Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

Sebagaimana ilmu-ilmu keagamaan lain dalam islam ilmu Ushul Fiqih


tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-quran dan As-sunnah.
Dengan kata lain Ushul Fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-
benihnya sudah ada sejak Zaman Rasulullah SAW dan sahabat. Masalah utama
yang menjadi bagian Ushul Fiqih, seperti Ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah
ada pada zaman Rasulullah SAW dan sahabat.

Pada dasarnya Islam adalah agama yang bersifat dinamis. Maksudnya disini
adalah walupun ajaran-ajaran agama islam bersifat tetap namun dapat dapat
diterapkan tanpa batasan waktu. Namun jangan dibayangkan bahwa ajaran itu
tetap dan tidak berubah. Sebelumnya agar lebih mudah dipahami kita akan
menganalogikan ajaran agama Islam dengan sebuah aliran sungai. Pada awalnya
aliran air sungai adalah berasal dari mata air pegunungan yang bersih dan jernih,
namun setelah berada dalam perjalanan air itu dapat terkontaminasi/ bercampur
dengan banyak sampah bahkan limbah dari orang yang tidak bertanggung jawab.
Begitu pula ajaran agama islam pada awalnya dulu ketika islam dating dari allah
turun pada rasulullah Muhammad SAW memang benar-benar masih murni seperti
air pegunungan yang masih jernih. Namun seiring dengan berjalanya waktu dan
disampaikan oleh banyak orang yang memiliki pemikirannya sendiri-sendiri oleh
karena itu akhirnya ajaran islam yang mulanya murni sepeninggal Nabi
Muhammad mengalami perubahan ada yang ditambahai dan ada pula yang
dikurangi.

Dengan adanya perbedaan pendapat tentang ajaran islam baik itu tentang
ibadah, ketuhanan, syariat dan masih banyak lagi persoalan yang diperselisihkan.
Maka munculah para imam-imam madzhab dengan membawa hasil ijtihadnya
masing-masing. Ijtihad para imam tersebut adalah untuk meminimalisir perbedaan
serta menemukan suatu putusan yang mendekati kebenaran. Oleh karena itu dalam
makalah ini kami akan membahas lebih lanjut mengenai tahapan-tahapan
perkembangan dari Ushul Fiqih yang di dalam mencakup hal di atas.
BAB II
PEMBAHASAN

Perkembangan fiqh islamy atau bahkan Islam itu sendiri2 telah melalui
beberapa dekade penting dalam ranah sejarah klasik umat Islam. Sejarah ini
terbentang luas mulai dari masa pembentukan (age of foundation) sampai masa
kebangkitan atau reformasi (age of reformation)3. Dalam sejarah klasik ini
tergambar jelas elastisitas fiqh—bahkan Islam itu sendiri—dalam menjawab
tantangan zaman sebagai implementasi karakter dasarnya yang bersifat dhonniyat.
Adagium yang selalu dielukan fiqh atau Islamic jurisprudence: shalih li kulli
zaman wa makan, semakin menempati posisinya yang jelas dalam ranah
pemikiran kontemporer dan semakin menguatkan asumsi penyusun akan
pentingnya memahami maqashid syariah dalam menghasilkan produk fiqh yang
pada mulanya berkarakter stagnan dan rigid menjadi progresif dan elastis.

Asumsi awal penyusun bahwa perkembangan fiqh ini juga diikuti dengan
perkembangan ushul fiqh yang semakin menuju ke bentuk yang lebih sempurna.
Hubungan antara ushul fiqh dan fiqh adalah berkait-kelindan. Atau dalam bahasa
Doktor Ali Sami Nassyaar bagaikan hubungan mantiq dengan filsafat.5 Keduanya
melakukan hubungan simbiosis mutualisme jika boleh disebut demikian. Dalam
artian berhubungan saling menguntungkan di kedua belah pihak. Pihak pertama—
dalam hal ini fiqh—semakin mendapat legitimasi keabsahannya dengan
munculnya ushul fiqh jika menerapkan metodologi Ulama Hanafiyah atau
semakin terkonsep dan tertata rapi dalam sudut pandang Ulama Syafiiyah atau
Mutakallimin. Di pihak lain, yakni ushul fiqh, mendapat lahan aplikasinya dalam
diskursus fiqh baik menurut metodologi Hanafiyah ataupun Syafi’iyah atau lebih
spesifiknya menurut metodologi Ulama Mutaakhkhirin.

Sehingga penyusun berkesimpulan bahwa fiqh dan ushul fiqh melakukan


semacam hubungan yang saling melengkapi. Fiqh mengandaikan adanya
penerapan dalam dunia praktis. Sedang ushul fiqh lebih kepada dunia teoritis.
Gambarannya lebih ‘mengawang-ngawang ke langit’ (kharij ‘an al-dzihni).
Namun dalam tataran tertentu ushul fiqh dianggap secara hierarkri lebih tinggi
dari fiqh karena ia merupakan sumber dari fiqh. Teori ini dalam pandangan
penyusun agak absurd minimal dilihat dari dua sisi: historis dan teoritis.

