TARIKH TASYRI’
TASYRI’ PADA ERA MODERN DAN KONTEMPORER
DISUSUN OLEH:
1. MOSRI EFENDI
2. LARA KARNIA SARI
3. RARA SWITA TANTRI
DOSEN PEMBIMBING:
Drs. Bustami, MA
Pertama-tama kami panjatkan puja & puji syukur atas rahmat & ridho
Allah SWT.karena tanpa rahmat & ridhoNYA ,kami tidak dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu. Tidak lupa pula kami ucapkan
terima kasih kepada dosen pengampu “TARIKH TASYRI” yang membimbing
kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan kepada
teman-teman kami yang selalu setia membantu kami dalam hal mengumpulkan
data-data dalam pembuatan makalah ini.
Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum
kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran & kritik dari teman-teman maupun
dosen demi tercapainya makalah yang sempurna.
PENULIS
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................4
B. Rumusan Masalah.. .......................................................................5
C. Tujuan.............................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Faktor Munculnya Tasyri’ di Era Modern................................6
B. Tanda-Tanda Tasyri’ di Era Modern......................................7
C. Karakteristik perkembangan Tasyri’ di Era Modern..............10
D. Keadaan Tasyri’ di Era Modern.............................................11
E. Tarikh Tasyri’ di Indonesia....................................................13
BAB III PENUTUP
SIMPULAN.......................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tarikh tasyri’ dalam perjalanannya mengalami kemajuan serta
kemunduran. Tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam
sesudah periode Nabi Muhammad saw. jika diamati berdasarkan literatur
hukum Islam, maka ditemukan beberapa pendapat berdasarkan sudut pandang,
di antaranya ada pendapat yang mengungkapkan empat tahapan, yaitu: (a)
Masa Khulafaurrasyidin (632 – 662 M); (b) Masa pembinaan, pengembangan
dan pembukuan (abad ke-7 – 10 M); (c) Masa kelesuan pemikiran (abad ke-10
– 19 M) (d) Masa kebangkitan kembali (abad ke-19 M sampai saat ini).
Ditinjau dari sisi teori, sejarah Islam modern dimulai sejak tahun 1800
M hingga sekarang. Secara politis pada abad 18 M dunia Islam hampir
dibawah kendali bangsa Barat. Namun, baru abad 20 M mulai bermunculan
kesadaran di dunia Islam untuk bangkit melawan penjajahan Barat. Dalam
sejarah Islam periode modern disebut dengan kebangkitan dunia Islam karena
ditandai banyaknya bermunculan pemikiran pembaharuan dalam dunia Islam.
Lahirnya ide pembaharuan Islam dimulai dengan mulai sadarnya umat
Islam akan tidur panjang dan mimpi indahnya, kemudian bangun dan
membenahi diri serta bangkit kembali menjadi suatu kekuatan yang
setidaknya setara dengan kekuatan Barat. Pada waktu itu, umat Islam sudah
terpecah-pecah ada yang masih terhimpun dalam tiga kerajaan Islam, yakni
Turki Usmani, Mughol dan Safawi, ada yang lepas dari tiga kekuatan itu
dengan mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, ada juga yang tidak termasuk dari
kedua kategori tersebut.
Ada dua peristiwa yang membuat umat Islam terbangun dan bangkit,
yakni:
1. Perang Salib.
2. Adanya ekspansi Barat ke Timur (ekspansi Bangsa Eropa ke Asia dan
Afrika).
Maka dari itu, masa modern lahir karena setelah masa transisi yang
menyebabkan umat Islam terjajah oleh bangsa Barat yang menyengsarakan
umat Islam. Untuk itu, guna mengatasi permasalahan tersebut, maka lahirlah
Masa Modern.
Di bidang kedokteran, sekarang orang yang hamil bisa diketahui
apakah bayinya laki-laki atau perempuan, bahkan juga bisa mengetahui istri
yang sudah ditinggalkan suaminya apakah di rahimnya terdapat bayinya atau
tidak. Dan di bidang-bidang yang lainya. Sejalan dengan perkembangan itu,
persolan-persoalan juga semakin kompleks. Dan apakah hukum Islam bisa
menjawab semua persolan-persolan itu? Dan apakah jawaban-jawaban itu
masih relevan seperti zaman Nabi dan sahabat-sahabat-Nya? Dan apa yang
harus dilakukan jika jawaban-jawaban itu tidak relevan lagi?
