Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FIQH TALAQ

“Li’an Dalam Hukum Perkawinan Islam”

Di susun sebagai syarat mengikuti diskusi pada mata kuliah Fiqh


Talaq
Dosen Pengampu
H. Oloan Muda Hasim Harahap Lc., M.H.I

Disusun Oleh:

Nadia Putri Dwiyanti (20621030)

HKI 3A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


(AHWAL AL SYAKHSYIYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) CURUP
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur atas kehadirat Allah, karena berkat taufik dan hidayahnya, saya diberikan
kesempatan untuk menyelesaikan tugas Fiqh Talaq serta salam semoga selalu tercurah
keharibaan Nabi besar kita Muhammad Saw. Beserta keluarganya dan sahabatnya hingga
akhir zaman, dengan diiringi upaya meneladani akhlaknya yang mulia.
Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada dosen pembimbing yang senantiasa
memberi pengarahan dan bimbingannya kepada kami sehingga saya dapat menyelesaikan
tugas ini. Namun demikian saya sadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pengerjaan
makalah ini. Kekurangan tersebut akan kami upayakan untuk terus saya perbaiki dengan
kemampuan saya. Mudah-mudahan upaya ini senantiasa mendapat bimbingan dan ridha dari
Allah Swt, Amin yaa Rabbal Alamin.
Wassalamualaikum Wr.Wb.

Curup, Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................4
1.3 Tujuan....................................................................................................................................5
BAB II...................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
2.1 Definisi Li’an.........................................................................................................................6
2.2 Dasar Hukum Li’an...............................................................................................................7
2.3 Rukun dan Syarat Li’an.........................................................................................................8
2.3.1 Rukun Li’an...................................................................................................................8
2.3.2 Syarat Li’an...................................................................................................................9
2.4 Cara Pelaksanaan Li’an........................................................................................................10
2.5 Akibat Hukum dari Li’an Menurut Fiqih Islam...................................................................11
BAB III................................................................................................................................................12
PENUTUP...........................................................................................................................................12
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................12
3.2 Saran....................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................13

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam memandang pernikahan sebagai sesuatu yang sakral dan luhur, bermakna
beribadah kepada Allah SWT, mengikuti sunnah Rasulullah SAW yang dikerjakan dengan
penuh keikhlasan lahir dan batin, tanggungjawab, serta dilakukan menurut aturan hukum
yang berlaku di negara tersebut.

Dari pengertiannya menurut KBBI, nikah adalah perjanjian perkawinan antara laki-
laki dan perempuan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Secara istilah,
pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang
bukan mahramnya. Dari akad itu juga, muncul hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi
masing-masing pasangan. Ketentuan mengenai pernikahan ini tergambar dalam firman Allah
SWT dalam Alquran surah Ar-Rum ayat 21: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram
bersamanya. Dan Dia [juga] telah menjadikan di antaramu [suami, istri] rasa cinta dan
kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir,” (Ar-Rum 30 : 21).

Meskipun pembatalan perkawinan dibenarkan, termasuk peruntukan khulu’, fasakh


dan ta’liq yang diberikan kepada wanita namun usaha-usaha hendaklah dibuat untuk
menyelamatkan sesuatu perkahwinan itu sebagaimana yang difirmankan Allah SWT yang
bermaksud: “... dan jika kamu bimbangkan perpecahan di antara mereka berdua (suami
isteri) maka lantiklah orang tengah (hakam) iaitu Seorang dari keluarga lelaki dan seorang
dari keluarga perempuan. Jika kedua-dua orang tengah itu bertujuan hendak mendamaikan
nescaya Allah akan menjadikan kedua-duanya itu berpakat baik.” (An-Nisa’: 35).1

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pokok-pokok masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa definisi li’an?
2. Apa dasar hukum li’an?
3. Bagaimana rukun dan syarat li’an?
4. Bagaimana cara pelaksanaan li’an?
5. Apa akibat hukum dari li’an?

