Kelompok 3 :
Sri Mega Syakir (22020017)
M.Alfath
Sandi Saputra
Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa kami
Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang
membacanya pada umumnya, dan dapat bermanfaat bagi kami sendiri sebagai
penulis,kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari
sempurna untuk itu kami akan menrima saran dan kritik yang bersifat membangun
Waalaikumsallam Wr.
DAFTAR IS
ii
I
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulis..........................................................................................................2
1.4 Manfaat....................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
2.1 Istilah dan Pengertian Perikatan..............................................................................3
2.2 Dasar Hukum Perikatan............................................................................................6
2.3 Asas-asas Hukum Perikatan......................................................................................7
A. Asas kebebasan berkontrak..................................................................................8
B. Asas Konsesualisme............................................................................................8
C. Asas Kepastian Hukum.........................................................................................9
D. Asas Itikad Baik (Good Faith).............................................................................10
2.4 Wanprestasi.........................................................................................................11
2.5 Akibat Wanprestasi................................................................................................14
2.6 Hukum Perikatan...................................................................................................14
2.7 Memorandum Of Understanding (MOU)..............................................................15
BAB III PENUTUP..............................................................................................................18
A. Kesimpulan..............................................................................................................18
B. Saran........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
iv
C. Asas Asas dalam hukum perikatan
D. Wanprestasi
E. Akibat Wanprestasi
F. Hapusnya Perikatan
G. Mou
1.4 Manfaat
A. Memahami secara luas dan mendalam tentang apa pengertian Hukum
Perikatan.
B. Memahami secara luas dan mendalam tentang apa Dasar Hukum Perikatan
C. Memahami secara luas dan mendalami tentang Asas Asas dalam Hukum
Perikatan
D. Mengetahui secara luas dan mendalami tentang Wanprestasi
E. Mengetahui secara luas dan mendalami tentang Akibat wanprestasi
F. Mengetahui secara luas dan mendalami tentang Penghapusan Perikatan
G. Mengetahui secara luas dan mendalami tentang MOU
v
BAB II
PEMBAHASAN
Jika dirumuskan, perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta
kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan
pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan Hukum dalam harta kekayaan ini
merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum
lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu
terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (Low of property), juga terdapat dalam
bidang hukum keluarga (Family Law), dalam bidang hukum waris (Law Succesion) serta
dalam bidang hukum pribadi (Personal Law).
Dalam buku III BW yang berjudul “Van Verbintenssen”, di mana istilah ini juga
merupakan istilah lain yang dikenal dengan code cipil perancis, istilah mana di ambil
dalam hukum romawi yang terkenal dengan istilah “obligation”. Istilah Verbintenis
dalam BW (KHUPerdata), ternyata diterjemahkan berbeda beda dalam kepustakaan
hukum Indonesia. Berkaitan dengan itu, Soetojo Prawirohamidjojo, di dalam salah satu
bukunya menegaskan bahwa : “Istilah Verbintenis, ada yang mnerjemahkan dengan
“perutangan”,perjanjian maupun dengan “perikatan”. Karna masing masing sarjana
mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menerjemahkan dan mengartikannya,
walaupun pengertian yang dimaksudkan perikatan tersebut dapat tidak terlalu jauh
berbeda. Istilah perikatan dimaksud pada dasarnya berasal dari bahasa Belanda yakni
vi
“Verbintenis”, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berbeda-beda,sebagai
bukti,didalam KHUPerdata digunakan istilah “perikatan” untuk “Verbintenis”.
R.Subekti,mempergunkakan istilah “verbintenis” untuk perkataan “perikatan”,demikian
juga R.Setiawan, memakai istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. Selanjutnya utrecht,
memakai istilah perutangan untuk “verbintenis”. Sebaliknya Soediman Kartohadiprodjo,
mempergunakan istilah “hukum pengikatan” sebagai terjemahan dan
“verbintenissenrecht”. Sementara itu R. Wirjono Prodjodikoro, memakai istilah “het
verbintenissenrecht” diterjemahkan sebagai “hukum perjanjian” bukan hukum perikatan,
demikian juga Sri Doewi Masjchoen Sofwan, memakai istilah “hukum perutangan” untuk
“verb intenissenrecht” . ( R. Soetojo. 1979; 10 )
Dari uraian di atas, maka dapat di katakan, bahwa untuk istilah “verbintenis” dikenal
adanya tiga istilah untuk menerjemahkan nya yakni ; “perikatan, perutangan, dan
perjanjian” ,akan tetapi dalam berbagai perkuliahan di Fakultas Hukum yang ada di
Indonesia, penggunaan terjemahaan istilah “verbintenis” tersebut lebih cenderung
menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis tersebut, demikian juga halnya dalam
tulisan ini di gunakan istilah perikatan untuk menterjemahkan verbintenis dimaksud.
