Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH HUKUM EKONOMI SYARIAH

“PERIKATAN ISLAM”
Dosen Pengampuh: Lendrawati,S.Ag,S.Pd,MA

Disusun Oleh :

Gina Tamara (20621020)


Gista Nopi PS (20621021)

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Curup


Fakultas Ekonomi dan Syariah Islam
Prodi Hukum Keluarga Islam
2021

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. atas rahmat dan hidaya-Nya,kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Perikatan Islam”dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Ekonomi
Syariah.Selain itu,makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang perikatan islam bagi
para pembaca dan juga bagi kami.

Kami mengucapkan terimah kasih kepada ibu Lendrawati,S.Ag,S.Pd,MA. selaku


dosen pengampuh mata kuliah Hukum Ekonomi Syariah.Ucapan terimah kasih juga
disampaikan kepada semua pihak yang terlibat dalam membuat makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna,oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Curup,2 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……….………..…………….………………….....................
………………i

KATA PENGANTAR …….…………………………..……………...................


……………..…ii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………...................... .


…….…..…iii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………..……….……....................
……….…1

1.1 Latar Belakang………………………………………….…..………................


……..1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………...........……...


…....2

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………….....................
…….…..2

2.1 pengertian perikatan islam…………………………….………......……..


……...5

2.2 Perikatan dalam hukum islam …………..….…..…………....…………....….6

2.3 kedudukan perikatan islam dalam tata hukum di indonesia......7

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………....


…........................8

2.7 Kesimpulan ….………………………………………………………....


…...................8

DAFTAR PUSTAKA ……….


……………………………………………………….........................
iii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang

Perikatan atau perjanjian dalam kontek fikih muamalah sering kali disebut juga
dengan akad. Kata akad berasal dari bahasa Arab al- ‘aqd bentuk jamaknya al-‘uqud yang
mempunyai arti mengikat, sambungan,dan janji. 1 Perjanjian (akad) mempunyai arti penting
dalam kehidupan masyarakat. Akad merupakan dasar dari sekian banyak aktivitas keseharian
kita. Melalui akad seorang lelaki disatukan dengan seorang wanita dalam suatu kehidupan
bersama,dan melalui akad juga berbagai kegiatan perdangan dan usaha kita dapat dijalankan.
Jual Beli muamalah yang diperbolehkan dalam syariat haruslah sesuai dengan ketentuan yang
ada. Dijelaskan dalam Al Qur’an bahwa bermuamalah yang baik adalah di jelaskan secara
rinci dan jelas dalam melakukan transaksi, karena sistem Jual Beli telah diatur dalam Islam
sedemikian rupa dengan syarat tidak melarang sesuai dengan yang ditentukan dalam hukum
Islam.
Transaksi Jual Beli merupakan aktifitas muslim yang diperkenankan oleh Allah. Dan
merupakan sunatullah yang telah berjalan turun temurun. Transaksi Jual Beli merupakan
kegiatan Jual Beli yang hidup dalam lingkungan masyarakat dan merupakan bagian dari
kegiatan sehari-hari. Transaksi Jual Beli terdiri dari berbagai macam aspek baik dalam bentuk
barang yang telah jadi maupun barang yang belum jadi atau barang mentah yang mulanya
harus memesan terlebih dahulu. Salah satu contoh Jual Beli dengan pemesanan terhadap
barang yang belum jadi yaitu Jual Beli dalam bidang manufaktur.
Jual Beli bidang manufaktur tersebut terdapat dalam mebel Villa Furniture, yang
mana dalam praktek dilapangan adalah pembeli akan memesan terdahulu pesanan tersebut
kepada penjual, dengan memilih jenis-jenis kayu dan model sesuai keinginan dari pembeli.
Kemudian pembeli akan memesan dari barang yang masih mentah tersebut yaitu kayu untuk
dibuatkan sesuatu sesuai kebutuhan dari pembeli seperti pintu, lemari, kursi, tempat tidur, dan
lain-lain untuk kebutuhan rumah.
Transaksi Jual Beli diatas, jika ditinjau dari segi akad dalam hukum Islam
menggunakan akad Istihna. Yang dimaksud dengan akad Istihna adalah akad Jual Beli
pesanan antara pihak pertama sebagai pemesan (mustashni’) dan pihak kedua sebagai
produsen / pengrajin / penerima pesanan (shani’) untuk membuat suatu produk barang dengan
spesifikasi tertentu, yang mana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak
produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir (Hidayat,
2016).

