Anda di halaman 1dari 17

UNIVERSITAS INDONESIA

PERBANDINGAN MAZHAB-MAZHAB DI INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester


mata kuliah Pandangan Dunia Islam

Dosen Pengampu:
Dr. Drs. Nurwahidin, M.Ag.

disusun oleh
Ali Amril 1706129832

POLITIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL


PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM
SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL
UNIVERSITAS INDONESIA
2019 M/1440 H
A. PENDAHULUAN

Secara garis besar, pokok-pokok ajaran Islam ada tiga, yaitu: akidah,
syariah, dan akhlak. Dalam makalah ini, penulis hanya akan membahas salah satu
bagian yang berhubungan dengan syariah, yaitu mengenai mazhab-mazhab fiqih
yang diakui dan banyak persebarannya di Indonesia. Adapun pembahasan
mengenai akidah dan akhlak tidak akan dibahas dalam makalah ini.

Sebelum membahas mengenai perbandingan mazhab dalam fiqih Islam,


terlebih dahulu penulis akan menjabarkan pengertian syariah dalam Islam. Secara
bahasa, syariah dapat diartikan sebagai jalan yang lempang atau jalan yang dilalui
air terjun. Syaikh Mahmud Syaltut (dalam Hasan) menjabarkan makna syariat
sebagai hukum-hukum dan tata aturan yang disyariatkan Allah kepada hamba-
Nya agar mereka mengikuti dan berhubungan sesamanya. Syariat berarti hukum-
hukum dan ajaran yang diturunkan melalui Alquran dan sunnah Nabi Muhammad
SAW sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani, diikuti, dan dilaksanakan
selama hidupnya (Hasan, 2002:5—6)

Sumber-sumber syariat Islam yang disepakati oleh para ulama ada empat,
yaitu Alquran, sunnah, ijmak, dan qiyas. Selain itu ada pula beberapa sumber
yang para ulama berbeda pendapat dalam penggunaannya sebagai sumber syariat,
diantaranya: istihsan, mashalih mursalah, istishab, urf, mazhab shahaby, syar‟u
man qablana, dan sebagainya.

Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, segala permasalahan yang
dihadapi oleh umat Islam diputuskan dan diselesaikan oleh Nabi. Ketika Nabi
SAW wafat dan daerah persebaran Islam semakin luas, banyak masalah baru yang
membutuhkan keputusan hukum yang belum ada pada saat Nabi masih hidup.
Pemeluk agama Islam tidak hanya masyarakat Arab saja, akan tetapi banyak
pemeluk Islam yang berasal dari suku dan bangsa yang berbeda adat istiadatnya
dengan bangsa Arab. Oleh karena itu, para sahabat dituntut untuk berfikir dan
berijtihad mencari hukum sesuatu sesuai dengan kondisi masyarakat (Hasan,
2002:34—36).

2
Keputusan-keputusan hukum yang diperoleh oleh para sahabat dan para
tabiin setelahnya kemudian dikenal dengan fiqih. Metode pengambilan keputusan
hukum ini kemudian dikenal dengan ijtihad. Pada masa Nabi, istilah fiqih
memiliki pengertian yang masih cukup luas, mencakup segala urusan agama.
Pengertian fiqih sebagai hasil ijtihad baru berkembang pada masa sahabat dan
masa-masa setelahnya. Abdullah Haidir dalam bukunya Mazhab Fiqih Kedudukan
dan Cara Menyikapinya, membagi fase perkembangan fiqih menjadi empat, yaitu:

