Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

TARIKH TASYRI’
TASYRI’ PADA ERA MODERN DAN KONTEMPORER

DISUSUN OLEH:
1. MOSRI EFENDI
2. LARA KARNIA SARI
3. RARA SWITA TANTRI
DOSEN PEMBIMBING:
Drs. Bustami, MA

FAKULTAS SYARIAH HUKUM KELUARGA ISLAM (AKHWAL


SYAKSIYAH)
INSTIUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KERINCI
2018/1440 H
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puja & puji syukur atas rahmat & ridho
Allah SWT.karena tanpa rahmat & ridhoNYA ,kami tidak dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu. Tidak lupa pula kami ucapkan
terima kasih kepada dosen pengampu “TARIKH TASYRI” yang membimbing
kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan kepada
teman-teman kami yang selalu setia membantu kami dalam hal mengumpulkan
data-data dalam pembuatan makalah ini.
            Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum
kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran & kritik dari teman-teman maupun
dosen demi tercapainya makalah yang sempurna.

PENULIS

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
           A.    Latar Belakang................................................................................4
           B.     Rumusan Masalah.. .......................................................................5
           C.     Tujuan.............................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Faktor Munculnya Tasyri’ di Era Modern................................6
          B.     Tanda-Tanda Tasyri’ di Era Modern......................................7
          C.     Karakteristik perkembangan Tasyri’ di Era Modern..............10
          D.    Keadaan Tasyri’ di Era Modern.............................................11
          E.     Tarikh Tasyri’ di Indonesia....................................................13
BAB III PENUTUP
SIMPULAN.......................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................21

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tarikh tasyri’ dalam perjalanannya mengalami kemajuan serta
kemunduran. Tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam
sesudah periode Nabi Muhammad saw. jika diamati berdasarkan literatur
hukum Islam, maka ditemukan beberapa pendapat berdasarkan sudut pandang,
di antaranya ada pendapat yang mengungkapkan empat tahapan, yaitu: (a)
Masa Khulafaurrasyidin (632 – 662 M); (b) Masa pembinaan, pengembangan
dan pembukuan (abad ke-7 – 10 M); (c) Masa kelesuan pemikiran (abad ke-10
– 19 M) (d) Masa kebangkitan kembali (abad ke-19 M sampai saat ini).
Ditinjau dari sisi teori, sejarah Islam modern dimulai sejak tahun 1800
M hingga sekarang. Secara politis pada abad 18 M dunia Islam hampir
dibawah kendali bangsa Barat. Namun, baru abad 20 M mulai bermunculan
kesadaran di dunia Islam untuk bangkit melawan penjajahan Barat. Dalam
sejarah Islam periode modern disebut dengan kebangkitan dunia Islam karena
ditandai banyaknya bermunculan pemikiran pembaharuan dalam dunia Islam.
Lahirnya ide pembaharuan Islam dimulai dengan mulai sadarnya umat
Islam akan tidur panjang dan mimpi indahnya, kemudian bangun dan
membenahi diri serta bangkit kembali menjadi suatu kekuatan yang
setidaknya setara dengan kekuatan Barat. Pada waktu itu, umat Islam sudah
terpecah-pecah ada yang masih terhimpun dalam tiga kerajaan Islam, yakni
Turki Usmani, Mughol dan Safawi, ada yang lepas dari tiga kekuatan itu
dengan mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, ada juga yang tidak termasuk dari
kedua kategori tersebut.
Ada dua peristiwa yang membuat umat Islam terbangun dan bangkit,
yakni:
1. Perang Salib.
2. Adanya ekspansi Barat ke Timur (ekspansi Bangsa Eropa ke Asia dan
Afrika).
Maka dari itu, masa modern lahir karena setelah masa transisi yang
menyebabkan umat Islam terjajah oleh bangsa Barat yang menyengsarakan
umat Islam. Untuk itu, guna mengatasi permasalahan tersebut, maka lahirlah
Masa Modern.
Di bidang kedokteran, sekarang orang yang hamil bisa diketahui
apakah bayinya laki-laki atau perempuan, bahkan juga bisa mengetahui istri
yang sudah ditinggalkan suaminya apakah di rahimnya terdapat bayinya atau
tidak. Dan di bidang-bidang yang lainya. Sejalan dengan perkembangan itu,
persolan-persoalan juga semakin kompleks. Dan apakah hukum Islam bisa
menjawab semua persolan-persolan itu? Dan apakah jawaban-jawaban itu
masih relevan seperti zaman Nabi dan sahabat-sahabat-Nya? Dan apa yang
harus dilakukan jika jawaban-jawaban itu tidak relevan lagi?

