Anda di halaman 1dari 12

Membincangkan Pemikiran dan Gerakan Kalam Nahdlatul Ulama,

Muhammadiyah, dan Persis

Disusun Guna Memenuhi Tugas Akademik


Mata Kuliah: Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Dr. Mibtadin Anis, S,Fil.I., M.S.I.

Disusun oleh:

Toha Amirudin Wasis Among Rogo (182121060)

Hukum Keluarga Islam

Fakultas Syariah

Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Tahun 2019
BAB 1

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Organisasi Islam di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang menarik


untuk dipelajari, mengingat bahwa organisasi islam merupakan representasi dari
umat islam yang mayoritas di Indonesia. Hal ini menjadikan organisasi islam
menjadi sebuah kekuatan social maupun politik yang diperhitungkan dalam pentas
politik di Indonesia.

Dari aspek kesejarahan, dapat ditangkap bahwa kehadiran organisasi islam


baik itu yang bergerak dalam bidang politik maupun organisasi social membawa
sebuah pembaruan bagi bangsa. Organisasi keagamaan islam merupakan
kelompok organisasi yang terbesar jumlahnya, baik yang memiliki skala nasional
maupun bersifat lokal. Perkembangan organisasi keagamaan di Indonesia
memang sangat panjang dari zaman sebelum kemerdekaan sampai orde baru.

Di Indonesia sendiri juga terdapat banyak golongan. Jadi wajar saja bila
kita menemui banyak perbedaan. Namun itu semua adalah bentuk keberagaman
kita hidup di dunia ini. Jadi kita harus saling menghargai pendapat orang ataupun
golongan yang lainnya. Karena dengan perbedaan kita diajarkan bagaimana rasa
toleransi. Selagi golongan lain tidak menyalahi aturan yang berlaku kita juga tidak
berhak untuk mengganngu mereka.

A. Rumusan Masalah

A. Pengertian NU
B. Pengertian Muhammadiyah
C. Pengertian PERSIS
D. Urgensi NU, Muhammadiyah, dan PERSIS di Indonesia
BAB II
Pembahasan

A. Nahdlatul Ulama
NU merupakan salah satu organisasi islam yang besar di Indonesia.
Organisasi ini bergerak di bidang pendidikan, sosial dan ekonomi. NU
merupakan Khittah 1926 merupakan organisasi keagamaan (jami’iyyah
diniyyah) yang mendasarkan faham keagamaannya kepada sumber ajaran
Islam yaitu Al-Quran, Assunnah, Al-Ijma dan Al-Qiyas. Memahami dan
menafsirkan keempat sumber terseut, NU mengikuti paham ahlussunah
wal jamaa’ah dan menggunakan jalan pendekatan (al-madzhab). Dalam
bidang aqidah NU mengikuti faham Ahlussunah wal jamaa’ah yang
dipelopori oleh Imam Abdul Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-
Maturidi. Membicarakan teologi NU mencoba menyatukan teologi ekstrim
rasionalis dan ekstrim tekstualis.
Menurut pendapat NU tuhan mempunyai sifat ada hal-hal yang
menjadi sifat-sifat tuhan. Mengenai sifat, bahwa sifat berada pada zat akan
tetapi sifat bukanlah zat dan bukan pula lain dari zat. Ke Esa-an Tuhan
mempunyai sifat-sifat qadim. Maka dari itu kebebasan Tuhan untuk
berbuat apa saja merupakan hak penuh yang dimiliki Tuhan sehingga tidak
ada batasan bagi Tuhan untuk berbuat apapun, itulah keadilan bagi Tuhan.
Mengenai takdir, NU bahwa merealisasikan terwujudnya suatu perbuatan
dalam perbuatan manusia terdapat dua perbuatan yaitu perbuatan tuhan
dan perbuatan manuisa. Perbuatan tuhan adalah hakiki dan perbuatan
manusia adalah majazy. Jadi terwujudnya suatu perbuatan selalu ada dua
daya, tetapi daya yang efektif adalah daya tuhan sedangkan daya manuisia
tidaklah efektif jika tanpa ada daya dari tuhan.1 Namun manusia bebas
memilih antara melakukan kebaikan atau keburukan yang tentunya juga
bertanggung jawab atas konsekuensi apilihannya tersebut. Konsep qada
dan qadar lebih condong pada sikap pasrah pada ketentuan yang menjadi
keniscayaan tanpa ada usaha yang dilakukan.1
Berdirinya organisasi ini tidak terlepas dari peran kiai dengan
komunitas utama di pesantren dan masyarakat pedesaan yang menjadi
peyangga utama kelompok Islam tradisional ini. Dengan demikian, sifat
keberadaan NU merupakan upaya peneguhan kembali nilainilai tradisi-
tradisi politik keagamaan yang telah melembaga dalam jaringan struktur
dan pola hidup yang lebih mapan meliputi: Lembaga pesantren, kiai, santri
dan jama’ah. Mereka tersebar di tanah air sebagai unit-unit komunitas
politik budaya masyarakat Islam sehingga NU tidak kesulitan di dalam
mengembangkan organisasinya. Fenomena ini tercermin pada pengaruh
Hadratus Syekh KH. Hasyim Asyari’ di seluruh pesantren se-Jawa melalui
jaringan geneologis keilmuan yang lebih kuat, sehingga ketika NU
pertama kali politikisasikan mendapat dukungan dan simpati dari kiai dan
masyarakat pesantren pada umumnya dan kontribusinya dalam
membangun tradisi keilmuan melalui basis kiai-pesantren.2
B. Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di
Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad s.a.w.
Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh
penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini
sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di
daerah tertentu dengan alasan adaptasi. Gerakan Muhammadiyah berciri
semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih
maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang
bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem
kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga
menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.