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan kami bahas yaitu:

1. Apa pengertian dari perikatan islam?


2. Bagaimana perikatan dalam hukum islam?
3. Bagaimana kedudukan hukum perikatan islam dalam tata hukum di Indonesia?

1.3.Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat kami tarik tujuan dari makalah ini
yaitu sebagai berikut:

1. Mengetahui pengertian dari perikatan islam


2. Mengetahui bagaimana perikatan hukum islam
3. Mencermati bagaimana kedudukan perikatan islam di hukum indonesia
2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Pengertian Perikatan Islam

Berdasarkan KUH Perdata Pasal 1233 dinyatakan bahwa perikatan lahir karena suatu
persetujuan atau karena undang-undang. Dalam pasal ini terdapat istilah perikatan dan juga
istilah persetujuan/ perjanjian. Menurut Syamsul Anwar, istilah perikatan dalam bahasa
Belanda disebut sebagai verbintenis, sedangkan persetujuan (yang juga diidentikan dengan
perjanjian dan bahkan juga dengan istilah kontrak) memiliki padanan kata dengan
overeenkomst.
Dalam hukum Islam kontemporer, perikatan (verbintenis) memiliki padanan kata
dengan “iltizâm”, sedangkan istilah perjanjian/ kontrak/ overeekomst memiliki padanan kata
dengan kata “`aqd” (akad).2 Penggunaan istilah akad sebagai padanan kata “kontrak”
(contract) juga disetujui beberapa sarjana seperti oleh Linquat Ali Khan, Hasan S. Karmi, dan
Edward William. 3 Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan secara singkat bahwa padanan
kata yang digunakan untuk menjelaskan makna perikatan adalah iltizâm dan verbintenis,
sedangkan padanan kata untuk istilah persetujuan adalah perjanjian,
kontrak, contract, overeekomst, dan juga `aqd (akad). Konsep iltizâm/ perikatan dalam
hukum Islam, menurut Syamsul Anwar dapat diartikan sebagai : “Terisinya dzimmah seseorang
atau suatu pihak dengan suatu hak yang wajib ditunaikanya kepada orang lain atau pihak
lain.” Istilah dzimmah, digunakan oleh para fukaha ketika membahas tentang hubungan
perutangan antara dua pihak atau lebih. Secara bahasa arti dzimmah adalah tanggungan,
sedangkan secara istilah artinya adalah suatu wadah dalam diri seseorang yang menampung
hak dan kewajiban.
Maka bisa dikatakan jika seseorang mempunyai hutang hak kepada orang lain, maka
dzimmah orang tersebut telah terisi.4 Jika dikaitkan dengan akad, maka hubungan antara
iltizâm dan akad adalah kaitan sebab akibat. Menurut Mustafa Zarqa, akad merupakan salah
satu sumber dari adanya perikatan.5 Hal ini juga sesuai dengan KUH Perdata Pasal 1233
yang menyatakan bahwa perikatan lahir karena suatu persetujuan (perjanjian) atau karena
undang-undang. Disisi lain akad memiliki artian yang lebih khusus daripada perikatan. Akad,
menurut Ibnu Mandzur dalam Lisân al-arab secara bahasa berarti ikatan, atau lawan kata dari
terurai/ terlepas.
Ibnu Mandzur mengatakan: Dan dikatakan: Aku mengikat tali, maka tali itu terikat
(ma’qûd), begitu juga dengan ‘ahd (janji). Contohnya adalah akad nikah (`uqdatun-nikâh),
dan telah terikat ikatan tali itu dengan sebenar-benar ikatan. Menurut Wahbah Zuhaili, akad
memiliki dua sisi makna, yaitu makna umum dan makna khusus. Makna umum dari akad
adalah setiap hal yang diazamkan seseorang untuk dilakukan, baik itu yang berkaitan dengan
kehendak satu pihak (seperti wakaf, talak, dan sumpah), maupun yang berkaitan dengan
kehendak dengan berbilang pihak, seperti jual beli, sewa, perwakilan, dll.

