Oleh :
1. Pergolakan politik telah mengakibatkan terpecahnya negeri islam pada waktu itu menjadi
beberapa negeri kecil, sehingga, negeri-negeri tersebut selalu mengalami kesibukan-
kesibukan berupa perang, fitnah memfitnah dan hilangnya ketentraman masyarakat. Salah
satu kelanjutannya ialah kurangnya perhatian terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.
2. Pada fase ini, kehidupan hukum islam telah timbul mazhab-mazhab yang mempunyai
metode dan cara berpikir sendiri dibawah seorang imam mujtahid. Konsekuensinya ialah
bahwa pengikut-pengikut mazhab tersebutlah yang berusaha membela mazhabnya sendiri
dan mempertahankan dasar dan pendapat serta menyalahkan mazhab lain.
3. Pada masa sebelumnya para fuqaha harus berijtihad sendiri karena mereka berpendapat
kemudian pendapat mereka dibukukan. Dari inilah orang setelah mereka dan generasi
sesudah mereka tinggal mencari dan memberi jawaban atas buku yang telah ditulis oleh
fuqaha sebelum mereka.
Maka yang terjadi bagi orang yang setelah mereka merasa cukup dengan hasil ijtihad para
fuqaha. Dengan deimkian maka tidak ada dorongan untuk lebih maju.
4. Pada masa sebelumnya hakim yang ditunjuk terdiri dari dari orang-orang yang melakukan
ijtihad sendiri. Akan tetapi, pada masa kemudiannya hakim-hakim yang diangkat dari orang
yang bertaqlid kepada mazhab tertentu. Akibatnya, hakim tersebut keputusannya menjadi
sasaran kritikan dari penganut mazhab lain.
5. Kaum muslimin pada masa ini tidak lagi mengadakan tindakan tertentu dalam bidang
penetapan pendapat atau mengadakan jaminan agar ijtihad jangan sampai digunakan oleh
orang-orang yang tidak berhak menggunakan ijtihad sembarangan.
6. Dorongan para penguasa kepada hakim (qodli) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan
dengan merujuk kepada salah satu madzhab fiqih yang disetujui khalifah saja.
7. Munculnya sikap at taassub al madzhabi yang menimbulkan sikap kebekuan berfikir dan
taqlid[6] di kalangan murid imam madzhab.
8. Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing madzhab yang memudahkan
orang untuk memilih pendapat madzhabnya dan menjadikan buku tersebut rujukan bagi
masing-masing madzhab, sehingga aktivitas ijtihad benar-benar berhenti.
KEGIATAN ULAMA PADA MASA TAQLID
DAN JUMUD
Sebagaimana diketahui, pada masa abad ke IV telah terbentuk mazhab-mazhab fiqh.
Namun kecenderungan yang tidak begitu baik dalam perkembangan fiqh, yakni
munculnya ketergantungan kepada mazhab dan tumbuhnya perasaan berkecukupan secara
meluas dan mendalam. Para ulama berupaya menjaga pendapat mazhab fiqhnya dengan
mengembangkan pemikiran mazhabnya secara internal melalui pembuatanringkasan-
ringkasan (mukhtashar) terhadap kitab-kitab fiqh yang tebal. Bahkan ada yang disebut
mukhtashar jiddan yang merupakan ringkasan dari ringkasan. Selain itu, para ulama pada
fase ini melakukan ulasan-ulasan dan penjelasan-penjelasan (syarah) serta penjelasan dari
kitab yang sudah dibuat penjelasannya (hasiyyah) terhadap kitab fiqh yang rongkas dan
kurang luas, sehingga dalam proses belajar fiqh menjadi berat, yakni harus menguasai,
menghafal dan menjaga seluruh isi kitab fiqh dan menjaga cara-cara (istinbath ahkam)
yang ditempuh. Selain itu, aktivitas ulama juga terfokus pada pentarjihan terhadap
pendapat yang berbeda –beda dalam suatu mazhab, baik itu segi dari riwayah danpun
dirayah.
TINGKATAN PARA ULAMA DALAM MAZHAB (Tingkatan
Para Mujtahid)
1. Mujtahid Mustaqil
Mujtahid Mustaqil adalah orang yang secara mandiri bisa meletakkan kaidah-kaidah untuk dirinya sendiri.