1
MB. Hooker, Islam Madzhab Indonesia Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, Bandung,
Teraju Mizan, 2002.
2
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta:
LP3ES, 1983), h. 79
Dalam pembentukannya, Muhammadiayah banyak merefleksikan
kepada perintahperintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104
yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut,
menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk
bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi,
umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup
berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan
dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya
organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya. Sebagai dampak positif dari
organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan
tempat pendidikan di seluruh Indonesia.3
Muhammadiyah berangkat dari pemahaman ontologis tentang
islam. Memutuskan agama islam adalah apa yang diwahyukan Allah
SWT., kepada Nabi Muhammad SAW., yang kemudian menjadi Al-Quran
sebagai kitab suci serta As-Sunnah yang shahih dan dapat diterima sebagai
petunjuk, perintah dan larangan untuk kebaikan hidup di dunia maupun di
akhirat.2 Muhammadiyah juga memiliki dasar ideologi yaitu al-maqasid
al-syari`ah memiliki tujuan yang baik, yakni memberikan maslahat kepada
kepentingan umum. Muhammadiyah lahir dari tuntutan situasi, Kiai
H.Ahmad Dahlan tokoh pertama yang mencoba untuk mengambil langkah
dengan meletakkan dasar-dasar pemikiran Muhammadiyah.
Muhammadiyah memandang bahwa akidah yang benar adalah akidah
yang dianut oleh umat islam pada generasi Rasulullah dan para sahabat-
sahabat. Yang dapat mengikuti jejak Rasul dan sahabat adalah kelompok

3
R. Wahab, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2004), 115.
islam yang selamat.4 Di sini ada tiga hal yang dipermasalahkan
Muhammadiyah dalam bidang pemikiran Teologi adalah sebagai berikut:

a. Perbuatan Manusia
Permasalahannya yaitu tentang apakah perbuatan manusia itu
diciptakannya sendiri ataukah memang Allah SWT., yang telah mengatur
itu semua. Permasalahan ini membicarakan tentang daya dan kehendak
dalam berbuat yang merupakan persyaratan bagi terwujudnya perbuatan.
Yang dikaji dalam hal ini adalah daya dan kehendak siapa yang
melakukan perbuatan manusiakah atau Allah SWT. Dan perbuatan yang
terwujud itu perbuatan manusia atau perbuatan Allah SWT.
Muktazilah berpendapat bahwa setelah Tuhan menciptakana daya
pada manusia Ia melepaSkan campur tangan-Nya pada penggunaan daya
tersebut dan daya Tuhan terdapat dalam perbuatan yang terwujud. Daya
berpengaruh dan berfungsi dalam mewujudkan perbuatan. Dengan
demikian Muktazilah memandang manusia sebagai pemegang peranan
utama dalam mewujudkan perbuatannya.Aliran Asy`ariyah berpendapat
sebaliknya bahwa perbuatan diciptakan Tuhan dalam diri manusia.
Perbuatan manusia yang diwujudkan dengan daya yang diciptakan.
Asy`ari menganggap manusia mempunyai bagian dalam perbuatannya.
Manusia tidak dipandang sebagai benda mati yang tidak mempunyai daya
sama sekali. Peran manuia sebagai pelaku gerak dari gerakan yang
diciptakan Tuhan. Bagi aliran Maturidiah Tuhan Maha Pencipta, dan
perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Tuhan memiliki hak yang
mutlak dan tidak siapapun yang berhak menyamainya. Penciptaan
perbuatan tidak menghilangkan arti kebebasan manusia dalam memilih
perbuatannya. Dengan diciptakannya perbuatan dalam diri manusia maka
peran manuia hanya sebagai pelaku dari perbuatan yang diciptakan Tuhan.
Maka manusia kehilangan haknya untuk memelih sendiri perbuatannya.

