Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul "Tasyri’
pada Masa Jumud dan Taqlid" tepat pada waktunya. Dan tidak lupa pula kita sanjung pujikan kepada
Nabi Besar Muhamad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita ke alam yang terang
benderang ini.

Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentukpenyusunan maupun
materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.

Terima kasih yang sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian Makalah ini. Wassalam.

Indramayu, 28 September 2109

Pemakalah
DAFTAR ISI

BAB I ........................................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................... 3
A. Latar Belakang ............................................................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 3
C. Tujuan penulisan ............................................................................................................................ 3
BAB II.......................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................... 5
A. Kondisi Sosial Politik...................................................................................................................... 5
B. Keistimewaan Masa Ini ................................................................................................................. 6
C. Sebab-sebab Faham Tertutupnya Pintu Ijtihad ........................................................................ 11
D. Tokoh Ulama Pada Periode ini....................................................................................................... 14
BAB III ...................................................................................................................................................... 17
PENUTUP ................................................................................................................................................. 17
A. Kesimpulan ................................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................... 19
BAB I

PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Periode taqlid ini bermulai sekitar pertengahan abad IV H / X M. Pada masa ini pula terdapat
beberapa faktor, yaitu faktor politk, intelektual, moral, dan sosial yang mempengaruhi kebangkitan umat
islam dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga
terjadinya kemandekan. Gerakan ijtihad dan upaya perumusan undang-undang sudah berhenti. Semangat
kebebasan dan kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan Alquran dan
Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan cara bertaqlid.
Semua pengaruh yang mendatang itu menolak kemerdekaan berpikir dan menyeretnya kepada taqlid,
menjadi pengikut Abu Hanifah, pengikut Malik, pengikut asy syafi’i atau pengikut Ahmad saja.

Mereka membatasi diri dalam batas-batas lingkungan madzhab-madzhab itu. Kesungguhan


mereka ditujuan untuk memahami lafad-lafad dan perkataan imam-imam saja, bukan lagi untuk
mmahami nash-nash itu sendiri. Oleh karenanya berhentillah masa tasyri’ dan bekulah masa pembinaan
hukum, padahal masa selalu terus berputar, setiap detik baru terjadi transisi, setiap transisi membawa
peristiwa yang menimbulkan masalah baru yang membutuhkan hukum.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi sosial politik pada masa taqlid dan jumud?
2. Bagaimana keistimewaan periode ini?
3. Jelaskan sebab-sebab faham tertutupnya pintu ijtihad?
4. Siapa saja tokoh ulama pada periode ini?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui kondisi sosial politik pada masa taqlid dan jumud
2. Untuk mengetahui keistimewaan periode ini
3. Untuk mengetahui sebab-sebab faham tertutupnya pintu ijtihad
4. Untuk mengetahui tokoh ulama pada periode ini

Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah agar kami dan semua mahasiswa
mampu memahami tentang tasyri’ pada masa taqlid dan jumud.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kondisi Sosial Politik


Periode ini lahir pada abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang berarti sebagai penutupan periode
ijtihad atau periode tadwin (pembukuan). Mula-mula masa kemunduran dalam bidang kebudayaan
Islam, kemudian berhentilah perkembangan hukum Islam atau Fiqih Islam. Pada umumnya, ulama yang
berada di masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagiamana
dilakukan oleh para pendahulu mereka pada kejayaan seperti disebut diatas.

Situasi kenegaraan yang barada dalam konflik, tegang, dan lain sebagainya itu ternyata sangat
berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya
Alqur’an dan Hadits. Mereka telah puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan
meningkatkan kepada tingkat tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah yang
mengantarkan Dunia Islam kea lam taklid, kaum Musliminterperangkap ke alam pikiran yang jumud dan
statis.

Disamping kondisi sosial politik tersebut, beberapa faktor lain berikut ini kelihatannya ikut
mendorong lahrnya sikap taklid dan kemunduran. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Efek samping dari pembukuan fiqih pada periode sebelumnya

Dengan adanya kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama sebelumnya, baik untuk
persoalan-persoalan yang benar-benar terjadi atau diprediksi akan terjadi, memudahkan umat Islam pada
periode ini merujuk semua persoalan hukumnya kepada kitab-kitab yang ada itu.

