Anda di halaman 1dari 28

HUKUM PERJANJIAN DAN PERIKATAN

Zahra Fajriyah (2008203084)

Novianticha EdistyaAngely (2008203099)

Cindy Ayu Komala (2008203103)

Jurusan Perbankan Syariah IAIN Syekh Nurjati Cirebon

ABSTRACK

The purpose of this paper is to examine the legal definition, agreements in the
perspective of Islamic law and positive law, how the relationship between
agreements and engagements from a positive and sharia perspective, the legal
requirements of an agreement according to positive and sharia law, the abolition
of an agreement according to positive and sharia law. Among them are having to
know the law in terms and according to some experts, what kind of agreement
according to the perspective of Islamic law and positive law, how is the
relationship between agreement and engagement from a positive and sharia
perspective, what are the conditions for a valid agreement according to the
perspective of sharia law and positive law, and what things can cause the
termination of the agreement according to Islamic law and positive law.

Keywords: Law, Islamic and positive legal agreements, Legal conditions

ABSTRAK

Tujuan tulisan ini untuk mengkaji Mengenai Definisi Hukum, perjanjian dalam
perspektif hukum islam dan hukum positif, bagaimana Hubungan perjanjian dan
perikatan perspektif positif dan syariah, syarat sah nya perjanjian menurut hukum
positif dan syariah, hapusnya perjanjian menurut hukum positif dan syariah.
Diantaranya adalah harus mengetahui hukum secara istilah dan menurut beberapa
ahli, perjanjian seperti apa menurut pperspektif hukum islam dan hukum positif,
bagaimana hubungan antara perjanjian dan perikatan perspektif positif dan
syariah, apa saja yang menjadi syarat sahnya perjanjian menurut perspektif hukum
syariah dan hukum positif, dan hal apa yang dapat menyebabkan trhapusnya
perjanjian menurut hukum islam dan hukum positif .

Kata kunci: Hukum, Perjanjian hukum islam dan positif, Syarat sah
I. PENDAHULUAN

Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak dapat dielakkan bahwa


tingkat kebutuhan manusia semakin lama akan semakin meningkat. Dalam upaya
meningkatkan taraf dan standar hidupnya anggota masyarakat akan melakukan
berbagai usaha untuk memenuhi kebutuhannya termasuk terpenuhinya kebutuhan
tempat tinggal atau tempat usaha. Dalam memenuhi kebutuhannya tersebut,
manusia dapat melakukan hubungan hukum berupa jual beli, sewa menyewa atau
bentuk hubungan hukum lainnya. Dalam mengadakan hubungan hukum, manusia
dalam hal ini para pihak masing-masing mempunyai hak dan kewajiban secara
timbal balik, yaitu pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu
kepada pihak lain sedangkan pihak yang lain itu wajib memenuhi tuntutan itu dan
sebaliknya. Hubungan hukum tersebut dapat direalisasikan dalam bentuk
perjanjian tertulis. Hal tersebut ditujukan agar di samping memudahkan para
pihak mengetahui hak dan kewajiban masing-masing, juga untuk lebih
memudahkan dalam hal pembuktian apabila salah satu pihak wanpretasi.

Persoalan yang demikian disiasati dengan perjanjian pengikatan jual beli,


dengan akta pengikatan perjanjian jual beli tersebut penjual terikat untuk
mcnyerahkan surat-surat tanah kepada pembeli begitu pula pembeli terikat untuk
menyerahkan uang kepada penjual sesuai dengan kesepakatan.

Menurut ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang


bagi mereka yang membuatnya”.

sehingga berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa masyarakat


diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa
saja) dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu Undang-
undang. Artinya para pihak tidak boleh merubah, menembah atau membatalkan
perjanjian tanpa persetujuan pihak lain.

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa :

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Pihak-pihak yang mengadakan perjanjian diberi kebebasan untuk membuat
isi perjanjian sesuai dengan kebutuhan dan keinginannva. Hal ini maksudnya
undang-undang yang mengatur tentang hukum perjanjian, tidak mencampuri
pokok-pokok atau syarat-syarat yang akan menjadi kesepakatan para pihak.
Seberapa luas dan lama suatu pejanjian adalah murni berdasarkan keinginan para
pihak.

Sebagian besar pasal-pasal dalam KUH Perdata hanya merupakan hukum


pelengkap (optional Inzo). Maksudnya, ketentuan dalam hukum perjanjian baru
dianggap berlaku mengatur apabila ternyata para pihak tidak mengatur sendiri
dalam perjanjian yang mereka buat. Pasal-pasal dalam hukum kontrak disebut
sebagai hukum pelengkap karena para pihak bisa saja mengenyampingkan
berlakunya pasal-pasal tersebut, bahkan bisa menyimpang dari ketentuan yang
ada, sepanjang penyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban
umum dan kesusilaan.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan proses pengumulan-


pengumpulan melalui smber data, jurnal, buku dan artikel dalam menganalisis
materi. Dalam menganalisis data, jurnal dan materi penulis menggunakan metode
deskriptif-analisis dengan menguraikan pengertian,sejarah, serta beberapa aspek
yang terkait dengan pembahasan secara umum.

III. PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HUKUM

Hukum sebagai padanan kata dari istilah Jerman Recht, istilah Perancis
Droit, dan istilah Italia Diritto diartikan sebagai tata perilaku yang mengatur
manusia, dan merupakan tatanan pemaksa. Ini berarti bahwa semua tatanan itu
bereaksi terhadap kejadian-kejadian tertentu, yang dianggap sebagai sesuatu yang
tidak dikehendaki karena merugikan masyarakat. Reaksi tersebut terutama
ditujukan terhadap perilaku manusia yang merugikan ini, dengan menggunakan
tindakan paksa. Pengertian ini dikemukakan oleh Hans Kelsen (2007 : 34-37).
Van Doorn, sosiolog hukum Belanda seperti yang dikutip Satjipto Raharjo (2007 :
4) mengutarakan bahwa :

“Hukum adalah skema yang dibuat untuk menata (perilaku) manusia, tetapi
manusia itu sendiri cenderung terjatuh diluar skema yang diperuntukkan baginya.
Ini disebabkan faktor pengalaman, pendidikan, tradisi, dan lain-lain yang
mempengaruhi dan membentuk perilakunya”.

John Austin, seorang ahli filsafat dari Inggris yang dikutip Soerjono
Soekanto (2007 : 34) mengemukakan bahwa hukum merupakan perintah dari
mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang
kedaulatan. Menurut Austin, hukum adalah yang dibebankan untuk mengatur
makhluk berpikir, perintah mana dilakukan oleh makhluk berpikir yang
memegang dan mempunyai kekuasaan. Jadi hukum didasarkan pada kekuasaan
dari penguasa. Austin beranggapan bahwa hukum yang sebenarnya yaitu hukum
yang dibuat oleh penguasa bagi pengikut-pengikutnya mengandung 4 (empat)
unsur, yaitu perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.

Pendapat Friedrich Karl Von Savigny, seorang pemuka ilmu sejarah hukum
dari Jerman mengemukakan bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran
hukum masyarakat (Volkgeist). Menurutnya semua hukum berasal dari adat
istiadat dan kepercayaan, bukan dari pembentuk undangundang. Pendapat ini
dikutip oleh Soerjono Soekanto (2007 : 38-39).

