Anda di halaman 1dari 24

HUKUM PERIKATAN

Kelompok 3 :
Sri Mega Syakir (22020017)
M.Alfath
Sandi Saputra

FAKULTAS EKONOMI DAN


BISNIS
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa kami

dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Hukum Perikatan”

dengan lancar.Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita

semua dan dapat dijadikan sebagai bahan ajaran yang bermanfaat.

Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang

membacanya pada umumnya, dan dapat bermanfaat bagi kami sendiri sebagai

penulis,kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari

sempurna untuk itu kami akan menrima saran dan kritik yang bersifat membangun

demi perbaikan kearah kesempurnaan.Akhir kata penulis sampaikan terima kasih.

Waalaikumsallam Wr.

DAFTAR IS

ii
I
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulis..........................................................................................................2
1.4 Manfaat....................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
2.1 Istilah dan Pengertian Perikatan..............................................................................3
2.2 Dasar Hukum Perikatan............................................................................................6
2.3 Asas-asas Hukum Perikatan......................................................................................7
A.  Asas kebebasan berkontrak..................................................................................8
B.     Asas Konsesualisme............................................................................................8
C.   Asas Kepastian Hukum.........................................................................................9
D.    Asas Itikad Baik (Good Faith).............................................................................10
2.4   Wanprestasi.........................................................................................................11
2.5 Akibat Wanprestasi................................................................................................14
2.6 Hukum Perikatan...................................................................................................14
2.7 Memorandum Of Understanding (MOU)..............................................................15
BAB III PENUTUP..............................................................................................................18
A. Kesimpulan..............................................................................................................18
B. Saran........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta
kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas
sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum
dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum,akibat hukum
dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan. Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan
perikatan yang bersumber pada perjanjian,perjanjian apapun dan
bagaimana pun,baik itu yang diatur dengan undang-undang atau
tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak,dengan syarat
kebebasan berkontrak harus halal,dan tidak melanggar hukum.
Sebagaimana yang telah di atur di undang-undang. Didalam perikatan ada
perikatan berbuat sesuatu dan tidak untuk berbuat sesuatu. Yang
dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan
perbuatan yang sifatnya positif, tidak melanggar undang-undang dan
sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat
sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah di
sepakati dalam perjanjian.

1.2 Rumusan Masalah


Seperti yang telah diuruaikan pada latar belakang, maka penulis mengambil
rumusan masalah sebagai berikut :
A. Pengertian Hukum Perikatan
B. Dasar Hukum Perikatan

iv
C. Asas Asas dalam hukum perikatan
D. Wanprestasi
E. Akibat Wanprestasi
F. Hapusnya Perikatan
G. Mou

1.3 Tujuan Penulis


Tujuan pembuatan makalah yang berjudul “Hukum Perikatan” adalah :

A. Mengetahui Pengertian Hukum Perikatan


B. Mengetahui Dasar Hukum Perikatan
C. Mengetahui Asas Asas dalam Hukum Perikatan
D. Mengetahui Wanprestasi
E. Mengetahui akibat Wanprestasi
F. Mengetahui Hapusnya Perikatan
G. Mengetahui MOU

1.4 Manfaat
A. Memahami secara luas dan mendalam tentang apa pengertian Hukum
Perikatan.
B. Memahami secara luas dan mendalam tentang apa Dasar Hukum Perikatan
C. Memahami secara luas dan mendalami tentang Asas Asas dalam Hukum
Perikatan
D. Mengetahui secara luas dan mendalami tentang Wanprestasi
E. Mengetahui secara luas dan mendalami tentang Akibat wanprestasi
F. Mengetahui secara luas dan mendalami tentang Penghapusan Perikatan
G. Mengetahui secara luas dan mendalami tentang MOU

v
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Istilah dan Pengertian Perikatan


Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “Ver Bintenis” . Istilah perikatan ini lebih
umum di pakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal yang mengikat
orang yang satu terhadap orang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat
berupa perbuatan,misal jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya
seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya ; letak perkarangan
yang berdekatan,letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun).
Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh
pembentuk undang - undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi akibat
hukum. Dengan demikian, perikatan yang terjadi diantara orang yang satu dengan yang
lain itu disebut hubungan hukum.