3
Dalam artian umum ini, akad bisa dikatakan sama dengan perikatan (iltizâm). Dalam
artian khusus (yang merupakan topik dalam penelitian ini) akad berarti;
‫ ارتباطُإيجابُبقبولُعليُوجهُمش]]روعُيثبتُأثرهُفيُمحله‬Artinya: ikatan/ hubungan antara ijab dan kabul yang
sesuai dengan syariat yang menimbulkan akibat hukum terhadap objek akad. Contohnya
dalam akad jual beli, ketika pembeli menyatakan “aku menjual buku ini kepadamu” hal ini
dinamakan sebagai ijab, sedangkan pernyataan pembeli “ya, saya beli buku itu” merupakan
bentuk dari kabul. Agar ijab-kabul ini menjadi sah haruslah sesuai dengan aturan syariat baik
dari segi pelaku, objek, maupun tujuanya, setelah itu barulah kemudian akad tersebut
menimbulkan akibat hukum berupa berpindahnya kepemilikan buku dari penjual ke pembeli.

2.2. Perikatan dalam Hukum Islam

Di Indonesia umumnya perikatan digunakan sebagai padanan kata dari Belanda


verbintenis dan perjanjian sebagai padanan dari overeenkomst. Ada pula yang menggunakan
kata perjanjian sebagai padanan dari verbintenis, sedang overeenkomst digunakan untuk kata
persetujuan. Dalam hukum Islam kontemporer digunakan istilah iltizam untuk menyebut
perikatan (verbintenis) dan istilah akad untuk menyebut perjanjian (overeenkomst). Istilah
terakhir, yaitu akad, sebenarnya adalah istilah yang cukup tua digunakan sejak zaman klasik
sehingga sudah sangat baku.
Sedangkan istilah pertama, yaitu iltizam, merupakan istilah baru untuk menyebutkan
perikatan secara umum, dalam pengertian bahwa perikatan secara keseluruhan pada zaman
modern ini disebut dengan istilah iltizam atau perikatan. Perbuatan dua orang/pihak atau
lebih yang saling berjanji untuk melakukan semisal memberikan sesuatu, maka para pihak
tersebut sudah mengikatkan diri kepada Allah sebagai konsekuensi dari pelaksananya
dimensi tersebut maka saat interaksi terjadi norma ikut mengatur dan merekayasa agar
masyarakat mengikuti norma tersebut.
Secara normatif Hukum Perikatan Islam telah dilaksanakan contohnya dapat kita lihat
pada transaksi jual beli di desa-desa menggunakan cara ijab qabul yang mennandakan adanya
saling ridha antara kedua belah pihak, Hal ini merupakan pelaksanaan hukum mengenai asas
hukum suka sama suka. (Al- Qur’an An- Nisa ayat 29). Hukum bukanlah suatu lembaga yang
sama sekali otonom, namun berada pada kedudukan yang saling terkait dengan sektor-sektor