B. Rumusan Masalah
1. Bagaima na faktor munculnya Tasyri’ di Era Modern ?
2. Apa saja Tanda-tanda Tasyri’ di Era Modern?
3. Bagaimana Karakteristik perkembangan Tasyri’ di Era Modern?
4. Bagaimana Keadaan Tasyri’ di Era Modern ?
5. Bagaimana pertumbuhan tarikh tasyri di Indonesia?
6.
C. Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui Faktor munculnya Tasyri’ di Era Modern
2. Dapat mengetahui tanda-tanda Tasyri’ di Era Modern
3. Dapat mengetahui karakteristik perkembangan Tasyri’ di Era Modern
4. Dapat mengetahui keadaan Tasyri’ di Era Modern
5. Dapat mengetahui tarikh tasyri di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor Munculnya Tasyri’ di Era Modern1
Pada zaman para sahabat dahulu, apabila mereka menjumpai suatu
nash dalam Al-Qur’an atau Sunnah yang menjelaskan hukum dari peristiwa
yang mereka hadapi, mereka berpegang teguh pada nash tersebut dan mereka
berusaha memahami maksudnya untuk menerapkannya pada peristiwa-
peristiwa itu.
Apabila mereka tidak menjumpai dalam nash maka mereka berijtihad
untuk menetapkan hukumnya. Dalam berijtihadnya mereka berpegang pada
kemampuan mereka dalam bidang syari’at. Karena ijtihad pada zaman modern
ini merupakan suatu kebutuhan, bahkan merupakan suatu keharusan bagi
masyarakat yang ingin hidup pada masa Islam. Sedangkan di zaman modern
ini, kemajuan pesat yang terjadi dalam bidang pengatahuan dan teknologi
menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam segala bidang kehidupan
manusia. Kalau pada masa awal Islam masih menggunakan pedang, sekarang
sudah menggunakan senjata canggih. Begitu juga dengan transportasi, pada
awal mula Islam. Jelasnya dengan kemunculan ilmu pengetahuan dan
teknologi banyak sekali muncul hal baru dalam kehidupan manusia dan
menimbulkan perubahan-perubahan baru dalam masyarakat, baik perubahan
struktur sosial dan munculnya masalah-masalah baru seperti masalah trannfusi
darah, bayi tabung dan lain-lain yang perlu diatur dan diselesaikan sesuai
dengan kaidah Islam.
Agar agama Islam mampu menghadapi perkembangan zaman, maka
hukum Islam perlu dikembangkan dan pemahaman tentang Islam harus terus
menerus diperbaharui dengan memberikan penafsiran-penafsiran terhadap
nash syara’ dengan cara menggali kemungkinan atau alternatif dalam syari’at
yang diyakini bisa menjawab masalah-masalah baru. Jadi, pembaharun hukum
Islam dimaksudkan agar hukum Islam tidak ketinggalan zaman dan mampu
menjawab pertanyaan yang berkesinambungan di dalamnya.
1 Ahmad Hanafi, Pengantar dan sejarah hukum islam. (Jakatra : Bulan Binatang,
1970)
Lahirnya ide pembaharuan Islam dimulai sadarnya umat Islam akan
tidur panjang dan mimpi indahnya, kemudian bangun dan membenahi diri
serta bangkit kembali menjadi suatu kekuatan yang setidaknya setara dengan
kekuatan Barat. Pada waktu itu, umat Islam sudah terpecah-pecah ada yang
masih terhimpun dalam tiga kerajaan Islam, yakni Turki Utsmani, Mughol dan
Safawi, ada yang lepas dari tiga kekuatan itu dengan mendirikan kerajaan-
kerajaan kecil, ada juga yang tidak termasuk dua kategori tersebut.