1
Tescatin, “Pengertian Talaq, Fasakh, Khulu, Taliq”, https://testcatin.blogspot.com/2015/06/pengertian-talaq-
fasakh-khulu-taliq.html (diakses pada 19 Oktober 2021, pukul 10.35)

4
1.3 Tujuan

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi li’an
2. Untuk mengetahui dasar hukum li’an
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat li’an
4. Untuk mengetahui cara pelaksanaan li’an
5. Untuk mengetahui akibat hukum dari li’an

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Li’an

1. Menurut Bahasa

Kata li’an (‫ )لِ َعان‬adalah bentuk masdar dari fi’il madhi : laa’ana ( َ‫)الَعَن‬. Akar katanya
berasal dari al-la’nu ( ُ‫ )اللَّعْن‬yang maknanya tergantung pelakunya. Kalau pelakunya Allah
SWT, maka maknanya adalahath-thardu (ُ‫ )الطَّرْ د‬yaitu penolakan, dan al-ib’ad (‫)اإل ْب َعاد‬ ِ yaitu
penjauhan. Sedang apabila pelakunya manusia, maknanya adalah as-sabbu ( ّ‫ب‬V ‫)الس‬ َ yaitu
2
memaki atau mencaci.

2. Menurut Istilah

Menurut istilah syar’i, li’an ialah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan
suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai
anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang
dialamatkan kepada dirinya itu bohong, diantara definisi yang representatif, yang mudah
diingat adalah: “sumpah suami yang menuduh istrinnya berbuat zina, sedangkan dia tidak
mampu mendatangkan empat orang saksi”.

Kata “sumpah”. Kata ini menunjukkan bahwa li’an itu adalah salah satu bentuk dari
sumpah atau kesaksian kepada Allah yang jumlahnya lima kali. Empat yang pertama
kesaksian bahwa ia benar dengan ucapannya dan kelima kesaksian bahwa laknat Allah
atasnya bila ia berbohong. Kata “suami” yang dihadapkan pada “Istri”. Hal ini mengandung
Arti bahwa Li’an berlaku antara suami-istri, dan tidak berlaku diluar lingkungan keduannya.
Orang yang tidak terikat dalam tali pernikahan saling melaknat tidak disebut istilah Li’an.

Kata “menuduh berzina”, yang mengandung arti bahwa sumpah yang dilakukan oleh
suami itu adalah bahwa istrinnya itu berbuat zina, baik ia sendiri mendapatkan istrinnya
berbuat zina atau meyakini bayi yang dikandung istrinnya bukanlah anaknya. Bila tuduhan
yang dilakukan suami itu tidak ada hubungannya dengan zina atu anak yang dikandung, tidak
disebut dengan Li’an. Kata “suami tidak mampu mendatangkan empat orang saksi”. Hal ini
mengandung arti bahwa seandainnya dengan tuduhannya itu suami mampu mendatangkan
empat orang saksi sebagaimana dipersyaratkan waktu menuduh zina, tidak dinamakan
dengan Li’an, tetapi melaporkan apa yang terjadi untuk diselesaikan oleh Hakim.3
2
Sudut hukum, “Pengertian Lian”, https://suduthukum.com/2015/06/pengertian-lian.html (diakses pada 19
Oktober 2021, pukul 10.51)

3
Pelajaranilmu, “Pengertian dan Hukum Li’an Dalam Islam”,
https://pelajaranilmu.blogspot.com/2012/04/pengertian-dan-hukum-lian-dalam-islam.html (diakses pada 19

6
Menurut istilah hukum Islam, li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia
menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang
benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan
bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu. Dasar
hukum pengaturan li’an bagi suami yang menuduh istrinya berbuat zina ialah firman Allah
surat An-Nur ayat 6-7.4

2.2 Dasar Hukum Li’an

Adapun dasar hukum sumpah suami menuduh istrinya berzina (li’an) terdapat dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu :

a. Al-Quran

Q.S. An-Nur ayat 6-7 :