kehidupan lain dalam masyarakat. Salah satu segi dari keadaan yang demikian itu adalah
bahwa hukum harus senantiasa melakukan penyesuaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin
dicapai oleh masyarakatnya.
Mengenai Hukum Perikatan Islam kita harus menelaah kerangka hukum dasar dinul
Islam yang terdiri dari akidah, syariah, dan akhlak. Pada bagian syariah terbagi dua bidang
yaitu ibadah dan muamalat, salah satu sistem dalam bidang muamalat adalah hukum
dilingkungan masyarakat Islam berlaku tiga kategori hukum yaitu, a) syariat; b; fikih; c)
siyasah syar’iyah. (kerajaan). Selain itu, Kerajaan Melaka (1405-1511) dengan kekuasaan
yang meliputi Semenanjung Melayu, pantai timur Sumatra bagian tengah, pantai barat
Kalimantan dan pulau-pulau yang terletak di antara ketiga titik tersebut, meninggalkan satu
kitab undang- undang yang selanjutnya dikenal sebagai Undang- Undang Melaka.
4
Ternyata, undang-undang tersebut berisi ketentuan-ketentuan hukum syariah di
bidang pidana, perdata (perkawinan dan perjanjian) serta beberapa aspek hukum acara.
Kerajaan Aceh juga memiliki sejumlah dokumen hukum Islam yang ditulis oleh sultan-sultan
serta beberapa ulama pilihan kesultanan. Salah satunya kitab Safinah al-Hukkam fi Takhlish
al-Khashsham, yang disusun oleh Jalaluddin at-Turasani atas perintah Sultan Alaudin
Jihansyah (1147-1174/1735-1760).
Kitab ini merupakan pedoman hukum Kesultanan Aceh Darussalam, berisi edoman
para hakim untuk menyelesaikan sengketa, selain itu berisi juga hukum materiil di bidang
perdata (perkawinan dan perikatan) serta pidana. Posisi hukum Islam ini berlangsung
demikian dan kesadaran syariah mengalami peningkatan akselerasi karena agama Islam dan
hukumnya menjadi faktor integrasi sosial saat itu. Bahkan Islam dan syariahnya,
sepertihalnya wilayah kebangsaan yang lain, telah mewujud sebagai sumber motivasi
perlawanan terhadap penjajah.
Setelah pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan kolonial Belanda, upaya
kolonial menyingkirkan hukum Islam berangsur-angsur dilakukan. Dalam tujuan untuk
mengekalkan kekuasaannya di Indonesia , pemerintah kolonial Belanda mulai melaksanakan
apa yang disebut dengan politik hukum yang dengan sadar hendak menata dan mengubah
kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.