B. Rumusan Masalah
1. Bagaima na faktor munculnya Tasyri’ di Era Modern ?
2. Apa saja Tanda-tanda Tasyri’ di Era Modern?
3. Bagaimana Karakteristik perkembangan Tasyri’ di Era Modern?
4. Bagaimana Keadaan Tasyri’ di Era Modern ?
5. Bagaimana pertumbuhan tarikh tasyri di Indonesia?
6.
C. Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui Faktor munculnya Tasyri’ di Era Modern
2. Dapat mengetahui tanda-tanda Tasyri’ di Era Modern
3. Dapat mengetahui karakteristik perkembangan Tasyri’ di Era Modern
4. Dapat mengetahui keadaan Tasyri’ di Era Modern
5. Dapat mengetahui tarikh tasyri di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor Munculnya Tasyri’ di Era Modern1
Pada zaman para sahabat dahulu, apabila mereka menjumpai suatu
nash dalam Al-Qur’an atau Sunnah yang menjelaskan hukum dari peristiwa
yang mereka hadapi, mereka berpegang teguh pada nash tersebut dan mereka
berusaha memahami maksudnya untuk menerapkannya pada peristiwa-
peristiwa itu.
Apabila mereka tidak menjumpai dalam nash maka mereka berijtihad
untuk menetapkan hukumnya. Dalam berijtihadnya mereka berpegang pada
kemampuan mereka dalam bidang syari’at. Karena ijtihad pada zaman modern
ini merupakan suatu kebutuhan, bahkan merupakan suatu keharusan bagi
masyarakat yang ingin hidup pada masa Islam. Sedangkan di zaman modern
ini, kemajuan pesat yang terjadi dalam bidang pengatahuan dan teknologi
menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam segala bidang kehidupan
manusia. Kalau pada masa awal Islam masih menggunakan pedang, sekarang
sudah menggunakan senjata canggih. Begitu juga dengan transportasi, pada
awal mula Islam. Jelasnya dengan kemunculan ilmu pengetahuan dan
teknologi banyak sekali muncul hal baru dalam kehidupan manusia dan
menimbulkan perubahan-perubahan baru dalam masyarakat, baik perubahan
struktur sosial dan munculnya masalah-masalah baru seperti masalah trannfusi
darah, bayi tabung dan lain-lain yang perlu diatur dan diselesaikan sesuai
dengan kaidah Islam.
Agar agama Islam mampu menghadapi perkembangan zaman, maka
hukum Islam perlu dikembangkan dan pemahaman tentang Islam harus terus
menerus diperbaharui dengan memberikan penafsiran-penafsiran terhadap
nash syara’ dengan cara menggali kemungkinan atau alternatif dalam syari’at
yang diyakini bisa menjawab masalah-masalah baru. Jadi, pembaharun hukum
Islam dimaksudkan agar hukum Islam tidak ketinggalan zaman dan mampu
menjawab pertanyaan yang berkesinambungan di dalamnya.

1 Ahmad Hanafi, Pengantar dan sejarah hukum islam. (Jakatra : Bulan Binatang,
1970)
Lahirnya ide pembaharuan Islam dimulai sadarnya umat Islam akan
tidur panjang dan mimpi indahnya, kemudian bangun dan membenahi diri
serta bangkit kembali menjadi suatu kekuatan yang setidaknya setara dengan
kekuatan Barat. Pada waktu itu, umat Islam sudah terpecah-pecah ada yang
masih terhimpun dalam tiga kerajaan Islam, yakni Turki Utsmani, Mughol dan
Safawi, ada yang lepas dari tiga kekuatan itu dengan mendirikan kerajaan-
kerajaan kecil, ada juga yang tidak termasuk dua kategori tersebut.
Di awal fase ini, mulai bangkit semangat kebangsaan, artinya manusia
lebih cenderung untuk menghimpun diri dalam suatu kesatuan berdasarkan
suku bangsa (nation state) ketimbang terhimpun dalam suatu kesatuan
berdasarkan agama (religion state). Namun, yang menarik adalah hampir
seluruh suku bangsa yang dijajah menganut agama Islam, melakukan
perjuangan yang berbarengan untuk memperjuangkan lahirnya sebuah negara
bangsa yang berdaulat di satu sisi, disisi lain agama juga sedang giat
melakukan modernisasi.
Dan tidak jarang dalam proses lahirnya sebuah negara bangsa ini
tampillah tokoh-tokoh agama sebagai pioner perjuangannya. Hal ini,
disebabkan karena bangsa Barat dianggap menginjak-injak nilai kehormatan
suatu bangsa yang dikuasainya dan mengusik agama (Islam) yang dianut oleh
bangsa tersebut.
Ada dua peristiwa yang membuat umat Islam terbangun dan bangkit,
yakni:
a. Perang Salib. Perang ini merupakan peperangan yang banyak memakan
waktu, biaya, dan korban baik korban jiwa maupun korban harta. Tetapi,
disamping hal yang merugikan, ada faktor positif dari Perang Salib ini,
yakni kedua belah pihak berupaya mencari tahu dan mengenal pihak
lawannya secara baik. Dan ini merupakan awal dari sebuah dialog.
b. Adanya ekspansi Barat ke Timur (ekspansi Bangsa Eropa ke Asia dan
Afrika). Diketahui bahwa Barat kebanyakan menganut agama Kristen dan
Timur kebanyakan menganut agama Islam, sehingga keduanya pun
mengalami kontak yang tidak dapat dihindarkan. Di sisi lain, Barat adalah
negara-negara yang telah mencapai kemodernan dan kemajuan di segala
bidang, sedangkan Timur adalah masih tradisional dan terbelakang. Misi
yang diemban Barat adalah melakukan tiga hal: grory, gold dan gospel.
Menghadapi benturan dua peradaban (Islam-Kristen, Timur-Barat)
ini lahirlah tiga reaksi dari umat Islam, yaitu :
1.) Pemahaman yang didasarkan pada anggapan bahwa Bangsa Barat
adalah bangsa yang lebih unggul dari Islam, supaya Islam pun unggul
seperti mereka, maka Islam perlu mencontoh Barat dari segala
aspeknya. 
2.) Anggapan bahwa umat Islam harus yakin bahwa Islam itu agama yang
benar tak mungkin salah dan kalah oleh yang lain.
3.) Sebagian kelompok memberikan pernyataan bahwa mereka harus
yakin bahwa Islam adalah agama yang benar, kapanpun dan
dimanapun. Bahkan pada masa lampau umat Islam pernah mencapai
kejayaan yang gilang gemilang. Namun, karena Umat Islam
meninggalkan ajarannya dan merasa puas dengan apa yang mereka
dapatkan, menjadikan umat Islam terlena dan tertidur pulas.

