Anda di halaman 1dari 16

ASPEK-ASPEK HUKUM PENGATURAN DAN SUMBER-SUMBER

PERIKATAN

Diajukan untuk melengkapi tugas Hukum Kontrak

MAKALAH

Disusun Oleh

Nisa Amanda (204301102)

Nr. Indira Saputri (204301031)

Juliana Lara Sakti (204301079)

Ringga Syafitri (204301195)

Dosen

Dr. Asep Suryadi, S.H., M.H.

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, taufiq
serta hidayahnya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah
yang menjadi komponen penilaian dalam perkuliahan Hukum Kontrak. Adapun
judul dari makalah ini yaitu ASPEK-ASPEK HUKUM PENGATURAN DAN
SUMBER-SUMBER PERIKATAN Penulis menyadari sepenuhnya penyusunan
makalah ini masih jauh dari sempurna baik dalam isinya maupun dalam
penyajianya, berkat dorongan dan bimbingan dari semua pihak maka penulisan
makalah ini dapat terselesaikan. Semua kebenaran dalam adalah semata dari Allah
SWT dan miliknya, sedangkan segala kesalahan kekurangan semata dari
keterbatasan kami.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I.......................................................................................................................3
PENDAHULUAN...................................................................................................3
A. Latar Belakang Masalah................................................................................3
B. Identfikasi Masalah.......................................................................................5
BAB II......................................................................................................................6
PEMBAHASAN......................................................................................................6
A. Pengaturan Hukum Perikatan........................................................................6
B. Sumber-Sumber Perikatan............................................................................9
BAB III..................................................................................................................14
KESIMPULAN......................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang yang tidak sadar bahwa
mereka disetiap harinya selalu melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli
suatu barang, sewa menyewa, pinjam meminjam, hal tersebut termasuk suatu
perikatan. Perikatan di Indonesia, diatur dalam buku ke III KUH Perdata (BW).
Dalam hukum perdata, banyak sekali cakupannya, salah satunya adalah perikatan.
Perikatan merupakan salah satu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua orang atau lebih, di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan
pihak lain berkewajiban ataas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini
merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa
hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan, setiap orang dapat melakukan perikatan yang
bersumber dari perjanjian, perjanjian apapun atau bagaimanapun baik itu yang
diatur dalam undang-undang ataupun tidak, inilah yang disebut kebebasan
berkontrak. Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas
ditentukan didalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya
persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-
syarat yang diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk
dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas diatur didalamnya.
Setiap orang dapat melakukan perikatan yang bersumber dari perjanjian,
perjanjian apapun atau bagaimanapun baik itu yang diatur dalam undang-undang
ataupun tidak, dan itu di jelaskan dalam hukum perikatan buku ke tiga III KUH
Perdata (BW), dari sini kita pahami bahwa ini lah yang di sebut kebebasan
berkontrak. Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas
ditentukan didalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya
persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-
syarat yang diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk
dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas diatur didalamnya.
Didalam sistem pengaturan hukum perikatan dalam Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menganut sistem terbuka, yakni
setiap orang dapat mengadakan perjanjian mengenai apapun sesuai dengan
kehendaknya, artinya dapat menyimpang dari apa yang telah ditetapkan dalam
Buku III KUH Perdata baik mengenai bentuk maupun isi perjanjian sepanjang
tidak bertentangan dengan undang – undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Dengan demikian, apa yang diatur dalam Buku III KUH Perdata
merupakan hukum pelengkap (aanvullendrecht), yakni berlaku bagi para pihak
yang mengadakan perjanjian sepanjang mereka tidak mengesampingkan syarat –
syarat dan isi dari perjanjian.
Buku III BW berjudul van verbintenissen. Istilah verbintenis dalam BW
merupakan salinan istilah obligation dalam Code Civil Perancis, istilah mana
diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah obligation. Istilah
verbintenis dalam BW ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam kepustakaan
hukum Indonesia. Ada yang menerjemahkan dengan perutangan, ada yang
menerjemahkan dengan perjanjian dan ada pula yang menerjemahkan dengan
perikatan. Penggunaan istilah perikatan untuk verbintenis tampaknya lebih umum
dipergunakan dalam kepustakaan hukum Indonesia.
Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda
“verbintenis”. Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan
orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa
perbuatan, misalnya jual beli, hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya
kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan, misalnya pekarangan berdampingan,
rumah bersusun. Peristiwa hukum itu menciptakan hubungan hukum.
Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban
secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari
pihak yang lain, dan pihak yang lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan
sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan
pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur. Sesuatu yang dituntut
disebut prestasi.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan bahwa perikatan itu adalah hubungan
hukum. Hubungan hukum itu timbul karena adanya peristiwa hukum yang dapat
berupa perbuatan, kejadian, keadaan. Objek hubungan itu adalah harta kekayaan
yang dapat dinilai dengan uang. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut
kreditur, dan pihak yang wajib memenuhi tuntutan itu disebut debitur. Dengan
demikian dapat dirumuskan bahwa perikatan adalah hubungan hukum mengenai
harta kekayaan yang terjadi antara kreditur dan debitur.

