Anda di halaman 1dari 19

SEJARAH HUKUM ISLAM

PADA PERIODE MURRAJIHIN


(Masa Taqlid dan Jumud)

Oleh :

1. Alifia Mahardina Zahro


2. Indri Nur Anandita
Pendahuluan
Pada awal abad ke-3 hijriyyah, ditengah tengah pesatnya perhatian ulama terhadap ilmu fiqih dan
berkembangnya kajian-kajian fiqih di berbagai wilayah, kebebasan berpendapat mulai mengalami penahanan.
Seiring dengan hal tersebut, pemerintahan Daulat Bani Abbasiyah pun mengalami pergolakan, dikarenakan
adanya pro-kontra terhadap sikap kepemerintahan yang dinilai tidak tegas sehingga menimbulkan fanatisme
kesukuan dan kecenderungan pemahaman fiqih yang mendominasi daerah-daerah tertentu mulai melakukan
pembelaan terhadap madzhabnya. Ditambah dengan kondisi sosial politik yang tidak menentu, maka pada
pertengahan abad ke 4 H, pemerintah daulat bani abasiyah mulai terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil
yang memiliki otonomi sendiri yang saling bersaing dan berperang hingga jatuhnya kota baghdad.
Rangkaian peristiwa tersebut memicu munculnya periode penutupan pintu ijtihad karena tidak adanya
orang yang mampu lagi berijtihad. Mereka merasa tidak mampu lagi menyamai keluasan dan kecerdasan
berfikir para ulama terdahulu, sehingga mereka hanya mengadakan pembelaan terhadap madzhab masing-
masing. Hal seperti ini menyebabkan semakin banyaknya perbedaan dalam pemecahan masalah yang semakin
kompleks.
Dengan adanya perbedaan pendapat ulama tentang pemecahan – pemecahan masalah, baik itu dalam hal
ibadah, ketuhanan, syari’at dan masih banyak lagi, akhirnya muncullah imam-imam madzhab dengan
membawa hasil ijtihadnya masih-masing. Ijtihad para imam tersebut untuk meminimallisir perbedaan serta
untuk menemukan keputusan hukum yang benar atau mendekati kebenaran.
PENGERTIAN tarjih dan MURRAJIHIN
Secara etimologi, kata tarjih berasal dari kata ‫ رجح‬yang berarti menguatkan.
Sedangkan secara terminologi, ada beberapa pendapat yang diajukan oleh ulama
fiqih mengenai pengertian tarjih salah satunya menurut jumhur ulama yang
berpendapat bahwa tarjih adalah karena karakteristik dalil itu sendiri :

‫تقوية احدى االمارتين على االخرى ليعمل بها‬


“menguatkan salah satu dalil yang dzonni dari yang lainnya untuk diamalkan
(diterapkan) berdasarkan dalil tersebut.”

Adapun murajjihin ialah orang-orang yang mampu mentarjih (menganggap


kuat), suatu pendapat bagi imam madzhab terhadap pendapat lainnya. Dalam arti
menguatkan pendapat imam suatu madzhab dengan membandingkan kekuatan
imam madzhab tersebut terhadap muridnya atau imam lainnya.
Awal Kemunculan Murajihun dan gejala-gejala tasyri’
pada masa ini
Setelah rasaulullah SAW wafat, aktifitas ijtihad menjadi semacam trend keilmuan di
kalangan para ulama. Keadaan ini bertujuan untuk mecari solusi atas problematika yang
timbul di tengah-tengah masyarakat. Dimana semakin berkembangnya zaman, maka
masalah dan konflik menjadi semakin kompleks, sehingga ijtihad menjadi urgent, dan
sangat dibutuhkan didalamnya.
Namun setelah abad pertengahan ke-4 hijriyah, ijtihad menjadi bumerang dari
perpecahan umat islam. Masalah ini terjadi karena aktifitas ijtihad sudah terkontaminasi
oleh politik dan kekuasaan. Ijtihad diposisikan sebagai justifikasi atas kebijakan dan
sikap politis para penguasa, sehingga ijtihad berfungsi hanya sebagai kedok.
Sejalan dengan keadaan ini, akhirnya para ulama menyatakan untuk menutup pintu
ijtihad, agar tidak ada orang yang menyalahgunakan ijtihad bagi kepentingan prinbadi
atau golongannya.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMICU
TERHENTINYA KEGIATAN IJTIHAD
Faktor-faktor yang memicu terhentinya kegiatan ijtihad antara lain :