B. Tanda-Tanda Tasyri’ di Era Modern2


Tanda-tanda kebangkitan hukum Islam pada masa modern dapat kita
lihat pada sistem mempelajari dan segi-segi penulisan tentang hukum Islam,
kedudukan hukum-hukum Islam dalam perundang-udangan negara, dan
penilaian orang-orang orientalis terhadap hukum Islam. Atas dasar segi-segi
tersebut maka tinjauan berikut ini diadakan

1. Sistem Mempelajari dan Menuliskan Hukum-Hukum Islam


Kebangunan hukum Islam pada masa modern banyak bergantung
kepada cara mempelajarinya, yaitu sistem perbandingan. Yakni
mempelajari hukum-hukum Syara’ dengan berbagai pendapat tentang satu

2[2] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam. (Jakarta : Rajawali Pers, 2009)
persoalan dan alasannya masing-masing, serta aturan-aturan dasar yang
menjadi pegangannya. Kemudian pendapat-pendapat tersebut
diperbandingkan satu sama lain, untuk di pilih pendapat mana yang lebih
benar dan diperbandingkan pula dengan hukum positif. Di sana tidak
hanya satu madzab saja yang dikaji dan dipelajari, akan tetapi keempat
aliran hukum ahlussunah wal jama’ah. Memang para fuqaha masa-masa
dahulu sudah mengenal sistem perbandingan hukum dengan menyebutkan
pendapat berbagai ulama mujtahidin meskipun dalam bentuk yang
sederhana.
Akan tetapi semenjak abad ke empat hijriah dengan mengecualikan
karya Ibnu Rusyd yang sangat bernilai yaitu Bidayatul Mujtahid,
perbandingan tersebut hanya di maksudkan untuk mengadakan pembelaan
terhadap pendapat imam yang dianutnya dan mengusahakan melemahkan
pendapat imam lain. Oleh karena itu, maka tidak ada penguatan (tarjih)
suatu pendapat atas pendapat lain karena kekuatan dalil itu sendiri.
Selanjutnya kemungkinan untuk mencari pendapat yang lebih tepat dan
yang lebih sesuai dengan rasa keadilan orang banyak tidak ada lagi.
Karena penguatan salah satu pendapat dalam hukum Islam hanya terjadi
dalam lingkungan satu mazhab.
Apa yang menyebabkan tidak adanya sistem perbandingan antara
pendapat-pendapat fuqaha antara mazhab ialah karena adanya fatwa untuk
bertaqlid semata-mata, dan taqlid inipun harus terbatas dalam lingkungan
mazhab empat saja yang suda terkenal dan di setujui oleh golongan
Ahlussunnah. Bahkan di fatwakan pula, bahwa bagi orang-orang yang
sudah mengikuti mazhab tertentu tidak boleh berpindah kepada mazhab
lain ataupun mengikuti mazhab lain pula dalam waktu yang sama, kecuali
dengan syarat-syarat tertentu. Fatwa lain ialah bahwa fuqaha-fuqaha yang
datang kemudian tidak boleh meninjau kembali apa yang telah di putuskan
oleh fuqaha-fuqaha angkatan terdahulu.
2. Kedudukan Hukum-Hukum Islam dalam Perundang-undangan Negara
Usaha-usaha perundang-undangan negara sebenarnya sudah pernah
dilakukan beratus-ratus tahun yang lalu, seperti yang diperbuat oleh Ibnul
Muqoffa’ pada abad kedua Hijrah, di masa Khalifah Abbasiyah. Ia pernah
mengirim surat kepada Khalifah Al- Mansyur untuk membuat suatu
Undang-undang yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah, dan apabila
tidak ada nas pada keduanya bisa diambil dari fikiran dengan syarat bisa
mewujudkan rasa keadilan dan kepentingan orang banyak. Surat tersebut
dikirim karena adanya perbedaan pendapat antara para fuqoha dan hakim
dalam memutuskan suatu masalah yang sama. Akan tetapi surat tersebut
tidak mendapatkan sambutan yang cukup pada masa itu, karena para
fuqoha tidak mau memaksa orang untuk mengikuti pendapat-pendapatnya,
serta memperingatkan murid–muridnya untuk tidak berfanatik buta serta
mengingatkan bahwa ijtihad–ijtihad yang dilakukan bisa kemasukan salah.
Pada abad kesebelas Hijrah, As-Sultan Muhammad Alamkir (1038-
1118 H), salah seorang raja India, membentuk suatu panitia yang terdiri
dari ulama-ulama India terkenal dengan diketuai oleh Syekh Nazzan.
Panitia tersebut diberi tugas untuk membuat satu kitab yang menghimpun
riwayat-riwayat yang disepakati oleh madzab Hanafi; Kitab tersebut
terkenal dengan nama: ”Al-Fatawi al Hindiyah” (fatwa-fatwa India).

3. Penilaian Orang – Orang Orientalis Terhadap Hukum Islam


Perhatian orang-orang orientalis (orang-orang Barat yang suka
mempelajari apa yang berasal dari Timur) terhadap peninggalan-
peninggalan Islam pada umumnya berasal dari abad-abad pertengahan,
ketika mereka hendak mengetahui faktor-faktor kebesaran kaum muslimin
sehingga mereka bisa memegang tampuk pimpinan dunia pada waktu itu.
Perhatian para orientalis tersebut diwujudkan dalam bentuk
mempelajari, menyelidiki, menerjemahkan dan membahas, serta
menerbitkan terhadap berbagai buku fiqh standart. Tidak sedikit juga yang
mendalami persoalan hukum Islam baik dalam bentuk buku-buku yang
mereka tulis atau pembahasan-pembahasan yang mereka muatkan
majalah-majalah khusus mengenai hukum.
Dengan mengesampingkan beberapa orientalis yang sengaja
memberikan gambaran yang salah, maka banyak penghargaan yang tinggi
terhadap hukum Islam sudah banyak diberikan oleh sarjana-sarjana hukum
Eropa dan Amerika. Antara lain Kohler dari Jerman, Wignore dari
Amerika, dan Delvices. Sarjana-sarjana ini menyebutkan adanya
flexibilitas dan kemampuan yang dimiliki hukum Islam sehingga bisa
mengikuti perkembangan masa. Mereka juga mensejajarkan hukum Islam
dengan hukum Romawi dan hukum Inggris, sebagai hukum-hukum yang
telah menguasai dunia dan yang masih terus menguasainya. Penghargaan
terhadap hukum Islam tersebut dikemukakan sendiri oleh Sarjana Hukum
Barat terkenal dari Perancis, yaitu Lambert, dalam Seminar Internasional
untuk Perbandingan Hukum, yang diadakan pada tahun 1932.