B. Identfikasi Masalah
1. Bagaimana aspek-aspek pengaturan hukum perikatan ?
2. Apa saja sumber-sumber hukum perikatan ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengaturan Hukum Perikatan


Perikatan diatur dalam Buku KUH Perdata. Perikatan adalah hubungan
hukum yang terjadi karena perjanjian dan Undang-Undang. Aturan mengenai
perikatan meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi
aturan yang tercantum dalam Bab I, Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), dan
Bab IV KUH Perdata yang belaku bagi perikatan umum. Adapun bagian khusus
meliputi Bab III (kecuali Pasal 1352 dan 1353) dan Bab V sampai dengan Bab
XVIII KUH Perdata yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang
sudah ditentukan namanya dalam bab-bab bersangkutan.
Pengaturan nama didasarkan pada “sistem terbuka”, maksudnya setiap
orang boleh mengadakan perikatan apa saja, baik yang sudah ditentukan namanya
maupun yang belum ditentukan namanya dalam Undang-Undang. Sistem terbuka
dibatasi oleh tiga hal, yaitu :
1. Tidak dilarang Undang-Undang
2. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
3. Tidak bertentangan dengan kesusilaan

Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUH


Perdata menetukan bahwa perikatan dapat terjadi, baik karena perjanijian maupun
karena Undang-Undang. Dengan kata lain, sumber perikatan adalah Undang-
Undang dan perikatan. Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang terjadi
karena Undang-Undang dirinci menjadi dua, yaitu perikatan yang terjadi semata-
mata karena ditentukan dalam Undang-Undang dan perikatan yang terjadi karena
perbuatan orang. Perikatan yang terjadi karena perbuatan orang, dalam pasal 1353
KUH Perdata dirinci lagi menjadi perbuatan menurut hukum (rechmatig daad)
dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Ada perbedaan mengenai tempat hukum perikatan dalam
HukumPerdata.Apabila dilihat lebih jauh dari segi sistematikanya, ternyata
hukumperdata di Indonesia mengenal dua sitematika yaitu menurut doktrin atau
ilmupengetahuan hukum dan menurut KUH Perdata.

Pembagian menurut doktrin atau ilmu pengetahuan hukum, yaitu:


1. Hukum tentang orang/hukum perorangan/badan pribadi
2. Hukum tentang keluarga/hukum keluarga
3. Hukum tentang harta kekayaan/hukum harta kekayaan/hukum harta
benda., dibagi lagi menjadi:
a. Hak Kekayaan Absolut
b. Hak Kebendaan
c. Hak Atas Benda-benda immateriil.
d. Hak Kekayaan Relatif
4. Hukum waris.