Pendapat Rudolph Von Ihering yang juga dikutip Soerjono Soekanto (2007 :
41) mengemukakan bahwa hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk
mencapai tujuannya. Von Ihering menganggap hukum sebagai sarana untuk
mengendalikan individu-individu, agar tujuannya sesuai dengan tujuan
masyarakat dimana mereka menjadi warganya. Menurutnya hukum juga
merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melakukan perubahan-
perubahan sosial.

Hestu Cipto Handoyo (2008 : 8) mengungkapkan bahwa “hukum” bila


ditinjau dari sudut kefilsafatan adalah mempelajari sebagian dari tingkah laku
manusia, yaitu tingkah laku (atau perbuatan manusia) dalam kehidupan antar
pribadi yang akibatnya diatur oleh hukum dengan menitikberatkan pada tujuan
keserasian antara ketertiban dengan kebebasan/ketenteraman dan dalam pergaulan
hidup itu tercakup pula dalam aspek pemenuhan kedamaian.

Hukum Islam menurut Hasby Ash-Shiddiqie, sebenarnya tidak lain dari fiqh
Islam yang dapat diartikan : “koleksi daya upaya para fuquha dalam menetapkan
Syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”1

Perjanjian dalam Hukum Positif

Perjanjian berasal dari bahasa inggris yaitu contracs, sedangkan dalam


bahasa belanda disebut dengan overeenkomst. Suatu perjanjian adalah semata
mata untuk suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan tersebut
merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha dan menjadi dasar bagi
kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli barang, tanah, pembelian kredit,
asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha dan termasuk juga
menyangkut tenaga kerja.2

Perjanjian atau perikatan secara etimologi adalah ikatan. Sedangkan


menurut terminology adalah suatu perbuatan dimana seseorng mengikatkan
dirinya kepala seseorang ataupun beberapa orang lain. Adapun menurut
Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang
atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam
lapangan harta kekayaan. http://digilib.uinsby.ac.id/27812/3/Alifia%20Nisa
%20Ikbar_C92214138.pdf

Perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata -KUHAPermasuk


dalam buku III, yang memiliki pengertian dalam pasal 1313 KUHPer yaitu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan hukum antara
dua orang atau lebih yang disebut perikatan yang di dalamya terdapat hak dan
kewajiban masing-masing pihak.

Perjanjian dalam Hukum Islam

1
Hasby Ash-Shiddiqie, Filsafat Hukum Islam, Jilid II, (Jakarta: BulanBintang, 1957),hlm. 44
2
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni 1980), 93.
Perjanjian merupakan salah satu cara untuk memperoleh sesuatu yang
banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam melakukan
kegiatan ekonomi. Perjanjian ini harus dibuat oleh kedua belah pihak yang
bertransaksi dan perjanjian inilah yang menentukan sah atau tidaknya suatu
transaksi. Hukum perjanjian merupakan aspek yang memegang peranan penting di
dalam pelaksanaan hukum privat, oleh karena itu Hukum Perdata Islam
mempunyai peluang sangat besar untuk diterapkan di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Penerapan Hukum Perdata Islam di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia ini, didukung pula dengan jaminan kebebasan yang diberikan oleh
sistem hukum nasional Indonesia kepada setiap individu untuk menentukan
sendiri hukum yang berlaku bagi dirinya dalam menjalankan aktivitas termasuk
didalamnya bidang keperdataan. Kebebasan ini mencakup kebebasan dalam
menentukan isi/materi yang disepakati para pihak yang melakukan hubungan
hukum, cara-cara pelaksanaan, serta penyelesaiannya jika terjadi sengketa.

Dalam hukum Islam, perjanjian sering disebut dengan akad. Kata akad
berasal dari kata al-‘aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau
menghubungkan. Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan
atau simpulan baik ikatan yang nampak (hissyy) maupun tidak nampak
(ma’nawy). Pengertian akad menurut bahasa berasal dari kata al-‘Aqd, bentuk
masdar adalah kata ‘Aqada dan jamaknya adalah al-‘Uqud yang berarti perjanjian
(yang tercatat) atau kontrak.3 Akad atau perjanjian atau kesepakatan atau transaksi
dapat diartikan sebagai komitmen yang terbingkai dengan nilai-nilai syariah.

Akad merupakan perjanjian antara kedua belah pihak yang bertujuan untuk
saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal,
yang diwujudkan dalam ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) yang
menunjukkan adanya kerelaan secara timbal balik antara kedua belah pihak dan
harus sesuai dengan kehendak syariat. Ini berarti Hukum Perikatan Islam pada
prinsipnya juga menganut asas kebebasan berkontrak yang dituangkan
dalam antaradhin sebagaimana diatur dalam QS. An-Nissa ayat 29 dan Hadits
Nabi Muhammad SAW, yaitu suatu perikatan atau perjanjian akan sah dan

3
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997),953
mengikat para pihak apabila ada kesepakatan (antaradhin) yang terwujud dalam
dua pilar yaitu ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan).

Adanya suatu akad mengakibatkan para pihak terikat secara syariah berupa
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak sesuai dengan
prinsip syariah. Sahnya suatu akad menurut Hukum Islam ditentukan dengan
terpenuhinya rukun dan syarat suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus
dipenuhi dalam suatu hal, peristiwa dan tindakan, sedangkan syarat adalah unsur
yang harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa dan tindakan tersebut. Rukun akad
yang utama dan merupakan unsur penting dalam suatu akad/perjanjian adalah ijab
dan qabul. Unsur-unsur yang termasuk dalam rukun akad selain ijab qabul terdiri
dari :

1. Shighat al-aqad (pernyataan untuk mengikatkan diri), harus disampaikan


secara lisan/tertulis sehingga dapat menimbulkan akibat hukum.
2. Al-Ma’qud alaih/mahal a-aqad (objek akad), harus memenuhi persyaratan
berupa telah ada pada waktu akad diadakan, dibenarkan oleh syara’, dapat
ditentukan dan diketahui, serta dapat diserahkan pada waktu akad terjadi.
3. Al-Muta’aqidain/al-‘aqidain (pihak-pihak yang berakad), harus mempunyai
kecakapan melakukan tindakan hukum dalam pengertian telah dewasa dan
sehat akalnya, apabila melibatkan anak-anak maka harus diwakili oleh seorang
wali yang harus memenuhi persyaratan berupa kecakapan, persamaan agama
antara wali dengan yang diwakili, adil, amanah, dan mampu menjaga
kepentingan orang yang berada dalam perwaliannya.
4. Maudhu’ al-aqad (tujuan akad), harus ada pada saat akad akan diadakan,
dapat berlangsung hingga berakhirnya akad dan dibenarkan secara syariah,
dan apabila bertentangan akan berakibat pada ketidakabsahan dari perjanjian
yang dibuat.

B. HUBUNGAN PERJANJIAN DAN PERIKATAN PERSPEKTIF


POSITIF DAN SYARIAH
a) Hukum Perikatan dan Perjanjian dalam Islam
Berdasarkan KUH Perdata Pasal 1233 dinyatakan bahwa perikatan lahir
karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Dalam pasal ini terdapat
istilah perikatan dan juga istilah persetujuan/ perjanjian. Menurut Syamsul
Anwar, istilah perikatan dalam bahasa Belanda disebut sebagai verbintenis,
sedangkan persetujuan (yang juga diidentikan dengan perjanjian dan bahkan juga
dengan istilah kontrak) memiliki padanan kata dengan overeenkomst. 4
Dalam
hukum Islam kontemporer, perikatan (verbintenis) memiliki padanan kata dengan
“iltizâm”, sedangkan istilah perjanjian/ kontrak/ overeekomst memiliki padanan
kata dengan kata “`aqd” (akad).5

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan secara singkat bahwa padanan


kata yang digunakan untuk menjelaskan makna perikatan adalah iltizâm dan
verbintenis, sedangkan padanan kata untuk istilah persetujuan adalah perjanjian,
kontrak, contract, overeekomst, dan juga `aqd (akad). Dengan adanya Hubungan
yang diatur oleh hukum biasa disebut dengan perikatan yang lahir karena undang-
undang. Misalnya terikatnya orang tua untuk mendidik dan memelihara anak-
anaknya. Sementara itu, hubungan yang diakui oleh hukum biasa disebut dengan
perikatan karena perjanjian. Dikatakan demikian karena hubungan hukum itu
telah dibuat oleh para pihak. Perikatan itu bisa berlaku terhadap seseorang atau
dengan satu atau beberapa orang, yang dalam hal ini adalah para subjek hukum
atau para penyandang hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum.

Melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan memberikan sesuatu didalam


perikatan disebut dengan prestasi, atau objek dari perikatan. Subjek hukum dalam
melakukan perjanjian bebas menentukan isi dari perjanjian.

Konsep iltizâm/ perikatan dalam hukum Islam, menurut Syamsul Anwar


dapat diartikan sebagai: “Terisinya dzimmah seseorang atau suatu pihak dengan
suatu hak yang wajib ditunaikanya kepada orang lain atau pihak lain.”

Istilah dzimmah, digunakan oleh para fukaha ketika membahas tentang


hubungan perutangan antara dua pihak atau lebih. Secara bahasa arti dzimmah
adalah tanggungan, sedangkan secara istilah artinya adalah suatu wadah dalam

4
Syamsul Anwar, Hukum Perjanian Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm 42. 2
5
Ibid., hlm 47
diri seseorang yang menampung hak dan kewajiban. Maka bisa dikatakan jika
seseorang mempunyai hutang hak kepada orang lain, maka dzimmah orang
tersebut telah terisi.6

Jika dikaitkan dengan akad, maka hubungan antara iltizâm dan akad adalah
kaitan sebab akibat. Menurut Mustafa Zarqa, akad merupakan salah satu sumber
dari adanya perikatan.7 Hal ini juga sesuai dengan KUH Perdata Pasal 1233 yang
menyatakan bahwa perikatan lahir karena suatu persetujuan (perjanjian) atau
karena undang-undang.

Disisi lain akad memiliki artian yang lebih khusus daripada perikatan. Akad,
menurut Ibnu Mandzur dalam Lisân al-arab secara bahasa berarti ikatan, atau
lawan kata dari terurai/ terlepas.

Artinya: Dan dikatakan: Aku mengikat tali, maka tali itu terikat (ma’qûd),
begitu juga dengan ‘ahd (janji). Contohnya adalah akad nikah (`uqdatun-nikâh),
dan telah terikat ikatan tali itu dengan sebenar-benar ikatan.8

b) Hubungan perjanjian dan perikatan perspektif positif dan syariah

Dengan adanya Hubungan yang diatur oleh hukum biasa disebut dengan
perikatan yang lahir karena undang-undang. Misalnya terikatnya orang tua untuk
mendidik dan memelihara anak-anaknya. Sementara itu, hubungan yang diakui
oleh hukum biasa disebut dengan perikatan karena perjanjian. Dikatakan demikian
karena hubungan hukum itu telah dibuat oleh para pihak. perikatan itu bisa
berlaku terhadap seseorang atau dengan satu atau beberapa orang, yang dalam hal
ini adalah para subjek hukum atau para penyandang hak dan kewajiban yang
diberikan oleh hukum.

Melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan memberikan sesuatu didalam


perikatan disebut dengan prestasi, atau objek dari perikatan. Subjek hukum dalam
melakukan perjanjian bebas menentukan isi dari perjanjian.

1. Jenis-Jenis Perikatan
6
Syamsul Anwar, Hukum Perjanian… op cit., hlm 48.
7
Mustofa Ahmad az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-`Âm, Cetakan Kedua (Dar al-Qolam: Damaskus,
2004), hlm 399.
8
Ibnu Mandzur, Lisân al-Arab, Cetakan Ketiga, (Beirut: Dar ash-Shabir, 1414 H), III: 296
Secara garis besar, perikatan dalam Islam terbagi ke dalam empat macam, yaitu:

a. Perikatan hutang (al-iltizâm bi ad-dain) Perikatan hutang adalah perikatan


yang terjadi ketika seseorang memiliki dzimmah (tanggungan) terhadap
orang lain baik berupa uang atau barang. Dalam hal ini hutang dapat
berupa hutang dalam artian meminjam uang/ barang, hutang dalam artian
tanggungan, hutang yang disebabkan karena kehendak (wasiat, nadzar,
hibah), hutang karena perbuatan melawan hukum (misalnya tangung jawab
ganti rugi karena perusakan dan perampasan), dan juga hutang karena
kewajiban syariat (misalnya nafkah dan mahar)9.
b. Perikatan benda (al-iltizâm bi al-‘ain) Maksudnya adalah perikatan yang
terjadi dengan objek berupa benda untuk dipindah-milikan baik
manfaatnya maupun bendanya sendiri. Misalnya adalah akad jual beli
tanah atau sewa motor. Sumber-seumber dari perikatan ini adalah akad
(jual beli), kehendak sepihak (wasiat atas benda tertentu), PMH
(mengembalikan barang yang dirampas, akan tetapi jika barang tersebut
sudah hilang maka perikatan berubah menjadi perikatan hutang).10
c. Perikatan kerja/ melakukan sesuatu (al-iltizâm bi al-‘amal) Maksud dari
perikatan kerja adalah hubungan hukum antar dua pelaku akad untuk
melakukan sesuatu. Sumbernya adalah akad ishtishna’ dan ijarah. Istishna’
adalah perjanjian untuk membuat sesuatu, contohnya adalah meminta
tukang kayu untuk membuat almari. Sedangkan ijarah adalah sewa. Sewa
disini bisa berarti dua, yaitu sewa manfaat (sewa biasa), dan bisa juga
berarti perjanjian kerja (sewa kemampuan/ skill) yang dalam bahasa
arabnya disebut sebagai ijarah ‘amal (suatu akad yang objeknya adalah
melakukan suatu pekerjaan). Jenis inilah yang masuk ke dalam kategori al-
iltizâm bi al-‘amal.
d. Perikatan jaminan (al-iltizâm bi at-tautsîq) Maksud dari al-iltizâm bi at-
tautsîq adalah suatu perikatan yang objeknya menanggung suatu perikatan.
Misalnya, pihak A bersedia menanggung hutang yang dimiliki pihak B
kepada bank C. Sumber dari perikatan ini adalah akad kafalah.11
9
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian…op. cit., hlm 51-53.
10
Ibid., hlm 53-54.
11
0 Ibid., hlm 56-57
2. Jenis-Jenis Akad

Jenis akad dari segi bentuk formalitasnya Selain perikatan, akad juga
memiliki jenis-jenis yang berbeda tergantung dilihat dari sudut pandang yang
digunakan. Dari segi bentuknya formalitasnya, akad terbagi ke dalam tiga jenis,
yaitu akad ridhaiy, syakliy, dan `ainiy. 12