Jika dirumuskan, perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta
kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan
pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan Hukum dalam harta kekayaan ini
merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum
lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu
terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (Low of property), juga terdapat dalam
bidang hukum keluarga (Family Law), dalam bidang hukum waris (Law Succesion) serta
dalam bidang hukum pribadi (Personal Law).

Dalam buku III BW yang berjudul “Van Verbintenssen”, di mana istilah ini juga
merupakan istilah lain yang dikenal dengan code cipil perancis, istilah mana di ambil
dalam hukum romawi yang terkenal dengan istilah “obligation”. Istilah Verbintenis
dalam BW (KHUPerdata), ternyata diterjemahkan berbeda beda dalam kepustakaan
hukum Indonesia. Berkaitan dengan itu, Soetojo Prawirohamidjojo, di dalam salah satu
bukunya menegaskan bahwa : “Istilah Verbintenis, ada yang mnerjemahkan dengan
“perutangan”,perjanjian maupun dengan “perikatan”. Karna masing masing sarjana
mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menerjemahkan dan mengartikannya,
walaupun pengertian yang dimaksudkan perikatan tersebut dapat tidak terlalu jauh
berbeda. Istilah perikatan dimaksud pada dasarnya berasal dari bahasa Belanda yakni

vi
“Verbintenis”, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berbeda-beda,sebagai
bukti,didalam KHUPerdata digunakan istilah “perikatan” untuk “Verbintenis”.
R.Subekti,mempergunkakan istilah “verbintenis” untuk perkataan “perikatan”,demikian
juga R.Setiawan, memakai istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. Selanjutnya utrecht,
memakai istilah perutangan untuk “verbintenis”. Sebaliknya Soediman Kartohadiprodjo,
mempergunakan istilah “hukum pengikatan” sebagai terjemahan dan
“verbintenissenrecht”. Sementara itu R. Wirjono Prodjodikoro, memakai istilah “het
verbintenissenrecht” diterjemahkan sebagai “hukum perjanjian” bukan hukum perikatan,
demikian juga Sri Doewi Masjchoen Sofwan, memakai istilah “hukum perutangan” untuk
“verb intenissenrecht” . ( R. Soetojo. 1979; 10 )

Dari uraian di atas, maka dapat di katakan, bahwa untuk istilah “verbintenis” dikenal
adanya tiga istilah untuk menerjemahkan nya yakni ; “perikatan, perutangan, dan
perjanjian” ,akan tetapi dalam berbagai perkuliahan di Fakultas Hukum yang ada di
Indonesia, penggunaan terjemahaan istilah “verbintenis” tersebut lebih cenderung
menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis tersebut, demikian juga halnya dalam
tulisan ini di gunakan istilah perikatan untuk menterjemahkan verbintenis dimaksud.
Beranjak dari uraian diatas, jika di kaitkan dengan adanya ketidaksamaan pendapat
tentang terjemahan istilah verbintenis tersebut, hal ini berpengaruh terhadap perumusan
perikatan, karena di dalam KHUPerdata sendiri tidak di temui pengertian perikatan secara
yuridisnya, oleh karena untuk merumuskan tentang perikatan dapat dipedomani beberapa
pendapat para ahlinya.