2. Fanatisme mazhab yang sempit

Pengikut imam mujtahid terdahulu itu berusaha membela kebenaran pendapat mazhabnya
masing-masing dengan berbagai cara. Mungkin akibat pengaruh arus keidakstbilan kehidupan politik,
dimana frekuensi sikap curiga dan rasa tidak senang antara seseorang atau antar kelompoknya dengan
mnecari-cari argumentasinya yang pada umumnya apologetic serta menyanjung imam dan mazhabnya
dengan sikap emosinalitas yang tinggi. Akibatnya, mereka tenggelam dalam suasana chauvinism yang
tinggi, jauh dari sikap rasionalitas ilmiah dan terpaling dari sumber-sumber hukum yang sesungguhnya,
Alqur’an dan Hadits.

3. Pengangkatan hakim-hakim muqallid

Kehidupan taklid pada periode semakin subur ketika pihak penguasa mengangkat para hakim
dari orang-orang yang bertklid. Bila pada periode sebelumnya para penguasa memilih dan mengangkat
hakim-hakim dari kalangan mujtahid dan mereka diberi kebebasan berijtihad sendiri, hasil ijtihadnya
sering menjadi sasaran kritikan pedas dari penganut-penganut mazhab tertentu, termasuk penguasa.

Umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka yang sudah berlangsung semakin
lama itu. Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh terhadap perkembangan fiqih. Banyak diantara
pembaharuan itu juga adalah ulama’-ulama’ yang berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri.
Mereka berseru agar umat Islam meningglakan taklid dan kembali kepada Alqur’an dan hadits dan
mengikuti jejak para ulama’ terdahulu. Mereka inilah yang disebut sebagai golongan salaf. Periode ini
ditandai dengan disusunnya kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adiyyat di akhir abad ke-13 H, mulai 1285 H
sampai tahun 1293 H (1869-1876 M).

Contoh ijtihad yang dilakukan:

Perluasan daerah dari suatu Negara akan berdampak semakin luas pada jumlah dan bobot
persoalan yang dihadapi, baik menyangkut sosial politik ketatanegaraan maupun hal-hal yang perlu
diselesaikan oleh pemimpin dan para ulamanya. Mereka, terutama ulama’-ulama’ dituntut untuk
berfatwa dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang frekuensinya selalu bertambah dari masa
ke masa. Keadaan ini menentang mereka untuk menafsirkan ayat-ayat Alqur’an atau hadits-hadits nabi
berdasarkan penalaran ilmiah yang intens (ijtihad).

B. Keistimewaan Masa Ini

1. Pengembangan fiqih di Arab, Asia tengah dan India

Para ulama tidak sekaligus meninggalkan ijtihad, melainkan berangsur-angsur karena itu
dapatlah kita membedakan antara masa sebelum pertengahan abad 7 hijriyah (tahun 656 H)
yaitu masa ketika jatuhnya kerajaan Abasiyyah di Baghdad dengan terbunhnya al Mu’tashim,
dengan masa sesudahnya. Dalam masa itulah para ulama menghadapkan dirinya kepada
taqlid sampai pengaruhnya ke asia tengah dan India.

Para imam telah meninggalkan warisan yang begitu berharga dan sangat besar, yaitu
hukum-hukum yang diperlukan oleh kejadian-kejadian. Pemerintah pun dalam menetapkan
seseorang untuk menjadi hakim dan mufti dan kedudukan lainnya mengambil dari orang-
orang yang mengikuti madzhab, baik di Timur maupun di Andalus dan Maghribi. Para
fuqaha’ masa taqlid itu sepakat meninggalkan ijtihad, adakala karena aneka ragam fatwa
yang bersimpang siur tak terkendalikan lagi, yang menyebabkan para fuqaha’ menjauhkan
diri dari ijtihad, dan adakala karena sudah malas untuk berijtihad, dan adakalanya pula
memang pahamnya sudah tertumbuk pada pendapat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup.
Mulai saat itu fiqh Islam sudah bercerai dari sifat amaliyah yang praktis berpindah berjalan
pada cara yang teoritis yang jauh dari segi-segi praktek kehidupan, dan merupakan bentuk
yang membeku, tidak mau menampung masalah yang hidup dalam kehidupan umat.