1) Marhalah Tasyri‟ (fase penetapan syariah). Fase ini dimulai sejak


diutusnya Rasulullah SAW untuk membawa ajaran Islam sampai masa
kibar al-sahabah. Penetapan hukum waktu itu dilakukan oleh Nabi SAW
berdasarkan wahyu yang diterimanya. Pada masa Khulafa‟ al-Rasyidin
masih digolongkan ke dalam fase ini, karena mereka juga memperoleh
legalitas dari Rasulullah SAW untuk diikuti perintahnya.
2) Marhalah Ta‟sis li al-Fiqh (masa peletakan dasar) 41—132 H. Fase ini
dimulai sejak masa sighar al-sahabah wa kibar al-tabi’in (sahabat junior
sampai tabiin senior). Sighar al-shahabah artinya adalah para sahabat
yang bertemu Rasulullah SAW ketika mereka masih kecil. Sedangkan
kibar al-tabiin adalah generasi tabiin paling awal. Pada masa ini agama
Islam sudah tersebar luas, para sahabat sudah terpencar jauh, sehingga
sulit untuk melakukan ijmak. Hal yang menarik pada masa ini lahirnya
corak khusus dalam pendekatan pengambilan hukum yang kemudian
melahirkan dua golongan besar yang dikenal dengan “madrasah ahl al-
hadits (lebih mengutamakan hadits daripada ra‟yu) dan madrasah ahl al-
ra’yi/kufah (banyak menggunakan ra‟yu).
3) Marhalah al-Nujd wa al-Kamal (masa kematangan dan kesempurnaan)
132—350H. Dikatakan matang karena pada masa ini merupakan puncak
perkembangan ilmu fiqih. Pada masa ini, lahir para mujtahid besar,
termasuk para imam mazhab yang empat. Para khalifah Bani Abbasiyah
memberi perhatian yang besar terhadap perkembangan ilmu fiqih dan para
fuqohanya. Buku-buku fiqih juga banyak muncul pada fase ini. Selain itu,
pada fase ini juga ditandai dengan banyaknya munazaraat (adu
argumentasi) antar ulama dan fuqaha tentang hukum suatu perkara.

3
4) Marhalah al-Jumud wa Ta‟assub Mazhabi (fase kejumudan dan fanatisme)
351— … H. Fase ini ditandai dengan berkembangnya taklid buta dan
fanatisme terhadap salah satu mazhab. Para pengikut mazhab menjadikan
kesimpulan-kesimpulan para pendahulunya sebagai rujukan utama dalam
menentukan hukum, tidak lagi menjadikan Alquran dan sunnah sebagai
sandaran utama. Para fuqaha masa ini mewajibkan pengikutnya untuk
taklid terhadap mazhab yang dia yakini kebenarannya, dan cenderung
menolak pendapat yang berasal dari luar maszhabnya. Dari sinilah
lahirnya masa-masa jumud dan taklid dalam sejarah fiqih Islam. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa yang mempelopori fanatisme mazhab
bukanlah para pendiri mazhab atau murid-murid mereka pada fase awal,
melainkan pengikut-pengikut mazhab dari generasi akhir, atau dikenal
dengan istilah al-mutaakhirin.

Ada empat perbedaan mendasar antara syariah dan fiqih, yaitu:

1) Berdasarkan dari sumbernya, syariah berasal dari wahyu Allah


yang tidak mengalami penafsiran dan ijtihad, sedangkan fiqih
merupakan hasil ijtihad manusia yang menyandarkan sumbernya
kepada wahyu (Alquran) dan sunnah. Oleh karena itu, syariat
dalam Islam hanya ada satu, sedangkan fiqih bisa beragam dan
bermacam-macam.
2) Berdasarkan kandungannya, kebenaran syariah bersifat mutlak
karena berasal dari wahyu Allah langsung, sedangkan fiqih bersifat
relatif, karena berasal dari hasil ijtihad manusia, bisa benar dan bisa
salah.
3) Berdasarkan masa berlakunya, syariah Islam berlaku hingga akhir
zaman mengalami perubahan pada kewajiban menjalankannya,
sedangkan fiqih dapat berubah sesuai dengan kondisi dan
perkembangan zaman. Oleh karena itu, ijtihad fiqih sering
memerlukan pembaharuan (tajdid), sehingga pintu ijtihad tidak
boleh tertutup. Wahbah Zuhaily berpendapat bahwa beberapa hal
yang dapat berubah pada fiqih adalah: hukum-hukum yang
ditentukan berdasarkan qiyas, mashalih al-mursalah, dan urf.

4
4) Berdasarkan peruntukannya, syariah diperuntukkan bagi seluruh
umat manusia tanpa terkecuali, sedangkan fiqih pada
perkembangannya sering menimbulkan taqlid bagi penganutnya.
Fiqih menimbulkan perbedaan pemahaman antara satu kelompok
dengan yang lain. Ketika tidak ada toleransi dan saling menghargai
di antara para pengikutnya, fiqih dapat menimbulkan perselisihan
yang panjang, sebagaimana telah tercatat dalam sejarah Islam di
masa lampau.