Berkaitan dengan itu, menurut Hofman, bahwa “perikatan adalah hubungan


hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu seorang
atau beberapa orang dari padanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk
bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap demikian
itu”. Selanjutnya plito mengatakan, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum yang
bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu
berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (Debitur) atas sesuatu prestasi”.

vii
Dari beberapa pengertian atau rumusan perikatan sebagaimana di kemukakan para ahli
diatas, dapat dikatakan, bahwa perikatan tersebut pada dasarnya merupakan hubungan
hukum yang artinya hubungan yang diatur dan di akui oleh hukum, baik yang dapat
dinilai dengan uang maupun tidak, yang didalamnya terdapat paling sedikit adanya
terdapat satu dan kewajiban, misalnya suatu perjanjian pada dasarnya menimbulkan atau
melahirkan satu atau beberapa perikatan, keadaan ini tentu tergantung pada jenis
perjanjian yang diadakan, demikian juga halnya suatu perikatan dapat dilahirkan karena
adanya ketentuan undang-undang, dalam arti, undang-undanglah yang menegaskan, di
mana dengan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan telah melahirkan perikatan atau
hubungan hukum, misalnya, dengan adanya perbuatan melanggar hukum.

Hubungan hukum sebagaimana dimaksudkan, harus dibedakan dengan hubungan


lainnya yang ada di dalam pergaulan masyarakat, seperti pergaulan masyarakat, seperti
pergaulan yang berdasarkan etika dan kesopanan, kepatutan dan kesusilaan.
Penyimpangan terhadap hubungan tersebut, tidak menimbulkan akibat hukum, misalnya;
janji untuk bertemu pasangan, janji kuliah untuk bersama sama dan lain-lain yang pada
dasarnya berada diluar lingkungan hukum dalam arti, hal ini bukan merupakan perikatan
atau hubungan hukum.

Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal
balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak lain, dan pihak
lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut
sesuatu disebut kreditur,sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur.
Hal ini berarti, menurut Ridwan Syahrani, “bahwa terjadinya hubungan hukum antara dua

viii
pihak tersebut, dimana masing masing pihak (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak
yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu” (Ridwan Syahrani. 1992; 203).
Prestasi sebagaimana yang dimaksud kan dapat dikatakan sebagai objeknya perikatan,
yaitu sesuatu yang di tuntut oleh kreditur terhadap debitur, atau sesuatu yang wajib di
penuhi oleh debitur terhadap kreditur. Prestasi adalah harta kekayaan yang di ukur atau di
nilai dengan uang. Yang berkewiban yang membayar sejumlah uang yang berposisi
sebagai kreditur.

Dalam hukum hutang-piutang, pihak yang berhutang disebut debitur, sedangkan


pihak yang berhutang disebut kreditur. Dalam hubungan jual beli, pihak pembeli
berposisi sebagai debitur,sedangkan penjual berposisi sebagai kreditur. Dalam perjanjian
kerja, pihak yang melakukan pekerjaan disebut kreditur, sedangkan pihak yang
berkewajiban membayar upah disebut debitur. Dari uraian yang telah di kemukakan,pada
akhirnya juga perlu di pahami tentang rumusan hukum perikatan, maka dengan melihat
beberapa pengertian dan kasus yang telah di kemukakan.

2.2 Dasar Hukum Perikatan


Dasar hukum perikatan berdasarkan KHUPerdata terdapat tiga sumber yaitu :

Perikatan yang timbul dari persetujuan

Contoh : Adanya jual beli karena suatu perjanjian. Suatu perjanjian dimana penjual
memberikan suatu perjanjian kepada pembeli. Misalnya, penjual menjual barang kepada
pembeli dengan mengajukan syarat pembayaran 2/10, n/30, yaitu penjual memberbatas
pembayaran sampai dengan 30 hari. Jika dalam jangka 10 hari sudah membayar maka
dikenakan potongan 2% .

Perjanjian kontrak kerja yang harus di sepakati oleh kedua belah pihak.

Perikatan yang timbul dari undang-undang yang di bagi lagi menjadi :

Perikatan yang terjadi karena undang-undang semat

ix
Contoh : kewajiban orang tua untuk memilihara dan mendidik anak – anak, yaitu hukum
kewarisan.