1) Akad ridhâiy (kesepakatan/ konsensual), yaitu akad yang terjadi


berdasarkan keridhaan (kesepakatan) antar dua pihak (ijab dan kabul). Ini
merupakan jenis akad yang paling umum ditemui. Contohnya seperti akad
jual beli, sewa, musyarakah, dll. Bahkan asas kesepakatan ini merupakan
kaidah dasar dari sebuah akad, sedangkan selain akad yang berbentuk
kesepakatan merupakan kaidah pengecualian.
2) Akad syakliy (formalitas), yaitu akad yang terbentuk tidak hanya dengan
ijab dan kabul, melainkan harus ada syakl (format/ bentuk) yang lain yang
ditentukan oleh undang-undang. Kebanyakan jenis akad ini adalah akad
yang mengharuskan perjanjian tertulis (hitam di atas putih). Pada awalnya
akad ini merupakan akad ridhaiy yang kemudian ditindaklanjuti dengan
adanya perjanjian tertulis guna mencegah sesuatu yang tidak diinginkan
tejadi di masa depan. Contoh dari akad ini adalah akad nikah, hibah dan
juga akad wakaf
3) Akad `ainiy (riil), yaitu akad yang terjadi hanya dengan penyerahan
barang, sehingga dalam hal ini ijab dan kabul saja tidak mencukupi
terbentuknya akad. Contoh dari akad ini adalah akad ‘ariyah (pinjaman
barang untuk digunakan dan barangnya akan berkurang), wadi’ah
(penitipan) dan rahn (gadai). Jika barang belum diserahkan, maka ijab dan
kabul tersebut baru bersifat janji dan belum menjadi akad.

3. Asas-Asas Akad dalam Islam

12
Abdur Razaq Ahmad as-Sanhuri, Nadzariyah al-`Aqd, Cetakan Kedua (Beirut-Lebanon:
Mansyurat al-Halabi al-Huquqiyah, 1998), I: 112-116. Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian… op. cit.,
hlm 72.
Sebagaimana asas-asas yang ada dalam hukum perikatan-perjanjiaan
konvensional,hukum Islam juga memiliki asas-asas tersendiri yang bersumber
dari al-Quran dan Sunah. Dalam hal ini, masing-masing sarjana hukum Islam
berbeda pendapat tentang berapa dan apa saja yang menjadi asas dari hukum
perikatan perjanjian (akad) dalam hukum Islam. Diantaranya

a. Asas ilahiyah
Asas ini menjadi dasar dari segala asas sebagai bentuk penyerahan diri
kepada sang penguasa. Sehingga pihak yang melakukan akad menyadari
bahwa setiap perbuatan yang dilakukan ketika berakad akan dimintai
pertanggungjawaban. Dalam asas ini juga memuat ketentuan bahwa segala
sesuatu yang ada di dunia ini semuanya adalah miliki Allah. Asas ini pada
dasarnya mengharuskan semua pihak yang berakad untuk melaksanakan
rukun, syarat, akibat hukum dan semua aturan yang berlaku dalam akad.
b. Asas ibahah (kebolehan)
Asas ini merupakan asas dasar dalam bidang mua’malah, yang dalam
bahasa Arab berbunyi: ‫ة اإل‬NN‫ا مل‬N‫ل فى المع‬N‫ ا باُحةُاااُل نُي ُدلُدليلُعلىُتحرُيمها ْال ص‬Artinya:
“Hukum asal dari semua bentuk muamalah adalah dibolehkan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya”Artinya hukum asal dari semua perbuatan
muamalat yang ada (apapun itu), merupakan hal yang dibolehkan dalam
Islam selama tidak ada ketentuan syariat yang dilanggar. Disisi lain, asas
yang digunakan dalam hal ibadah adalah suatu ibadah baru boleh
dilakukan ketika sudah ada dalil yang memerintah, jika tidak, maka ibadah
tersebut haram untuk dilakukan.
c. Asas kebebasan berakad (mabda’ hurriyah at-ta’âqud)
Maksud dari asas ini adalah setiap orang dapat membuat akad apapun
tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan oleh hukum Islam.
Contohnya adalah kebebasan dalam menentukan objek, persyaratan dalam
akad dan juga cara penyelesaian sengketa. Semua hal tersebut bebas
dilakukan selama tidak menyalahi syariat.
d. Asas Konsensualisme (mabda’ ar-radhâiyyah)
Asas ini menyatakan bahwa semua akad yang terjadi haruslah berdasar
keridhaan (tanpa paksaan) dari pihak yang melakukan akad.
e. Asas janji
Mengikat Dalam nash al-quran dan sunah terdapat banyat ayat dan matan
yang menjelaskan mengenai hal ini. Dalam kaidah ushul fikih, kalimat
perintah pada dasarnya menunjukan kepada kewajiban. Oleh karenanya,
menepati janji adalah kewajiban.
f. Asas keseimbangan (mabda’ at-tawâzun fi al-mu’âwadhah)
Asas ini pada dasarnya bisa memiliki tiga artian, yaitu keseimbangan
dalam hal kesederajatan antar pihak yang melakukan
kontrak,13keseimbangan antara apa yang diberikan dengan apa yang
diterima, atau bisa juga keseimbangan dalam hal memikul resiko. 14Dalam
hal keseimbangan antara apa yang diberikan dan diterima, terlihat dari
dapat dibatalkanya suatu akad jika terdapat ketidakseimbangan prestasi
yang mencolok. Selain itu, keseimbangan dalam hal resiko terlihat dari
haramnya akad berbau riba, dimana dalam akad ribawi, debitur yang
menanggung semua resiko.
g. Asas kemaslahatan
Maksud dari asas ini adalah akad dibuat untuk tujuan kemaslahatan dan
tidak boleh menimbulkan kerugian dan keadaan yang memberatkan.
Apabila dalam pelaksaan akad terjadi perubahan keadaan yang tidak dapat
diketahui sebelumnya dan membawa kerugian fatal bagi pihak yang
bersangkutan dan memberatkanya maka kewajibanya dapat diubah untuk
disesuaikan ke batas yang masuk akal15.
h. Asas Amanah
Asas amanah adalah asas kepercayaan dimana para pihak harus berittikad
baik dalam akad dan tidak dibenarkan mengekploitasi ketidaktahuan pihak
lain. Misalnya dalam penggunaan jasa dokter spesialis dimana pihak
pasien sangat awam terhadap apa yang dikerjakan oleh sang dokter.
Kejujuran dokter dalam memberikan diagnosis sangat dibutuhkan dalam
hal ini agar pasien tidak tertipu. Kaitanya dengan hal ini, jika sang dokter.
i. Asas Keadilan
13
Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, Cetakan Pertama (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), hlm 24
14
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian… op. cit., hlm 80.
15
Ibid., hlm 90.
Asas ini merupakan tujuan dari semua hukum, termasuk hukum Islam.
Asas ini berguna untuk menghindarkan salah satu pihak terzalimi oleh
pihak yang lain. Hal ini bisa terjadi misalnya dalam klausul yang ada
dalam kontrak baku yang dibuat oleh satu pihak tanpa negosiasi dari pihak
lain. Klausul ini kemudian bisa saja merugikan pihak yang menerima
kontrak baku tersebut. Dalam keadaan seperti ini Pengadilan Agama
berhak mengubah syarat baku tersebut demi keadilan jika memang ada
alasan yang sesuai.16

C. SYARAT SAH NYA PERJANJIAN MENURUT HUKUM POSITIF


DAN SYARIAH

Pada dasarnya, masing-masing dari empat unsur pembentuk akad di atas


memiliki ketentuan yang harus dipenuhi agar suatu akad dapat terbentuk, yang
dalam hukum Islam syarat-syarat ini disebut sebagai syurûth al-in’iqâd.
Masing masing syarat dari unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut.

a. Shigah (Ijab dan kabul)