Di awal fase ini, mulai bangkit semangat kebangsaan, artinya manusia
lebih cenderung untuk menghimpun diri dalam suatu kesatuan berdasarkan
suku bangsa (nation state) ketimbang terhimpun dalam suatu kesatuan
berdasarkan agama (religion state). Namun, yang menarik adalah hampir
seluruh suku bangsa yang dijajah menganut agama Islam, melakukan
perjuangan yang berbarengan untuk memperjuangkan lahirnya sebuah negara
bangsa yang berdaulat di satu sisi, disisi lain agama juga sedang giat
melakukan modernisasi.
Dan tidak jarang dalam proses lahirnya sebuah negara bangsa ini
tampillah tokoh-tokoh agama sebagai pioner perjuangannya. Hal ini,
disebabkan karena bangsa Barat dianggap menginjak-injak nilai kehormatan
suatu bangsa yang dikuasainya dan mengusik agama (Islam) yang dianut oleh
bangsa tersebut.
Ada dua peristiwa yang membuat umat Islam terbangun dan bangkit,
yakni:
a. Perang Salib. Perang ini merupakan peperangan yang banyak memakan
waktu, biaya, dan korban baik korban jiwa maupun korban harta. Tetapi,
disamping hal yang merugikan, ada faktor positif dari Perang Salib ini,
yakni kedua belah pihak berupaya mencari tahu dan mengenal pihak
lawannya secara baik. Dan ini merupakan awal dari sebuah dialog.
b. Adanya ekspansi Barat ke Timur (ekspansi Bangsa Eropa ke Asia dan
Afrika). Diketahui bahwa Barat kebanyakan menganut agama Kristen dan
Timur kebanyakan menganut agama Islam, sehingga keduanya pun
mengalami kontak yang tidak dapat dihindarkan. Di sisi lain, Barat adalah
negara-negara yang telah mencapai kemodernan dan kemajuan di segala
bidang, sedangkan Timur adalah masih tradisional dan terbelakang. Misi
yang diemban Barat adalah melakukan tiga hal: grory, gold dan gospel.
Menghadapi benturan dua peradaban (Islam-Kristen, Timur-Barat)
ini lahirlah tiga reaksi dari umat Islam, yaitu :
1.) Pemahaman yang didasarkan pada anggapan bahwa Bangsa Barat
adalah bangsa yang lebih unggul dari Islam, supaya Islam pun unggul
seperti mereka, maka Islam perlu mencontoh Barat dari segala
aspeknya.
2.) Anggapan bahwa umat Islam harus yakin bahwa Islam itu agama yang
benar tak mungkin salah dan kalah oleh yang lain.
3.) Sebagian kelompok memberikan pernyataan bahwa mereka harus
yakin bahwa Islam adalah agama yang benar, kapanpun dan
dimanapun. Bahkan pada masa lampau umat Islam pernah mencapai
kejayaan yang gilang gemilang. Namun, karena Umat Islam
meninggalkan ajarannya dan merasa puas dengan apa yang mereka
dapatkan, menjadikan umat Islam terlena dan tertidur pulas.
2[2] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam. (Jakarta : Rajawali Pers, 2009)
persoalan dan alasannya masing-masing, serta aturan-aturan dasar yang
menjadi pegangannya. Kemudian pendapat-pendapat tersebut
diperbandingkan satu sama lain, untuk di pilih pendapat mana yang lebih
benar dan diperbandingkan pula dengan hukum positif. Di sana tidak
hanya satu madzab saja yang dikaji dan dipelajari, akan tetapi keempat
aliran hukum ahlussunah wal jama’ah. Memang para fuqaha masa-masa
dahulu sudah mengenal sistem perbandingan hukum dengan menyebutkan
pendapat berbagai ulama mujtahidin meskipun dalam bentuk yang
sederhana.