2) Perikatan yang terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia

Contoh : Apabila suatu pribadi melakukan Wanprestasi, seorang yang berpiutang yang
mengehendaki suatu pelaksanakan perjanjian dari seorang berhutang yang tidak
memenuhi kewajibannya harus meminta perantara pengadilan. Jika prestasi yang
dikehendaki tersebut berupa membayar sejumlah uang ,memang si berpiutang sudah
tetolong dengan adanya pengadilan, jadi si berpiutang bisa mendapat suatu putusan dari
pengadilan dengan menyita dan melelang harta benda si berhutang tersebut.

A. Perikatan terjadi bukan perjanjian   

Contoh : A menitipkan sepedanya dengan Cuma – Cuma kepada B, maka terjadilah


perikatan antara A dan B yang menimbulkan hak pada A untuk menerima kembali sepeda
tersebut dan kewajiban pada B untuk menyerahkan sepeda tersebut.

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :

A.    Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan
atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

B.     Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan
dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

C.     Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-
undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan
orang.

Dalam berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk


menterjemahkan verbintenis danovereenkomst, yaitu :

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio menggunakan istilah


perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst.

Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah Perutangan


untuk verbintenis dan perjanjian untuk overeenkomst.

x
2.3 Asas-asas Hukum Perikatan
A.  Asas kebebasan berkontrak

Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian
apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur
dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt). Asas kebebasan berkontrak dapat
dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

1)      Membuat atau tidak membuat perjanjian;

2)      Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

3)      Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;

4)      Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme
yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen
dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo
de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham
individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet
fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya
persaingan bebas.

B.     Asas Konsesualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt.
Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya
kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan
bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan
adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat


oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan

xi
hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi
lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal.

Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata
(dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu
perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik
maupun akta bawah tangan).

Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus
innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah
ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan
bentuk perjanjian.

C.   Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak
boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas
pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt.

Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan
bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya
dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang
diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur
keagamaan.

Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti
sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan
tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata
sepakat saja.

xii
D.    Asas Itikad Baik (Good Faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para
pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas
itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik
mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang
nyata dari subjek.

Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta
dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut
norma-norma yang objektif.

E.   Asas Kepribadian (Personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal
ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt. Pasal 1315 KUHPdt
menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk
mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.

xiii
2.4   Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah
ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh
dua kemungkinan alasan, yaitu:

1)      Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban


maupun karena kelalaian.

2)      Karena keadaan memaksa (overmacht), force mejeure, jadi di luar kemampuan


debitur. Debitur tidak bersalah.

Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi, perlu


ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sangaja atau lalai tidak
memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:

1)      debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,

2)      debitur memenuhi prestasi, tetapi tetapi tidak baik atau keliru,

3)      debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.

Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan
apakah dalam perkataan itu ditentukan tanggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi
atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan   prestasi “tidak
ditentukan”, perlu memperingatkan debitur sepaya ia memenuhi prestasi.

Tetapi dalam hal telah ditentukan tanggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238
KUH Perdata

debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam
perikatan.

Bagaimana cara memperingatkan debitur agar ia memenuhi prestasinya? Debitur perlu


diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan bahwa debitur wajib memenuhi
prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitur tidak memenuhinya,
debitur dinyatakan telah lalai atau wanprestasi. Peringatan tertulis dapat dilakukan secara
resmi dan dapat juga secara tidak resmi. Peringatan tertulis secara resmi dilakukan
melalui Pengdilan Negeri yang berwenang, yang disebut “somatie”. Kemudian

xiv
Pengadilan Negeri melalui perantaraan Jurusita menyampaikan surat peringatan tersebut
kepada debitur, yang disertai berita acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi
misalnya melalui suart tercatat, telegram, atau disampaikan sendiri oleh kreditur kepada
debiotur dengan tanda terima. Surat peringatan disebut “ingebreke stelling”.

Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau saksi
hukum berikut ini:

Debitur di wajibkan membayar ganti kerugian yang telat di derita oleh kreditur ( Pasal
1234 KHU Perdata)

Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan/pembatalan


perikatan memalui hakim (Pasal 1266 KHU perdata)

1. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak
terjadi wanprestasi ( Pasal 1237 ayat 2 )
2. Debitur di wajibkan memenuhi perikatan jika masih di wajibkan, atau pembatalan
disertai pembayaran ganti kerugian ( Pasal 1267 KHU perdata)
3. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan
Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah
4. Keadaan Memaksa (overmacht)
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitur karena
peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika
membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa, debitur tidak dapat
dipermasalahkan, karena keadaan ini timbul diluar kemauan dan kemampuan
debitur.
Unsur unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut;
a. Tidak di penuhinya prestasi karena terjadinya peristiwa yang
membinasakan/memutuskan benda objek perikatan; atau
b. Tidak di penuhinya prestasi karena terjadinya peristiwa yang menghalangi
perbuatan debitur untuk berprestasi;
c. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan.

xv
Dalam hal ini keadaan memaksa yang memenuhi unsur satu dan tiga, maka
keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa objektif”. Vollmar menyebutnya
dengan absolute overmacht. Dasarnya ialah ketidakmungkinan (impossibility)
memenuhi prestasi, karena bendanya lenyap/musnah. Misalnya jual beli lukisan
karapan sapi karya Afandi, ketika akan diserahkan kepada pembeli di sebuah hotel,
lukisan tersebut terbakar habis bersama-sama mobil yang membawanya.

Dalam hal terjadinya keadaan memaksa yang memenuhi unsur dua dan tiga,
keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa yang subjektif”. Vollmar
menyebutnya dengan relative overmacht. Dasarnya ialah kesulitan memenuhi
prestasi, karena ada peristiwa yang menghalagi debitur untuk berbuat. Misalnya
seorang mahasiswa membeli sebuah mesin tik dari seorang pedagang, yang
disanggupi untuk dikirimkan dalam waktu satu minggu. Kemungkinan kapal yang
mengangkut benda itu membentur karang, sehingga harus masuk dok untuk  
perbaikan. Di sini debitur mengalami kesulitan memenuhi prestasi.

Dalam peristiwa ini debitur bukannya tidak mungkin memenuhi prestasi, tetapi
sulit memenuhi prestasi, bahkan kalau dipenuhi juga memerlukan waktu dan biaya
yang banyak. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara. Perikatan tidak
berhenti (tidak batal) hanya pemenuhan prestasinya tertunda. Jika kesulitan sudah
tidak ada lagi pemenuhan prestasi diteruskan. Tetapi jika prestasi itu sudah tidak
berarti lagi bagi kreditur karena sudah tidak diperlukan lagi, maka perikatan
“gugur” (verbal).

Perbedaan antara perikatan batal dengan perikatan gugur terletak pada ada
tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi. Pada
perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah, sehingga tidak mungkin
dipenuhi oleh debitur (sifat prestasi). Sedangkan pada perikatan gugur, objek
perikatan ada, sehingga mungkin dipenuhidengan segala macam usaha debitur,
tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur.

xvi
2.5 Akibat Wanprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang
melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni :

1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (Ganti Rugi) ganti rugi sering
diperinci meliputi tiga unsur yakni:
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan salah satu pihak ;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor
yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor ;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah di
bayangkan atau sudah dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian Di dalam pembatasan tuntutan
ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau  pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua
belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu
peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi
obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.