Mazhab berasal dari kata ‫يرهب—مرهبا‬-‫ ذهب‬yang berarti “jalan atau tempat
yang dilalui” bisa pula diartikan sebagai “pendirian”. Menurut para ahli fiqh,
mazhab adalah: 1). pendapat seorang imam mujtahid tentang hukum suatu
masalah, 2). kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang imam (Hasan,
2002:86). Dalam al-mu’jam al-wasith disebutkan bahwa mazhab adalah kumpulan
pandangan dan teori ilmiah serta filsafat yang satu sama lain saling berkaitan
sehingga menjadi satu kesatuan yang erat (Haidir, 2004:12). Sedangkan menurut
Wahbah Zuhaily, mazhab adalah hukum-hukum yang terkandung dalam masalah-
masalah fiqih, disamakan dengan jalan karena jalan mengantarkan seseorang
kepada tujuan, dan hukum-hukum menyampaikan seseorang kepada apa yang
dikehendaki Allah SWT (Zuhaily, 1985:I:29).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa bermazhab berarti mengikuti


hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau mengikuti kaidah-
kaidah istinbathnya yang telah dirumuskannya. Pada masa-masa Rasulullah SAW
masih hidup, tidak ada mazhab, karena semua perkara diputuskan langsung oleh
Rasulullah. Benih-benih munculnya mazhab terjadi setelah wafatnya Nabi SAW,
misalnya mazhab sahabat (Abdullah ibn Umar RA, Abdullah ibn Mas‟ud RA) dan
ahli bait (Aisyah RA).

Para imam Mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi‟i, dan
Imam Ahmad ibn Hanbal) tidak pernah mewajibkan umat Islam untuk mengikuti
mazhabnya. Ulama muta‟akhirin pengikut mazhablah (Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi‟iyah, dan Hanabilah) yang mewajibkan umat Islam untuk mengikuti mazhab
tertentu. Menurut Mahmoud Syaltout, perbandingan mazhab identik dengan fiqh

5
muqaran yaitu “mengumpulkan pendapat para imam mujtahid berikut dalil-
dalilnya tentang suatu masalah yang diperselisihkan dan membandingkan serta
mendiskusikan dalil-dalil tersebut untuk menemukan pendapat yang paling kuat
dalilnya”

B. MENGAPA PARA ULAMA TERDAHULU BERBEDA


PENDAPAT?

Perbedaan pendapat dalam Islam (ikhtilaf al-ra’yi) merupakan sesuatu


yang niscaya terjadi, karena adanya perbedaan latar belakang, proses, dan
pemahaman yang berbeda terhadap sumber-sumber hukum Islam (Al-quran,
Sunnah, Ijmak, Qiyas) dan (Istihsan, Mashalihul mursalah, urf, istishab, syar‟u
man qablana, amalan penduduk Madinah) serta karena adanya masalah/peristiwa
baru yang belum dijelaskan secara rinci dalam al-Quran dan Sunnah.

Menurut M. Ali Hasan, ada beberapa penyebab terjadinya perbedaan


pendapat diantara ulama saat akan memutuskan hukum suatu perkara, yaitu:

1) Perbedaan perbendaharaan hadist masing-masing mujtahid. Hal ini


terjadi karena para sahabat terpencar-pencar di berbagai penjuru
wilayah Islam, oleh karena itu, para fuqaha yang ingin
memutuskan hukum suatu perkara saat itu mengalami kesulitan
untuk menemui mereka ketika akan meminta hadits terkait perkara
yang sedang dihadapi. Selain itu, perbedaan kedekatan para sahabat
dengan Rasulullah SAW tidak sama, sehingga perbendaharaan
hadits mereka pun beragam.
2) Perbedaan pemahaman terhadap hadits (berlaku umum/khusus,
konteks). Adakalanya ketika Nabi SAW menyampaikan hadits,
hanya berlaku khusus untuk seseorang dan tidak berlaku bagi
sahabat yang lain.
3) Perbedaan penggunaan sumber hukum (selain sumber yang 4).
Para mujtahid memiliki pandangan yang berbeda dalam
penggunaan sumber hukum selain Alquran, sunnah, ijmak, dan

6
qiyas. Bahkan dalam masalah qiyas pun mereka berbeda pendapat.
Imam Abu Hanifah sering menggunakan qiyas dalam menentukan
suatu hukum, sedangkan Imam Ahmad ibn Hanbal lebih
mengutamakan hadits ahad daripada qiyas.
4) Perbedaan pemahaman bahasa, perbedaan riwayat, perbedaan
qaidah ushuliyah, penggunaan qiyas, ta‟arudh dan tarjih dalil.
5) Perbedaan dalam melihat maslahat, kebutuhan, adat, dsb.