Shighah akad artinya adalah sesuatu yang dilakukan oleh pelaku akad
yang menunjukan kehendak batin keduanya (atau lebih) untuk melakukan
akad. Cara menunjukan kehendak tersebut bisa dengan perkataan,
perbuatan, isyarat, tulisan, atau yang lainya yang menunjukan ijab dan
kabul. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 173 dan 174 dalam
Majalat al-Ahkam al-Adliyah17.
Penggunaan istilah “kehendak batin” dalam pengertian shighah
dikarenakan suatu kehendak merupakan perkara yang sifatnya batiniyah,
bukan zahir. Kehendak batin ini kemudian diartikulasikan dalam hal yang
bersifat zahir, baik perkataan, perbuatan, isyarat maupun lainya. Dalam
shighah terdapat syarat yang harus dilengkapi supaya ijab kabul tersebut
dapat menjadi shighah yang sesuai menurut akad:18

16
Ibid., hlm 92.
17
Wahbah Zuhaily, Mausû’ah… op. cit., X: 96-97
18
Ibid., X: 106-107. Mustafa Ahmad Zarqa, Madkhal… op. cit., hlm 405-408
1) Maksud yang jelas dalam sighah. Misalnya dalam perpindahan hak
benda yang ditukar dengan uang maka menggunakan istilah “bai`
(beli)”. Dalam lafadz yang mengandung kiasan (kinayah), maka
‫ ُد ُوالمعانىُالُألللفاظُ ُو‬N‫ العبرةُفيُالعقودُللمقاص‬adalah digunakan yang kaidah ‫اني‬NN‫)المب‬
ibrah akad didasarkan pada maksud dan makna akad, bukan pada
lafadz dan kalimat yang digunakan dalam akad). Misalnya
menggunakan lafadz “hibah” yang disertai harga ketika memberikan
barang kepada orang lain maka berarti akad jual beli.
2) Keterkaitan/ kesesuaian antara ijab dan kabul. Artinya jika ijab dari
penjual mengatakan “saya jual mobil ini dengan harga 100 juta” dan
kabul dari pembeli adalah “saya beli 90 juta” maka belum terjadi
akad.
3) Bersambungnya ijab dan kabul. Maksudnya adalah tidak ada
penundaan antara keduanya. Oleh karenanya dalam hal akad, janji
untuk membeli sesuatu, tidak berarti bahwa akad jual beli sudah
berlangsung. Salah satu contohnya dalam kasus ini adalah penggunaan
kata “akan” dalam akad, seperti “saya akan membeli…”. Sighah yang
seperti ini tidak memenuhi syarat.
b. Aqidain (dua pihak atau lebih)
Ijab dan kabul tidak akan terjadi tanpa adanya para pihak (lebih dari
satu) yang melakukan akad. Para pihak yang melakuka akad ini bisa
pelaku asli maupun pengganti. Dalam Madzhab Malikiyah dan Hanafiyah,
para pihak ini harus memiliki syarat kecakapan (Arab: ahliyah), yaitu
berakal atau mumayiz (umur 7 tahun). Dalam umur ini, pihak yang
berakad sudah mulai diperbolehkan untuk melakukan akad dalam
beberapa hal saja dan harus dengan seizin walinya. 19 Selain itu pihak yang
berakad harus berbilang (lebih dari satu).20
c. Objek akad (ma’qûd al-‘aqd)
Objek dalam akad (ma’qûd ‘alaih) dapat berupa barang yang sifatnya
harta seperti dalam akad jual beli, bisa bersifat sesuatu yang bukan harta,
seperti perempuan dalam akad nikah, bisa juga bersifat manfaat, seperti
19
Wahbah Zuhaily, Mausû’ah… op. cit., X: 119.
20
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian… op. cit., hlm 98
dalam akad sewa. Tidak semua objek diperbolehkan dalam Islam, oleh
karenanya agar akad dapat terbentuk, ada syarat-syarat tertentu yang harus
dipenuhi dari segi objeknya, yaitu:21
1) Objeknya ada ketika akad berlangsung. Meskipun begitu, para ulama
memiliki pengecualian dalam syarat ini, yaitu barang boleh belum ada
ketika akad dalam akad salam, ijarah, musâqah, dan ishtishnâ’, dengan
dalih istihsan karena kebutuhan manusia dan dibolehkanya akad-akad
tersebut secara syariat.
2) Objek merupakan sesuatu yang diperbolehkan oleh syariat. Hal ini
merupakan kesepakatan para ulama. Termasuk didalamnya adalah
objek harus memiliki nilai dan dimiliki.
3) Objek dapat diserahkan. Meskipun objek dimiliki, akan tetapi jika
tidak adapat diserahkan, maka akad tersebut menjadi batal.
4) Objek akad tertentu dan diketahui oleh pihak yang berakad. Hal ini
disyaratkan sebagai langkah preventif supaya tidak terjadi perselisihan.
Oleh karenanya Islam melarang jual beli yang terdapat unsur gharar
(penjualan yang tidak jelas sifatnya) dan jual beli majhul.
d. Tujuan akad (maudhu’ al-‘aqd)
Yang dimaksud sebagai tujuan akad disini adalah, tujuan asli
terjadinya sebuah akad. Syarat dari unsur ini hanyalah satu, yaitu tujuan
akad tidak boleh bertentangan dengan syariat, semisal bai’ ‘inah (jual beli
dengan tujuan mendapatkan keuntungan secara riba), jual beli anggur
untuk dijadikan minuman keras, dan juga jual beli senjata untuk
memberontak.
Dari semua syarat-syarat terbentuknya akad yang harus dipenuhi agar
sebuah akad dapat terbentuk, jika dikumpulkan menjadi satu maka
semuanya adalah:
a) Maksud yang jelas dalam sighah
b) Keterkaitan/ kesesuaian antara ijab dan kabul.
c) Bersambungnya ijab dan kabul
d) Berakal atau mumayiz (7 tahun)

21
Wahbah Zuhaily, Mausû’ah… op. cit., X: 169-178.
e) Pihak yang berakad harus berbilan
f) Objeknya ada ketika akad berlangsung
g) Objek merupakan sesuatu yang diperbolehkan oleh syariat
h) Objek dapat diserahkan
i) Objek akad tertentu atau dapat ditentukan, dan diketahui oleh
pihak yang berakad
j) Tujuan akad tidak boleh bertentangan dengan syariat

 Syarat sahnya persetujuan/ perjanjian (akad) dalam KUH Perdata Pasal


1320.
1. Kata Sepakat
Kata sepakat didalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan
atau persesuaian kehendak antara para pihak didalam perjanjian.
Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya
(Toestemming) jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (Offerte).
Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi
(acceptatie).
2. Untuk Mengadakan Perikatan
Syarat sahnya perjanjian yang kedua menurut Pasal 1320
KUHPerdata adalah kecakapan untuk membuat perikatan (om eene
verbintenis aan te gaan).
Pasal 1329 KUHperdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap.
Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang tidak
cakap untuk membuat perjanjian.
3. Suatu Hal Tertentu
Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal
tertentu (een bepaald onderwerp). Pasal 1333 KUHPerdata
menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu
benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.
Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu. Suatu perjanjian
haruslah mengenai suatu hal tertentu (centainty of terms), berarti
bahwa apa yang diperjanjiakan, yakni hak dan kewajiban kedua belah
pihak.
4. Kausa Hukum yang Halal
Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum
yang halal. Kata kausa yang diterjemahkan dari kata oorzaak (Belanda)
atau causa (Latin) bukan berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang
membuat perjanjian, tetapi mengacu kepada isi dan tujuan perjanjian
itu sendiri.