Vُ‫ ة‬V‫ َد‬V‫ا‬Vَ‫ ه‬V‫ َش‬Vَ‫ ف‬V‫ ْم‬Vُ‫ ه‬V‫ ُس‬Vُ‫ ف‬V‫ ْن‬Vَ‫ اَّل أ‬Vِ‫ إ‬V‫ ُء‬V‫ ا‬V‫ َد‬Vَ‫ ه‬V‫ ُش‬V‫ ْم‬Vُ‫ ه‬Vَ‫ ل‬V‫ن‬Vْ V‫ ُك‬Vَ‫ ي‬V‫ ْم‬Vَ‫ ل‬V‫ َو‬V‫ ْم‬Vُ‫ ه‬V‫ج‬Vَ V‫ ا‬V‫ َو‬V‫ز‬Vْ Vَ‫ أ‬V‫ن‬Vَ V‫ و‬V‫ ُم‬V‫ر‬Vْ Vَ‫ ي‬V‫ن‬Vَ V‫ ي‬V‫ ِذ‬Vَّ‫ل‬V‫ ا‬V‫َو‬
Vَ Vَ‫ ن‬V‫ ْع‬Vَ‫ ل‬V‫ َّن‬Vَ‫ أ‬Vُ‫ ة‬V‫ َس‬V‫ ِم‬V‫ ا‬V‫خ‬Vَ V‫ ْل‬V‫ ا‬V‫ َو‬V‫ن‬V‫ ي‬Vِ‫ ق‬V‫ ِد‬V‫ ا‬V‫ص‬
Vِ ‫ هَّللا‬V‫ت‬ َّ V‫ل‬V‫ ا‬V‫ن‬Vَ V‫ ِم‬Vَ‫ ل‬Vُ‫ه‬Vَّ‫ن‬Vِ‫ إ‬Vۙ Vِ ‫هَّلل‬V‫ ا‬Vِ‫ ب‬V‫ت‬ ٍ V‫ ا‬V‫ َد‬V‫ا‬Vَ‫ ه‬V‫ َش‬V‫ ُع‬Vَ‫ ب‬V‫ر‬Vْ Vَ‫ أ‬V‫ ْم‬V‫ ِه‬V‫ ِد‬V‫ َح‬Vَ‫أ‬
V‫ َن‬V V‫ ي‬Vِ‫ ب‬V‫ ِذ‬V‫ ا‬V‫ َك‬V‫ ْل‬V‫ ا‬V‫ن‬Vَ V‫ ِم‬V‫ن‬Vَ V‫ ا‬V‫ َك‬V‫ن‬Vْ Vِ‫ إ‬V‫ ِه‬V‫ ْي‬Vَ‫ ل‬V‫َع‬
Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak
ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat
kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang
benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-
orang yang berdusta.” (QS. An-Nur : 6-7).5

Di dalam ayat-ayat ini terkandung jalan keluar bagi para suami dan hukum yang
mempermudah pemecahan masalah bila seseorang dari mereka menuduh istrinya berbuat
zina, sedangkan ia sulit menegakkan pembuktiannya, yaitu hendaknya dia melakukan li’an
terhadap istrinya, seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt. Yaitu dengan menghadapkan
istrinya kepada hakim, lalu ia melancarkan tuduhannya terhadap istrinya di hadapan hakim.
Maka imam akan menyumpahnya sebanyak empat kali dengan nama Allah, sebagai ganti dari
empat orang saksi yang diperlukannya, bahwa sesungguhnya dia benar dalam tuduhan yang
dilancarkannya terhadap istrinya. Sebaliknya, pihak si istri pun mengetahui kebenaran dari
apa yang dituduhkan oleh dia (suaminya) terhadap dirinya. Karena itulah dalam sumpah yang
kelima harus disebutkan sehubungan dengan hak dirinya, bahwa murka Allah akan menimpa
dirinya (jika suaminya benar). Orang yang dimurkai oleh Allah ialah seseorang yang
mengetahui kebenaran, kemudian berpaling darinya.

b. Hadits

Oktober 2021, pukul 10.54)


4
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2003), hlm. 238.
5
TafsirQ.com, “Surat An-Nur Ayat 6-7”, https://tafsirq.com/24-an-nur/ayat-7 (diakses pada 19 Oktober 2021,
pukul 11.07)