1. Pergolakan politik telah mengakibatkan terpecahnya negeri islam pada waktu itu menjadi
beberapa negeri kecil, sehingga, negeri-negeri tersebut selalu mengalami kesibukan-
kesibukan berupa perang, fitnah memfitnah dan hilangnya ketentraman masyarakat. Salah
satu kelanjutannya ialah kurangnya perhatian terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.
2. Pada fase ini, kehidupan hukum islam telah timbul mazhab-mazhab yang mempunyai
metode dan cara berpikir sendiri dibawah seorang imam mujtahid. Konsekuensinya ialah
bahwa pengikut-pengikut mazhab tersebutlah yang berusaha membela mazhabnya sendiri
dan mempertahankan dasar dan pendapat serta menyalahkan mazhab lain.
3. Pada masa sebelumnya para fuqaha harus berijtihad sendiri karena mereka berpendapat
kemudian pendapat mereka dibukukan. Dari inilah orang setelah mereka dan generasi
sesudah mereka tinggal mencari dan memberi jawaban atas buku yang telah ditulis oleh
fuqaha sebelum mereka.
Maka yang terjadi bagi orang yang setelah mereka merasa cukup dengan hasil ijtihad para
fuqaha. Dengan deimkian maka tidak ada dorongan untuk lebih maju.
4. Pada masa sebelumnya hakim yang ditunjuk terdiri dari dari orang-orang yang melakukan
ijtihad sendiri. Akan tetapi, pada masa kemudiannya hakim-hakim yang diangkat dari orang
yang bertaqlid kepada mazhab tertentu. Akibatnya, hakim tersebut keputusannya menjadi
sasaran kritikan dari penganut mazhab lain.
5. Kaum muslimin pada masa ini tidak lagi mengadakan tindakan tertentu dalam bidang
penetapan pendapat atau mengadakan jaminan agar ijtihad jangan sampai digunakan oleh
orang-orang yang tidak berhak menggunakan ijtihad sembarangan.
6. Dorongan para penguasa kepada hakim (qodli) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan
dengan merujuk kepada salah satu madzhab fiqih yang disetujui khalifah saja.
7. Munculnya sikap at taassub al madzhabi yang menimbulkan sikap kebekuan berfikir dan
taqlid[6] di kalangan murid imam madzhab.
8. Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing madzhab yang memudahkan
orang untuk memilih pendapat madzhabnya dan menjadikan buku tersebut rujukan bagi
masing-masing madzhab, sehingga aktivitas ijtihad benar-benar berhenti.
KEGIATAN ULAMA PADA MASA TAQLID
DAN JUMUD
Sebagaimana diketahui, pada masa abad ke IV telah terbentuk mazhab-mazhab fiqh.
Namun kecenderungan yang tidak begitu baik dalam perkembangan fiqh, yakni
munculnya ketergantungan kepada mazhab dan tumbuhnya perasaan berkecukupan secara
meluas dan mendalam. Para ulama berupaya menjaga pendapat mazhab fiqhnya dengan
mengembangkan pemikiran mazhabnya secara internal melalui pembuatanringkasan-
ringkasan (mukhtashar) terhadap kitab-kitab fiqh yang tebal. Bahkan ada yang disebut
mukhtashar jiddan yang merupakan ringkasan dari ringkasan. Selain itu, para ulama pada
fase ini melakukan ulasan-ulasan dan penjelasan-penjelasan (syarah) serta penjelasan dari
kitab yang sudah dibuat penjelasannya (hasiyyah) terhadap kitab fiqh yang rongkas dan
kurang luas, sehingga dalam proses belajar fiqh menjadi berat, yakni harus menguasai,
menghafal dan menjaga seluruh isi kitab fiqh dan menjaga cara-cara (istinbath ahkam)
yang ditempuh. Selain itu, aktivitas ulama juga terfokus pada pentarjihan terhadap
pendapat yang berbeda –beda dalam suatu mazhab, baik itu segi dari riwayah danpun
dirayah.
TINGKATAN PARA ULAMA DALAM MAZHAB (Tingkatan
Para Mujtahid)
1. Mujtahid Mustaqil

Mujtahid Mustaqil adalah orang yang secara mandiri bisa meletakkan kaidah-kaidah untuk dirinya sendiri.
Jadi, ia merumuskan sendiri (independen) kemudian menjadikannya sebagai metodologi dalam hukum
Islam, seperti yang dilakukan oleh Imam mazhab Empat yaitu :

- Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali.