 Syarat Berlakunya Akibat Hukum Akad (Syurût an-Nafâdz)


Meskipun rukun, syarat terbentuknya akad dan syarat kebasahan akad
sudah terpenuhi, akibat hukum dari suatu akad belum tentu bisa dilakukan.
Hal ini karena sebuah akad harus memenuhi syarat berlakunya akibat
hukum agar sebuah akad tidak menggantung (mauquf). Syarat berlakunya
akibat hukum ada dua, yaitu a) adanya kewenangan sempurna atas akad,
dan b) adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan22.
Kewenangan atas objek akad dapat terpenuhi dengan adanya
kepemilikan penuh atau mendapat kuasa dari pemilik atas objek akad, dan
juga objek tersebut tidak tersangkut dengan hak orang lain. Dalam kasus
ini akad fudhuli (pelaku tanpa kewenangan), seperti menjual barang tanpa
izin pemilik asli merupakan akad yang sah akan tetapi mauquf
(menggantung) terhadap izin dari pemilik objek.23
Syarat kedua, kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan, dapat
terpenuhi jika para pihak telah mencapai kecakapan untuk melakukan
tindakan hukum. Dalam hukum Islam terdapat akad yang hanya memiliki
kecakapan hukum minimal (tamyiz) dimana jika para pihak sudah
mumayiz maka akad ini menjadi sah dan memiliki akibat hukum.
Contohnya adalah menerima hibah dan wasiat. Dalam hal akad timbal
balik pihak mumayiz harus mendapatkan izin walinya. Selain itu, ada juga
akad yang mengharuskan para pihak mempunyai kecakapan hukum

22
Ibid., hlm 102.
23
Ibid., hlm 102.
maksimal, yaitu kedewasaan (rusyd), sehingga jika tidak terpenuhi hal ini,
maka akad dianggap tidak sah24

D. HAPUSNYA PERJANJIAN MENURUT HUKUM POSITIF DAN


SYARIAH

Berakhirnya Perjanjian (Akad) Menurut Hukum Islam Menurut hukum


Islam, akad berakhir karena sebab-sebab terpenuhinya akad (tahqiq gharadh
al-‘aqd), pemutusan akad (fasakh), kematian, dan tidak memperoleh izin dari
pihak yang memiliki kewenangan dalam akad mauquf. 25
Berikut penjelasan
masingmasing yang dimaksud:

a. Berakhirnya Akad Karena Terpenuhinya Tujuan Akad


Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuan 26. Selain
itu, sebuah perjanjian telah ditentukan saat kapan suatu perjanjian akan
berakhir, sehingga dengan lampaunya waktu maka secara otomatis
perjanjian akan berakhir.27 Lazimnya suatu perjanjian selalu didasarkan
kepada jangka waktu tertentu (mempunyai jangka waktu yang terbatas),
maka apabila telah sampai pada waktu yang telah diperjanjikan, secara
otomatis (langsung tanpa ada perbuatan hukum lain) batallah perjanjian
yang telah diadakan para pihak.28 Seperti dalam akad sewa menyewa
berjangka waktu tertentu.
b. Berakhirnya Akad Karena Terminasi (Pemutusan Akad)
Terminasi dalam kamus ilmiah kontemporer diartikan dengan
pembatasan, pengakhiran29. Burhani MS, Referensi Ilmiah-Politik Kamus
Ilmiah Poupuler Edisi Millenium (Jombang: Lintas Media), hlm. 649.
Yang dimaksud dengan pemutusan akad (terminasi akad) adalah tindakan
24
Ibid., hlm 103.
25
Muhammad Ardi, Asas-Asas Perjanjian Syariah (Akad), Jurnal Hukum Diktum, Vol. 14: 2
(Desember 2016), hlm. 279.
26
Lestari, Ahdiana Yuni dan Endang Heriyani, Dasar-Dasar Pembuatan Kontrak Dan Aqad,
(Yogyakarta: MocoMedia, 2009), hlm. 14
27
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indoensia (Konsep, Regulasi, dan
Implementasi) (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2010), hlm
28
6Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), hlm. 4
29
Burhani MS, Referensi Ilmiah-Politik Kamus Ilmiah Poupuler Edisi Millenium (Jombang: Lintas
Media), hlm. 649.
mengakhiri perjanjian yang telah tercipta sebelum dilaksanakan atau
sebelum selesai pelaksanaannya. Terminasi akad disini dibedakan dengan
berakhirnya akad dimana berakhirnya akad karena para pihak telah
memenuhi segala perikatan yang timbul dari akad tersebut sehingga telah
mewujudkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak.30 Sedangkan
teminasi akad adalah berakhirnya akad karena di-fasakh (diputus) oleh
para pihak dalam arti akad tidak dilaksanakan karena suatu hal.31
Menurut hukum Islam, akad berakhir karena sebab-sebab terpenuhinya
akad (tahqiqgharadh al-‘aqd), pemutusan akad (fasakh), kematian, dan
tidak memperoleh izin dari pihakyang memiliki kewenangan dalam akad
mauquf. Berikut penjelasan masing- masing yang dimaksud:
a) Terminasi akad berdasarkan kesepakatan bersama (al-iqalah) Suatu akad,
apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya sesuai dengan
ketentuan hukum, maka akad tersebut menjadi mengikat. Ikatan akad
tersebut menunjukkan arti bahwa akad tersebut tidak dapat diubah atau
bahkan diputus oleh para pihak yang telah menyetujuinya secara sepihak
berdasarkan kehendak sepihak. Akan tetapi, bila akad itu terbentuk
berdasarkan kehendak kedua belah pihak yang tercermin dalam ijab dan
kabul, maka pemutusan akad dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan
para pihak, yang dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-iqalah.
Iqalah menurut bahasa adalah membebaskan, sedangkan terminasi
akad dengan kesepakatan (al-iqalah) adalah tindakan para pihak
berdasarkan kesepakatan bersama untuk mengakhiri suatu akad yang telah
mereka tutup dan menghapus akibat hukum yang timbul, sehingga status
para pihak kembali seperti sebelum terjadinya akad yang diputuskan
tersebut. Dengan kata lain, teminasi akad dengan kesepakatan adalah
kesepakatan bersama para pihak untuk menghapus akad dengan segala
akibat hukumnya, sehingga seperti tidak pernah terjadi akad. Dengan
demikian, akibat hukum dari iqalah tidaknya berlaku sejak dilakukannya
pemutusan akad, tetapi juga saat dibuatnya akad. Dengan kata lain iqalah
30
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Yogyakarta: Bag Penerbit Fak Hukum UII,
2000), hlm. 166.
31
Ruslan Abdul Ghofur, Akibat Hukum Dan Terminasi Akad Dalam Fiqh Muamalah, Jurnal: Asas,
Vol. 2, No. 2 ( Juli 2010), hlm. 12.
mempunyai akibat hukum berlaku surut.32Agar pemutusan akad sah harus
dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a. Iqalah terjadi atas akad yang termasuk jenis akad yang dapat
difasakh.
b. Adanya persetujuan (kesepakatan) kedua belah pihak.
c. Bahwa objek masih utuh dan ada ditangan salah satu pihak, yang
berarti bila objek telah musnah, iqalah tidak dapat dilakukan terhadap
bagian yang masih utuh dengan memperhitungkan harga secara
proporsional.
d. Tidak boleh menambah harga dari harga pokok, karena iqalah adalah
suatu pembatalan; nmaun biaya pembatalan dibebankan kepada yang
meminta pembatalan.
b) Terminasi akad melalui urbun
Secara bahasa, urban dalam bahasa Arab berarti meminjamkan dan
memajukan. Boleh jadi pula suatu akad disertai semacam tindakan hukum
para pihak yang memberikan kemungkinan kepada maisng-masing untuk
memutuskan akad akad bersangkutan secara sepihak dengan memikul
suatu kerugian tertentu.
dalam pembayaran apa yang di dalam hukum Islam dinamakan urbun
(semacam uang panjar). Dikalangan ahli-ahli hukum Islam pra modern,
urbun menjadi suatu hal yang diperdebatkan apakah sah atau bertentangan
dengan hukum Islam. Ahli-ahli hukum Islam kontemporer yang
berpendapat bahwa urbun tersebut sah dengan alasan:33
a. Pembayaran urbun dianggap sebagai bukti akad telah berakhir
dimana tidak boleh ditarik kembali kecuali apabila dientukan lain
dalam persetujuan atau menurut kebiasaan.
b. Apabila kedua belah pihak sepakat bahwa pembayaran urbun adalah
sebagai sanksi pemutusan akad, maka masing-masing pihak
mempunyai hak menarik kembali akad, apabila yang memutuskan
akad adalah piha yang membayar urbun, ia kehilangan urbun tersebut

