai mururiha (angina yang menghamburkan debu yakni angina lewat), secara
etimologis (lughatan) berarti: derma (tabarru`) atau kebajikan (tafadhdhul) yang
diberikan seseorang kepada orang lain, apakah pemberian/derma itu dalam bentuk
harta-kekayaan maupun non kekayaan. Adapun yang dimaksud dengan hibah dalam
terminology ahli-ahli syariah sebagaimana diformulakan As-Sayyid Sabiq, ialah:
“suatu akad (transaksi) yang obyeknya adalah berupa penyerahan kepemilikan harta
seseorang kepada orang lain di waktu hidup, dan pemberian/penyerahan mana sama
sekali tidak mengharapkan imbalan/penggantian apapun.”[5] Dengan kalimat yang
lebih sederhana, hibah dapat dirumuskan dengan suatu pemberian harta-benda secara
cuma-cuma oleh seseorang kepada orang lain.

Dalam konteks hukum Islam, hibah bisa digunakan dalam konteks yang khusus dan
dalam konteks yang lebih umum. Dalam konteks khusus, hibah seperti dikemukakan
sebelum ini, biasa digunakan dalam arti pemberian harta secara cuma-cuma, tanpa
mengharapkan apalagi mensyaratkan penggantian (imbalan/balasan) baik dalam
jumlah atau ukuran yang sama maupun dalam jumlah/kadar yang lebih rendah
maupun lebih tinggi. Dalam konteksnya yang umum, hibah bisa juga digunakan
dalam pengertian berikut:

1. ibra, yaitu hibah (pembebasan) hutang pihak debitur dari keaharusan


membayar hutangnya (hibbah ad-dain mimman huwa `alaihi);

2. sedekah, yakni pemberian yang semata-mata mengharapkan pahala di akhirat


kelak (as-shadaqah, wa-hiya hibatun ma-yuradu bihi tsawab al-akhirah);

3. hadiah, yakni suatu pemberian, persen atau kado yang diberikan seseorang
kepada orang lain (al-mauhub lahu) dalam konteks “penggantian” atas
prestasi atau yang sejenisnya.[6]

Senada dengan As-Sayyid Sabiq, Wahbah az-Zuhayli, menyatakan bahwa hibah


meliputi hadiah dan shadaqah sekaligus. Alasannya, kata Wahbah, mengingat hibah,
shadaqah, hadiyah dan pemberian (lainnya) itu memiliki pengertian yang mirip-mirip
atau dekat-dekat. Jika ketika mengeluarkan pemberian itu pihak pemberi bermaksud
semata-mata mendekatkan diri kepada Allah (itaqarrub ila-Allah) dan pemberian
diberikan kepada pihak yang membutuhkan, maka itu dikategorikan shadaqah. Jika
pemberian itu diberikan kepada penerima hadiah semata-mata karena
penghormatan/penghargaan, maka itu namanya hadiah. Dan jika tidak seperti yang
pertama (;shadaqah) dan tidak sama dengan yang kedua (hadiah), maka itu namanya
hibah.[7]

Dalam hukum Islam, hibah hanya digolongkan ke dalam bentuk amal yang
dianjurkan (sunnah/tathawwu`/nafilah), bukan suatu kewajiban yang harus
dilakukan. Ada sejumlah hadis yang mendorong seseorang supaya saling menderma
(memberi hibah), di antaranya hadis riwayat al-Bukhari dari Abi Hurairah r.a. yang
menyatakan: “tahadau tahabu = saling memberi hadiah-lah kamu, niscaya akan
terjalin rasa kasih dan sayang (di antara sesame kamu).

Satu hal penting yang layak dicatatkan di sini ialah bahwa benda-benda yang boleh
dihibahkan dalam hukum Islam hanyalah barang yang tergolong ke dalam barang-
barang (ekonomi) atau barang-barang lain yang bermanfaat. Atas dasar ini maka
barang-barang yang diharamkan seperti halnya babi (khinzir) dan khamar (benda-
benda yang memabukkan), tidak dibolehkan penghibahannya.

6. Wakaf

Secara literal, wak (waqf dalam bahasa Arab) berarti al-habsu (menahan). Dalam
istilah syariat, wakaf diartikan menahan (harta) asal dan mengelolanya sedemikian
rupa untuk mendapat buah atau hasilnya. Dengan kalimat lain, wakaf adalah
mengabadikan selama mungkin modal (harta) asal dan menyalurkan atau mendaya-
gunakan manfaat (hasil perolehannya) di jalan Allah.
Dilihat dari pihak penerima wakaf (Nazhr), wakaf secara umum dan garis besar
wakiaf dibedakan ke dalam dua macam yaitu: wakaf ahli/wakaf dzurri dan wakaf al-
khairi. Wakaf ahli/dzurri adaalh wakaf yang nazhir (penerimanya) bersifat peroangan
dan keluarga tertentu; sedangkan wakaf khairi adalah wakaf yang diperuntuk untuk
umum (masyarakat banyak).

Anda mungkin juga menyukai