Beranjak dari uraian diatas, jika di kaitkan dengan adanya ketidaksamaan pendapat
tentang terjemahan istilah verbintenis tersebut, hal ini berpengaruh terhadap perumusan
perikatan, karena di dalam KHUPerdata sendiri tidak di temui pengertian perikatan secara
yuridisnya, oleh karena untuk merumuskan tentang perikatan dapat dipedomani beberapa
pendapat para ahlinya.
vii
Dari beberapa pengertian atau rumusan perikatan sebagaimana di kemukakan para ahli
diatas, dapat dikatakan, bahwa perikatan tersebut pada dasarnya merupakan hubungan
hukum yang artinya hubungan yang diatur dan di akui oleh hukum, baik yang dapat
dinilai dengan uang maupun tidak, yang didalamnya terdapat paling sedikit adanya
terdapat satu dan kewajiban, misalnya suatu perjanjian pada dasarnya menimbulkan atau
melahirkan satu atau beberapa perikatan, keadaan ini tentu tergantung pada jenis
perjanjian yang diadakan, demikian juga halnya suatu perikatan dapat dilahirkan karena
adanya ketentuan undang-undang, dalam arti, undang-undanglah yang menegaskan, di
mana dengan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan telah melahirkan perikatan atau
hubungan hukum, misalnya, dengan adanya perbuatan melanggar hukum.
Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal
balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak lain, dan pihak
lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut
sesuatu disebut kreditur,sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur.
Hal ini berarti, menurut Ridwan Syahrani, “bahwa terjadinya hubungan hukum antara dua
viii
pihak tersebut, dimana masing masing pihak (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak
yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu” (Ridwan Syahrani. 1992; 203).
Prestasi sebagaimana yang dimaksud kan dapat dikatakan sebagai objeknya perikatan,
yaitu sesuatu yang di tuntut oleh kreditur terhadap debitur, atau sesuatu yang wajib di
penuhi oleh debitur terhadap kreditur. Prestasi adalah harta kekayaan yang di ukur atau di
nilai dengan uang. Yang berkewiban yang membayar sejumlah uang yang berposisi
sebagai kreditur.
Contoh : Adanya jual beli karena suatu perjanjian. Suatu perjanjian dimana penjual
memberikan suatu perjanjian kepada pembeli. Misalnya, penjual menjual barang kepada
pembeli dengan mengajukan syarat pembayaran 2/10, n/30, yaitu penjual memberbatas
pembayaran sampai dengan 30 hari. Jika dalam jangka 10 hari sudah membayar maka
dikenakan potongan 2% .
Perjanjian kontrak kerja yang harus di sepakati oleh kedua belah pihak.
ix
Contoh : kewajiban orang tua untuk memilihara dan mendidik anak – anak, yaitu hukum
kewarisan.
Contoh : Apabila suatu pribadi melakukan Wanprestasi, seorang yang berpiutang yang
mengehendaki suatu pelaksanakan perjanjian dari seorang berhutang yang tidak
memenuhi kewajibannya harus meminta perantara pengadilan. Jika prestasi yang
dikehendaki tersebut berupa membayar sejumlah uang ,memang si berpiutang sudah
tetolong dengan adanya pengadilan, jadi si berpiutang bisa mendapat suatu putusan dari
pengadilan dengan menyita dan melelang harta benda si berhutang tersebut.
A. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan
atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
B. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan
dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
C. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-
undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan
orang.
x
2.3 Asas-asas Hukum Perikatan
A. Asas kebebasan berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian
apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur
dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt). Asas kebebasan berkontrak dapat
dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme
yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen
dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo
de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham
individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet
fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya
persaingan bebas.
B. Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt.
Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya
kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan
bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan
adanya kesepakatan kedua belah pihak.
xi
hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi
lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal.
Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata
(dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu
perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik
maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus
innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah
ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan
bentuk perjanjian.
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak
boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas
pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt.
Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan
bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya
dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang
diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur
keagamaan.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti
sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan
tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata
sepakat saja.
xii
D. Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para
pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas
itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik
mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang
nyata dari subjek.
Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta
dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut
norma-norma yang objektif.
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal
ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt. Pasal 1315 KUHPdt
menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk
mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
xiii
2.4 Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah
ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh
dua kemungkinan alasan, yaitu:
Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan
apakah dalam perkataan itu ditentukan tanggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi
atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi “tidak
ditentukan”, perlu memperingatkan debitur sepaya ia memenuhi prestasi.
Tetapi dalam hal telah ditentukan tanggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238
KUH Perdata
debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam
perikatan.
xiv
Pengadilan Negeri melalui perantaraan Jurusita menyampaikan surat peringatan tersebut
kepada debitur, yang disertai berita acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi
misalnya melalui suart tercatat, telegram, atau disampaikan sendiri oleh kreditur kepada
debiotur dengan tanda terima. Surat peringatan disebut “ingebreke stelling”.
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau saksi
hukum berikut ini:
Debitur di wajibkan membayar ganti kerugian yang telat di derita oleh kreditur ( Pasal
1234 KHU Perdata)
1. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak
terjadi wanprestasi ( Pasal 1237 ayat 2 )
2. Debitur di wajibkan memenuhi perikatan jika masih di wajibkan, atau pembatalan
disertai pembayaran ganti kerugian ( Pasal 1267 KHU perdata)
3. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan
Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah
4. Keadaan Memaksa (overmacht)
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitur karena
peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika
membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa, debitur tidak dapat
dipermasalahkan, karena keadaan ini timbul diluar kemauan dan kemampuan
debitur.
Unsur unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut;
a. Tidak di penuhinya prestasi karena terjadinya peristiwa yang
membinasakan/memutuskan benda objek perikatan; atau
b. Tidak di penuhinya prestasi karena terjadinya peristiwa yang menghalangi
perbuatan debitur untuk berprestasi;
c. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan.
xv
Dalam hal ini keadaan memaksa yang memenuhi unsur satu dan tiga, maka
keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa objektif”. Vollmar menyebutnya
dengan absolute overmacht. Dasarnya ialah ketidakmungkinan (impossibility)
memenuhi prestasi, karena bendanya lenyap/musnah. Misalnya jual beli lukisan
karapan sapi karya Afandi, ketika akan diserahkan kepada pembeli di sebuah hotel,
lukisan tersebut terbakar habis bersama-sama mobil yang membawanya.
Dalam hal terjadinya keadaan memaksa yang memenuhi unsur dua dan tiga,
keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa yang subjektif”. Vollmar
menyebutnya dengan relative overmacht. Dasarnya ialah kesulitan memenuhi
prestasi, karena ada peristiwa yang menghalagi debitur untuk berbuat. Misalnya
seorang mahasiswa membeli sebuah mesin tik dari seorang pedagang, yang
disanggupi untuk dikirimkan dalam waktu satu minggu. Kemungkinan kapal yang
mengangkut benda itu membentur karang, sehingga harus masuk dok untuk
perbaikan. Di sini debitur mengalami kesulitan memenuhi prestasi.
Dalam peristiwa ini debitur bukannya tidak mungkin memenuhi prestasi, tetapi
sulit memenuhi prestasi, bahkan kalau dipenuhi juga memerlukan waktu dan biaya
yang banyak. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara. Perikatan tidak
berhenti (tidak batal) hanya pemenuhan prestasinya tertunda. Jika kesulitan sudah
tidak ada lagi pemenuhan prestasi diteruskan. Tetapi jika prestasi itu sudah tidak
berarti lagi bagi kreditur karena sudah tidak diperlukan lagi, maka perikatan
“gugur” (verbal).