Lebih lanjut, Ibn Rusyd dalam kitabnya Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu


al-Muqtashid, menjelaskan penyebab perbedaan pendapat di antara para fuqoha
karena perbedaan pemahaman bahasa dikarenakan beberapa hal, antara lain:

1) Perbedaan pemahaman terhadap suatu lafaz. Adakalanya suatu


lafaz umum sedangkan yang dimaksud khusus, lafaz khusus
dengan maksud umum, lafaz umum dengan maksud umum, dan
sebagainya.
2) Isytirak lafaz, yaitu adanya dua makna atau lebih dalam satu lafaz,
seperti lafaz quru’ yang dapat diartikan sebagai suci atau haid.
3) Perbedaan i’rab. Dalam bahasa Arab, perbedaan harakat dan
kedudukan suatu kata dalam kalimat dapat merubah maksud dan
arti. Contoh yang sering digunakan adalah ayat tentang wudhu.
4) Suatu lafaz adakalanya maksudnya adalah sesuai lafaz itu sendiri,
adakalanya bermakna majaz.
5) Kedudukan lafaz yang bersifat mutlaq, dan terkadang muqayyad.

Perlu dipahami, bahwa ketika melihat Alquran sebagai sumber hukum


Islam, maka kedudukan Alquran adalah sebagai berikut: qathiyatul wurud;
qathiyu al-dalalah dan zaanniyu al-dalalah. Qathiyatul wurud artinya bahwa
dilihat dari kepastian turunnya Alquran sebagai sumber hukum Islam jelas dan
pasti, tidak ada keraguan padanya. Adapun kandungan yang terdapat dalam
Alquran sebagai petunjuk hukum, adakalanya bersifat qathiyatu al-dalalah (jelas

7
dan pasti petunjuk yang dikandungnya) dan adakalanya zanniyatu al-dalalah
(petunjuknya bisa diperdebatkan).

Dalam menjadikan Alquran sebagai sumber hukum, yang menjadi objek


ijtihad adalah pada ayat-ayat yang zanniyatu al-dalalah saja. Berbeda dengan
hadits, karena hadits sifatnya bisa qathiyatul wurud atau zaanniyatu al-wurud, dan
kandungannya juga bisa qathiyu al-dalalah atau zaanniyu al-dalalah. Kepastian
suatu hadits apakah benar-benar berasal dari Rasulullah SAW masih perlu diteliti
pada masa itu, karena ada kekhawatiran hadits tersebut palsu atau lemah.
Sehingga para imam mujtahid sangat berhati-hati dalam mengambil hadits.

C. SISTEM BERMAZHAB DAN KAITANNYA DENGAN


IJTIHAD

Sebelum membahas mengenai kaitan sistem bermazhab dengan ijtihad,


terlebih dahulu penulis akan memaparkan pengertian ijtihad. Asal kata ijtihad
adalah ‫ اجتهد—يجتهد—اجتهاد‬yang berarti pencurahan segala daya fikiran untuk
menemukan hukum syara‟ melalui dalil syar‟i dengan metode tertentu. Objeknya
adalah setiap peristiwa yang sudah ada nash yang bersifat zhanni, atau yang
belum ada nashnya.

Orang yang melakukan ijtihad dikenal dengan mujtahid/mufti/faqih, yaitu


seseorang yang memiliki kemampuan khusus untuk melakukan istinbath hukum
dari dalil-dalil syara‟. Wahbah Zuhaily membagi tingkatan mujtahid menjadi
enam, yaitu:

1) Mujtahid Mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang meletakkan dan


merumuskan kaidah-kaidahnya sendiri, seperti para imam mazhab
yang empat.
2) Mujtahid Mutlaq Ghair Mustaqil, yaitu yang memiliki syarat-
syarat ijtihad seperti pada mujtahid mustaqil, tapi tidak
merumuskan kaidahnya sendiri. Mereka biasanya mengikuti kaidah
yang telah dirumuskan oleh mujtahid mustaqil.

8
3) Mujtahid Muqayyad, yaitu para mujtahid yang melakukan istinbath
hukum baru yang berbeda dengan pendapat sebelumnya
berdasarkan kaidah-kaidah yang telah dibuat oleh mujtahid
mustaqil atau muqayyad.
4) Mujtahid Tarjih, yaitu mujtahid yang mengambil pendapat yang
lebih rajah diantara beberapa pendapat mujtahid sebelumnya.
5) Mujtahid Al-Fatya, yaitu mujtahid yang menguasai dan
menyebarkan pendapat para mujtahid sebelumnya dan
menerangkan perkara yang dianggap sulit untuk dipahami.
6) Muqallid, yaitu para pengikut mazhab yang tidak memiliki salah
satu kemampuan seperti disebutkan di atas.