Dalam pada itu, dalam masa ini masih terdapat fuqaha’ yang mempunyai pembahasan-
pembahasan yang berharga dan kadang-kadang mereka menyalahi pendapat-pendapat imam.
Dan pada masa itu masih terdapat mujtahid muqayyad atau mujtahid madzhab. Juga para
fuqaha’ pada masa itu ada yang memberikan illat-illat hukum yang dikemukanan oleh para
imam dan menampung kaidah-kaidah serta mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda-
beda dari para imam dalam sesuatu masalah.

Ringkasnya, masa ini adalah masa menyusun fiqh secara menetapkan masalah-
masalahnya yang baru, menurut dasar yaang telah ditancapkan oleh imam-imam mereka dan
mentarjihkan menguatkan suatu pendapat dari pendapat yang berbeda-beda.Menurut Ahli
Tarikh zaman taqlid terjadi beberapa periode yaitu:

a) Periode pertama ( Abad ke IV – jatuhnya baqdad ketangan ketangan bangsa tartar


pertengahan abad ke VII Hijrah ).
Masa ini masa ini masing-masing ulama menegakan fatwa imamnya menyeru
umat untuk bertaqlid dan mazhab yang dianutnya. Ulama Irak mempropagandakan
supaya menganut mazhab Imam Abu Hanifah, Ulama Madinah kepada mazhab Imam
Malik, pada masa ini paling kuat hanya mentarjih antara dua perkataan imam yang
berlawanan sehingga berbunyi semboyan : kami mazhab hanafi, disambut dengan
dengan semboyan lain kami mazhab Malikiyah dan begitulah seterusnya, meraka
tidak segan-segan mengatakan kepada yang bukan mazhabnya kalimat kafir.
b) Periode kedua
Periode ini, kelemahan ruh ijtihad terlihat jelas, sangat kurang ulama yang berani
memuncul ijtihad, kecuali beberapa orang saja diantaranya Al ‘iz ‘abdusslam (578 H-
660 H), Ibnu Daqiqil ‘id (615 H – 702 H ) Al-Bulqini ( 724 H -805 H ), Ibnu Rif’ah
(645-858 H ), ibnu hajar Asqalani (773-858 H), Ibnu Humam ( 790-911H). Ibnul
Hajib (570-646 H), Ibnu Taimiyah ( 661 – 728 H ) Ibnu qayyim ( 691- 751 H), Al
Asnawi ( 714 – 784 H), Al Jalalul Mahalli (791 – 864 H ) dan Al jalalus Sayuti ( 846
– 911 H ).
c) Periode ketiga
Pada periode ini ijtihad padam sama sekali, sehingga haram hukumnya berijtihad,
namun ditengah kepakuman ijtihad muncullah dua mujtahid yang masih diakui
ijtihadnya yaitu Muhammad Ibn Ismail Al Amir Ash-Sha’ani pengarang
subulussalam dan Imam Asy Syaukani pengarang Nailul Authar, kemudian pada abad
XX bangunlah pujangga sunnah, ahli politik yang terkenal yaitu Al Imam
Muhammad Abduh.
d) Periode ke Empat
Pada periode ini adalah periode yang menantang muhammad Abduh yang
menyerukan kepada para ulama untuk berijtihad dan menyingkapkan tirai taqlid.
Melihat dari periodesasi di atas nampaklah bahwa pertengahan abad ke-13, muncul
upaya reformasi (pembaharuan) untuk melepaskan diri dari taklid di kalangan umat
Islam. Usaha ini timbul setelah kaum muslimin sadar akan kelemahan dan
kemunduran mereka akibat perselisihan di kalangan umat Islam sendiri. Di pihak lain
ada juga usaha-usaha non muslim yang ikut menyokong kehancuran umat Islam.
Bersamaan dengan itu banyak Negara-negara Islam ditundukkan Barat di bawah
kekuasaannya.

Dalam pada itu, dunia pada umumnya, terutama barat yang semula jauh ketinggalan
dibandingkan dengan dunia Islam, mulai maju dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mereka capai. Peradapan yang dahulu berada di tangan kaum muslimin, beralih ke Barat. Mereka telah
mengemukakan masa keemasannya.

Kemajuan di kalangan Barat, sekaligus keberhasilan mereka dalam menguasai peradaban


dunia ketika itu tidak terlepas dari faktor utamanya, yakni semangat berfikir rasional mereka, yang
disebut juga pengejawantahan dari semangat Yunani.