7
:ُ‫ف ا ْم َرأَتَهُ فَ َجا َء فَ َش ِه َد َو النَّبِ ُّي ص يَقُ ْول‬
َ ‫س رض اَ َّن ِهالَ َل ب َْن اُ َميَّةَ قَ َذ‬ ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن َعبَّا‬
‫ البخارى‬.‫ت‬ ْ ‫ت فَ َش ِه َد‬ ْ ‫ فَهَلْ ِم ْن ُك َما تَائِبٌ ثُ َّم قَا َم‬، ٌ‫اِ َّن هللاَ يَ ْعلَ ُم اَ َّن اَ َح َد ُك َما َكا ِذب‬
Dari Ibnu Abbas RA, bahwasanya Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berbuat zina,
lalu ia datang (kepada Nabi SAW) dan bersaksi (bersumpah). Dan Nabi SAW bersabda,
Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa salah satu diantara kalian berdua adalah bohong.
Maka apakah diantara kalian mau bertaubat?. Kemudian wanita itu berdiri, lalu bersaksi
(bersumpah). [HR. Bukhari juz 6, hal. 178]

c. Undang-Undang
Li’an merupakan acara khusus di Pengadilan Agama yang diatur dalam pasal-pasal
43, 70, 101, 125, 126, 127, 128, 155, 162, dan 163 KHI, pasal 87 dan 88 UU Peradilan
Agama. Li’an merupakan cara penyelesaian lain dalam perkara cerai talak dengan alasan istri
berbuat zina, yang tidak dapat diselesaikan dengan prosedur ikrar talak biasa (pasal 88 ayat
(1) UU-PA).

2.3 Rukun dan Syarat Li’an

2.3.1 Rukun Li’an

Suatu perbuatan dinamakan li’an bila padanya telah terpenuhi rukun dan syarat yang
ditentukan. Adapun rukun dari li’an dapat dilihat pada unsur-unsur yang membina hakikat
dari li’an sebagaimana terdapat dalam definisi li’an tersebut diatas. Sedangkan syarat bagi
li’an itu ada yang berkenaan dengan syarat untuk setiap unsur rukun dan ada pula syarat
secara umum. 6

Rukun pertama yaitu suami. Ditinjau dari segi suami itu adalah orang yang
bersumpah untuk menegakkan kesaksian dan dari segi ia adalah orang yang menuduh orang
lain berbuat zina yang untuk itu patut dikenai sanksi fitnah berbuat zina atau qazaf, maka
suami itu harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Ia adalah seorang yang sudah dikenai beban hukum atau mukallaf, yaitu telah
dewasa, sehat akalnya, dan berbuat dengan kesadaran sendiri. Bila suami itu
belum dewasa, atau tidak sehat akalnya atau dalam keadaan terpaksa, maka
sumpah yang disumpahkannya tidak sah dan bila dia menfitnah pun tidak dikenai
sanksi qazaf, dengan demikian, tidak sah li’an yang dilakukannya.
2. Suami itu adalah muslim, adil, dan tidak pernah dihukum karena qazaf. Ini adalah
persyaratan yang dikemukakan oleh sebagian ulama diantaranya : Al-Zuhriy, Al-
Tsawry, alAwza’iy, Ulama ahlu ra’yi (Hanafiyah) dan satu riwayat dari Imam
Ahmad, sedangkan Ulama lain diantaranya Imam Malik, Ishaq, al-Hasan, Said bin
al-Musayyab dan Imam Ahmad dalam satu riwayat tidak mensyaratkan demikian,
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 293.

8
dengan arti li’an dapat dilakukan oleh orang yang tidak Islam dan tidak memenuhi
syarat adil.
3. Suami tidak mampu mendatangkan saksi empat orang untuk membuktikan
tuduhan zina yang dilemparkannya kepada istrinya. Bila seandainya suami
mempunyai bukti yang lengkap tidak boleh menempuh li’an karena li‟an itu
adalah sebagai pengganti tuduhan yang dapat dibuktikan.

Rukun yang kedua yaitu istri. Adapun syarat istri yang harus terpenuhi untuk sahnya
li‟an yang diucapkan suaminya adalah sebagai berikut:

1. Ia adalah istri yang masih terkait tali perkawinan dengan suaminya. Karena li’an
itu hanya berlaku diantara suami istri dan tidak berlaku untuk yang lain.
2. Ia adalah seorang mukallaf dalam arti sudah dewasa, sehat akal, dan berbuat
dengan penuh kesadaran. Syarat ini ditetapkan karena istri pun akan melakukan
li’an balik sebagai bantahan terhadap apa yang disampaikan oleh suaminya.
3. Ia adalah seorang yang muhsan, yaitu bersih dari kemungkinan sifat-sifat yang
tercela yang menyebabkan dia pantas untuk dituduh berzina. Syarat ini ditentukan
karena kalau dia tidak muhsan suami yang menuduhnya tidak berhak dikenai had
qazaf atau ta’zir dan oleh karenanya dia perlu melakukan li‟an.