Sistem bermazhab berpengaruh terhadap metode istinbath seorang


mujtahid. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa para mujtahid biasanya
mengikuti salah satu kaidah yang telah dirumuskan oleh mujtahid mustaqil. Oleh
karena itu, seorang mujtahid dari mazhab Hanafi akan memiliki cara istinbath
hokum yang berbeda dengan mujtahid dari mazhab Maliki, Syafi‟I, atau Hanbali.
Dengan metode istinbath hukum yang berbeda, maka ada kemungkinan hasil
istinbathnya akan berbeda, meskipun tidak menutup kemungkinan hasilnya sama.

Sikap bermazhab yang fanatik terhadap salah satu mazhab menyebabkan


umat Islam jumud dan menutup pintu ijtihad. Hal ini terjadi karena para ulama
mazhab mutaakhirin terlalu fanatic dan taassub terhadap pendapat imam
mazhabnya, sehingga menganggap pendapat kelompok lain salah. Padahal para
imam mazhab tidak pernah mengatakan pendapatnya sebagai hukum atau syariat
Allah, melainkan berkata: ‫( هرا ما وصل إليه علمي‬inilah pendapat saya sesuai ilmu
yang saya punya).

Upaya yang dilakukan oleh para imam mazhab pada dasarnya adalah ingin
kembali pada al-Qur‟an dan hadits dengan menyiapkan segala perangkatnya,
terlepas apapun kesimpulannya. Oleh karena itu, mengabaikan upaya mereka
bukanlah tindakan yang benar. Sebagian orang saat ini memiliki pandangan

9
bahwa dalam menentukan hukum syariat, setiap orang harus kembali kepada
Alquran dan hadits secara langsung. Padahal, kemampuan masing-masing orang
sangat berbeda dalam memahami Alquran dan hadits.

Bagi orang awam, mempelajari hukum-hukum Islam dengan berpedoman


pada mazhab tertentu atau kitab dalam mazhab tertentu diperbolehkan, asal tidak
ta‟assub terhadap mazhab tersebut. Dengan catatan, ketika dia memperoleh
pendapat yang lebih kuat, meskipun dari mazhab lain, itulah yang dia ambil. Jadi,
dalam keadaan tertentu, boleh mengambil pendapat dari imam mazhab lain.
Misalnya, pengikut mazhab Syafi‟i dalam melaksanakan tawaf, karena keadaan
yang ada, boleh mengambil pendapat mazhab Hanafi mengenai hal-hal yang
membatalkan wudhu. Dengan catatan, wudhunya juga harus dilakukan sesuai
dengan pendapat mazhab Hanafi.

D. HIKMAH PERBEDAAN PENDAPAT DALAM ISLAM

Syariat Islam adalah syariat yang melingkupi segala hal terkait kehidupan,
ibarat lautan yang tak bertepi, bergerak dinamis sesuai perkembangan zaman.
Oleh karena itu, banyak sekali hal-hal baru yang belum pernah terjadi sebelumnya
dan membutuhkan keputusan hukum dari para ulama. Karena masalah-masalah
baru selalu muncul, maka pintu ijtihad harus tetap terbuka, agar masalah-masalah
baru tersebut dapat diputuskan hukum-hukumnya sesuai dengan ajaran Islam.

Salah satu penyebab terjadinya fanatisme mazhab yang menyebabkan


kejumudan perkembangan ilmu fiqih adalah adanya campur tangan penguasa dan
pebisnis dalam mendirikan pusat-pusat studi yang berdasarkan mazhab tertentu,
dan membela mati-matian pendapat imamnya. Perbedaan dianggap sebagai suatu
hal yang buruk dan harus dihindari. Padahal tidak selamanya perbedaan pendapat
itu buruk, karena banyak hikmah dari perbedaan pendapat tersebut yang dapat
diambil dan dijadikan sebagai solusi permasalahan yang sedang dihadapi umat
Islam.

10
Harus dapat dipahami bahwa syariat Islam itu tidak beku dan tidak akan
pernah ketinggalan zaman, karena syariat Islam memiliki prinsip sebagai solusi
dalam memecahkan segala permasalahan yang dihadapi umat manusia dengan
cara melakukan ijtihad. Untuk hal-hal yang bersifat muamalah sesame manusia,
ijtihad sangat dibutuhkan dan sangat perlu dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan hidup yang terus berkembang (Hasan, 2002:92).