Berdasarkan pembagian sistematika hukum perdata di Indonesia menurut


doktrin atau ilmu pengetahuan, diketahui bahwa tempat hukum perikatan ada di
bagian hukum tentang harta kekayaan/hukum hartakekayaan/hukum harta
benda.Mengenai hak-hak kekayaan yang absolut sebagian diatur dalam Buku II
KUH Perdata dan sisanya diatur diluar, didalam undang-undang tersendiri,
sedangkan hak-hak kekayaan yang relatif mendapat pengaturannya dalam Buku
III KUH Perdata. Perlu diingat, bahwa pembagian menurut KUH Perdata atau
BW tidak sejalan dengan pembagian menurut doktrin atau ilmu pengetahuan.
Pembagian menurut KUH Perdata yaitu :
1. Buku I tentang orang.
2. Buku II tentang benda
3. Buku III tentang perikatan
4. Buku IV tentang pembuktian dan daluwarsa.

Berdasarkan pembagian sistemtika hukum perdata di Indonesiamenurut


KUH Perdata telah jelas dimana letak hukum perikatan yaitu padaBuku III yaitu
tentang perikatan.
Hukum perikatan diatur dalam Buku III BW. Dalam Buku III BW terdiri
dari 18 bab dan tiap-tiap bab dibagi lagi menjadi bagian-bagian yaitu ketentuan-
ketentuan umum dan ketentuan-ketentuan khusus. Ketentuan-ketentuan umum
diatur dalam bab I, bab II, bab III, (hanya pasal 1352 dan1353) dan bab IV.
Sedangkan ketentuan-ketentuan khusus diatur dalam bab III (kecuali pasal 1352
dan 1353) dan bab V s/d bab XVIII. Ketentuan-ketentuan khusus ini memuat
tentang perikatan atau perjanjian bernama.
Termasuk dalam ketentuan umum yaitu :
1. Bab I mengatur tentang perikatan pada umumnya.
2. Bab II mengatur tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari
perjanjian.
3. Bab III mengatur tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari
undang-undang.
4. Bab IV mengatur tentang hapusnya perikatan.