32
Ibid
33
Sofyan Hasan, Hukum Islam: Bekal Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia
(Jakarta: Literata Lintas Media, 2004), hlm. 179.
dan apabila yang memutuskan akad adalah pihak yang menerima
urbun, ia mengembalikan urbun ditambah sebesar jumlah yang sama.

Ketentuan ini memperlihatkan adanya dua tujuan urbun. Pertama,


urbun yang dimaksudkan sebagai bukti untuk memperkuat akad, dimana
akad tidak boleh diputuskan secara sepihak oleh salah satu pihak selama
tidak ada persetujuan atau adat kebiasaan yang menentukan lai. Dengan
demikian, urbun merupakan bagian dari pelaksanaan perikatan salah satu
pihak, dan merupakan bagian pembayaran yang dipercepat.

Kedua, urbun juga dimaksudkan sebagai pemberian hak kepada


masingmasing pihak untuk memutuskan akad secara sepihak dalam
jangka waktu yang ditentukan dalam adat kebiasaan memutuskan akad
adalah pihak pembayar urbun, maka ia kehilangan urbun tersebut
(sebagai kompensasi pembatalan akad) yang dalam waktu yang sama
menjadi hak penerima urbun. Sebaliknya, apabila pihak yang
memutuskan akad adalah pihak penerima urbun, maka ia wajib
mengembalikan urbun yang telah dibayar mitranya, di samping tambahan
sebesar jumlah urbun tersebut sebaai kompensasi kepada mitranya atas
tindakannya membatalkan akad.

c) Terminasi Akad Karena Tidak Dilaksanakan Pada asasnya


permintaan teminasi akad (fasakh) dari salah satu piha karena pihak
lain tidak melaksanakan prsetasinya sangat dibatasi dalam hukum Islam.
Asasnya dalam fikih pra modern adalah bahwa dalam akad muawadah
(atas beban) yang bersifat lazim dan tidak mengandung khiyar (opsi)
apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perikatannya, pihak lain
dalam rangka membebsakan dirinya dari kewajibannya yang tidak dapat
meminta fasakh atas dasar pihak mitra tersebut cidera janji, namun
akadnya tetap berlangsung. Apa yang dapat ia lakukan adalah menuntut
mitra (ganti rugi) sesuai dengan keadaan, dan dasar penuntutan tersebut
adalah akad itu sendiri. Sebagaiman contoh dapat dikemukakan beberapa
jenis akad.
Pertama, akad jual beli. Apabila pembeli tidak membayar harga
secara tunai atau pada waktu jatuh tempo bila akadnya dengan
pembayaran dibelakang, akad jual beli tidak dibatalkan dan pembeli
dipaksa agar membayar harga, apabila pembeli menolak untuk membayar,
pembayaran dilaksanakan terhadap kekayaannnya sebesar harga yang
dituntut. Namun demikian, dikecualikan apabila ada pembatalan melalui
khiyar pembayaran (khiyar an-naqd), akad dapat dibatalkan dalam hal
salah satu pihak tidak melaksanakan perikatan.
kedua, akad gadai (ar-rahn). Apabila seorang pemilik barang yang
menggadaikan barang tersebut melakukan cidera janji dengan cara
menjual barang gadai (marhun) tesebut kepada pihak ketiga tanpa izin
penerima gadai (murtahin), maka akad gadai tidak di fasakh, dan akad
yang ditutup penggadai dengan pihak ketiga itu tidak berlaku akibat
hukumnya sampai ada ratifikasi dari penerima gadai. Sebaliknya apabila
penerima gadai cidera janji dengan menjual barang gadai ke pihak ketiga
tanpa izin penggadai yang menjadi pemilik barang gadai, akad jual beli
dengan pihak ketiga tidak berlaku akibat hukumnya dan akad gadai
pertama tetap berlangsung dengan tidak difasakh.
Ketiga, akad perdamaian. Apabila salah satu pihak dalam akad
perdamaian tidak melaksanakan perikatannya sesuai dengan yang
diperjanjikan dalam akad, maka pihak lainnya tidak dapat meminta fasakh
terhadap akad tersebut, melainkan menuntut agar debitur melaksanakan
perikatannya. Dari ketentuan tersebut telihat bahwa hukum Islam
setidaknya dalam ajaran pra modern mempersempit kemungkinan salah
satu pihak untuk memfasakh akad bila pihak lain tidak melaksanakan.
Akadnya tetap berlangsung dan pihak lain tidak melaksanakan. Akadnya
tetap belangsung dan pihak bersangkutan terus menuntut pelasaksanaan
akad kepada mitra janjinya, dan bila mitra janji itu menolak, maka akad
dilaksanakan secara pasa terhadap kekayaannya (melalui pengadilan).
Akan tetapi, hal ini dengan ketentuan pihak yang menuntut pelaksanaan
akad tersebut menunjukkan ketersediannya untuk melaksanakan akad itu
di pihaknya. Ini artinya dalam hukum Islam, dari sudut pandang ini, tidak
ada kaitan timbal balik antara perikatan yang satu dengan perikatan yang
lain, sehingga apabial piha yang satu tidak melaksanakan perikatannya,
pihak lain tidak dapat menuntut fasakh. Meskipun dalam fikih pra modern
kemungkinan fasakh amat sempit dalam hal salah satu pihak tidak
melaksanakan akadnya, namun ada perkembangan upaya ahli-ahli hukum
Islam klasik tersebut.3421
d) Terminasi Akad karena mustahil dilaksanakan
Apabila tidak dilaksanakannya perikatan oleh salah satu pihak
disebabkan oleh alasan eksternal, maka dengan sendirinya akad batal
tanpa adanya putusan hakim karena akad mustahil untuk dilaksanakannya.
Sebagai contoh akad jual beli, apabila barang musnah ditangan penjual
sesudah akad sebelum diserahkan kepada pembeli, maka akad putus
dengan sendirinya. Apabila telah terlanjur meminta harga pembelian dari
pembeli, maka ia wajib mengembalikan harga tersebut kepada pembeli,
maka akad putus dengan sendirinya karena objeknya tidak ada obyeknya
tidak ada dan pembeli meminta kembali harga kepada penjual apabila
telah terlanjur diserahkan.
Dalam hal ini baik kemusnahan itu karena kesalahan penjual sendiri
maupun karena bencana yang diluar perkiraan dan kemampuan para pihak
untuk mengatasinya. Apabila kemusnahan barang oleh pihak ketiga yang
tidak terkait dengan para pihak, maka pembeli mempunyai opsi (khiyar)
untuk memilih antara mem-fasakh akad sambil menagih pengembalian
uang harga kepada penjual bila terlanjur dibayar dan penjual menagih
penggantian kepada pihak ketiga penyebab musnahnya barang di satu
pihak atau meneruskan akad jual beli dan membiarkan uang harga pada
penjual tetapi pembeli menagih penggantian kepada pihak ketiga yang
menyebabkan kemusnahan barang.
Apabila akad merupakan akad yang mengikat satu pihak, seperti
hibah, dan debitur, mustahil melaksanakan perikatannya, karena misalnya
barang yang hendak dihibahkan musnah oleh salah suatu bencana
(keadaan memaksa) sebelum diserahkan kepada penerima hibah
34
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: Raja Grafindo
Persada:2004), hlm. 117.
(kreditor), maka hapuslah perikatan debitor karena akad tidak lagi
memiliki objeknya sehingga tidak dapat dilaksanakan. Akibat hukum dari
putusnya akad sebab luar, seperti keadaan memaksa (keadaan darurat
karena adanya bencana alam), atau pihak ketiga yang tidak terkait dengan
para pihak, maka para pihak dikembalikan kepada keadaan sedia kala,
yaitu seolah-olah tidak pernah terjadi akad. Bila penjual ternyata barang
dijual dan belum diserahkan kepada pembeli musnah itu telah terlanjur
menerima harga pembelian dari pembeli, maka ia wajib mengembalikan
harga tersebut kepada pembeli.