C. Karakteristik perkembangan Tasyri’ di Era Modern3


Beberapa karakteristik kebangunan kembali tasyri’ Islam antara lain
adalah: 
1. Munculnya semangat tajdid, atau yang sering disebut sebagai
pembaharuan sebagai manifestasi dari seruan terbukanya kembali ijtihad
di kalangan orang muslim. Terminologi tajdid berasal dari kata jadda
yajiddu jiddatan wa tajdiidan yang berarti pembaharuan. Tradisi
pembaharuan ini pada hakikatnya menggambarkan usaha perseorangan
atau kelompok untuk mewujudkan Islam secara terang-terangan dan tegas
sesuai dengan wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad SAW, tanpa
adanya sesuatu yang mengada-ada.  Tajdid dalam konteks ini meliputi
upaya keimana, seruan kembali kepada al-qur’an dan al-Hadits, dengan
demikian masyarakat muslim ketika itu memiliki dasar paradigmatic
keagamaan yang kokoh.

3 [3] Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam.


(Jakarta : Gramata Publishing, 2010)
2. Munculnya jargon kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Pada
hakikatnya apa yang disebut dengan pembaharuan atau yang identik
dengan kebangkitan hanya akan terjadi jika tradisi dasar yang mendasari
gerak secara total telah ada dan telah dirumuskan. Dengan berdasar pada
dua sumber sebagai dasar paradigma kehidupannya, yaitu al-Qur’an dan
al-Hadits maka masyarakat muslim baru dapat menggunakannya sebagai
dasar penilaian dan dasar menemukan hokum suatu permasalahan,
perkara, peristiwa, dan praktik-praktik yang terjadi dalam masyarakat.
Atas dasar itu John L. Esposito mengatakan bahwa dengan adanya dasar
dua sumber tersebut memungkinkan dikeluarkan seruan membentuk
kembali masyarakat atas dasar ketetapan yang ada dalam kitab suci.
3. Dibukanya kembali pintu ijtihad, secara bahasa ia berarti upaya sungguh-
sungguh untuk merealisasikan salah satu permasalahan. Sedangkan secara
istilahi M. al-Khudlary mengatakan bahwa ijtihad adalah aktivitas untuk
memperoleh pengetahuan istinbath hokum syara’dari dalil-dalil terperinci
dalam syari’ah. Sebab ketika itu, ijtihad telah ditutup. Dengan demikian
aktifitas kreatif dan dinamis melakukan istimbat hokum dalam
masyarakat otomatis terjadi stagnan. Tentu saja dengan kondisinya seperti
itu para ulama ketika itu tidak dapat melakukan aktivitas apa-apa. Dengan
demikian apa yang disebut sebagai proses tasyri’ atau penetapan hokum
ketika itu tidak mengalami perkembangan sama sekali.
4. Berkembangnya tasyri’ pada masa modern. Banyak beberapa masail
fiqhiyah yang belum pernah muncul pada masa-masa sebelumnya, pada
masa modern ini berkembang. Suatu contoh persoalan perubahan
kelamin, pencangkoan jantung, cloning, nikah melalui SMS,  dan masih
banyak permasalahan-permasalahan hukum yang lain yang harus
diselesaikan pada era itu. Yang hingga kini masih menyisakan persolan
tersendiri.
D. Keadaan Tasyri’ di Era Modern
Pada saat ini banyak pemandangan yang sering kita lihat, bukan hanya
di dunia Barat, bahkan di dunia Muslim saat ini telah banyak mengalami
perubahan dalam segala bidang. Baik itu yang berasal dari diri muslim sendiri
maupun dari luar. Di era modern yang banyak mengalami perubahan ini perlu
adanya pembaharuan hukum Islam. Namun dalam pembaharuan hukum Islam
tidak boleh merubah hukum yang ada, artinya kita hanya boleh menetapkan
hukum baru yang belum ada pada masa Rasul dan sahabat sedangkan hukum
yang telah ada tidak boleh dirubah ataupun diperbaharui. Pembaharuan hukum
Islam terdiri dari dua kata, yaitu “pembahuruan” yang berarti modernisasi,
atau suatu upaya yang dilakukan untuk mengadakan atau menciptakan suatu
yang baru; dan “hukum Islam”, yakni koleksi daya upaya para ahli hukum
untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini hukum
Islam lebih didekatkan dengan fiqih, bukan syariat.
Dari sejarah di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa hukum Islam itu
harus dinamis, sehingga tidak luput dari suatu pembaharuan. Untuk
melakukan suatu pembaharuan hukum Islam di zaman modern yang penuh
dengan anggapan ataupun kesalahpahaman tentang pemahaman yang
harusnya tidak dipermasalahkan lagi dalam agama kita ini maka harus
ditempuh melalui beberapa metode. Dalam hal ini Ibrahim Hosen seorang ahli
hukum Islam Indonesia menawarkan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pemahaman baru terhadap Kitabullah
Untuk mengadakan pembaharuan hukum Islam, hal ini dilakukan
dengan direkonstruksi dengan jalan mengartikan al-qur’an dalam konteks
dan jiwanya. Pemahaman melalui konteks berarti mengetahui asbab an-
nusul. Sedangkan pemahaman melalui jiwanya berarti memperhatikan
makna atau substansi ayat tersebut. Perlu ditekankan bahwa Al-Qur’an
merupakan sumber hukum yang pertama dan utama sebagaimana yang
diungkapkan Allah dalam Surah An-Nisaa’.
       
        
Artinya: ”Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu
menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela)
orang-orang yang khianat”. (Q.S. An-Nisa': 105 ). 