Bagian khusus adalah perjanjian-perjanjian khusus atau perjanjian-


perjanjian bernama yang telah diatur dalam KUH Perdata dan KUHD.Hubungan
antara KUH Perdata dan KUHD dapat diketahui dalam pasal 1 KUHD.KUHD
mengatur perjanjian-perjanjian khusus yang lebih modern yang belum ada pada
zaman romawi dulu, karena adanya pengaruh hubungan perdagangan
internasional yang lebih efektif.
Bagian umum tersebut di atas merupakan asas-asas dari hukumperikatan,
sedangkan bagian khusus mengatur lebih lanjut dari asas-asas iniuntuk peristiwa-
peristiwa khusus.
Pengaturan hukum perikatan dilakukan dengan sistem ”terbuka”,artinya
setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja baik yang sudah ditentukan
namanya maupun yang belum ditentukan namanya dalam undang-undang. Inilah
yang disebut kebebasan berkontrak.Tetapi keterbukaan itu dibatasi dengan
pembatasan umum, yaitu yang diatur dalam pasal 1337 KUHPerdata.Pembatasan
tersebut yaitu sebabnya harus halal, tidak dilarang olehundang-undang, tidak
bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Serta dibatasi dengan pasal 1254 KUH Perdata yaitusyaratnya harus mungkin
terlaksana dan harus susila
B. Sumber-Sumber Perikatan
Menurut ketentuan Pasal 1233 BW perikatan bersumber dari perjanjian
dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari perjanjian diatur dalam titel II
(Pasal 1313 s.d. 1351) dan titel IV s.d. XVIII (Pasal 1457 s.d. 1864) Buku III BW.
Sedangkan perikatan yang bersumber dari undang-undang diatur dalam titel III
(Pasal 1352 s.d. 1380) Buku III BW.
Perikatan yang bersumber dari undang-undang menurut Pasal 1352 BW
dibedakan atas perikatan yang lahir dari undang-undang saja (uit de wet allen) dan
perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia (uit de wet
door’s mensen toeden). Kemudian perikatan yang lahir dari undang-undang
karena perbuatan manusia menurut Pasal 1353 BW dibedakan lagi atas perbuatan
yang sesuai dengan hukum (rechmatige) dan perbuatan yang melawan hukum
(onrechtmatige).
Pada umumnya, para ahli hukum perdata sependapat bahwa sumber
perikatan sebagaimana disebut Pasal 1233 BW yaitu perjanjian dan undang-
undang adalah kurang lengkap. Sumber perikatan yang lain adalah Ilmu
Pengetahuan Hukum Perdata, hukum tidak tertulis dan keputusan hakim
(yurisprudensi).
Namun, sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab
dengan melalui perjanjian pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk membuat
segala macam perikatan, baik perikatan bernama maupun perikatan yang tidak
bernama. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan
berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya
boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban hukum.
Dengan adanya kebebasan berkontrak, kedudukan rangkaian pasal-pasal
Buku III BW khususnya pasal-pasal pada titel V s.d. XVIII banyak yang hanya
bersifat sebagai hukum pelengkap (aanvullens recht) saja. Artinya, pasal-pasal
tersebut boleh dikesampingkan sekiranya para pihak pembuat perjanjian
menghendakinya, dan pihak pembuat perjanjian diperbolehkan menciptakan
ketentuan sendiri untuk mengatur kepentingan mereka sesuai dengan apa yang
mereka kehendaki. Pasal-pasal tersebut baru mengikat terhadap mereka, jika
mereka tidak mengatur sendiri kepentingannya atau mengaturnya dalam
perjanjian, tetapi tidak lengkap sehingga soal-soal yang tidak diatur tersendiri itu
diberlakukan pasal-pasal hukum perikatan.
Dapat dikatakan bahwa ada 2 sumber perikatan, yaitu:
1. Perjanjian sebagai sumber perikatan
Perjanjian lazim dikenal ataupun disebut sebagai kontrak, yang
merupakan adopsi dari istilah Inggris “contract”, serta juga dikenal
sebagai “agreement” atau “overeenkomst” dalam bahasa Belanda. Selain
itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian juga
dikenal dengan istilah “persetujuan”.
Defenisi dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata
yang berbunyi “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan yang terjadi
antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau
lebih”.
Defenisi di atas menurut Mariam Darus Badrulzaman (1994:18)
dianggap terlalu luas dan tidak lengkap. Terlalu luas karena didalamnya
juga dianggap dapat mencakup hal-hal mengenai janji kawin, yang
merupakan perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan
perjanjian juga, namun istimewa sifatnya karena mendapatkan
pengaturan hukum tersendiri. Dianggap tidak lengkap, karena
didalamnya hanya merumuskan perjanjian secara sepihak saja.
Asas-asas dalam perjanjian, yaitu :
a. Asas Hukum Perjanjian bersifat mengatur; Hukum bersifat
mengatur (aanvullen recht; optional law) berlaku sebagai asas
dalam perjanjian. Maknanya adalah peraturan-peraturan hukum
yang berlaku bagi subjek hukum, seperti pengaturan tentang para
pihak dalam perjanjian. Akan tetapi ketentuan ini tidaklah berlaku
secara mutlak, dikarenakan para pihak dapat memberikan
pengaturan tersendiri terhadapnya. Peraturan yang bersifat
mengatur ini dapat disimpangi oleh para pihak dengan memberikan
pengaturan sendiri terhadapnya.
b. Asas Freedom of Contract; Asas ini diartikan sebagai asas
kebebasan berkontrak merupakan konsekwensi dari berlakunya
asas kontrak yang bersifat mengatur. Asas ini maksudnya adalah
memberikan kebebasan bagi para pihak untuk membuat atau untuk
tidak membuat perjanjian, serta bebas untuk menentukan isi dari
perjanjiannya sendiri.
c. Asas Konsensual; Asas ini bermakna bahwa dengan telah
dibuatnya perjanjian atau dengan kata lain dengan telah
bersepakatnya para pihak maka, perjanjan tersebut telah sah dan
mengikat bagi para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 (1) KUH
Perdata).
d. Asas Pacta Sunt Servanda Pacta sunt servanda diartikan “janji itu
mengikat” (Munir Fuady, 1999: 30). Asas ini mengajarkan bahwa
suatu kontrak yang telah dibuat secara sah mempunyai kekuatan
hukum yang penuh dan berlaku sebagai UndangUndang bagi para
pihak (Pasal 1338 (2) KUH Perdata).
e. Asas Obligatoir 21 Asas ini memberikan pengaturan bahwa jika
kontrak telah dibuat maka para pihak adalah terikat, tetapi
keterikatannya tersebut hanyalah sebatas timbulnya hak dan
kewajiban bagi masing-masing, sedangkan pemenuhan prestasinya
belum dapat dilakukan atau dipaksakan (Munir Fuady, 2002: 13)
dikarenakan konrak kebendaannya belum terjadi, dan untuk hal ini
disebut sebagai perjanjian kebendaan atau yang dikenal dengan
istilah penyerahan (levering).
Syarat sah perjanjian, Suatu kontrak dianggap sah dan dapat
mengikat para pihak, apabila memenui syarat-syarat sah yang telah
ditentukan. Syarat-syarat tersebut dibedakan sebagai berikut:
a. Syarat Sah Umum dalam pasal 1320 KUHPerdata:
1) Sepakat
2) Cakap
3) Perihal tertentu
4) Causa yang halal
b. Syarat sah khusus
1) syarat tertulis untuk kontrak tertentu;
2) syarat akta notaris untuk kontrak tertentu;
3) syarat akta pejabat untuk kontrak tertentu;
4) syarat izin dari yang berwenang.
2. Undang-Undang Sebagai Sumber Perikatan
Ketentuan tentang perikatan yang dilahirkan dari undang-undang diatur
dalam Buku Ketiga Bab III KUH Perdata, dalam Pasal 1352 sampai dengan Pasal
1380.selain juga mendasarkan pada ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata yang
menyatakan, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena
undang-undang”.
Hal ini bermakna bahwa hubungan hukum yang terjadi dalam lapangan
harta kekayaan dapat terjadi setiap saat, baik itu dikarenakan kehendak dari para
pihak, maupun tanpa dikehendaki oleh para pihak dikarenakan, suatu peristiwa,
hubungan antara para pihak maupun suatu keadaan dapat berubah menjadi
hubungan hukum, baik dikehendaki ataupun tidak dikehendaki oleh para pihak,
dan oleh undang-undang hubungan/keadaan ataupun peristiwa tersebut diberikan
kewajiban atau prestasi untuk dipenuhi.
Perikatan yang lahir dari undang-undang secara prinsipil berbeda dengan