4
Hamidi, Rasionalitas Tauhid dan Kebebasan Berekspresi, Malang, UMM Pres, 2003,
hlm 51.
b. Qada dan Qodar
Permasalahan yang timbul adalah apakah qada dan qadar diartikan
sebagai kehendak mutlak Tuhan dalam menentukan tiap perbuatan
manusia atau kehendak mutlak-Nya dalam menentukan atas menetapkan
Sunnah Allah SWT. Aliran muktazilah memahami qadar sebagai
ketentuan perbuatan manusia. Para tokoh tidak memahami kadar sebagai
ketentuan dan ketetapan Tuhan terhadap perbuatan manusia melalui
kehendak mutlak-Nya. Bagi mereka baik, buruk, taat dan maksiat
manusialah yang menentukannya berdasarkan kebebasan memilih yang
diberikan Tuhan kepadanya. Di antara tokoh muktazilah ada yang
memahami qada dan qadar sebagai ilmu Allah SWT., atau pengetahuan
Allah SWT., terhadap semua yang akan terjadi yang ditulikan di lauh al-
mahfuzh sebelum diri manusia itu sendiri diciptakan. Sehingga menurut
mereka seorang yang taat sepanjang umurnya kemudian melakukan dosa
besar itu bukan Allah SWT., yang telah menentukan dan menetapkan
namun Allah SWT., hanya mengetahui hal itu akan terjadi. Pengetahuan
Tuhan yang dituliskan di lauhal mahfuzh itulah tampaknya yang
merupakan pengetahuan-Nya, yaitu pengetahuan tentang perbuatan
manusia sedangkan terlaksananya pengetahuan tersebut sesuai dengan
hukum sebab akibat. Ibnu Sina salah seorang filosof islam juga memiliki
pendapat demikian.
Qada Allah SWT., menurutnya adalah pengetahuan Allah SWT.,
yang tergantung pada sistem yang terdapat di alam ini. Jadi qada dalam
pandangannya lebih luas artinya daripada qadar dan lebih menunjuk pada
arti keputusan Tuhan terhadap sunnah Allah SWT. al-Asy`ari berpendapat
bahawa beliau menolak adanya potensi benda yang bersifat laten. Juga
semua peristiwa merupakan hala bary, bukanlah perulangan dari yang
sebelumnya. Tuhan hadir dalam setiap peristiwa. Tampaklah kekuasaan
Allah SWT., yang mutlak di alam ini. Majid Fakhri mengatakan bahwa
pemikiran yang demikian tampaknya dilandasi oleh hasrat untuk
mempertahankan kehendak mutlak tersebut. Menurut aliran Maturidiah
istilah qada adalah keputusan Tuhan, yaitu keputusan-Nya terhadap segala
sesuatu yang pantas untuk diputuskan-Nya.
Jadi keputusan tersebut bersifat umum, termasuklah perbuatan
manusia di dalamnya. Keputusan tuhan bersumber dari ilmu ataupun
pengetahuan tuhan tentang segala sesuatu yang akan terjadi. Sedangkan
qadar memiliki dua pengertian, yang pertama menunjuk kepada batas,
yaitu batas yang darinya terjadi sesuatu keputusan baik, buruk dan
sebagainya. Yang kedua qadar dalam arti penjelasan tentang maa dan
tempat terjadinya sesuatu. Kaum Salaf meyakini bahwa Allah mengetahui
ukuran dan masa sesuatu sebelum menjadikannya. Segala yang diketahaui
tuhan pasti akan terjadidan itu semua bersumber dari ilmu, kekuasaan dan
kemauan Allah SWT.
Dengan demikian qadar dalam pengertian kaum salaf berarti
ketentuan yang ditetapkan Tuhan atas segala seuatu yang ditetapkan-Nya
berdasarkan kehendak-Nya yang pasti akan terjadi. Dari uraian-uraian di
atas dapat dipahami bahwa konsep qada dan qadar yang dikemukakan
dalam paham-paham di atas pada dasarnya merupakan interpretasi dari
makna qada dan qadar yang bersifat umum yang terdapat dalam Al-Quran.
Muhammadiyah dalam hal ini tampaknya cenderung mengikuti paham
Asy`ariah, sedangkan para tokoh Muhammadiyah sendiri tidak seluruhnya
sependapat dengan paham yang dedmikian.
C. Sifat-sifat Tuhan
Muhammadiyah cenderung kepada metode Salaf dalam memahami
sifta-sifat Tuhan dan hanya mengimani apa yang ditunjukkan oleh nash.
H.A. Malik Ahmad menjelaskan tentang metode Muhammadiyah dalam
memahami akidah. Ia mengatakan bahwa apa yang dikatakan Al-Quran
dan disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW., telah lengkap untuk
diyakini dan diimani, tidak perlu menambah pembicaraan yang luas lagi.5