Perbedaan pendapat dalam Islam merupakan rahmat dan kemudahan bagi


pemeluknya, karena memperkaya dalam pengambilan solusi suatu masalah.
Adakalanya pandangan imam mazhab yang diputuskan beberapa dekade yang lalu
sudah tidak sesuai dengan kondisi yang ada saat ini. Oleh karena itu, kekayaan
pendapat para ulama terdahulu dapat dijadikan sebagai alternatif dalam
menyelesaikan suatu perkara.

Keluwesan dalam bermazhab memungkinkan umat Islam dapat memahami


persoalan-persoalan keagamaan dari sudut pandang yang lebih luas dan
komprehensif. Para ulama terdahulu memiliki latar belakang dan pemahaman
yang berbeda terhadap suatu masalah. Tujuan utama para imam mazhab adalah
mempermudah umat Islam memahami hukum-hukum syariat, sehingga perbedaan
yang terjadi diantara mereka semata-mata untuk memudahkan umat Islam yang
datang setelahnya.

Bagi pelajar/pembaca, perbedaan pendapat para ulama dapat menjadi


contoh dalam melakukan ijtihad, memilih hukum yang paling sesuai, dan
mendidik untuk menghormati pendapat yang berbeda. Sehingga generasi muda
yang ada saat ini tidak lagi mudah menyalahkan kelompok yang berbeda
dengannya. Toleransi dan sikap saling hormat yang ditunjukkan para ulama
terdahulu patut menjadi contoh bagi generasi saat ini, dengan demikian tidak akan
terjadi lagi saling menyalahkan hanya gara-gara perbedaan dalam masalah furu‟.

11
E. PROFIL EMPAT MAZHAB DALAM ISLAM: MAZHAB
IMAM HANAFI, MAZHAB MALIKI, MAZHAB SYAFI’I,
DAN MAZHAB HANBALI

MAZHAB HANAFI
Mazhab Hanafi, didirikan oleh Imam Abu Hanifah. Nama Imam Abu
Hanifah adalah Nu‟man ibn Tsabit ibn Zuta ibn Mah (80—150 H/700—767 M).
Ayah beliau berasal dari keturunan Persia (Kabul, Afganistan) yang pindah ke
Kufah sebelum Imam Abu Hanifah lahir. Beliau dipanggil Abu Hanifah karena
memiliki putra yang bernama Hanifah. Riwayat lain mengatakan beliau dipanggil
Abu Hanifah karena beliau rajin beribadah dan bersungguh-sungguh dalam
melaksanakan ajaran agama Islam (Chalil, 2005:3).
Imam Abu Hanifah terkenal sebagai imam ahlu al-ra’yi dan faqih Irak.
Disebut imam ahlu al-ra’yi karena beliau sering menggunakan qiyas dan istihsan
dalam menentukan suatu hukum. Abu Hanifah belajar fiqih selama 18 tahun
kepada Hammad ibn Abi Sulaiman. Metode pengambilan hukum yang dilakukan
oleh Imam Abu Hanifah dapat dilihat dari perkataan beliau berikut:
“aku memberikan hukum berdasarkan Alquran, apabila tidak aku jumpai
dalam Alquran, maka aku gunakan hadits Rasulullah SAW, dan jika tidak ada
dalam keduanya, aku dasarkan pada pendapat sahabat-sahabatnya. Aku
berpegang pada pendapat siapa saja dari para sahabat dan aku tinggalkan apa
saja yang tidak kusukai dan tetap berpegang kepada satu pendapat saja”
Dasar-dasar Mazhab Hanafi adalah sebagai berikut:
a) Alquran, sumber pokok ajaran Islam.
b) As-sunnah, merupakan penjelasan Alquran, merinci hukum-
hukum yang masih bersifat umum.
c) Aqwal al-sahabah, dalam pandangan Imam Abu Hanifah,
perkataan para sahabat memperoleh posisi yang kuat. Beliau
memandang para sahabat sebagai pembawa risalah Islam setelah
wafatnya Nabi. Pengetahuan keagamaan mereka lebih dekat
kepada kebenaran karena merupakan murid langsung Nabi SAW.
Menurut Imam Abu Hanifah, hukum-hukum yang berdasarkan