Jadi, ia merumuskan sendiri (independen) kemudian menjadikannya sebagai metodologi dalam hukum
Islam, seperti yang dilakukan oleh Imam mazhab Empat yaitu :
Mujtahid Mutlaq adalah seorang mujtahid yang memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad seperti yang
dimiliki oleh seorang mujtahid mustaqil, tetapi ia tidak mencari kaidah-kaidah untuk dirinya sendiri. Dalam
persoalan ijtihad ia mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh imam mazhab. Tokoh-tokoh yang termasuk
mujtahid mutlaq muntasib :
- Ibnu Al-Qasim, Asyab, dan Asad bin Al- Furat dari Mazhab Maliki
- Al-Buthi dan Al-Mazani dari Mazhab Syafi'i
- Abu Bakar Al-Atsram dan Abu Bakar Al-Murudzi dari mazhab Hambali
3. Mujtahid Muqayyad
Mujtahid Muqayyad adalah seorang yang berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada
nasnya yang dapat diambil dari pendiri mazhab atau dari mereka yang mengeluarkan hukum (dari
dalil-dalil menurut kaidah-kaidah mazhabnya). Berikut tokoh-tokoh yang termasuk imam mujtahid
Muqayyad :
4. Mujtahid Tarjih
Mujtahid Tarjih adalah seseorang mujtahid yang memungkinkan dirinya men-tarjih (menguatkan)
pendapat seorang imam mazhab dengan pendapat orang lain, atau men-tarjih antara pendapat imam
dan pendapat para muridnya, atau dapat men-tarjih pendapat bukan imamnya. Syaratnya adalah
dengan mengutamakan sebagian riwayat atas sebagian riwayat yang lain.
Adapun tokoh-tokoh yang termasuk dalam imam mujtahid tarjih antara lain :
5. Mujtahid Fatwa
Mujtahid Fatwa adalah seorang yang memelihara pendapat mazhab, menukilnya dan memahaminya,
baik pendapat yang jelas maupun pendapat yang mushkil (sukar). Selain itu, mujtahid ini juga
membedakan pendapat yang kuat dengan yang lebih kuat dan membedakan pendapat yang lemah dari
pendapat yang paling lemah, akan tetapi tidak mampu menetapkan dalil-dalilnya dan qiyas-qiyasnya
seperti para penulis kitab fiqih terdahulu. Contohnya :
- Al-Kanz penulsi Darul Mukhtar
- penulis Majma' Al-Anhar
- Imam Rafi'i dan Imam Nawawi
6. Thabaqah Al-Muqallidin
mereka hanya mengikuti pendapat imam mazhab tanpa melakukan usaha penguatan atau pemilihan
antara pendapat yang berbeda.
USAHA-USAHA ULAMA DALAM MENGATASI TAQLID
DAN JUMUD
Meskipun pada periode ini akal fikiran serta ide-ide para ulama terkekang, hal ini tidak mengubah
keinginan mereka untuk berkreasi dalam hukum islam. Para ulama menghimpun, mentarjih (memilih mana
yang terkuat) berbagai riwayat, mencari kekuatan hukumnya, kemudian merumuskan dasar-dasar pijakan dan
kaidah-kaidah ushuliyyah yang menjadi landasan ijtihad dan fatwa para imam. Para ulama dihadapakan
dengan diskusi, dilaog dan perdebatan diantara kalangan sendiri. Kegiatan seperti ini hasilnya dapat kita lihat
hasil karya mereka,berupa:
- Ikhtisar (Mukhtashar):
- Sebagai kata mukhtashar berarti ringkasan, intisari. Istilah ini sepadan dengan kata khulashah dan mujaz.
- Mukhtashar merupakan salah satu bentuk kreativitas ilmiah dalam sejarah intelektual Islam, karena tujuan
penulisan karya-karya ini untuk menyusun isi suatu kitab secara ringkas, sistematis, dan tematis, sehingga
memudahkan generasi pelajar berikutnya untuk memahami dan menyelami pemikiran-pemikiran pokok sang
penulis.
Banyak kitab matan yang diringkas, seperti kitab Ihya ‘Ulum ad-Din, yang diringkas oleh
pengarangnya sendiri, Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, yang disebut Mukh
tashar al-Ihya. Al-Musnad, karya Imam Ahmad bin Hanbal, yang diringkas oleh putranya, Abdullah
bin Ahmad, dengan judul Tsulatsiyyat. Contoh lainnya, kitab Mukhtashar al-Mudawwanah, karya Al-
Qairawani, yang merupakan ringkasan kitab Al-Mudawwanah al-Kubra, karya Abdussalam bin Said
At-Tanukhi, kitab Asy-Syafi fi Ikhtishar al-Kafi, karya Abu Al-Baqa Al-Qurasyi, yang merupakan
ringkasan kitab Al-Kafi fi al-Fiqh, karya Abu al-Fadhl Muhammad Al-Marwazi.
Hasyiyah :
- Sebagai kata, hasyiyah berarti anggota badan yang berada di dalam perut, seperti limpa dan
jantung. Juga dapat berarti bagian pinggir baju. Jika artinya digabungkan dengan kitab (hasyiyah al-
kitab), berarti catatan yang ditulis menyangkut isi kitab tersebut.
Dalam konteks fiqih, istilah hasyiyah merupakan penjelasan yang lebih luas dari syarah. Pada
umumnya, hasyiyah merupakan tangga penjelasan ilmiah kedua atas karya matan setelah syarah.