perikatan yang lahir karena perjanjian. Ketentuan tentangnya diatur dalam Bab III

Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatanperikatan yang

dilahirkan demi Undang-undang.

Ketentuan awal tentang perikatan yang lahir dari undang-undang dimulai

pada Pasal 1352 yang menyatakan, ”Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi

undang-undang timbul dari undang-undang saja atau dari undangundang sebagai

akibat perbuatan orang”.

Selanjutnya, dalam Pasal 1353 dinyatakan bahwa ”Perikatan-perikatan

yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari

perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum”.


Perikatan yang lahir dari (semata-mata) undang-undang, termasuk di

dalamnya peristiwa hukum seperti kematian seseorang yang melahirkan

kewajiban bagi ahli warisnya untuk memenuhi kewajiban pihak yang meninggal

(pewaris) kepada para kreditornya, atau contoh lain dapat disampaikan, adalah

adanya keadaan hukum seperti Putusan atas Kepailitan. Pernyataan pailit akan

melahirkan keadaan dimana pihak yang dinyatakan pailit kehilangan hak untuk

mengurus harta kekayaannya yang termasuk harta pailit, dan harta tersebut akan

disita untuk kepentingan umum dan akan dipergunakan untuk melunasi seluruh

kewajibannya kepada para kreditor sesuai dengan ketentuan.