12
ijmak sahabat bersifat mengikat, sedangkan hukum yang
ditetapkan dengan fatwa salah satu sahabat tidak mengikat.
d) Qiyas, apabila tidak menemukan dasar hukum di dalam Alquran,
Sunnah, atau perkataan sahabat, Imam Abu Hanifah berpegang
kepada Qiyas. Beliau menghubungkan sesuatu yang belum ada
hukumnya kepada nash yang ada dengan memperhatikan illat
yang sama diantara keduanya. Selama ada nash hukum, Abu
Hanifah tidak akan menggunakan qiyas.
e) Istihsan, merupakan pengembangan dari qiyas, hanya saja
penggunaan akal lebih menonjol. Istihsan berarti “menganggap
baik” atau “mencari yang baik”. Menurut istilah fiqih, istihsan
adalah meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas illatnya untuk
mengambil qiyas yang samar illatnya.
f) Urf, beliau mengambil hukum adat yang sudah diyakini dan
dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan
muamalah manusia dan yang memberi maslahat bagi mereka.

MAZHAB MALIKI
Didirikan oleh Imam Malik ibn Anas ibn Abi „Amr (93—179 H). Beliau
merupakan ulama kota Madinah dan imam ahli Hijaz. Imam Malik hafal Alquran
dan hadits-hadits Rasulullah. Ingatan beliau sangat kuat, beliau biasa
mengumpulkan hadits yang didengar dari paru gurunya. Beliau belajar fiqih
kepada Rabi‟ah ibn Abd ar-Rahman, dan merupakan pengarang Kitab al-
Muwattha‟. Beliau juga merupakan salah satu guru dari Imam Syafi‟i.
Dasar-dasar Mazhab Maliki adalah sebagai berikut:
a) Alquran, beliau menggunakan nash al-Kitab (ayat Al Qur‟an yang
jelas artinya, yang tidak dapat dipalingkan artinya kepada arti yang
lain), dzaahir al-Kitab (ayat Al Qur‟an yang jelas artinya, yang
tidak dapat dipalingkan artinya kepada arti yang lain), dalil al-
Kitab (mafhum mukholafah dari suatu ayat Al Qur‟an), mafhum
muwafaqah dari suatu ayat Al Qur‟an, dan tanbih al-Kitab;

13
b) Sunnah Rasul yang beliau pandang shahih;
c) Ijmak para ulama Madinah, terkadang beliau menolak hadits
apabila berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah;
d) Qiyas; dan
e) Istishlah/mashalih al-mursalah, yaitu menetapkan sesuatu yang
telah ada karena suatu hal yang belum diyakini, memelihara tujuan-
tujuan syara‟ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak
makhluk.

Imam Malik sangat berhati-hati dan teliti dalam menetapkan hukum-


hukum keagamaan, terutama dalam menerima hadits yang diriwayatkan dari
Rasulullah SAW. Beliau pernah ditanyakan empat puluh delapan permasalahan
agama, dan beliau menjawab “saya belum tahu”. Sebelum mengeluarkan fatwa,
Imam Malik selalu meminta kesaksian dan kesepakatan dari ulama-ulama yang
ada pada saat itu (Hasan, 2002:199—200).

MAZHAB SYAFI’I
Didirikan oleh Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i (150—204 H), nasabnya
bertemu dengan Rasulullah SAW pada Abdi Manaf. Pada masa kecilnya, Imam
Syafi‟i belajar bahasa kepada Hudzail, seorang ahli bahasa dan penyair ternama di
Mekkah. Beliau belajar fiqih di Mekkah kepada Muslim ibn Khalid al-Zanji yang
memberinya izin untuk berfatwa pada usia 15 tahun. Imam Syafi‟i juga pernah
belajar kepada Imam Malik, dan mampu menghafal kitab al-Muwattha’ hanya
dalam 9 malam.
Imam Syafi‟i juga meriwayatkan hadits dari beberapa ulama terkemuka,
seperti Sofyan ibn Uyainah. Imam Syafi‟i pernah bertemu dengan Ahmad ibn
Hanbal di Kufah 187 H, dan di Bagdad 195 H. Beberapa kitab yang dikarang oleh
Imam Syafi;i adalah al-Hujjah, al-Risalah, al-Umm, dan sebagainya. Imam
Syafi‟i tidak menggunakan istihsan dan amal ahlu madinah, beliau menganggap
orang yang memakai istihsan bererti telah membuat syariat sendiri ‫من استحسن فقد‬

‫شرع‬.
Dasar-dasar Mazhab Syafi‟i adalah sebagai berikut:

14
a) Alquran, beliau mengambil makna lahir dari dari ayat, kecuali jika
didapati alasan yang menunjukkan arti yang lain yang harus
dipakai dan diikuti.
b) As-sunnah, beliau tidak hanya mengambil hadits mutawatir saja,
akan tetapi mengambil hadits ahad juga jika syarat-syaratnya
terpenuhi, seperti perawi terpercaya, kuat ingatannya, dan
bersambung langsung sampai ke Nabi SAW.
c) Ijmak, jika para sahabat menyepakatinya. Imam Syafi‟i lebih
mendahulukan hadits ahad daripada ijmak yang bersendikan
ijtihad, kecuali jika ada riwayat bahwa ijmak tersebut diriwayatkan
oleh orang ramai.
d) Qiyas, apabila ketiga dasar hukum di atas tidak beliau temui,
Imam Syafi‟i memilih untuk menggunakan qiyas. Akan tetapi,
beliau hanya menggunakan qiyas dalam menentukan hukum di
bidang muamalah, tidak pada hukum ibadah.
e) Istidlal/istishab, Imam Syafi‟i menggunakan istidlal dengan cara
mencari alasan atas adat dan kaidah-kaidah agama ahli kitab yang
tidak dihapus oleh Alquran.

MAZHAB HANBALI
Didirikan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal al-Syaibani (164—241 H). Imam
Ahmad lahir dan besar di Bagdad, beliau melakukan perjalanan ke beberpa kota
seperti Kufah, Basrah, Mekkah, Madinah, Yaman, Syam, dan lain-lain. Imam
Ahmad pernh berguru kepada lebih dari 100 syaikh, beliau terkenal sebagai imam
hadits pada masanya. Beliau mengarang kitab Musnad Ahmad. Dalam
memutuskan hukum beliau menggunakan hadits mursal, dan hadits dhaif yang
menyamai darajat hadits hasan, dan lebih mengutamakan hadits mursal dan dhaif
daripada qiyas.
Imam Ahmad sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa tentang urusan
agama dan hukum-hukum yang berkenaan dengan agama. Imam Ahmad
menganggap bahwa ijmak tidak mungkin terjadi, karena sulit untuk memastikan
apakah para sahabat seluruhnya setuju terhadap suatu masalah. Keputusan sahabat

15
di satu tempat belum tentu disetujui oleh sahabat yang ada di tempat lain. Imam
Ahmad juga tidak suka menggunakan qiyas, kecuali dalam keadaan darurat.
Dasar-dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:
a) Nash Alquran dan Sunnah, jika beliau menemukan nash, maka
beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil lain dan pendapat
sahabat yang menyalahinya;
b) Fatwa sahaby, ketika beliau tidak mendapati nash Alquran dan
Sunnah, maka beliau menggunakan pendapat sahabat yang tidak
ditemukan ada pertentangan padanya;
c) Pendapat sebagian sahabat, apabila terdapat beberapa pendapat
dalam satu masalah, beliau mengambil yang lebih dekat dengan
Alquran dan Sunnah;
d) Hadits mursal atau hadits dhaif, jika tidak berlawanan dengan
sesuatu atsar atau pendapat sahabat;
e) Qiyas, jika tidak menemukan ketentuan hukum berdasarkan
sumber-sumber di atas.

16
DAFTAR PUSTAKA

„Awwamah, Muhammad. 1997. Melacak Akar Perbedaan Mazhab. Bandung:


Pustaka Hidayah

Al-Dimasyqi Abi Abdillah ibn Abd al-Rahman.----. Rahmat al-Ummah fi Ikhtilaf


al-A’immah. Al-Maktabah al-Taufiqiyah.

Al-Jazairy, Abd Al-Rahman. 2003. Kitab al-Fiqhi ‘ala Mazahib al-Arba’ah, cet.2.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah

Asy-Syurbasi, Dr. Ahmad. 1993. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab:
Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Chalil, K.H. Moenawar. 2005. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Jakarta:
Bulan Bintang

Haidir, Abdullah. 2004. Mazhab Fiqih Kedudukan dan Cara Menyikapinya.


Riyadh: Dar Khalid ibn Al-Waleed for Publication and Distribution

Hasan, M. Ali. 2002. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafinso Persada

Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad. 2010. Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, jil.1. Kairo: Dar ibn al-Jauzy.

Ibn Taimiyah, Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Abd al-Salam. 1993. Raf’u al-Malam
‘an Aimmati al-‘A’laam. Riyadh: Wakalah al-Thiba‟ah wa at-Tarjamah

Zuhaily, Wahbah. 1985. Al-fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, juz 1, cet. 2. Damaskus:


Dar al-Fikr

17

Anda mungkin juga menyukai