2.3. . Kedudukan Hukum Perikatan Islam Dalam Tata Hukum Indonesia


Sistem hukum secara umum dapatlah diartikan sebagai kumpulan yang terdiri atas
berbagai elemen,yakni norma,asas,konsep,teori-teori yang saling terkait satu sama lain dan
pula saling mempengaruhi dalam suatu “konstruksi” hukum. Keterkaitan antara elemen itu
disebabkan oleh adanya asas dan /atau beberapa asas, sedangkan saling mempengaruhi lebih
disebabkan adanya perbedaan konsep antara elemen itu sendiri.
Hukum dalam kontinental berbeda dengan hukum antara konsep Anglo-saxon dan
bahkan perbedaan yang demikian dapat dilihat pula perbedaan konsep dalam hukum adat
maupun dalam konsep hukum Islam. Kedudukan adalah tempat dan keadaan, tata hukum
adalah susunan atau sistem yang berlaku di suatu daerah atau Negara tertentu. Dengan
demikian yang akan dilukiskan dalam bagian ini adalah tempat dan keadaan hukum Islam
dalam susunan atau sistem hukum yang berlaku di Indonesia .
Sistem hukum Indonesia sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya bersifat
majmuk. Sistem yang dimaksud adalah sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem
hukum barat. Ketiga sistem hukum itu berlaku di Indonesia pada waktu yang berlainan.
Hukum Islam telah ada di kepulauan sejak orang Islam datang dan bermukim di Nusantara
ini. Ketiga sistem hukum itu diakui oleh peraturan perundang-undangan, tumbuh dalam
masyarakat,dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan praktik peradilan.
Sebelum membicarakan mengenai kedudukan Hukum Periktan Islam di Indonesia ,
ada baiknya kita melihat kedudukan hukum Islam di Indonesia berdasarkan periode sejarah
sebagai berikut: 1. Sebelum Kedatangan Belanda Menurut informasi yang sudah mashur,
proses Islamisasi kepulauan Indonesia dilakukan oleh para saudagar dan perkawinan. Setelah
agama Islam berakar dalam masyarakat, peranan saudagar digantikan oleh para ulama
sebagai guru dan pengawal hukum Islam.
5
Walaupun, sebenarnya tidak dapat dipastikan bahwa saudagar tersebut, sungguh
hanya saudagar ataukah ulama yang berdakwah sambil berdagang. Terlepas dari itu, Hukum
Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakan tumbuh dan
berkembang bersama kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan nusantara ini.
Hubungan homogenitas antara masyarakat pribumi nusantara dengan Islam semakin erat
karena para ulama tersebut tidak saja berdakwah atau melakukan pemberdayaan masyarakat,
tetapi juga melakukan pernikahan silang antar laki-laki keturunan Islam kepada perempuan
keturunan nusantara.
Ditambah lagi, anak-anak hasil pernikahan silang tersebut juga tetap diajarkan
bahasa-bahasa ibu mereka. 2. Setelah Kedatangan VOC a) Masa VOC (1602-1800) berfungsi
sebagai pedagang dan badan pemerintahan, karena dalam praktiknya susunan badan peradilan
yang disandarkan pada hukum belanda tidak dapat berjalan. VOC membiarkan lembaga-
lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. D. W.
Freijer menyusun kompendium yang memuat hukum perkawinan dan kewarisan Islam yang
digunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa dikalangan umat Islam.
Selain itu ada kitab Hukum Mogharaer yang digunakan pada Pengadilan Negeri
Semarang, dan Pepakem cirebon. b) Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda sikap
terhadap hukum Islam mulai berubah secara perlahan dan sistematis, yaitu sebagai berikut:
1) Pada masa Pemerintahan Belanda/Deandels (1808-1811) terdapat
pemahaman umum bahwa "Hukum Islam adalah hukum asli orang
pribumi".

2) Pada masa Pemerintahan Inggris/Thomas S. Raffles (1811-1816) juga


terdapat anggapan bahwa "Hukum yang berlaku di kalangan rakyat adalah
Hukum Islam".
3) Setelah Indonesia kembali pada Belanda, ada usaha Belanda untuk
menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia .
4) Untuk mengekalkan kekuasaannya, Belanda melaksanakan politik hukum
yang dengan sadar hendak menata dan mengubah kehidupan hukum di
Indonesia dengan hukum Belanda. M. R. Scholten Van Oud Haarlem
menyesuaikan Undang-Undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia
Belanda. la berpendapat bahwa "untuk mencegah timbulnya keadaan yang
tidak menyenangkan bahkan mungkin juga perlawanan, jika diadakan
pelanggaran terhadap orang Bumiputra & agama Islam, maka harus
diikhtiarkan agar mereka dapat tetap dalam lingkungan Hukum Agama serta
adat istiadat mereka".
5) Pada masa abad ke-19 berkembang pendapat, bahwa di Indonesia berlaku
Hukum Islam, yaitu antara lain dikemuka-kan oleh Salomon Keyzer.
Kemudian diperkuat oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg
berpendapat, bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika
orang itu memeluk agama Islam,