Selain contoh sebagaimana tersebut di atas, suatu perikatan yang lahir

semata-mata karena undang-undang juga mengatur tentang kewajiban orang tua

untuk memberikan perlindungan bagi anak sejak dilahirkannya, termasuk

merawat, mendidik dan memberikan penghidupan yang layak, sebagaimana diatur

dalam Pasal 104 KUH Perdata yang berbunyi : ”suami dan istri dengan

mengikatkan diri dalam suatu perkawinan, dan hanya karena itupun, terikatlah

mereka dalam suatu perjanjian bertimbal balik, akan memelihara dan mendidik

sekalian anak mereka”.

Pasal 625 KUH Perdata juga memberikan pengaturan tentang Perikatan

yang lahir (semata-mata) karena undang-undang. Pasal 625 berbunyi : ”antara

pemilik-pemilik pekarangan yang satu sama lain bertetanggaan, adalah berlaku

beberapa hak dan kewajiban, baik yang berpangkal pada letak pekarangan mereka

karena alam, maupun yang berdasar karena Undang-undang”.


BAB III

KESIMPULAN

Perikatan diatur dalam Buku KUH Perdata. Perikatan adalah hubungan


hukum yang terjadi karena perjanjian dan Undang-Undang. Aturan mengenai
perikatan meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi
aturan yang tercantum dalam Bab I, Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), dan
Bab IV KUH Perdata yang belaku bagi perikatan umum. Adapun bagian khusus
meliputi Bab III (kecuali Pasal 1352 dan 1353) dan Bab V sampai dengan Bab
XVIII KUH Perdata yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang
sudah ditentukan namanya dalam bab-bab bersangkutan.
Menurut ketentuan Pasal 1233 BW perikatan bersumber dari perjanjian
dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari perjanjian diatur dalam titel II
(Pasal 1313 s.d. 1351) dan titel IV s.d. XVIII (Pasal 1457 s.d. 1864) Buku III BW.
Sedangkan perikatan yang bersumber dari undang-undang diatur dalam titel III
(Pasal 1352 s.d. 1380) Buku III BW.
Bahwa perikatan diartikan sebagai suatu hubungan hukum diantara para
pihak di bidang kekayaan. Kata hukum yang bersanding dengan hubungan
menunjukkan adanya konsekuensi yuridis dalam suatu hubungan yang bersifat
timbal balik di antara para pihak yang mengikatkan dirinya.
Ketentuan hukum perdata menyatakan bahwa perikatan sebagai
hubungan hukum dapat dilahirkan oleh adanya perjanjian yang dibuat oleh para
pihak dengan mendasarkan pada salah satunya asas konsensualisme dan
memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Perikatan
juga dapat dilahirkan karena undangundang.
Perikatan yang lahir karena undang-undang ada yang semata-mata
ditetapkan oleh undang-undang seperti , kewajiban orang tua untuk memelihara
anak, kewajiban dalam pekarangan berdampingan, kewajiban pemenuhan utang
dalam hal dinyatakan pailit serta kewajiban ahli waris untuk melunasi segala
kewajiban pewaris terhadap pihak lain.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir Muhammad, 1986, “Hukum Perjanjian”


R. Subekti & R. Tjitrosudibio., 1994, “Kitab Undang-undang Hukum Perdata”,
Cetakan ke dua puluh enam, Pradnya Paramita, Jakarta.
Gunawan Widjaya & Karini Muljadi., 2003, ”Perikatan yang Lahir dari Undang-
undang”, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Adytia
Bakti, 1993.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 2001.
Djaja Meliala., 2007, ”Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum
Perikatan”, Nuansa Aulia, Bandung.
Abdul Kadir Muhammad ”K.U.H. Perdata Buku III – Hukum Perikatan dengan
Penjelasan”,

Anda mungkin juga menyukai