5
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Jakarta, PT Bulan
Bintang, 1993.
C. PERSIS
Persis merupakan organisasi yang bergerak dalam pendidikan,
dakwah dan sosial kemasyarakatan yang sesuai dengan tuntunan Al-
Qur’an dan Hadis. Seperti rencana jihad atau program kerja Persis adalah
mendidik dan membina para anggotanya agar mengajarkan pendidikan
untuk menanamkan, memperdalam dan mengokohkan pengertian akidah,
ibadah, muamalah dan akhlak islam.
Diantara tokoh Persis yang berperan besar dalam mengajaran dan
dakwah adalah Ahmad Hassan. Beliau dipandang sebagai guru besar
persatuan islam. A. Hassan adalah ilmuwan Persis, seorang mujtahid dan
sosok ulama yang mandiri dan serba bisa. Sejak tahun 1924, Persis telah
menyelenggarakan kelas pendidikan akidah dan ibadah bagi orang dewasa.
Lembaga pendidikan itu kemudian semakin berkembang sejak Ahmad
Hassan masuk dalam Persis pada tahun 1926. Perkembangan di Persis tidak
hanya terjadi pada pendidikan tetapi di bidang literasi dan publikasi seperti
pencetakan buku-buku dan majalah juga berkembang pesat.
Ahmad Hassan merupakan seorang pemikir islam yang sangat
menyukai diskusi. Bahkan sejarah telah mencatat bahwa Ahmad Hassan
sering melakukan diskusi kritis bersama Presiden Soekarno tentang
berbagai hal yang salah satunya adalah diskusi tentang konsep Negara
bangsa.6
D. Urgensi NU, Muhammadiyah, dan PERSIS di Indonesia
Bagi Nahdlatul Ulama memberlakukan ajaran Islam menurut aliran
Ahlussunnah wal Jama’ah tidak terlepas dari pengakuan terhadap ajaran
keempat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dan peranan
bimbingan para ulama. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi
berkembang karena penegasan kaum tradisional menanggapi gerakan
kaum pembaharu bahwa memahami ajaran Islam tidak cukup hanya
berlandaskan al-Qur’an dan Hadist, tetapi harus melalui jenjang tertentu,

6
Syafiq A. Mughni, Hasan Bandung, Pemikir Islam Radikal, (Surabaya: Bina Ilmu,
1994), 11.
yaitu ulama, mazhab, hadist (sunnah) dan akhirnya pada sumber utama
yaitu alQur’an itu sendiri. Itulah sebabnya pengertian Ahlussunnah wal
Jama’ah bagi Nahdlatul Ulama adalah para pengikut tradisi Nabi Besar
Muhammad Saw., dan ijma’ ulama (Dhofier, 148). Nahdlatul Ulama tidak
menentang ijtihad (penalaran) tetapi memikirkannya dalam konteks
bagaimana pendapat bahwa alQur’an dan Hadist disampaikan kepada
kaum muslimin dengan bahasa yang tidak mudah untuk difahami dan
penuh dengan simbolisme yang dapat lebih mudah dimengerti melalui
tafsiran tafsiran yang diberikan para imam dan ulama-ulama terpilih.
Dengan kata lain para ulama memikirkan bagaimana ajaran Islam dapat
dengan mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh umat Islam.7
Muhammadiyah untuk mencerdaskan masyarakat, yang kini telah
memiliki ribuan sekolah yang tercakup dari tingkat Taman Kanak-kanak
sampai Perguruan Tinggi. Kecerdasan yang diinginkan adalah kecerdasan
yang mampu 65 TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013
mengaplikasikan keterpaduan antara zikir dan pikir, memenuhi kebutuhan
jasmani dan rohani serta terpolanya langkah yang relevan antara ilmu dan
agama. Bahasan mengenai pemikiran Islam, pendidikan dan organisasi
orientasinya lebih mengarah pada substansi konseptual, tetapi dalam
kajian bidang sosial kemasyarakatan ini lebih menintikberatkan pada sisi
praksisnya. Sebagai gerakan sosial, Muhammadiyah telah
menyelenggarakan berbagai kegiatan yang bermanfaat untuk pembinaan
individual maupun sosial masyarakat Islam di Indonesia. Pada level
individual, cita-cita pembentukan kepribadian muslim dengan kualifikasi-
kualifikasi moral dan etika Islam, terasa sangat karakteristik.8
Menurut PERSIS, wujud Allah SWT., dalam islam merupakan
keyakinan yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Meyakini adanya Allah
SWT., merupakan keyakinan yang paling utama. Ahmad Hasan