6
Hukum Islamlah yang berlaku bagi- nya. Pendapatnya dikenal dengan teori Receptio
in Complexu yaitu orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam
keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan. Cristian Snouck Hourgronje menentang teori
Receptio in Complexu, dan berpendapat, bahwa yang berlaku bagi orang Islam bukanlah
Hukum Islam tetapi Hukum Adat. Dalam Hukum Adat telah masuk pengaruh Hukum Islam
tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum bila telah benar-benar diterima oleh
Hukum Adat Sebab, dasar hukum teori resepsi adalah Pasal 134 (2) Indische Slants Regeling
(IS), sedangkan dengan berlakunya UUD 1945, IS tidak berlaku lagi.
Teori ini mendapat kritikan dari para ahli Hukum Islam di Indonesia , antara lain oleh
Hazairin dan Sajuti Thalib yang berpendapat, bahwa Hukum Adat baru berlaku bila tidak
bertentangan dengan Hukum Islam.UUD 1945, Aturan Peralihan Pasal II memang
menyatakan, "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlangsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini". Namun demikian,
dasar hukum yang di-tetapkan oleh suatu Undang-Undang Dasar yang sudah tidak berlaku,
tidak dapat dijadikan dasar hukum suatu Undang- Undang Dasar baru.
Setelah berlakunya UUD 1945, Hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang
beragama Islam karena kedudukan Hukum Islam itu sendiri, bukan karena ia telah diterima
oleh Hukum Adat. Hal ini juga diperkuat dengan Pasal 29 UUD 1945. Sejak
ditandatanganinya kesepakatan antara para pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis Islami
pada tanggal 22 Juni 1945 sampai dengan saat diundangkannya Dekrit Presiden RI pada
tanggal 5 Juli 1959, ketentuan "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya" adalah sumber persuasif. Sebagaimana halnya semua hasil sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah sumber persuasif bagi
UUD 1945, maka Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPKI juga merupakan
sumber persuasif UUD 1945.
7

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perikatan atau perjanjian dalam kontek fikih muamalah sering kali disebut juga
dengan akad. Kata akad berasal dari bahasa Arab al- ‘aqd bentuk jamaknya al-‘uqud yang
mempunyai arti mengikat, sambungan,dan janji. 1 Perjanjian (akad) mempunyai arti penting
dalam kehidupan masyarakat. Akad merupakan dasar dari sekian banyak aktivitas keseharian
kita. Melalui akad seorang lelaki disatukan dengan seorang wanita dalam suatu kehidupan
bersama,dan melalui akad juga berbagai kegiatan perdangan dan usaha kita dapat dijalankan.
Jual Beli muamalah yang diperbolehkan dalam syariat haruslah sesuai dengan ketentuan yang
ada.
Secara normatif Hukum Perikatan Islam telah dilaksanakan contohnya dapat kita lihat
pada transaksi jual beli di desa-desa menggunakan cara ijab qabul yang mennandakan adanya
saling ridha antara kedua belah pihak, Hal ini merupakan pelaksanaan hukum mengenai asas
hukum suka sama suka. (Al- Qur’an An- Nisa ayat 29). Hukum bukanlah suatu lembaga yang
sama sekali otonom, namun berada pada kedudukan yang saling terkait dengan sektor-sektor
kehidupan lain dalam masyarakat. Salah satu segi dari keadaan yang demikian itu adalah
bahwa hukum harus senantiasa melakukan penyesuaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin
dicapai oleh masyarakatnya.
8

DAFTAR PUSTAKA

Syamsul Anwar, Hukum Perjanian Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm
42. 2 Ibid., hlm 47. 3 Linquat Ali Khan Niazi, Islamic Law of Contract, (Lahore: Research
Cell, Dyal Sing Trust Library, tt), hlm 9.
6 Ibnu Mandzur, Lisân al-Arab, Cetakan Ketiga, (Beirut: Dar ash-Shabir, 1414 H), III: 296. 7
Wahbah Zuhaily, Mausû’ah al-Fiqh al-Islâmi wa al-Qasâya al-Mu`âshirah, Cetakan Ketiga
(Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012), X: 84. Lihat juga: Lajnah Mukawwinah min `Iddati Ulama
wa Fuqaha fi Khilafah Utsmaniyah, Majallât al-Ahkâm al-`Adilyah, tahkik Najib Huwawini,
Pasal 103 dan 104
Afdawaiza. “Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam.” Al-Mawarid 18 (12
Februari 2008). Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1991.

Anda mungkin juga menyukai