2. Pemahaman baru terhadap Sunah


Sunnah adalah sumber kedua dalam syaria. Ia menjadi bagi Al-
Qur’an, tapi juga memberikan dasar bagi munculnya hukum baru.
Pemahaman baru terhadap Sunnah, dapat dilakukan dengan cara
mengklasifikasikan sunnah, mana yang dilakkan Rasulullah dalam
rangkka Tasyri’ Al-Ahkam (penetapan hukum) dan mana pula yang
dilakukannya selaku manusia biasa sebagai sifat basyariyyah
(kemanusiaan). Sunnah baru dapat dijadikan pegangan wajib apabila
dilakukan dalam rangka Tasyri’ Al- Ahkam. Sedangkan yang
dilakukannya sebagai manusia biasa tidak wajib diikuti, seperti
kesukaaan Rosulullah SAW kepada makanan yang manis, pakaian yang
berwarna hijau dan sebagainnya. Disamping itu sebagaimana Al-Qur’an,
Sunnah juga harus dipahami dari segi jiwa dan semangat atau substansi
yang terkandung di dalamnya.

3. Pendekatan ta’aqquli (rasional)


Ulama’ terdahulu memahami rukun Islam dilakukan dengan
Taabbudi yaitu menerima apa adanya tanpa komentar, sehingga kwalitas
illat hukum dan tinjauan filosofisnya banyak tidak terungkap. Oleh
karena itu pendekatan ta’aquli harus ditekankan dalam rangka
pembaharuan hukum Islam (ta’abadi dan ta’aqquli). Dengan pendekatan
ini illat hukum hikmahat-tashih dapat dicerna umat Islam terutama dalam
masalah kemasyarakatan.
4. Penekanan zawajir (zawajir dan jawabir) dalam pidana
Dalam masalah hukum pidana ada unsur zawajir dan jawabir.
Jawabir berarti dengan hukum itu dosa atau kesalahan pelaku pidana akan
diampuni oleh Allah. Dengan memperhatikan jawabir ini hukum pidana
harus dilakukan sesuai dengan nash, seperti pencuri yang dihukum
dengan potong tangan, pezina muhsan yang dirajam, dan pezina ghoiru
muhsan didera. Sedangkan zawajir adalah hukum yang bertujuan untuk
membuat jera pelaku pidana sehingga tidak mengulanginya lagi. Dalam
pembaharuan hukum Islam mengenai pidana, yang harus ditekakankan
adalah zawajir dengan demikian hukum pidana tidak terikat pada apa
yang tertera dalam nash.
5. Masalah ijma’
Pemahaman yang terlalu luas atas ijma dan keterikatan kepada
ijama harus dirubah dengan menerima ijmak sarih, yang terjadi
dikalangan sahabat (ijma sahabat) saja, sebagaimana yang dikemukakan
oleh As-Syafi’i kemungkinan terjadinya ijma sahabat sangat sulit,
sedangkan ijma sukuti (ijma diam) masih diperselisihkan. Disamping itu,
ijma yang dipedomi haruslah mempunyai sandaran qat’i yang pada
hakikatnya kekuatan hukumnya bukan kepada ijma itu sendiri, tetapi pada
dalil yang menjadi sandaranya. Sedangkan ijma yang mempunyai
sandaran dalil zanni sangat sulit terjadi.
6. Masalik al-‘illat (cara penetapan ilat)
Kaidah-kaidah yang dirumuskan untuk mendeteksi illat hukum
yang biasanya dibicarakan dalam kaitan dengan qiyas. Dalam kaidah
pokok dikatakan bahwa “hukum beredar sesuai dengan ilatnya”. Ini
ditempuh dengan merumuskan kaidah dan mencari serta menguji alit
yang benar-benar baru.

7. Masalih mursalah
Dimana ada kemaslahatan disana ada hukum Allah SWT adalah
ungkapan popular dikalangan ulama. Dalam hal ini masalih mursalah
dijadikan dalil hukum dan berdasarkan ini, dapat ditetapkan hukum bagi
banyak masalah baru yang tidak disinggung oleh al-qur’an dan sunah.
8. Sadd az-zari’ah
Sadd az-zari’ah berarti sarana yang membawa ke hal yang haram.
Pada dasarnya sarana itu hukumnya mubah,akan tetapi karena dapat
membawa kepada yang maksiat atau haram, maka sarana itu diharamkan.
Dalam rangka pembaharuan hukum Islam sarana ini digalakkan.
9. Irtijab akhalf ad-dararain
Dalam pembaharuan hukum Islam kaidah ini sangant tepat dan
efektif untuk pemecahan masalah baru. Umpamanya perang di bulan
muharram hukumnya haram, tetapi karena pihak musuh
menyerang, maka boleh dibalas dengan berdasarkan kaidah
tersebut, karena serangan musuh dapat menggangu eksistensi agama
Islam.
10. Keputusan waliyy al-amr
Atau disebut juga ulil amri yaitu semua pemerintah atau
penguasa, mulai dari tingkat yang rendah sampai yang paling tinggi.
Segala peraturan Undang-Undangan wajib ditaati selama tidak
bertentangan dengan agama. Hukum yang tidak dilarang dan tidak
diperintahkan hukumnya mubah. Contohnya, pemerintah atas dasar
masalih mursalah menetapkan bahwa pembatasan umur calon mempelai
laki-laki dan perempuan yaitu perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur
16 tahun.
11. Memfiqhkan hukum qat’i
Kebenaran qat’i bersifat absolut. Sedangkan kebenaran fiqh
relative. Menurut para fukaha, tidak ada ijtihad terhadap nas qat’i (nas
yang tidak dapat diganggu gugat). Tetapi kalau demikian halnya, maka
hukum Islam menjadi kaku. Sedangkan kita perpegang pada motto: al-
Islam salih li kulli zaman wa makan dan tagayyur al-ahkam bi tagayyur
al-amkinah wa al-zaman. Untuk menghadapi masalah ini qat’i
diklasifikasikan menjadi: Qat’i fi jami’ al-Ahwal dan Qot’i fi ba’d al-
Ahwal. Pada qot’I fi al-Ahwal tidak berlaku ijtihad, Sedangkan pada qot’I
fi ba’d al-Ahwal ijtihad dapat diberlakukan. Tidak semua hukum qat’I
dari segi penerapanya (tatbiq) berlaku pada semua zaman.