Perbedaan antara perikatan batal dengan perikatan gugur terletak pada ada
tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi. Pada
perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah, sehingga tidak mungkin
dipenuhi oleh debitur (sifat prestasi). Sedangkan pada perikatan gugur, objek
perikatan ada, sehingga mungkin dipenuhidengan segala macam usaha debitur,
tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur.
xvi
2.5 Akibat Wanprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang
melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni :
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (Ganti Rugi) ganti rugi sering
diperinci meliputi tiga unsur yakni:
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan salah satu pihak ;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor
yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor ;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah di
bayangkan atau sudah dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian Di dalam pembatasan tuntutan
ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua
belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu
peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi
obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
xvii
antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat
sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu adalah
melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang – undang dan
sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatn untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk
tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KHUP perdata terdapat tiga sumber adalah
sebagai berikut :
xviii
pihak untuk berunding dalam rangka membuat perjanjian di kemudian hari, apabila hal –
hal yang belum pasti telah dipastikan.
Nota kesepahaman secara umum memiliki bagan atau anatomi yang terdiri atas
sebagai berikut :
Pada umumnya substansi Nota Kesepahaman memuat hal – hal sebagai berikut :
a. Maksud atau Tujuan
b. Ruang lingkup kegiatan
c. Realisasi kegiatan
xix
d. Jangka waktu
e. Biaya penyelengaraan kegiatan
f. Aturan peralihan
4. Penutup Nota Kesepahaman
Bagian ini merupakan bagian akhir dari Nota Kesepahaman dan dirumuskan dengan
kalimat yang sederhana.
5. Bagian tanda tangan para pihak
Bagian ini terletak pada bawah bagian penutup, dan pada bagian tersebut para pihak
membubuhkan tanda tangan dan nama terang.
Pada bagian tanda tangan terdiri dari :
a. Keabsahan Nota Kesepahaman atau Nota Kesepakatan
Keabsahan Nota Kesepahaman menunjukan agar Nota Kesepahaman memenuhi
syarat hukum yaitu harus di bubuhi dan ditanda tangani para pihak diatas materai
yang cukup.
b. Pendatangan Nota Kesepahaman
Dilakukan oleh kedua belah pihak yang ditulis dengan huruf kapital posisi PIHAK
KEDUA dibagian kanan bawah dari naskah.
xx
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap
perikatan. Prestasiadalah objek perikatan. Dalam hukum perdata
kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan
debitor. Dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa
hartakekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yangakan ada, menjadi jaminan pemenuhan
utangnya terhadap kreditor.
xxi
5. Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang
digantungkan padasyarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih
akan terjadi dan belum pasti terjadi, baikdalam menangguhkan
pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa maupun
denganmembatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi peristiwa
(Pasal 1253 KUHP dt).
6. Figur hukum yang diatur dalam Pasal 1354 KUH Perdata ini disebut
perwakilan sukarela (zaakwaameming). Penyelenggaraan urusan itu
bersifat sukarela tanpa kuasa dari pihak berkepentingan. Urusan itu
dilakukan secara sukarela dengan tujuan agar memperolehkemanfaatan
bagi pihak yang berkepentingan dan perbuatan tersebut diakui serta
dibenarkanoleh undang-undang. Oleh karena itu, ketentuan undang-
undang tersebut menciptakan perikatan.Jadi, yang meciptakan perikatan
itu bukanlah perbuatan orang, melainkan ketentuan undang-undang itu
sendiri.
7. Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya
perikatan. Yaitu : pembayaran, penawaran, pembayaran tunai diikuti
penitipan, pembayaran utang, perjumpaanutang, pencampuran utang,
pembebasan utang, musnahnya benda yang terutang, karena pembatalan,
berlaku syarat batal dan lampau batas.
B. Saran
xxii
1. Alangkah baiknya jika hukum perikatan ini tidak hanya dijadikan sebagai
materi yangmembantu proses pemahaman mahasiswa saja namun dapat
digunakan langsung ataudipraktekan secara langsung dalam kehidupan
sehari-hari atau dalam proses pembelajaran.
3. Alangkah baiknya jika setiap individu dapat menerapkan dan mengerti benar
mengenai materiyang sudah kami paparkan di atas.
xxiii
DAFTAR PUSTAKA
xxiv