Akan tetapi semenjak abad ke empat hijriah dengan mengecualikan
karya Ibnu Rusyd yang sangat bernilai yaitu Bidayatul Mujtahid,
perbandingan tersebut hanya di maksudkan untuk mengadakan pembelaan
terhadap pendapat imam yang dianutnya dan mengusahakan melemahkan
pendapat imam lain. Oleh karena itu, maka tidak ada penguatan (tarjih)
suatu pendapat atas pendapat lain karena kekuatan dalil itu sendiri.
Selanjutnya kemungkinan untuk mencari pendapat yang lebih tepat dan
yang lebih sesuai dengan rasa keadilan orang banyak tidak ada lagi.
Karena penguatan salah satu pendapat dalam hukum Islam hanya terjadi
dalam lingkungan satu mazhab.
Apa yang menyebabkan tidak adanya sistem perbandingan antara
pendapat-pendapat fuqaha antara mazhab ialah karena adanya fatwa untuk
bertaqlid semata-mata, dan taqlid inipun harus terbatas dalam lingkungan
mazhab empat saja yang suda terkenal dan di setujui oleh golongan
Ahlussunnah. Bahkan di fatwakan pula, bahwa bagi orang-orang yang
sudah mengikuti mazhab tertentu tidak boleh berpindah kepada mazhab
lain ataupun mengikuti mazhab lain pula dalam waktu yang sama, kecuali
dengan syarat-syarat tertentu. Fatwa lain ialah bahwa fuqaha-fuqaha yang
datang kemudian tidak boleh meninjau kembali apa yang telah di putuskan
oleh fuqaha-fuqaha angkatan terdahulu.
2. Kedudukan Hukum-Hukum Islam dalam Perundang-undangan Negara
Usaha-usaha perundang-undangan negara sebenarnya sudah pernah
dilakukan beratus-ratus tahun yang lalu, seperti yang diperbuat oleh Ibnul
Muqoffa’ pada abad kedua Hijrah, di masa Khalifah Abbasiyah. Ia pernah
mengirim surat kepada Khalifah Al- Mansyur untuk membuat suatu
Undang-undang yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah, dan apabila
tidak ada nas pada keduanya bisa diambil dari fikiran dengan syarat bisa
mewujudkan rasa keadilan dan kepentingan orang banyak. Surat tersebut
dikirim karena adanya perbedaan pendapat antara para fuqoha dan hakim
dalam memutuskan suatu masalah yang sama. Akan tetapi surat tersebut
tidak mendapatkan sambutan yang cukup pada masa itu, karena para
fuqoha tidak mau memaksa orang untuk mengikuti pendapat-pendapatnya,
serta memperingatkan murid–muridnya untuk tidak berfanatik buta serta
mengingatkan bahwa ijtihad–ijtihad yang dilakukan bisa kemasukan salah.
Pada abad kesebelas Hijrah, As-Sultan Muhammad Alamkir (1038-
1118 H), salah seorang raja India, membentuk suatu panitia yang terdiri
dari ulama-ulama India terkenal dengan diketuai oleh Syekh Nazzan.
Panitia tersebut diberi tugas untuk membuat satu kitab yang menghimpun
riwayat-riwayat yang disepakati oleh madzab Hanafi; Kitab tersebut
terkenal dengan nama: ”Al-Fatawi al Hindiyah” (fatwa-fatwa India).
7. Masalih mursalah
Dimana ada kemaslahatan disana ada hukum Allah SWT adalah
ungkapan popular dikalangan ulama. Dalam hal ini masalih mursalah
dijadikan dalil hukum dan berdasarkan ini, dapat ditetapkan hukum bagi
banyak masalah baru yang tidak disinggung oleh al-qur’an dan sunah.
8. Sadd az-zari’ah
Sadd az-zari’ah berarti sarana yang membawa ke hal yang haram.
Pada dasarnya sarana itu hukumnya mubah,akan tetapi karena dapat
membawa kepada yang maksiat atau haram, maka sarana itu diharamkan.
Dalam rangka pembaharuan hukum Islam sarana ini digalakkan.
9. Irtijab akhalf ad-dararain
Dalam pembaharuan hukum Islam kaidah ini sangant tepat dan
efektif untuk pemecahan masalah baru. Umpamanya perang di bulan
muharram hukumnya haram, tetapi karena pihak musuh
menyerang, maka boleh dibalas dengan berdasarkan kaidah
tersebut, karena serangan musuh dapat menggangu eksistensi agama
Islam.