2.3.2 Syarat Li’an

Adapun syarat li’an yaitu:

1. Sumpah suami sebanyak lima kali, harus bersambung terus, tidak boleh terputus
agak lama.
2. Atas perintah hakim Pengadilan Agama atau wakilnya, sama dengan sumpah
dalam kasus sengketa lain, karena li’an itu lebih banyak dihukumkan sumpah,
meskipun kadang-kadang diartikan juga kesaksian (pembuktian).
3. Hakim mengajari kalimat-kalimatnya kepada suami-istri yang berli’an.
4. Li’an suami menurut ijma’ didahulukan dari li’an istri. Para Ulama ikhtilaf
tentang hukum mendahulukan li’an suami itu.7

2.4 Cara Pelaksanaan Li’an

Proses pelaksanaan perceraian karena li’an diatur dalam Al-Quran surah An-Nur ayat
6-9 sebagai berikut.

a. Suami yang menuduh istrinya berzina harus mengajukan saksi yang cukup yang
turut menyaksikan perbuatan penyelewengan tersebut.

7
A.Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam,( Jakarta Pusat : Pustaka Al-Husna, 1993) , hlm. 154.

9
b. Kalau suami tidak dapat mengajukan saksi, supaya ia tidak tekena hukuman
menuduh zina, ia harus mengucapkan sumpah lima kali. Empat kali dari sumpah
itu menyatakan bahwa tuduhannya benar, dan sumpah kelima menyatakan bahwa
ia sanggup menerima laknat Tuhan apabila tuduhannya tidak benar (dusta).
c. Untuk membebaskan dari tuduhan si istri juga harus bersumpah lima kali. Empat
kali ia menyatakan tidak bersalah dan yang kelima ia menyatakan sanggup
menerima laknat Tuhan apabila ia bersalah dan tuduhan suaminya benar.
d. Akibat dari sumpah ini, istri telah terbebas dari tuduhan dan ancaman hukuman,
namun hubungan perkawinan menjadi putus untuk selama-lamanya.8

Tata cara li’an sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 127 Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau mengingkari
anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya
apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”.
b. Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali
dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar” diikuti sumpah
kelima denagn kata-kata murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau
pengingkaran tersebut benar;
c. Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan;
d. Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap
tidak terjadi li’an.

Pelaksanaan li’an sebagai mana yang telah diatur dalam Pasal 127 Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, dan penerapan pelaksanaan perceraian li’an di Pengadilan Agama adalah
sebagai berikut:
1. Majelis Hakim memerintahkan kepada pemohon atau pihak suami untuk
mengucapkan sumpah li’an dihadapan sidang Pengadilan. Pemohon atau pihak suami
mengangkat sumpah sebanyak empat kali sebagai berikut :“Wallahi, Demi Allah
saya bersumpah bahwa istri saya telah berbuat zina”. Dan apabila terjadi
penolakan terhadap anak yang dikandung ataupun yang telah dilahirkan oleh istrinya,
maka sumpah yang diucapkan oleh pemohon atau pihak suami sebanyak empat kali,
sebagai berikut: “Wallahi, Demi Allah saya bersumpah bahwa istri saya telah
berbuat zina dan anak yang dikandung oleh istri saya adalah bukan anak saya.”
Dan pihak suami atau pemohon mengangkat sumpah yang kelima sebanyak satu kali,
sebagai berikut : “Saya siap menerima laknat Allah apabila saya berdusta.”
2. Majelis Hakim memerintahkan kepada termohon atau pihak istri untuk mengangkat
sumpah li’an dihadapan sidang Pengadilan Agama. Termohon atau pihak istri
mengucapkan sumpah balik (nukul) sebanyak empat kali, sebagai berikut: “Wallahi,
Demi Allah saya bersumpah bahwa saya tidak berbuat zina.” Dan apabila terjadi
penolakan terhadap anak yang dikandung atau yang dilahirkan oleh termohon atau
pihak istri, maka termohon atau pihak istri mengangkat sumpah balik (nukul)
sebanyak empat kali, sebagai berikut: “Wallahi, Demi Allah saya bersumpah
bahwa saya tiak berbuat zina dan anak yang ada didalam kandungan saya
8
Muhammad Syaifuddin, dkk., Hukum Perceraian (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 159.