Umat Islam merasa tergugah kembali untuk meraih kembali kesuksesan yang pernah
diraihnya itu. Kebangkitan umat Islam muncul di Turki dan Mesir yang memulai usaha-usaha dalam
bidang pendidikan. Di Mesir, pada awal abad ke-13 H, Muhammad Ali Pasya tampil untuk memajukan
ilmu pengetahuan, kemudian dilanjutkan oleh al-Tahtawi, dengan usaha penerjemahan buku-buku baru
serta penerbitan berbagai surat kabar dan majalah ilmu pengetahuan.

Mesir juga berusaha keras untuk menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern. Mahasiswa-
mahasiswa mesir dibiayai untuk belajar di negeri barat, saat itu dikirim mahasiswa tidak kurang dari 300
mahasiswa di Itali, Perancis, Inggris dan Austria. Sekembali dari negeri Barat itu, mereka melihat situasi
di negerinya jauh ketinggalan dengan negeri-negeri Barat. Maka para pemuda Islam yang terdidik itu
berusaha membangkitkan dunia Islam ke arah peradaban modern. Mereka dilengkapi berbagai metode
dan strategi untuk menyesuaikan syari’at Islam dengan pandangan dunia.

Dalam rangka usaha-usaha pembaharuan Islam, para ulama berusaha untuk menafsirkan
kembali sumber-sumber tasyri’. Hal ini diambil karena para mufassir terdahulu sebagian besar
terpengaruh dongeng-dongeng israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang Yahudi dan Nasrani yang
masuk Islam.

Sebagai upaya menghadapi tantangan zaman yang serba modern, para mujadid menafsirkan
al-qur’an dengan disesuaikan perkembangan zaman, juga menghindarkan diri dari dongeng Israiliyaht
dan Nasraniyat. Maka pada abad 14 H lahirlah aliran baru dalam menafsirkan al-qur’an seperti aliran al-
Manar yang dipelopori oleh Jamaludin al-afghani (1315 H), Muhammad Abduh (1323 H) dan muridnya
M. Rasyid Ridha.

Dalam penafsiran ini Muhammad Abduh senantiasa berusaha mencari persesuaian antar al-
Qur’an tidak mungkin mengandung ajaran-ajaran yang berlawanan dengan hakikat ilmu. Bahkan, al-
Qur’an mencakup ilmu pengetahuan modern di abad yang akhir ini. Pemikiran Abduh terutama dalam
bidang hukum Islam, diinspirasi oleh pemikiran Ibnu Taimiyah. Ia membagi ruang lingkup agama ke
dalam dua bidang besar, yaitu ibadah dan mu’amalah. Beliau juga menganjurkan agar tidak terikat
kepada madzhab tertentu. Sikap semacam ini dilatarbelakangi oleh luasnya wawasan Abduh dalam
hukum Islam. Ia berani mengambil berbagi keputusan hukum secara bebas dan penuh tanggungjawab.
Hal ini nampak dari setiap keputusannya ketika ia menjadi mufti di Mesir.

Cita-cita pembaharuan Abduh kemudian ditindak lanjuti oleh muridnya, Sayyid Muhmmad
Rasyid Ridha. Titik tolak pembaharuan Ridha berpangkal pada segi keagamaan, yaitu tuntutan adanya
kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidah maupun amaliyahnya. Ajaran Islam yang murni inilah
yang akan membawa kemajuan umat Islam. Itulah sebabnya bid’ah, khurafat dan segala ajaran yang
menyimpang harus disingkirkan.

Adapun tafsir yang menitikberatkan kepada ayat-ayat tasryri’ ialah tafsir al-Qurtubi, abu
Bakar al-Arabi, Abu Bakar al-Janash dan tafsir Shidiq Hasan Khan yang dikenal dengan tafsir ulama
tasyri’. Di samping itu, para mujadid juga berusaha menafsirkan sunah Rasul disesuaikan dengan laju
peradaban modern, sehingga sumber-sumber tasyri’ yang pokok itu tetap menjadi pegangan pembuat
undang-undang di zaman mutakhir.