10. Keputusan waliyy al-amr
Atau disebut juga ulil amri yaitu semua pemerintah atau
penguasa, mulai dari tingkat yang rendah sampai yang paling tinggi.
Segala peraturan Undang-Undangan wajib ditaati selama tidak
bertentangan dengan agama. Hukum yang tidak dilarang dan tidak
diperintahkan hukumnya mubah. Contohnya, pemerintah atas dasar
masalih mursalah menetapkan bahwa pembatasan umur calon mempelai
laki-laki dan perempuan yaitu perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur
16 tahun.
11. Memfiqhkan hukum qat’i
Kebenaran qat’i bersifat absolut. Sedangkan kebenaran fiqh
relative. Menurut para fukaha, tidak ada ijtihad terhadap nas qat’i (nas
yang tidak dapat diganggu gugat). Tetapi kalau demikian halnya, maka
hukum Islam menjadi kaku. Sedangkan kita perpegang pada motto: al-
Islam salih li kulli zaman wa makan dan tagayyur al-ahkam bi tagayyur
al-amkinah wa al-zaman. Untuk menghadapi masalah ini qat’i
diklasifikasikan menjadi: Qat’i fi jami’ al-Ahwal dan Qot’i fi ba’d al-
Ahwal. Pada qot’I fi al-Ahwal tidak berlaku ijtihad, Sedangkan pada qot’I
fi ba’d al-Ahwal ijtihad dapat diberlakukan. Tidak semua hukum qat’I
dari segi penerapanya (tatbiq) berlaku pada semua zaman.
4[4] Abdul Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembinaan Hukum Islam
Dari Masa Ke Masa (Jakarta : Amzah, 2013) hal 177
atau mahkamah syariah ( PP No 45/1957 untuk daerah luar jawa Madura dan
kalimantan selatan dan timur).
2. Periode 1945 – 1985 : Pergeseran Bentuk Ke Hukum Tertulis
Meskipun kedudukan hukum islam sebagai salah satu sumber hukum
nasional tidak begitu tegas pada masa awal orde ini, namun upaya-upaya untuk
mempertegas tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad
Dahlan, seorang mentri agama dari kalangan Muhammadiyah yang mencoba
mengajukan rancangan Undang-undang perkawinan umat islam dengan dukungan
kuat fraksi-fraksi islam di DPR. Meskipun gagal upaya ini kemudian dilanjudkan
dengan mengajukan rancangn hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di
Indonesia pada tahun 1970. upaya ini kemudian membuah hasil dengan lahirnya
UU No14/1970 yang mengakui pengadilan agama sebagai salah satu badan
peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Melalui UU ini, menurut
Hazairin, hukum islam dengan otomatis telah berlaku secara langsung sebagai
hukum yang berdiri sendiri.
Pemerintah RI menemukan kenyataan bahwa hukum islam yang berlaku
itu tidak tertulis dan terserak dibeberapa kita yang menjadi perbedaan antar umat
islam. Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 dan No. 23 Tahun 1954 dimaksudkan
untuk memenuhi kebutuhan mendesak akan adanay kesatuan dan kepastian
hukum dalam pencatatn nikah, talak, dan rujuk yang masih diaautr dalam
beberapa peraturan yang bersifat propensialistis dan tidak sesuai dengan Negara
RI sebagai negara kesatuan. Peraturan-peratuaran teersebut ialah
Huwellijksordonnannties S. 1929 No. 348 jo S. 1933 No 98 dan
Huwellijksordonnanntie Buitengewesten S. 1932 No. 428.
Abdul Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembinaan Hukum Islam
Dari Masa Ke Masa. Jakarta : Amzah, 2013
Ahmad Hanafi, Pengantar dan sejarah hukum islam. Jakatra : Bulan Binatang,
1970
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam. Jakarta : Rajawali Pers, 2009
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Jakarta :
Gramata Publishing, 2010