E. Tarikh Tasyri’ di Indonesia4


Perkembangan pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Ada tiga priode
perkembangan pembaharuan hukum Islam di Indonesia yaitu :
      1.      Priode Awal – 1945 : Pergeseran Dalam Hukum Yang Berlaku
Hukum Islam di Indonesia merupakan gabungan tiga hukum yang berlaku,
yaitu hukum adat, hukum islam, dan hukum barat. kedudukannya disebutkan
dalam peraturan perundang-undangan yang dikembangkan oleh ilmu pengetahuan
dan praktek peradilan. Hukum Islam masuk di Indonesia bersamaan dengan
masuknya agama Islam. Kerajaan-kerajaan Islam yang kemudian berdiri
melaksanakan hukum islam diwilayahnya masing-masing. kerajaan-kerajaan itu,
misalnya samudra Pasai di Aceh Utara pada akhir abad XIII, diikuti diantaranya
Demak, Jepara, Tuban dan Gresik.
Pada zaman VOC, kedudukan hukum islam dalam bidang kekeluargaan
diakui bahkan dikumpulkan dalam sebuah peraturan yang dikenal dengan
Compendium freijer. Demikian juga dikumpulkan hukum perkawinan dan
kewarisan islam di daerah Ciirebon, Semarang dan Makassar.
Pada zaman penjajahan Belanda mula-mula hukum islam bertumpu pada
pikiran Sholten van Haarlem diakui oleh pemerintah hindia belanda secara tertulis
dengan istilah godsdien wetten sebagaimana terlihat pada pasal 75 (lama)
Regeering Reglemen tahun 1985 peradilan yang di peruntukan bagi mereka yang
telah ditentukan, yaitu pristerad (Pengadilan agama, stbl 1882, No. 152 jo 1937 no
116 dan 610 untuk Jawa Madura dan kerapatan Qadli; stbl 1937 No. 638 dan 639
untuk kalimantan seatan dan timur). kemudian setelah merdeka pengadilan agma

4[4] Abdul Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembinaan Hukum Islam
Dari Masa Ke Masa (Jakarta : Amzah, 2013) hal 177
atau mahkamah syariah ( PP No 45/1957 untuk daerah luar jawa Madura dan
kalimantan selatan dan timur).
        2.      Periode 1945 – 1985 : Pergeseran Bentuk Ke Hukum Tertulis
Meskipun kedudukan hukum islam sebagai salah satu sumber hukum
nasional tidak begitu tegas pada masa awal orde ini, namun upaya-upaya untuk
mempertegas tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad
Dahlan, seorang mentri agama dari kalangan Muhammadiyah yang mencoba
mengajukan rancangan Undang-undang perkawinan umat islam dengan dukungan
kuat fraksi-fraksi islam di DPR. Meskipun gagal upaya ini kemudian dilanjudkan
dengan mengajukan rancangn hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di
Indonesia pada tahun 1970. upaya ini kemudian membuah hasil dengan lahirnya
UU No14/1970 yang mengakui pengadilan agama sebagai salah satu badan
peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Melalui UU ini, menurut
Hazairin, hukum islam dengan otomatis telah berlaku secara langsung sebagai
hukum yang berdiri sendiri.
Pemerintah RI menemukan kenyataan bahwa hukum islam yang berlaku
itu tidak tertulis dan terserak dibeberapa kita yang menjadi perbedaan antar umat
islam. Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 dan No. 23 Tahun 1954 dimaksudkan
untuk memenuhi kebutuhan mendesak akan adanay kesatuan dan kepastian
hukum dalam pencatatn nikah, talak, dan rujuk yang masih diaautr dalam
beberapa peraturan yang bersifat propensialistis dan tidak sesuai dengan Negara
RI sebagai negara kesatuan. Peraturan-peratuaran teersebut ialah
Huwellijksordonnannties S. 1929 No. 348 jo S. 1933 No 98 dan
Huwellijksordonnanntie Buitengewesten S. 1932 No. 428.