7
Madjid, Nurcholish. 1989. Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan Bandung: Mizan.
8
Junairi, Ahmad. 1990. Muhamadiyah sebagai Gerakan Pembaharu Islam. dalam Din
Syamsuddin. Muhamadiyah Kini dan Esok. Jakarta: Pustaka Panjimas
mengatakan bahwa keberadaan Allah SWT., harus diyakini walaupun
tanpa adanya pembuktian dengan panca indera. Jadi apabila manusia
dengan akal dan panca indera tidak dapat mencapai wujud Tuhan tidak
berarti bahwa zat Allah SWT., itu tidak ada. Yang benar adalah zat Allah
SWT., itu ada. Semua yang ada di alam semesta ini dapat digunakan
sebagai bukti nyata tentang adanya wujud Allah SWT. Ahmad Hasan juga
meyakini bahwa sifat-sifat Allah SWT., tidak sama dengan sifat-sifat zat
yang lain dan tidak seorangpun yang memiliki sifat Allah SWT.
Sifat-sifat yang dimiliki Allah SWT., merupakan ketetapan dan
kesempurnaan ketuhanan-Nya dan keagungan-Nya. Ia meyakini dan
menetapkan segala seuatu yang terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah,
sebagaimana Allah SWT., telah menjelaskan diri-Nya. Allah SWT., tidak
pernah menjelaskan secara rinci mengenai sifat-sifat-Nya. Allah SWT.,
hanya menjelaskan di dalam Al-Quran dan Hadis tentang adanya nama-
nama-Nya atau Asmaul Husnah.9

9
Muhammad Afrizal, Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Persoalan Teologi
Islam, Jakarta, Erlangga, 2006
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan PERSIS merupakan ormas yang
ada di Indonesia. Dimana NU adalah ormas yang terbesar yang ada di Indonesia
dengan ideologinya yaitu ASWAJA. Dimana konsep Islam Nusantara menjadi
sebuah Kalam dengan mengabadikan islam dengan nuansa budaya khas
Nusantara. Muhammadiyah mempunyai metode dakwah yang berdasarkan
pendidikan sedari dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Dimana dakwah
Muhammadiyah cenderung dilakukan di daerah perkotaan. Lalu, PERSIS
menganggap manusia dengan akal dan panca indera tidak dapat mencapai wujud
Tuhan tidak berarti bahwa zat Allah SWT., itu tidak ada. Yang benar adalah zat
Allah SWT., itu ada. Semua yang ada di alam semesta ini dapat digunakan
sebagai bukti nyata tentang adanya wujud Allah SWT. Ahmad Hasan juga
meyakini bahwa sifat-sifat Allah SWT., tidak sama dengan sifat-sifat zat yang lain
dan tidak seorangpun yang memiliki sifat Allah SWT.
B. Daftar Pustaka
MB. Hooker, Islam Madzhab Indonesia Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial,
Bandung: Teraju Mizan, 2002.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai,
(Jakarta: LP3ES, 1983).
R. Wahab. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung. Alfabeta. 2004
Afrizal, Muhammad. Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Persoalan
Teologi Islam. Jakarta: Erlangga. 2006.
Madjid, Nurcholish. Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
1989
Junairi, Ahmad. Muhamadiyah sebagai Gerakan Pembaharu Islam. dalam Din
Syamsuddin. Muhamadiyah Kini dan Esok. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1990.

Anda mungkin juga menyukai