Contohnya, kitab Fath al-Qarib, karya Ibn Al-Qasim Al-Ghuzzi, yang merupakan syarah kitab Al-
Ghayah wa at-Taqrib, yang diberikan catatan tambahan dan perluasan oleh Ibrahim Al-Bajuri dalam
karyanya Hasyiyah Al-Bajuri. Ada juga hasyiyah di bidang tafsir, seperti hasyiyah Syaikh Ahmad Ash-
Shawi Al-Maliki atas kitab tafsir karya dua ulama agung, As-Suyuthi dan Al-Mahalli, yang dikenal
dengan Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalayn.
- Namun ada juga kitab hasyiyah, sebagaimana yang dinamakan sendiri oleh penulisnya, yang
mensyarah kitab matan, langsung tanpa melalui syarahnya. Salah satu contohnya adalah karya
Syaikh Abdullah bin Fadhl Asy-Syaikh Al-Asymawi atas kitab Matn al-Ajrumiyyah yang berjudul
Hasyiyah al-Asymawi.
- Hasyiyah digunakan untuk menjelaskan lebih jauh materi yang terdapat di kitab matan dan kitab
syarah. Biasanya persoalan-persoalan yang kurang transparan dalam matan dan syarah diperjelas
lagi dalam karya yang disebut hasyiyah ini.
Syarah :
- Sebagai kata, memiliki arti yang banyak, di antaranya memotong (qatha’a), menyingkap (kasyafa),
membuka (fataha), memahami (fahima), menjelaskan (bayyana), menafsirkan (fassara), dan
memperluas (wassa’a).
- Dalam istilah fiqih, syarah bisa berarti penjelasan suatu istilah atau suatu kitab secara keseluruhan.
Kitab syarah selalu dibarengi dengan teks asli (matan) dari kitab yang diulasnya. Contohnya, kitab Al-
Majmu’, karya An-Nawawi, yang mensyarah kitab Al-Muhadzdzab, karya Abu Ishaq Asy-Syirazi, dan
kitab Fath al-Qarib, karya Ibn Al-Qasim Al-Ghuzzi, yang merupakan syarah kitab Al-Ghayah wa at-
Taqrib, karya Syaikh Abu Syuja‘. Ada juga kitab Al-Kharit ‘ala Manzhumah al-Yawaqit oleh Sayyid
Muhammad bin Hasyim Bin Thahir atas Manzhumah al-Yawaqit, karya Sayyid Muhammad bin
Ahmad Asy-Syathiri. Begitu pula dengan Al-Muwaththa‘, karya Imam Malik, yang disyarah oleh Ibnu
Salamah Al-Ahfasyi dalam karyanya Tafsir Gharib al-Muwaththa‘, kitab Kifayah al-‘Awam, yang
disyarah Al-Bantani dengan karya berjudul ‘Aqidah al-‘Awam, kitab ar-Risalah, karya Al-Qairawani
Al-Maliki, yang disyarah Ibn Al-Fakhkhar Al-Judzami dengan karya berjudul Nash al-Maqalah fi
Syarh ar-Risalah, kitab Al-Kharraj, karya Imam Abu Yusuf Al-Hanafi, yang disyarah oleh Ibnu
Muhammad Ar-Rahibi dengan karya berjudul Fiqh al-Muluk ‘ala Khizanah Kitab al-Kharaj.
Munculnya syarah atas suatu kitab matan adalah bukti aktivitas ilmiah dan akademis di kalangan
ulama masa lampau. Upaya syarah sangat dibutuhkan untuk menerjemahkan maksud penulis kitab
matan bagi para pembacanya, sehingga mereka dapat memahami teks-teks tersebut.
- Tradisi syarah ini berkembang pesat setelah mapannya pembentukan madzhab fiqih (tadwin al-
madzahib) sekitar abad ke-3 H/8 M, bahkan kegiatan syarah telah muncul di masa tabi’in, ketika
mereka melakukan syarah atas warisan karya yang ditinggalkan masa sahabat. Abu Zinad Abdullah
bin Zakwan (w. 131 H/748 M), misalnya, mensyarah kitab Al-Fara‘idh, yang ditulis Zaid bin Tsabit (w.
45 H/665 M). Matan dan syarah bidang ilmu waris ini dinukil oleh Abu Bakar Ahmad Al-Baihaqi
dalam kitabnya As-Sunan al-Kubra, sebuah kitab induk dalam hadits.
SUMBER HUKUM YANG DIGUNAKAN PADA
PERIODE MURRAJIHIN
1. Al-Qur’an
2. Sunnah
3. Ijma’
4. Pendapat para imam mazhab
5. Hasil tarjih daei kitab imam-imam mazhab
Pengaruh aliran dan sistem hukum pada masa taqlid dan jumud
ANY QUESTION ?