      3.      Periode 1985-Sekarang: Menuju Periode Taqnin


Periode ini dimulai sejak ditandatangi Surat Keputusan Bersama Ketua
Mahkamah Agung Dan Menteri Agama RI Tentsng Penunjukan Pelaksanaan
Proyek Pe,Bangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi No. 07/KMA/1985 dan
No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 maret 1985 di Yogyakarta.
      1.      Latar Belakang Gagasan Kompilasi Hukum Islam
Ide kompilasi hukum islam timbul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung
membina bidang teknis yustisial peradilan agama. tugas pembinaan ini didasarkan
pada UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman Pasal II ayat (1) yang menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan
keuangan pengadilan dilakukan oleg departemen masing-masing; sedangkan
pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. meskipun undang-
undang tersebut ditetapkan tahun1970, namun pelaksanaannya di lingkungan
peradilan aagama baru pada tahun 1983, setelah penandatanganan SKB Ketua
Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI No. 01, 02, 03, dan 04/SK/1-1983
DAN NO. 1,2,3, dan 4 Tahun 1983. keempat SKB ini merupakan jalan pintas
sambil menunggu keluarnya undang-undang tentang susunan, kekuasaan, dan
acara pada pradilan agama yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No. 14
Tahun 1970 bagi lingkungan peradilan agma yang pada saat itu masih sedang
dalam proses penyususnan yang intersif.
    2.      Gagasan dasar komplikasi hukum islam
Prof. H. Busthanul Arifin, S.H, sebagai pencetus gagasan KHI
memapakarkan beberapa hal, antara lain:
a.    Untuk dapat belakunya hukum (islam) di Indonesia, harus ada hukum yang jelas
dan dapat dilaksanakan, baik oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat.
b.    Persepsi yang seragam tentang syariat sudah dan akan menyebabkan hal-hal
berikut ini.
1)   Ketidakseragaman dalam menentukan apa yang disebut dengan hukum islam itu.
2)   Tidak ada kejelasan bagaimana cara menjalankan syariat.
3)   Tidak mampu menggunakan sarana dan alat yang telah tersedia dalam UUD 1945
dan perundang-undangan lainnya.
c.    Sejarah mencatat bahwa hukum islam pernah diberlakukan sebagai perundang-
undangan negara, yaitu:
1)   Di India, Raja al-Rajeb membuat dan memberlakukan perundang-undangan islam
yang terkenal dengan Fatwa Alamfiri.
2)   Di Kerajaan Turki Utsmani, dikerajaan ini hukum islam dikenal dengan nama
Majallahb Al-Ahkam Al-Adliyah
3)   Di Sudan, pada tahun 1983, hukum islam di negara ini dikodifikasikan.
Apa yang telah dilakukan Departemen Amana pada Tahun 1958 dengan
membatasi hanya 13 kitab kuning adalah upaya menuju ke arah kesatuan dan
pastian hukum yang sejalan denngan apa yang dilakukan dinegara-negara
tersebut. Dari sanalah kemudian timbul gagasan untuk membuat Komplikasi
Hukum Islam sebagai buku hukum bagi pengadilan agama.
d.   Landasan Yuridis
Landasan Yuridis tentang perlunya hakim memerhatikan kesadaran hukum
masyarakat adalah UU No. 14/1970 pasal 20 ayat (1) yang berbunyi, “Hukum
sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Sementara itu, didalam fiqih
ada kaidah yang mengatakan, “Hukum Islam dapat berubah karena perubahan
waktu, tempat, dan keadaan .” keadaan masyarakat itu selalu berubah dan ilmu
fiqh itu sendiri selalu berkembang karena menggunakan metode-metode yang
sangat memerhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode-metode itu
adalah maslahah mursalah, istihsan, istishab, dan ‘urf.
e.    Landasan Fungsional
Komplikasi Hukum Islam adalah fiqh Indonesia yang disusun dengan
memerhatikan kondisi kebutuhan hukum umat islam Indonesia. Fiqh Indonesia,
sebagaimana yang pernah dicetuskan oleh Prof. Hazairin, S.H., dan Prof. T.M.
Hasbi Ash- sShiddieqy sebelumnya mempunyai tipe fiqh lokal, semacam fiqh
Hijazi, fiqh Mishri, dan fiqh Hindi yang sangat memerhatikan kebutuhan dan
kesadaran hukum masyarakat setempat. Ini bukanlah mazhab, melainkan upaya
unifikasi mazhab dalam hukum islam.
        3.      Realisasi Komplikasi Hukum Islam
a.    Proses pembentukan Komplikasi Hukum Islam
Pembentukan Komplikasi Hukum Islam dilaksanakan oleh Tim pelaksanaan
proyek yang ditunjuk dengan SKB ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri
Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1965 tanggal 25 Maret 1985.
Dalam SKB tersebut, ditentukan para pejabat MA dan Depag yang ditunjuk
beserta jabatannya masing-masing dalam proyek. pemimpin umum dipegang oleh
Prof. H. Bustanil Arifin, Ketua Muda MA RI urusan lingkungan peradilan agama,
dan H. Zaini Dahlan, M.A. sebagai wakilnya.
Tugas pokok proyek adalah melaksanakan usaha pembangunan hukum islam
melalui yurisprudensi dengan jalan komplikasi hukum. Sasarannya adalah
mengkaji kitab-kitab yang dipergunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim
agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum nasional.
Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut, proyek pembanggunan
hukum islam dilakukan dengan cara pengumpulan data, wawancara, lokakarya,
dan studi banding.
b.    Pelaksanaan proyek
Pelaksanaan proyek dilakukan melalui empat jalur, yaitu jalur penelitian
kitab, pengelolaan data hasil penelitian, lokakarya, dan Inpres No. 1 Tahun 1991.
Berikut ini penjelasannya.
1)   Jalur Penelitian Kitab
Pokok hukum yang diteliti sebanyak 160 masalah hukum keluarga, seperti
perkawinan, kewarasan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah. Kitab yang diteliti
sebanyak 38 kitab dan dilakukan oleh 10 IAIN di Indonesia mulai 7 Maret sampai
21 juni 1985. tidak hanya itu, metode lain yang ditempuh adalah sebagai berikut:
a)    wawancara dilakukan terhadap para ulama di 10 lokasi pengadilan tinggi agama
di berbagai daerah, mulai dari aceh sampai mataram
b)   penelitian yurisprudensi dilaksanakan oleh direktorat pembinaan badan peradilan