2.6 Hukum Perikatan


Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “Ver Bintenis” . Istilah perikatan ini lebih
umum di pakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal
yang mengikat itu menurut kenyataan nya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli
barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya
seseorang. Dapat berupa keadaan, misalnya ; letak perkarangan yang berdekatan, letak
rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun) . Karena hal yang
mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang
– undang atau oleh masyarakat itu sendiri diakui dan diberi “akibat hukum” . Jika di
rumuskan, perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan

xvii
antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat
sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu adalah
melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang – undang dan
sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatn untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk
tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KHUP perdata terdapat tiga sumber adalah
sebagai berikut :

1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)


2. Perikatan yang timbul undang – undang
3. Perikatan terjadi bukan karena perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige da) dan perwakilan sukarela (zaakwarnemin)

2.7 Memorandum Of Understanding (MOU)

Memorandum of understanding dalam bahasa Indonesia di terjemahkan dalam


berbagai istilah, antara lain “nota kesepakatan” , “nota kesepahaman” , “perjanjian kerja
sama” , “perjanjian pendahuluan” . Didalam kitab Undang – Undang Hukum Perdata
(KHU Perdata) tidak di kenal dengan apa yang dinamakan Nota Kesepahaman. Akan tetapi
jika kita mengamati praktek pembuatan kontrak terlebih kontrak – kontrak bisnis, banyak
yang di buat dengan disertai Nota kesepahaman yang keberadaannya didasarkan pada
ketentuan Pasal 1338 KHU Perdata.

Tujuan pembuatan Nota Kesepahaman adalah untuk mengadakan hubungan hukum,


sebagai suatu surat yang dibuat oleh salah satu pihak yang isinya memuat kehendak, surat
tersebut ditujukan kepada pihak lain, dan berdasarkan surat tersebut pihak yang lain
diharapkan untuk membuat letter of intent yang sejenis untuk menunjukkan niatnya. Lebih
lanjut Nota kesepahaman didefinisikan atau memiliki pengertian kesepakatan diantara

xviii
pihak untuk berunding dalam rangka membuat perjanjian di kemudian hari, apabila hal –
hal yang belum pasti telah dipastikan.

Nota kesepahaman bukanlah kontrak,Kontraknya sendiri belum berbentuk. Dengan


demikian, Nota Kesepahaman tidak memiliki kekuatan mengikat. Akan tetapi dalam
praktek bisnis ia sering dipandang sebagai kontrak dan memiliki kekuatan mengikat para
pihak yang menjadi subjek didalamnya atau yang menandatanganinya.

Nota kesepahaman secara umum memiliki bagan atau anatomi yang terdiri atas
sebagai berikut :

1. Judul Nota kesepahaman


Judul ditentukan oleh para pihak. Dari judul yang ditentukan,akan dapat diketahui para
pihak dalam Nota Kesepahaman tersebut, antara siapa dengan siapa, serta sifat Nota
Kesepahaman itu, apakah nasional atau internasional.
2. Pembukaan Nota Kesepahaman
Pembukaan terdiri dari :
 Pencantuman hari,tanggal,bulan,tahun, dan tempat penandatangan saat
terjadinya Nota Kesepahaman dibuat.
 Jabatan para pihak
 Konsiderans atau pertimbangan
3. Substansi Nota Kesepahaman
Para pihak yang bermaksud mengadakan Nota Kesepahaman memiliki kewenangan
untuk bersama – sama menentukan apa yang akan menjadi isi Nota Kesepahaman.

Pada umumnya substansi Nota Kesepahaman memuat hal – hal sebagai berikut :
a. Maksud atau Tujuan
b. Ruang lingkup kegiatan
c. Realisasi kegiatan

xix
d. Jangka waktu
e. Biaya penyelengaraan kegiatan
f. Aturan peralihan
4. Penutup Nota Kesepahaman
Bagian ini merupakan bagian akhir dari Nota Kesepahaman dan dirumuskan dengan
kalimat yang sederhana.
5. Bagian tanda tangan para pihak
Bagian ini terletak pada bawah bagian penutup, dan pada bagian tersebut para pihak
membubuhkan tanda tangan dan nama terang.
Pada bagian tanda tangan terdiri dari :
a. Keabsahan Nota Kesepahaman atau Nota Kesepakatan
Keabsahan Nota Kesepahaman menunjukan agar Nota Kesepahaman memenuhi
syarat hukum yaitu harus di bubuhi dan ditanda tangani para pihak diatas materai
yang cukup.
b. Pendatangan Nota Kesepahaman
Dilakukan oleh kedua belah pihak yang ditulis dengan huruf kapital posisi PIHAK
KEDUA dibagian kanan bawah dari naskah.

xx
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap
perikatan. Prestasiadalah objek perikatan. Dalam hukum perdata
kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan
debitor. Dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa
hartakekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yangakan ada, menjadi jaminan pemenuhan
utangnya terhadap kreditor.

2. Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati


dalam perikatan. Tidakdipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua
kemungkinan alasan

3. Keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan tidak dipenuhinya


prestasi oleh debitorkarena terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui
atau tidak dapat diduga akan terjadi ketikamembuat perikatan. Dalam
keadaan memaksa ebitor tidak dapat disalahkan karena keadaan initimbul
di luar kemauan dan kemampuan debitor.

4. Ganti kerugian hanya berupa uang bukan barang, kecuali jika


diperjanjikan lain. Untukmelindungi debitor dari tuntutan sewenang-
wenang dari pihak kreditor, Undang-Undangmemberikan pembatasan
terhadap ganti kerugian yang wajib dibayar oleh debitor sebagai
akibatdari kelalainnya (wanprestasi)

xxi
5. Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang
digantungkan padasyarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih
akan terjadi dan belum pasti terjadi, baikdalam menangguhkan
pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa maupun
denganmembatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi peristiwa
(Pasal 1253 KUHP dt).

6. Figur hukum yang diatur dalam Pasal 1354 KUH Perdata ini disebut
perwakilan sukarela (zaakwaameming). Penyelenggaraan urusan itu
bersifat sukarela tanpa kuasa dari pihak berkepentingan. Urusan itu
dilakukan secara sukarela dengan tujuan agar memperolehkemanfaatan
bagi pihak yang berkepentingan dan perbuatan tersebut diakui serta
dibenarkanoleh undang-undang. Oleh karena itu, ketentuan undang-
undang tersebut menciptakan perikatan.Jadi, yang meciptakan perikatan
itu bukanlah perbuatan orang, melainkan ketentuan undang-undang itu
sendiri.

7. Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya
perikatan. Yaitu : pembayaran, penawaran, pembayaran tunai diikuti
penitipan, pembayaran utang, perjumpaanutang, pencampuran utang,
pembebasan utang, musnahnya benda yang terutang, karena pembatalan,
berlaku syarat batal dan lampau batas.

B. Saran

Dari penjelasan yang telah kami paparkan sebelumnya terdapat sebuah


kelebihan dankekurangannya masing-masing, namun untuk meningkatkan
pemaparan di atas adapun saran-saran untuk menunjang sebuah peningkatan
dari materi maupun penerapannya.

xxii
1. Alangkah baiknya jika hukum perikatan ini tidak hanya dijadikan sebagai
materi yangmembantu proses pemahaman mahasiswa saja namun dapat
digunakan langsung ataudipraktekan secara langsung dalam kehidupan
sehari-hari atau dalam proses pembelajaran.

1. Sebaiknya pemerintah dan masyakarat dapat membangun kerja sama yang


baik dalammengarahkan proses berlangsungnya perikatan yang ada di dalam
kehidupan sehari-hari.

3. Alangkah baiknya jika setiap individu dapat menerapkan dan mengerti benar
mengenai materiyang sudah kami paparkan di atas.

xxiii
DAFTAR PUSTAKA

Djamali, Abdul. 1983.Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Gravindo


Persada.

Setiawan. 1977.Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta.

Tirtodiningrat. 1966. Hukum Perdata dan Hukum Dagang . Jakarta: Gunung


Sahari 84.

Abdul Kadir, Muhammad. 1990.Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra


Aditya Bakti.Subekti. 1954.Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Interma

xxiv

Anda mungkin juga menyukai