2. Mujtahid Mutlaq Muntasib

Mujtahid Mutlaq adalah seorang mujtahid yang memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad seperti yang
dimiliki oleh seorang mujtahid mustaqil, tetapi ia tidak mencari kaidah-kaidah untuk dirinya sendiri. Dalam
persoalan ijtihad ia mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh imam mazhab. Tokoh-tokoh yang termasuk
mujtahid mutlaq muntasib :

- Abu Yusuf, Muhammad dan Zafar dari mazhab Hanafi

- Ibnu Al-Qasim, Asyab, dan Asad bin Al- Furat dari Mazhab Maliki
- Al-Buthi dan Al-Mazani dari Mazhab Syafi'i
- Abu Bakar Al-Atsram dan Abu Bakar Al-Murudzi dari mazhab Hambali

3. Mujtahid Muqayyad
Mujtahid Muqayyad adalah seorang yang berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada
nasnya yang dapat diambil dari pendiri mazhab atau dari mereka yang mengeluarkan hukum (dari
dalil-dalil menurut kaidah-kaidah mazhabnya). Berikut tokoh-tokoh yang termasuk imam mujtahid
Muqayyad :

- Al-Khisaf, Al-Thahawi, Al-Kurkhi, Al-Halwani, Al-Arkhisi, Al-Bazduwi dari mazhab Hanafi


- Al-Bhari dan Ibnu Abi Zaid Al-Farawani dari mazhab Maliki
- Abu Ishak Al-Syirazi, Al-Murudzi, Muhammad bin Jarir, Abu Nashar dan Khuzainah dari mazhab
Syafi'i
- Al-Qadhi Abu Ya'la dan Al-Qadhi Abu Ali bin Musa dari mazhab Hambali

4. Mujtahid Tarjih
Mujtahid Tarjih adalah seseorang mujtahid yang memungkinkan dirinya men-tarjih (menguatkan)
pendapat seorang imam mazhab dengan pendapat orang lain, atau men-tarjih antara pendapat imam
dan pendapat para muridnya, atau dapat men-tarjih pendapat bukan imamnya. Syaratnya adalah
dengan mengutamakan sebagian riwayat atas sebagian riwayat yang lain.
Adapun tokoh-tokoh yang termasuk dalam imam mujtahid tarjih antara lain :

- Al-Qaduri dan Al-Marghini (penulis al-hidayah) dari mazhab Hanafi


- Alamah Khalil dari mazhab Maliki
- Imam Rafi'i dan Imam Nawawi dari mazhab Syafi'i
- Abu Al-Khitab Mahfuzh bin Ahmad Khuludzani dari mazhab Hambali

5. Mujtahid Fatwa
Mujtahid Fatwa adalah seorang yang memelihara pendapat mazhab, menukilnya dan memahaminya,
baik pendapat yang jelas maupun pendapat yang mushkil (sukar). Selain itu, mujtahid ini juga
membedakan pendapat yang kuat dengan yang lebih kuat dan membedakan pendapat yang lemah dari
pendapat yang paling lemah, akan tetapi tidak mampu menetapkan dalil-dalilnya dan qiyas-qiyasnya
seperti para penulis kitab fiqih terdahulu. Contohnya :
- Al-Kanz penulsi Darul Mukhtar
- penulis Majma' Al-Anhar
- Imam Rafi'i dan Imam Nawawi

6. Thabaqah Al-Muqallidin
mereka hanya mengikuti pendapat imam mazhab tanpa melakukan usaha penguatan atau pemilihan
antara pendapat yang berbeda.
USAHA-USAHA ULAMA DALAM MENGATASI TAQLID
DAN JUMUD
Meskipun pada periode ini akal fikiran serta ide-ide para ulama terkekang, hal ini tidak mengubah
keinginan mereka untuk berkreasi dalam hukum islam. Para ulama menghimpun, mentarjih (memilih mana
yang terkuat) berbagai riwayat, mencari kekuatan hukumnya, kemudian merumuskan dasar-dasar pijakan dan
kaidah-kaidah ushuliyyah yang menjadi landasan ijtihad dan fatwa para imam. Para ulama dihadapakan
dengan diskusi, dilaog dan perdebatan diantara kalangan sendiri. Kegiatan seperti ini hasilnya dapat kita lihat
hasil karya mereka,berupa:

- Ikhtisar (Mukhtashar):

- Sebagai kata mukhtashar berarti ringkasan, intisari. Istilah ini sepadan dengan kata khulashah dan mujaz.