agama yang telah dihimpun dalam 16 buku.
c)    studi perbandingan dilakukan diberbagai negara di timur tengah seperti maroko,
turki dan mesir
2)   Pengolahan data hasil penelitian
Hasil penelaahan kitab, wawancara, penelitian yurisprudensi, dan studi banding
diolah oleh tim besar. Setelah itu, dibahas dan diolah oleh tim kecil, seperti Prof.
H. Bustanil Arifin, Prof. H. M. D. Kholid, S.H, H. Masrani Basran, S.H., M
Yahya Harahap, S.H., H. Zaini Dahlan, M.A dan H. A. Wasiat Aulawi, M.A. Tim
kecil selajutnya menghasilkan tiga buku naskah rancangan hukum islam, yaitu:
a)    buku pertama tentang perkawinan
b)   buku kedua tentang kewarisan, dan
c)    buku ketiga tentang perwakafan.
Rancangan komplikasi hukum islam ini selesai disusun dalam kurun waktu dua
tahun sembilan bulan setelah emngadakan rapat sebanyak dua puluh kali. Untuk
itu pada tanggal 29 desember 1987, Rancangan Komplikasi Hukum Islam secara
resmi diserahkan kepada ketua mahkamah agung dan menteri agama.
3)  Lokakarya
Pada upacara penyerahan naskah Rancangan KomplikasinHukum Islam,
dilakukan penandatangan SKB oleh ketua Mahkamah Agung, H. Ali Said, S.H
dan mentri agama, H. Munawir Syadzali, M.A tentang pelaksanaan lokakarya.
Lokakarya dilakukan pada tanggal 2 – 6 februari 1988 untuk mendengarkan
komentar akhir para ulama dan cendekiawan muslim. Mereka yang hadir
sebanyak 126 oranga dari daerah penelitian dan wawancara.
4)   Inpres No. 1 Tahun 1991
Setelah naskah akhir kompliksi hukum islam menglammi penghalusan redaksi
oleh tim besar, selajutnya disampaikan kepada Presiden RI oleh menteri Agama
denagn surat tanggal 14 maret 1988 No. MA/123/1988 agar memperoleh bentk
yuridis untuk digunakan dalam praktik dilingkungan peradilan agama.
selanjutnya, lahirlah inpres No. 1 tahun 1991 yang dalam diktumnya menyatakan,
“mengintuksikan kepaadaa mentri agama untuk meyebarluaskan komplikasi
hukum islam yang terdiri atas tiga buku untuk digunakan oleh instansi pemerintah
dan masyarakat yang memerlukannya.”
Untuk melaksanakan intruksi tersebut, mentri agama mengeluarkan surat
keputusan No. 154 tahun 1991 tanggal 22 juli 1991 kepada seluruh instansi
departemen agama dan instansi pemerintah terkait agar menyebar luaskan an
menggunakannya dalam masalah keluarga. Direktur Jenderal pembinaan
kelembagaan agma islam dan urusa haji, mengoordinasikan pelaksannan
keputusan mentri agma RI dalam bidangnya masing-masing.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
1.    Faktor tarikh tasyri’ di era moderen
Agar agama Islam mampu menghadapi perkembangan zaman, maka hukum
Islam perlu dikembangkan dan pemahaman tentang Islam harus terus menerus
diperbaharui dengan memberikan penafsiran-penafsiran terhadap nash syara’
dengan cara menggali kemungkinan atau alternatif dalam syari’at yang diyakini
bisa menjawab masalah-masalah baru. Jadi, pembaharun hukum Islam
dimaksudkan agar hukum Islam tidak ketinggalan zaman dan mampu menjawab
pertanyaan yang berkesinambungan di dalamnya Lahirnya ide pembaharuan Islam
dimulai sadarnya umat Islam akan tidur panjang dan mimpi indahnya, kemudian
bangun dan membenahi diri serta bangkit kembali menjadi suatu kekuatan yang
setidaknya setara dengan kekuatan Barat. Pada waktu itu, umat Islam sudah
terpecah-pecah ada yang masih terhimpun dalam tiga kerajaan Islam, yakni Turki
Utsmani, Mughol dan Safawi, ada yang lepas dari tiga kekuatan itu dengan
mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, ada juga yang tidak termasuk dua kategori
tersebut.
2.    Tanda- tanda tasyri’ di era modern
Tanda-tanda kebangunan hukum Islam pada masa modern dapat kita lihat
pada sistem mempelajari dan segi-segi penulisan tentang hukum Islam,
kedudukan hukum-hukum Islam dalam perundang-udangan negara, dan penilaian
orang-orang orientalis terhadap hukum Islam.
3.    Karakteristik perkembangan Tasyri’ di Era Modern
Munculnya semangat tajdid, atau yang sering disebut sebagai pembaharuan
sebagai manifestasi dari seruan terbukanya kembali ijtihad di kalangan orang
muslim. Munculnya jargon kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Pada
hakikatnya apa yang disebut dengan pembaharuan atau yang identik dengan
kebangkitan hanya akan terjadi jika tradisi dasar yang mendasari gerak secara
total telah ada dan telah dirumuskan. Dibukanya kembali pintu ijtihad, secara
bahasa ia berarti upaya sungguh-sungguh untuk merealisasikan salah satu
permasalahan. Berkembangnya tasyri’ pada masa modern. Banyak beberapa
masail fiqhiyah yang belum pernah muncul pada masa-masa sebelumnya, pada
masa modern ini berkembang. Suatu contoh persoalan perubahan kelamin,
pencangkoan jantung.
4.    Keadaan tasyri di era moderen
Di era modern yang banyak mengalami perubahan perlu adanya suatu
pembaharuan hukum Islam, dalam pembaharuan hukum Islam tidak boleh
merubah hukum yang ada, artinya hanya boleh menetapkan hukum baru yang
belum ada pada masa Rasul dan sahabat sedangkan hukum yang telah ada tidak
boleh dirubah ataupun diperbaharui. Dalam hal ini hukum Islam lebih didekatkan
dengan fiqih, bukan syariat.
5.    Tarikh tasyri’ di Indonesia
Hukum islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masunknya islam. tiga
periode perkembangan pembaharuan hukum islam di Indonesia, yaitu : Periode
Awal – 1945 : Pergeseran Dalam Hukum Yang Berlaku, Periode 1945 – 1985 :
Pergeseran Bentuk Ke Hukum Tertulis, dan periode 1985-sekarang : menuju
periode taqnin.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembinaan Hukum Islam
Dari Masa Ke Masa. Jakarta : Amzah, 2013
Ahmad Hanafi, Pengantar dan sejarah hukum islam. Jakatra : Bulan Binatang,
1970
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam. Jakarta : Rajawali Pers, 2009
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Jakarta :
Gramata Publishing, 2010

Anda mungkin juga menyukai