Sejarah klasik membuktikan bahwa kemunculan fiqh lebih awal daripada


ushul fiqh. Karenanya mustahil ushul fiqh menjadi sumber fiqh secara
independen. Sedang secara teoritis mayoritas poin-poin ushul fiqh bersifat ambigu
non-permanen (dzanni) yang berkonskuensi rapuhnya basis ushul fiqh secara
independen. Hal ini diakui Thahir bin Asyur dalam muqaddimah kitabnya
maqashid syari’ah. Dia berpandangan bahwa para sarjana klasik ushul fiqh telah
gagal membasisi diskursus ini. Sehingga poin-poinnya hanya bersifat ambigu non-
permanen (dzanni). Kegagalan ini lebih pahit rasanya jika dikomparasikan dengan
para sarjana diskursus lain, semisal ushuluddin (Islamic theology) yang mampu
membasisi poin-poinnya menjadi permanen non-ambigu (qhat’i). Mungkin
maqashid syari’ah-lah satu-satunya poin dalam diskursus ushul fiqh yang layak
mendapatkan legislasi semacam ini.

Dalam dunia Islam kontemporer muncul upaya pengkodifikasian fiqh sesuai


dengan tuntutan situasi dan zaman. Hal ini ditandai dengan disusunnya Majalah
al-Ahkam al-Adliyyah di Kerajaan Turki Usmani yang memuat persoalan-
persoalan muamalah (hukum perdata). Latar belakang yang melandasi pemikiran
pemerintah Turki Usmani untuk menyusun Majalah al-Ahkam al-Adliyyah yang
didasarkan Mazhab Hanafi (mazhab resmi pemerintah) ini adalah terdapatnya
beberapa pendapat dalam Mazhab Hanafi sehingga menyulitkan penegak hukum
untuk memilih hukum yang akan diterapkan dalam kasus yang mereka hadapi.
Atas dasar ini, pemerintah Turki Usmani meminta ulama untuk
mengkodifikasikan fiqh dalam Mazhab Hanafi tersebut dan memilih pendapat
yang paling sesuai dengan perkembangan zaman ketika itu.

Upaya pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi


Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada
yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak. Pengkodifikasian
hukum tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana
dan hukum administrasi negara. Persoalan yang dimuat dalam hukum perdata
tersebut menyangkut persoalan ekonomi/perdagangan, pemilikan tanah, dan
persoalan yang berkaitan dengan hukum acara. Meluasnya pengkodifikasian
hukum di bidang perekonomian dan perdagangan disebabkan karena meluasnya
hubungan ekonomi dan perdagangan di dalam dan luar negeri. Untuk itu,
penguasaan terhadap hak milik yang ada di dalam negeri juga diatur, seperti
pengadministrasian tanah-tanah rakyat dengan menetapkan berbagai peraturan
yang menyangkut pemilikan tanah, serta penyusunan perundang-undangan yang
berkaitan dengan tata cara berperkara di pengadilan. Akibat yang ditimbulkan
oleh pengkodifikasian hukum perdata di bidang perekonomian dan perdagangan
ini adalah semakin jumudnya fiqh di tangan para fuqaha Hanafi yang datang
belakangan (muta’akhkhirin) serta terhentinya upaya pembaruan hukum dan
bahkan upaya pen-tarjih-an hukum.

Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat


sama sekali dengan mazhab fiqh tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama
fiqh bahwa sesuatu yang terdapat dalam suatu mazhab belum tentu dapat
mengayomi permasalahan yang dihadapi ketika itu. Karenanya, diperlukan
pendapat lain yang lebih sesuai dan mungkin dijumpai pada mazhab lain. Atas
dasar pemikiran ini, pemerintah Kerajaan Turki Usmani mengkodifikasikan
hukum keluarga yang disebut dengan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah pada 1333 H.
Materi hukum yang dimuat dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah tidak saja
bersumber dari Mazhab Hanafi, tetapi juga dari mazhab fiqh lainnya, seperti
Mazhab Maliki, Syafi ‘i, Hanbali, bahkan juga dari pendapat mazhab yang sudah
punah, seperti Mazhab Abi Laila dan Mazhab Sufyan as-Sauri. Langkah yang
ditempuh Kerajaan Turki Usmani ini pun diikuti oleh negara-negara Islam yang
tidak tunduk di bawah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani.Terdapat perbedaan
pereodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer, diantaranya adalah menurut
Muhammad Khudari Bek dan Mustafa Ahmad az-Zarqa pada masa Awal hingga
periode keemasaannya.

Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern, ulama fiqh


mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai
mazhab fiqh sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Dengan demikian,
ketegangan antar pengikut mazhab mulai mereda, khususnya setelah Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak
pernah tertutup. Suara vokal Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah ini
kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M.-
1201 H./1787 M.; pendiri aliran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad
bin Ali asy-Syaukani. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, bermazhab merupakan
perbuatan bid’ah yang harus dihindari, dan tidak satu orang pun dari imam yang
empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi ‘i dan Imam Ahmad bin
Hanbali membolehkannya). Sejak saat itu, kajian fiqh tidak lagi terikat pada salah
satu mazhab, tetapi telah mengambil bentuk kajian komparatif dari berbagai
mazhab, yang dikenal dengan istilah fiqh muqaran.

Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang
dijumpai dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi’i, al-Mabsut karya as-
Sarakhsi, al-Furuq karya Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni
karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) -sifat perbandingan yang mereka
kemukakan tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama
sekali. Di zaman modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif
dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi (baik
dari nash maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab,
sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam) dengan mudah dapat memilih
pendapat yang akan diambil.

Pada zaman modern, suara yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali


semakin vokal, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya
menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara
sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqh Islam dan hukum
produk Barat.

Anda mungkin juga menyukai