Dalam mewujudkan pembaharuan dan pembentukan hukum ini, para mujadid tidak terikat
pada salah satu madzhab. Mereka mengambil pendapat dari berbagai ulama ahli hukum yang lebih
sesuai dengan kemaslahatan umat dan masyarakat di alam modern. Sikap seperti ini dikenal dengan
istilah “talfiq” (meramu), yakni mengamalkan suatu hukum furu’ yang dzonni menurut ketentuan dua
madzhab atau lebih. Misalnya, seseorang bertanya kepada ulama Malikiyah tentang batal wudlu karena
keluar darah. Maka ulama itu mengatakan tidak batal. Kemudian orang itu bertanya kepada ulama
Hanafiyah tentang batal wudlu karena menyentuh kemaluan. Maka ulama itu menyatakan bahwa
wudlunya tidak batal. Apabila orang itu mengamalkan fatwa itu di dalam wudlunya, yakni beriktikad
wudlunya tidak sah pula menurut ulama hanafiyah karena mengeluarkan darah, maka orang demikian
telah mengamalkan talfiq.

Dalam masalah boleh tidaknya talfiq, terdapat beberapa pendapat. Al-Ghozali, al-syatibi, al-
Jalal Mahalli mengharamkannya secara mutlak. Ulama lainnya, seperti Ibnu al-Athar, Ibnu Humma Abu
Ishak al-Marwani membolehkannya. Pendirian tersebut berpegang kepada firman Allah: “Allah
menghendaki kelonggaran bagimu” (Al-Baqarah: 185).

Usaha ulama yang lain adalah berkaitan dengan kemurnian tasyri’ islam dari bid’ah dan
khurafat. Bid’ah dapat diartikan menjalani syariat yang tidak sesuai dengan ajaran Allah dan sunah
Rasulullah, baik dengan cara mengurangi maupun menambah ketentuan yang telah ditetapkan oleh nash.
Khurafat diartikan sebagai keyakinan atau i’tikad yang menyalahi kehendak al-Qur’an dan sunah
Rasulullah.

Dalam memperbaharui tasyri’ Islam, para mujtahid berusaha untuk memurnikan tasyri’ Islam
dari bid’ah dan khurafat, umatnya tidak akan mengalami kemajuan apalagi kejayaan sebagaimana yang
dialami pada masa Rasulullah dan masa sahabat. Tokoh terkenal yang menentang bid’ah dan khurafat
adalah Abu Al-Wahhab di Saudi Arabia dan Syekh Waliyullah al-Dahlawi dari India.

C. Sebab-sebab Faham Tertutupnya Pintu Ijtihad

Petaka besar menimpa Fiqih Islam pada periode ini, dimana kesucian ilmu ternodai,
orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan mereka sangat jauh dari
pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil Fiqih yang pada akhirnya mereka berbicara
tentang agama tanpa Ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa dan ulama untuk menutup
pintu ijtihad pada pertengahan abad keempat hijriah agar mereka mengklaim diri sebagai
mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang
menyesatkan. Akan tetapi sangat disayangkan, larangan ini telah memberi efek yang negatif
terhadap Fiqih Islam sehingga menjadi jumud dan ketinggalan zaman. Seharusnya para
fuqoha periode ini meletakkan beberapa aturan yang bisa digunakan untuk membantah
pendapat ulama gadungan tersebut. Salah satunya dengan menjelaskan dalil dan bukti yang
menyingkap aib mereka didepan orang banyak, dan melarang masyarakat untuk mengikutinya
karena fatwa mereka tanpa ilmu dan menyesatkan dan bukan menutup pintu ijtihad. Andaikan
hal ini mereka lakukan , niscaya mereka telah memberikan kontribusi positif terhadap
perkembangan fiqih Islam dan lebih baik dari pada menutup pintu ijtihad sama sekali.
Faktor-faktor yang terpenting yang menyebabkan terhentinya kegiatan ijtihad, dan
menetapi bertaqlid kepada para ulama terdahulu, diantaranya yaitu:

