PENDAHULUAN
Pada dasarnya Islam adalah agama yang bersifat dinamis. Maksudnya disini
adalah walupun ajaran-ajaran agama islam bersifat tetap namun dapat dapat
diterapkan tanpa batasan waktu. Namun jangan dibayangkan bahwa ajaran itu
tetap dan tidak berubah. Sebelumnya agar lebih mudah dipahami kita akan
menganalogikan ajaran agama Islam dengan sebuah aliran sungai. Pada awalnya
aliran air sungai adalah berasal dari mata air pegunungan yang bersih dan jernih,
namun setelah berada dalam perjalanan air itu dapat terkontaminasi/ bercampur
dengan banyak sampah bahkan limbah dari orang yang tidak bertanggung jawab.
Begitu pula ajaran agama islam pada awalnya dulu ketika islam dating dari allah
turun pada rasulullah Muhammad SAW memang benar-benar masih murni seperti
air pegunungan yang masih jernih. Namun seiring dengan berjalanya waktu dan
disampaikan oleh banyak orang yang memiliki pemikirannya sendiri-sendiri oleh
karena itu akhirnya ajaran islam yang mulanya murni sepeninggal Nabi
Muhammad mengalami perubahan ada yang ditambahai dan ada pula yang
dikurangi.
Dengan adanya perbedaan pendapat tentang ajaran islam baik itu tentang
ibadah, ketuhanan, syariat dan masih banyak lagi persoalan yang diperselisihkan.
Maka munculah para imam-imam madzhab dengan membawa hasil ijtihadnya
masing-masing. Ijtihad para imam tersebut adalah untuk meminimalisir perbedaan
serta menemukan suatu putusan yang mendekati kebenaran. Oleh karena itu dalam
makalah ini kami akan membahas lebih lanjut mengenai tahapan-tahapan
perkembangan dari Ushul Fiqih yang di dalam mencakup hal di atas.
BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan fiqh islamy atau bahkan Islam itu sendiri2 telah melalui
beberapa dekade penting dalam ranah sejarah klasik umat Islam. Sejarah ini
terbentang luas mulai dari masa pembentukan (age of foundation) sampai masa
kebangkitan atau reformasi (age of reformation)3. Dalam sejarah klasik ini
tergambar jelas elastisitas fiqh—bahkan Islam itu sendiri—dalam menjawab
tantangan zaman sebagai implementasi karakter dasarnya yang bersifat dhonniyat.
Adagium yang selalu dielukan fiqh atau Islamic jurisprudence: shalih li kulli
zaman wa makan, semakin menempati posisinya yang jelas dalam ranah
pemikiran kontemporer dan semakin menguatkan asumsi penyusun akan
pentingnya memahami maqashid syariah dalam menghasilkan produk fiqh yang
pada mulanya berkarakter stagnan dan rigid menjadi progresif dan elastis.
Asumsi awal penyusun bahwa perkembangan fiqh ini juga diikuti dengan
perkembangan ushul fiqh yang semakin menuju ke bentuk yang lebih sempurna.
Hubungan antara ushul fiqh dan fiqh adalah berkait-kelindan. Atau dalam bahasa
Doktor Ali Sami Nassyaar bagaikan hubungan mantiq dengan filsafat.5 Keduanya
melakukan hubungan simbiosis mutualisme jika boleh disebut demikian. Dalam
artian berhubungan saling menguntungkan di kedua belah pihak. Pihak pertama—
dalam hal ini fiqh—semakin mendapat legitimasi keabsahannya dengan
munculnya ushul fiqh jika menerapkan metodologi Ulama Hanafiyah atau
semakin terkonsep dan tertata rapi dalam sudut pandang Ulama Syafiiyah atau
Mutakallimin. Di pihak lain, yakni ushul fiqh, mendapat lahan aplikasinya dalam
diskursus fiqh baik menurut metodologi Hanafiyah ataupun Syafi’iyah atau lebih
spesifiknya menurut metodologi Ulama Mutaakhkhirin.
Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang
dijumpai dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi’i, al-Mabsut karya as-
Sarakhsi, al-Furuq karya Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni
karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) -sifat perbandingan yang mereka
kemukakan tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama
sekali. Di zaman modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif
dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi (baik
dari nash maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab,
sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam) dengan mudah dapat memilih
pendapat yang akan diambil.