10
adalah anak suami saya.” Dan pihak istri mengucapkan sumpah yang kelima
sebanyak satu kali, sebagai berikut: “Saya siap menerima murka Allah apabila
saya berdusta.”9

2.5 Akibat Hukum dari Li’an Menurut Fiqih Islam

Konsekuensi hukum dari li’an sangatlah berat, karena bukan hanya terjadi perpisahan
ataupun perceraian dengan sendirinya secara hukum , namun suami istri tersebut menjadi
pasangan yang diharamkan menikah lagi untuk selama-lamanya, atau disebut menjadi
mahram muabbad. Keharaman ini seperti keharaman pernikahan antara seorang laki-laki
dengan ibunya sendiri, atau seperti haramnya menikah saudara sedarah atau sesusuan.
Bahkan lebih parah dari sekedar talak tiga, apabila terjadi talak tiga didalam perceraian,
masihterdapat kemungkinan untuk terjadi pernikahan kembali apabila masing-masing dari
suami istri yang bercerai tersebut sempat pernikahan dan bercerai dengan pasangannya, lalu
mereka berkumpul kembali.Menurut mazhab Hanafi pasangan itu tidak secra otomatis
bercerai.Namun mereka diharamkan untuk melakukan hubungan suami istri (ijma’) pasca
li’an.
Dalam Pasal 43 ayat (1) Kompilsi Hukum Islam menyebutkan bahwa :10
“ Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali;
b. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an.”

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

9
Putusan Pengadilan Agama Slawi Nomor 0609/Pdt.G/2010/PA.Slawi
10
Lihat Pasal 43 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam

11
Li’an menurut Hukum Islam dan hukum Positif yaitu sumpah seorang suami terhadap
istrinya bahwa istrinya telah berzina, akan tetapi suami tidak bisa mendatangkan saksi-saksi
yang kuat. Oleh karena itu suami harus bersumpah sebanyak empat kali, dan yang kelima
kalinya berisi penegasan bahwa suami siap menerima laknat Allah jika tuduhannya terhadap
istri itu dusta (tidak benar). Cara pelaksanaan li’an, menurut hukum Islam, yaitu suami
bersumpah sebanyak lima kali. Empat kali sumpah berisi bahwa dia (suami) telah melihat
bahwa istrinya berbuat zina. Dan isi sumpah ke lima yaitu menegaskan bahwa dia (suami)
siap menerima laknat Allah.

Akibat terjadinya li’an, menurut Hukum Islam, bagi suami yang menuduh istrinya
berzina tanpa mendatangkan empat orang saksi, maka suami istri tersebut telah bercerai, dan
haram bagi mereka rujuk kembali dan mereka akan bercerai untuk selama-lamanya, dan jika
ada anak, maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya, bukan kepada ayahnya.

3.2 Saran

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan
yang masih perlu diperbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan sebagai
bahan evaluasi untuk kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

https://pelajaranilmu.blogspot.com/2012/04/pengertian-dan-hukum-lian-dalam-
islam.html

https://muvid.wordpress.com/2008/07/01/sumpah-lian-dan-konsekwensi-hukumnya-
dalam-al-quran-uu-perkawinan-dan-khi/

12
https://testcatin.blogspot.com/2015/06/pengertian-talaq-fasakh-khulu-taliq.html

https://www.wid.web.id/2014/09/hadits-tentang-lian.html
Ghazali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta : Kencana, 2008.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,edisi I cetakan ke-3,


Jakarta: Kencana,2009.

Said,A.Fuad ,Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta Pusat : Pustaka Al-Husna,


1993

13

Anda mungkin juga menyukai