1. Terbagi-baginya Daulah Islamiyah kedalam sejumlah kerajaan-kerajaan yang saling


bermusuhan para rajanya, penguasanya dan rakyatnya.
Hal ini menyebabkan mereka selalu sibuk dengan peperangan-peperangan, saling
menfitnah, memasang berbagai perangkap, tipu daya dan pemaksaaan dalam rangka
meraih kemenangan dan kekuasaan. situasi dan kondisi seperti ini melahirkan masa
krisis umum sehingga semangat keilmuan dan kesenian menjadi lemah dan mandek.
Dan krisis ini mempengaruhi terhentinya gerakan ijtihad pembentukan hukum.
2. Pecahnya imam-imam mujtahidin kepada beberapa madzhab yang masing-masing
mempunyai corak sendiri.
Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran hukum tersendiri dan
mempunyai khittah tersendiri pula. Dan setiap aliran hukum ini mempunyai pengikut
dan kader-kader yang berusaha mencurahkan segenap perhatiaanya dalam rangka
membela dan memenangkan madzhabnya masing-masing. Misalnya adakalanya
dalam rangka membela dan memperkuat madzhabnya masing-masing dengan cara
mengemukakan argumentasi yang melegitimasi kebenaran madzhabnya sambil
mengedepankan kekeliruan madzhab lain yang dinilai bertentangan dengan
madzhabnya.
Disamping itu juga adakalanya dengan cara menyanjung-nyanjung para tokoh
ulama dan pemimpin mereka serta menonjol-nonjolkan kemampuan dan kehebatan
mereka. Kondisi inilah yang membuat para ulama madzhab sibuk dan membelokkan
mereka dari dasar-dasar pokok tasyri’ yaitu Alquran dan Sunnah. Dan tak seorangpun
dari mereka yang mau merujuk kembali pada Alquran dan Hadis, kecuali hanya
sekedar untuk memperkuat madzhab imamnya walaupun dengan cara menyimpang
dalam memahami dan menakwilkan. Dengan demikian, kepribadian seorang alim
ulama tenggelam dan hancur kedalam kepentingan golongannya dan semangat
kemerdekaan berpikir menjadi mandek dan mati. Orang-orang alim menjadi seperti
orang-orang awam saja yakni sebagai pengikut-pegikut yang bertaqlid.
3. Umat islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan.

Sementara disisi lain mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang bisa
menjamin agar seseorang tidak ikut berijtihad kecuali yang memang ahli
dibidangnya. Dengan demikian terjadilah krisis pembentukan hukum dan ijtihad
dengan demikian praktek ijtihad dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai
keahlian. Orang-orang bodoh mempermainkan nash-nash syariat, mereka berani
berfatwa kepada umat islam, maka munculah berbagai macam fatwa hukum yang
bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini juga diikuti dengan munculnya
berbagai keputusan hukum di peradilan-peradilan sehingga terjadilah keputusan
hukum di peradilan yang bertentangan dalam kasus yang sama dalam satu negri.
Semua ini terjadi dikalangan umat islam dan semuanya dianggap sebagai bagian dari
hukum-huum syariat. Situaisi dan kondisi ini membuat para ulama merasa khawatir
sehingga mereka mengambil sikap kebijaksanaan hukum dengan cara menyatakan
menutup pintu ijtihad dan mengikat para mufti (ahli fatwa) dan hakim supaya tetap
saja mengikuti ketetapan-ketetapan hukum para imam mujtahid terdahulu. Inilah cara
mereka mengatasi atau mengobati krisis pembentukan hukum islam dengan cara yang
bisa melahirkan sikap dan masa kebekuan (statis). Ini terjadi pada akhir abad IV H.

4. Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka, sehinga tidak bisa sampai
pada level orang-orang yang melakukan ijtihad.
Dikalangan mereka terjadi saling menghasut dan egois mementingkan diri sendiri.
Kalau salah seorang diantara mereka berusaha mengetuk pintu ijtihad yang berarti
akan membuka pintu kemasyhuran bagi dirinya dan merendahkan rekan-rekan
lainnya. Kalau ia berani berfatwa mengenai suatu masalah menurut pendapatnya,
maka para ulama lainnya meremehkan pendapatnya dan merusak fatwanya dengan
berbagai macam cara. Oleh karena itu, para ulama berusaha untuk tetap menjaga diri
dari adanya tipu daya dari rekan-rekannya dan dari celaan mereka dengan
mengatakan bahwa dia itu tukang taqlid dan tukang kutip saja dan bukanlah seorang
mujtahid, dengan demikian semangat ijtihad mandek dan mati sehinggga tidak ada
yag lahir dan terangkat tokoh-tokoh dalam dunia fikih Islam. Dan kepercayaan ulama
terhadap dirinya sendiri menjadi lemah dan kurang. Demikian pula, kepercayaan
masyarakat kepadanya juga lemah dan kurang sehingga dengan demikian mereka
bertaqlid kepada madzhab-madzhab imam mujtahid terdahulu saja.