- Mukhtashar merupakan salah satu bentuk kreativitas ilmiah dalam sejarah intelektual Islam, karena tujuan
penulis­an karya-karya ini untuk menyusun isi suatu kitab secara ringkas, sistematis, dan tematis, sehingga
memudahkan ge­nerasi pelajar berikutnya untuk mema­hami dan menyelami pemikiran-pemikir­an pokok sang
penulis.
Banyak kitab matan yang diringkas, seperti kitab Ihya ‘Ulum ad-Din, yang diringkas oleh
pengarangnya sendiri, Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Muham­mad Al-Ghazali, yang disebut Mukh­
tashar al-Ihya. Al-Musnad, karya Imam Ahmad bin Hanbal, yang diringkas oleh putranya, Abdullah
bin Ahmad, dengan judul Tsulatsiyyat. Contoh lainnya, kitab Mukhtashar al-Mudawwanah, karya Al-
Qairawani, yang merupakan ringkasan kitab Al-Mudawwanah al-Kubra, karya Abdussalam bin Said
At-Tanukhi, kitab Asy-Syafi fi Ikhtishar al-Kafi, karya Abu Al-Baqa Al-Qurasyi, yang merupakan
ringkasan kitab Al-Kafi fi al-Fiqh, karya Abu al-Fadhl Muhammad Al-Marwazi.

Hasyiyah :

- Sebagai kata, hasyiyah berarti ang­gota badan yang berada di dalam perut, seperti limpa dan
jantung. Juga dapat ber­arti bagian pinggir baju. Jika artinya di­gabungkan dengan kitab (hasyiyah al-
kitab), berarti catatan yang ditulis me­nyangkut isi kitab tersebut.
Dalam konteks fiqih, istilah hasyiyah merupakan penjelasan yang lebih luas dari syarah. Pada
umumnya, hasyiyah merupakan tangga penjelasan ilmiah kedua atas karya matan setelah syarah.
Contohnya, kitab Fath al-Qarib, karya Ibn Al-Qasim Al-Ghuzzi, yang merupa­kan syarah kitab Al-
Ghayah wa at-Taq­rib, yang diberikan catatan tambahan dan perluasan oleh Ibrahim Al-Bajuri dalam
karyanya Hasyiyah Al-Bajuri. Ada juga hasyiyah di bidang tafsir, seperti hasyiyah Syaikh Ahmad Ash-
Shawi Al-Maliki atas kitab tafsir karya dua ulama agung, As-Suyuthi dan Al-Mahalli, yang dikenal
dengan Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalayn.

- Namun ada juga kitab hasyiyah, se­bagaimana yang dinamakan sendiri oleh penulisnya, yang
mensyarah kitab ma­tan, langsung tanpa melalui syarahnya. Salah satu contohnya adalah karya
Syaikh Abdullah bin Fadhl Asy-Syaikh Al-Asy­mawi atas kitab Matn al-Ajrumiy­yah yang berjudul
Hasyiyah al-Asymawi.

- Hasyiyah digunakan untuk menjelas­kan lebih jauh materi yang terdapat di kitab matan dan kitab
syarah. Biasanya persoalan-persoalan yang kurang trans­paran dalam matan dan syarah diper­jelas
lagi dalam karya yang disebut hasyiyah ini.
Syarah :

- Sebagai kata, memiliki arti yang ba­nyak, di antaranya memotong (qatha’a), menyingkap (kasyafa),
membuka (fata­ha), memahami (fahima), menjelaskan (bayyana), menafsirkan (fassara), dan
memperluas (wassa’a).