 Berakhirnya perjanjian (akad) menurut hukum islam


Akad berakhir karena sebab-sebab terpenuhinya akad (tahqiqgharadh
al-‘aqd), pemutusan akad (fasakh), kematian, dan tidak memperoleh izin
dari pihakyang memiliki kewenangan dalam akad mauquf. Berikut
penjelasan masing- masing yangdimaksud:
1) Berakhirnya Akad Karena Terpenuhinya Tujuan Akad Suatu akad
dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuan. Selain itu,
sebuahperjanjian telah ditentukan saat kapan suatu
perjanjian akan berakhir, sehingga denganlampau nya waktu
maka secara otomatis perjanjian akan berakhir. Lazimnya suatu
perjanjianselalu didasarkan kepada jangka waktu tertentu
(mempunyai jangka waktu yang terbatas),maka apabila telah
sampai pada waktu yang telah diperjanjikan, secara otomatis
(langsungtanpa ada perbuatan hukum lain) batallah perjanjian
yang telah diadakan para pihak. Sepertidalam akad sewa menyewa
berjangka waktu tertentu.
2) Berakhirnya Akad Karena Terminasi (Pemutusan Akad)Terminasi
dalam kamus ilmiah kontemporer diartikan dengan
pembatasan,pengakhiran. Yang dimaksud dengan pemutusan
akad (terminasi akad) adalah tindakanmengakhiri perjanjian
yang telah tercipta sebelum dilaksanakan atau sebelum
selesaipelaksanaannya. Terminasi akad disini dibedakan
dengan berakhirnya akad dimanaberakhirnya akad karena para
pihak telah memenuhi segala perikatan yang timbul dari
akadtersebut sehingga telah mewujudkan tujuan yang
hendak dicapai oleh para pihak.sedangkan teminasi akad
adalah berakhirnya akad karena di-fasakh (diputus) olehpara
pihak dalam arti akad tidak dilaksanakan karena suatu hal.
3) Bahwa objek masih utuh dan ada ditangan salah satu pihak, yang
berarti bila objek telahmusnah, iqalah tidak dapat dilakukan
terhadap bagian yang masih utuh denganmemperhitungkan
harga secara proporsional.
4) Tidak boleh menambah harga dari harga pokok,
karena iqalah adalah suatupembatalan; namun biaya
pembatalan dibebankan kepada yang meminta pembatalan.

IV. KESIMPULAN

Hukum sebagai padanan kata dari istilah Jerman Recht, istilah Perancis
Droit, dan istilah Italia Diritto diartikan sebagai tata perilaku yang mengatur
manusia, dan merupakan tatanan pemaksa. Ini berarti bahwa semua tatanan itu
bereaksi terhadap kejadian-kejadian tertentu, yang dianggap sebagai sesuatu
yang tidak dikehendaki karena merugikan masyarakat. Reaksi tersebut
terutama ditujukan terhadap perilaku manusia yang merugikan ini, dengan
menggunakan tindakan paksa.

Berdasarkan KUH Perdata Pasal 1233 dinyatakan bahwa perikatan lahir


karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Dalam pasal ini terdapat
istilah perikatan dan juga istilah persetujuan/ perjanjian.

Dengan adanya Hubungan yang diatur oleh hukum biasa disebut


dengan perikatan yang lahir karena undang-undang. Misalnya terikatnya
orang tua untuk mendidik dan memelihara anak-anaknya. Sementara itu,
hubungan yang diakui oleh hukum biasa disebut dengan perikatan karena
perjanjian.
V. DAFTAR PUSTAKA

- Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni 1980),


93.
- A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),953
- Abdur Razaq Ahmad as-Sanhuri, Nadzariyah al-`Aqd, Cetakan Kedua
(Beirut-Lebanon: Mansyurat al-Halabi al-Huquqiyah, 1998), I: 112-116.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian… op. cit., hlm 72.
- Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indoensia (Konsep,
Regulasi, dan Implementasi) (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2010), hlm
- Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta:
Raja Grafindo Persada:2004), hlm. 117.
- Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Yogyakarta: Bag
Penerbit Fak Hukum UII, 2000), hlm. 166.
- Burhani MS, Referensi Ilmiah-Politik Kamus Ilmiah Poupuler Edisi
Millenium (Jombang: Lintas Media), hlm. 649.
- Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam
Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 4
- Hasby Ash-Shiddiqie, Filsafat Hukum Islam, Jilid II, (Jakarta:
BulanBintang, 1957),hlm. 44
- Ibnu Mandzur, Lisân al-Arab, Cetakan Ketiga, (Beirut: Dar ash-Shabir,
1414 H), III: 296
- Lestari, Ahdiana Yuni dan Endang Heriyani, Dasar-Dasar Pembuatan
Kontrak Dan Aqad, (Yogyakarta: MocoMedia, 2009), hlm. 14
- Linquat Ali Khan Niazi, Islamic Law of Contract, (Lahore: Research Cell,
Dyal Sing Trust Library, tt), hlm 9
- Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, Cetakan Pertama
(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm 24
- Muhammad Ardi, Asas-Asas Perjanjian Syariah (Akad), Jurnal Hukum
Diktum, Vol. 14: 2 (Desember 2016), hlm. 279.
- Mustofa Ahmad az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-`Âm, Cetakan Kedua
(Dar al-Qolam: Damaskus, 2004), hlm 399.
- Ruslan Abdul Ghofur, Akibat Hukum Dan Terminasi Akad Dalam Fiqh
Muamalah, Jurnal: Asas, Vol. 2, No. 2 ( Juli 2010), hlm. 12.
- Sofyan Hasan, Hukum Islam: Bekal Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Literata Lintas Media, 2004), hlm.
179.
- Syamsul Anwar, Hukum Perjanian Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2007), hlm 42. 2

Anda mungkin juga menyukai