D. Tokoh Ulama Pada Periode ini

1. Imam Abu Hanifah (80 – 150 H)


Namanya Abu Hanifah al-Nu’man, terkenal dengan Imam ahl al-Ra’yi. Beliau
lahir di Kufah dan meninggal dunia di Baghdad. Muridnya yang terkenal adalah Abu
Yusuf, Zufar bin Hudzail bin Qa`is sl-Kufi, al-Hasan bin Ziyad, dan Muhammad bin al-
Hasan al-Syaibani.
Pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur berkuasa di Baghdad, Abu Hanifah
diundang ke Baghdad untuk menjabat hakim, tetapi beliau menolak berkali-kali, akhirnya
beliau dijebloskan ke dalam penjara dan kemudian dihukum cambuk. Akhirnya, ia
meninggal dunia di Baghdad dalam usia 70 tahun. Ciri yang paling menonjol adalah
beliau lebih mengandalkan Qiyas dalam penetapan hukum.
Pengaruh didunia: Irak, Turki, Affghanistan, Bukhara, Pakistan, India, Mesir
teutama kalangan akademik Jami’ah al-Azhar.

2. Imam Malik bin Anas (93 – 179 H/ 712 – 798 M)


Nama aslinya, Abu ‘Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr
bin al-Harits, lahir dan meninggal dunia di Madinah. Karena itu, ia terkenal dengan Imam
al-Haramain.
Murid-muridnya:
a) Al-Auza’i
b) Sufyan al-Tsauri
c) Sufyan bin ‘Uyainah
d) Ibnu al-Mubarak
e) Al-Syafi’i

Kitabnya: al-Muwaththa’, kitab hadits 1720 hadits, ditulis tahun 144 H atas perintah Khlifah
Ja’far al-Manshur. Ciri yang paling menonjol adalah sangat tergantung pada amalan (praktik) penduduk
Madinah, berdasarkan hadits Ahad yang shahih.
Pengaruh di Dunia: Marokko, Mauritania, Mali, Al-Jazair, Tunisia, Libiya, Mesir
(Iskandariyah), Sudan Utara, Sinegal, Pantai Gading, Nigeria, Afrika Utara, Hijaz

3. Imam al-Syafi’i (150 – 204 H/ 767 – 820 M)


Nama aslinya, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin ‘Utsman bin syafi’i, lahir
di Ghazzah (kawasan Palestina Selatan) dan meninggal dunia di Mesir. Beliau hafal
Kitab yang ditulis Imam Malik, al-Muwaththa’. Tahuan 195 H beliau hijhrah ke Baghdad
untuk belajar dari murid Imam Abu Hanifah, kemudian beliau berangkat ke Makkah.
Tahun 198 H beliau kembali lagi ke Baghdad; dan tahun 199 H beliau berangkat ke
Mesir. Kumpulan fatwa selama di Baghdad disebut Qaulun Qadim dan di Mesir disebut
Qaulun Jadid. Beliau hafal al-Qur’an pada usia 7 tahun.
Guru-guru beliau: Malik bin Anas, Muslim bin Khalid, Ibnu ‘Uyainah, Ibrahim
bin Sa’ad. Murid-Muridnya: Ahmad bin Hanbal, al-humaidi, Abu Thahir bin al-Buwaithi,
Muhammad bin Abdil Hakam.
Beliau pernah dipenjara dan disiksa karena tidak mengakui al-Qur’an sebagai
makhluk tetapi qadim. Karya-karyanya: al-Musnad, Mukhtalif al-Hadits, al-Sunan.
Dalam bidang Fiqh dan Ushul Fiqh : al-Umm, al-Risalah.
Pengaruhnya di Dunia: Kairo, Somalia, Eritria, Kenya Afrika Tuimur, Zanzibar,
Hadramaut, Pakistan, Asia, Suria, Libanon, Yaman (Yaman Selatan), Emirat Arab,
Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina.
Ciri khasnya: pendapat lama (Qaulun Qadim) dan baru (Qaulun Jadid); dalam
menetapkan hukum, tidak menggunakan istihsan dan mengutamnakan hadist Ahad.

4. Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H/ 780 – 855 M)


Nama aslinya, Abu ‘Abdillah bin Muhammad bin Hanbal al-Marwazi, lahir dan
meninggal dunia di Baghdad. Beliau merantau ke Makkah, Madinah, Syam, Yaman,
Basrah dan lain-lain. Beliau adalah murid setia Imam al-Syafi’i. Beliau hafal 1000.000
hadis. Pendapat beliau menolak “al-Qur’an adalah makhluk.” Sebagai akibatnya, beliau
disiksa dan di penjara.
Muridnya: Imam al-Bukhari, Muslim, Ibnu Abiddunya dan Ahmad bin Abi al-
Hawarimi. Karyanya: Musnad al-Kabir berisi 40.000 hadits.
Pengaruhnya: Saudi Arabia, Hijaz, Qathar, Mesir. Sebab Perbedaan Pendapat
dalam Islam:
1. Perbedaan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
a. Lafazh Musytarak (satu kata banyak makna)
b. Amr (perintah) dan Nahy (larangan)
c. Haqiqat (makna sebenarnya) dan Majaz (makna kiasan)
d. ‘Amm (makna umum) dan Khash (makna khusus)
e. Nasikh (yang menghapus) dan Mansukh (yang dihapus)
f. Muthlaq (makna bebas, tidak terikat) dan Muqayyad (makna terikat)
g. Manthuq (makna tekstual) dan Mafhum (makna yang dipahami, kontekstual)
h. Ta`wil (pengalihan makna)
i. Mujmal (tidak jelas pengertiannya) dan Zhahir (makna yang sudah jelas)
2. Perbedaan Cara Menilai tingkat Kesahihan Hadits
3. Perbedaan dalam menilai dalil yang bertentangan
4. Perbedaan dalam menilai ‘urf atau adat kebiasaan
5. Merujuk kepada dalil-dalil yang diperselisihkan
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Situasi kenegaraan yang barada dalam konflik, tegang, dan lain sebagainya itu ternyata sangat
berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya
Alqur’an dan Hadits. Mereka telah puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan
meningkatkan kepada tingkat tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah yang
mengantarkan Dunia Islam kea lam taklid, kaum Muslimin terperangkap ke alam pikiran yang jumud
dan statis.

Keistimewaan Masa Ini adalah di Pengembangan fiqih di Arab, Asia tengah dan India. Para
ulama tidak sekaligus meninggalkan ijtihad, melainkan berangsur-angsur karena itu dapatlah kita
membedakan antara masa sebelum pertengahan abad 7 hijriyah (tahun 656 H) yaitu masa ketika
jatuhnya kerajaan Abasiyyah di Baghdad dengan terbunhnya al Mu’tashim, dengan masa sesudahnya.
Dalam masa itulah para ulama menghadapkan dirinya kepada taqlid sampai pengaruhnya ke asia tengah
dan India.

Faktor-faktor yang terpenting yang menyebabkan terhentinya kegiatan ijtihad, dan menetapi
bertaqlid kepada para ulama terdahulu, diantaranya yaitu:1

1. Terbagi-baginya Daulah Islamiyah kedalam sejumlah kerajaan-kerajaan yang saling


bermusuhan para rajanya, penguasanya dan rakyatnya..
2. Pecahnya imam-imam mujtahidin kepada beberapa madzhab yang masing-masing
mempunyai corak sendiri.
3. Umat islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan.
4. Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka, sehinga tidak bisa sampai pada
level orang-orang yang melakukan ijtihad

1
Khallaf, Abdul Wahab, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).
Tokoh ulama masa ini:
a. Imam Hanafi
b. Imam Maliki
c. Imam Syafi’i
d. Imam Hanbali
DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abdul Wahab, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001).

Sjinqithy, A djamaludin, sejarah legislasi islam, ( Surabaya : Al Ikhlas ), 1994.

Hasbi, Muhammad ash Shiddieqy, pengantar ilmu fiqh, ( Jakarta : PT Bulan Bintang ), 1993.

Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang, 1970, Jakarta.

Zuhri, Mohammad, Tarikh Tasyrik Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Daarul Ihya, 1980.

Anda mungkin juga menyukai