- Dalam istilah fiqih, syarah bisa berarti penjelasan suatu istilah atau suatu kitab secara keseluruhan.
Kitab syarah selalu dibarengi dengan teks asli (matan) dari kitab yang diulasnya. Contohnya, kitab Al-
Majmu’, karya An-Nawawi, yang mensya­rah kitab Al-Muhadzdzab, karya Abu Ishaq Asy-Syirazi, dan
kitab Fath al-Qarib, karya Ibn Al-Qasim Al-Ghuzzi, yang merupakan syarah kitab Al-Ghayah wa at-
Taqrib, karya Syaikh Abu Syuja‘. Ada juga kitab Al-Kharit ‘ala Manzhumah al-Yawaqit oleh Sayyid
Muhammad bin Hasyim Bin Thahir atas Manzhumah al-Yawaqit, karya Sayyid Muhammad bin
Ahmad Asy-Syathiri. Begitu pula dengan Al-Muwaththa‘, karya Imam Malik, yang disyarah oleh Ibnu
Salamah Al-Ahfasyi da­lam karyanya Tafsir Gharib al-Mu­wath­tha‘, kitab Kifayah al-‘Awam, yang
disya­rah Al-Bantani dengan karya ber­judul ‘Aqidah al-‘Awam, kitab ar-Risalah, karya Al-Qairawani
Al-Maliki, yang di­syarah Ibn Al-Fakhkhar Al-Judzami de­ngan karya berjudul Nash al-Maqalah fi
Syarh ar-Risalah, kitab Al-Kharraj, karya Imam Abu Yusuf Al-Hanafi, yang disya­rah oleh Ibnu
Muhammad Ar-Rahibi de­ngan karya berjudul Fiqh al-Muluk ‘ala Khizanah Kitab al-Kharaj.
Munculnya syarah atas suatu kitab matan adalah bukti aktivitas ilmiah dan akademis di kalangan
ulama masa lam­pau. Upaya syarah sangat dibutuhkan un­tuk menerjemahkan maksud penulis kitab
matan bagi para pembacanya, sehingga mereka dapat memahami teks-teks ter­sebut.

- Tradisi syarah ini berkembang pesat setelah mapannya pembentukan madz­hab fiqih (tadwin al-
madzahib) sekitar abad ke-3 H/8 M, bahkan kegiatan sya­rah telah muncul di masa tabi’in, ketika
mereka melakukan syarah atas warisan karya yang ditinggalkan masa sahabat. Abu Zinad Abdullah
bin Zakwan (w. 131 H/748 M), misalnya, mensyarah kitab Al-Fara‘idh, yang ditulis Zaid bin Tsabit (w.
45 H/665 M). Matan dan syarah bidang ilmu waris ini dinukil oleh Abu Bakar Ahmad Al-Baihaqi
dalam kitabnya As-Sunan al-Kubra, sebuah kitab induk dalam hadits.
SUMBER HUKUM YANG DIGUNAKAN PADA
PERIODE MURRAJIHIN

1. Al-Qur’an
2. Sunnah
3. Ijma’
4. Pendapat para imam mazhab
5. Hasil tarjih daei kitab imam-imam mazhab
Pengaruh aliran dan sistem hukum pada masa taqlid dan jumud

Pada akhir Abad Ke 13 pemerintah usmaniayah mengumpulkan sekelompok ulama besar


dan menugaskan mereka untuk menyusun undang-undang tentang muamalat madaniyah atau
(hukum perdata) yang bersumber dari fikih Islam,walaupun bukan berasal dari mazhab-
mazhab terkenal selama hukum yang dibentuk itu relevan dengan semangat kemajuan
modern.Pada tahun 1286 H.Para ulama tersebut sepakat untuk menetapkan undang-undang
yang mereka namai dengan majalah al-ahkam al-adliyah (majalah hukum-hukum keadilan)
dan realisasi penerapannya dimulai pada tahun 1292H.Mereka menetapkan hukum jual beli
dengan syarat mengambil dari mazhab ibnu sidrimah.Ini merupakan terobosan awal yang
mencoba berusaha keluar dari taklid murni kepada mazhab empat dimesir sudah banyak
keluhan masyarakat agar menerapkan hukum mazhab abu hanifah dalam hukum mahkama
syariah.Menanggapi hal ini,maka pada tahun 1920 M pemerintah mesir memprogramkan
beberapa kebijakan,yaitu :
1. Menetapkan undang-undang no 25 tahun 1920 yang memuat sebagian hukum,mengenai
al-akhwal al-syakhsiyah (hukum-hukum keluarga) yang menyalahi mazhab abu Hanifah
namun tetap tidak keluar dari mazhab.
2. Langkah kedua menetapkan UUD 25 tahun 1929 yang memuat sebagian hukum-hukum
mengenai al-akhwal al-syakhsiyah yang menyalahi mazhab abu Hanifah dan seluruh
mazhab empat,namun tidak keluar dari mazhab-mazhab lainnya dalam Islam.Program
langkah kebijakan dua ini jauh lebih maju dari kebijakan 1.Pertama diatas dan lebih
banyak titik relevansinya
THANK YOU...

ANY QUESTION ?

Anda mungkin juga menyukai