Civil law
Pokok Bahasan
Konsep dan Norma Perikatan yang Lahir dari Perjanjian/Kontrak
Edisi 2021
Disusun Oleh :
Dr. Saharuddin Daming, S.H., M.H.
Editor :
A. teori dan kaidah Hukum Perikatan
Perikatan ditinjau dari perkembangan hukumnya bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu hukum adat, hukum
barat, dan hukum Islam. Masing-masing hukum memiliki ketentuan tersendiri, walaupun tak luput dari
adanya persamaan dalam beberapa pokoknya. Perjanjian dalam hukum adat merujuk kepada sistem
perjanjian yang dilakukan oleh kelompok masyarakat adat tertentu, sedangkan perjanjian dalam
hukum barat merujuk kepada hukum eropa. Kedua sistem hukum tersebut ada diakui dalam Islam jika
tidak bertentangan prinsip-prinsip perjanjian dalam Islam.
Di Indonesia terdapat hukum adat dan hukum warisan Belanda dalam buku undang-undang hukum
perdata yang dikenal dengan burgerlijk wetboek yang sampai saat ini masih dijadikan rujukan oleh para
penegak hukum. Namun setelah muncul tren syari'ah atau bisa dikatakan bahwa hukum Islam
mengalami perkembangan di dunia modern, muncullah sekarang yang namanya hukum perjanjian atau
kontrak syariah.
Hukum perjanjian atau hukum kontrak yang berlaku saat ini adalah warisan Belanda sehingga ada
kemungkinan mengalami perubahan ketika masyarakat membutuhkan hukum lain yang dirasa sesuai
dengan kebutuhan pada suatu masa tertentu, terutama karena munculnya berbagai kontrak yang
menggunakan istilah- istilah dan sistem syari'ah. Untuk lebih jelasnya di sini akan dijelaskan tentang
apa itu perikatan dari sudut pandang BW dan hukum Islam.
Dalam bahasa Belanda perikatan disebut verbintenis sedang penjanjian disebut overeenkomst
sebagaimana istilah tersebut umum dipakai oleh para ahli hukum. Istilah perikatan juga memiliki
kesamaan kata dalam bahasa arab, yaitu iltizam atau 'aqdun. Adapun dalam bahasa Inggris perikatan
mempunyai keterkaitan makna dengan kata- kata seperti contract, engagement, obligation, dan duty.
Sehingga dapat dimaknai bahwa perikatan itu berhubungan erat dengan perjanjian, tanggungjawab,
kewajiban, dan amanah. Perikatan dalam hubungannya dengan kata-kata terkait di atas dapat
didefinisikan bahwa perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak di
mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, sedang pihak yang lain tersebut
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Adapun definisi yang lazim dipakai untuk perikatan
adalah bahwa perikatan
merupakan hubungan hukum yang menyangkut harta kekayaan antara dua pihak berdasarkan mana
salah satu pihak dapat menuntut pihak lain untuk memberikan, melakukan, atau tidak melakukan
sesuatu.
Perikatan disebut juga dengan akad yang merupakan janji setia kepada Allah di mana janji itu dibuat
oleh manusia dengan sesama manusia dalam pergaulan sehari- hari sebagai makhluk sosial. Perjanjian
ini kemudian memunculkan hak dan kewajiban yang harus dilakukan dan dipenuhi oleh masing-masing
pihak yang bersepakat. Misalnya seorang penjual mobil bersepakat dengan pembeli untuk menjual
barangnya dengan harga 200 juta, maka sang penjual wajib menyerahkan mobilnya dan berhak atas
uang 200 juta rupiah dari sang pembeli tadi, begitu juga sebaliknya sang pembeli wajib menyerahkan
uangnya untuk mendapatkan hak atas mobil yang dimaksud untuk dimilikinya.
Akad atau transaksi sendiri merupakan suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang
dibenarkan oleh syara' yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Maksudnya
adalah bahwa akad terjadi pada saat adanya pernyataan dari pihak pertama mengenai apa yang
diinginkannya dan adanya pernyataan pihak kedua mengenai penerimaan terhadap apa yang
diinginkan oleh pihak pertama. Kondisi inilah yang disebut dengan transaksi.
Istilah akad ini kemudian mengalamai pembaruan dengan adanya istilah iltizam (perikatan) yang dalam
hukum Islam diartikan terisinya dzimmah seseorang atau suatu pihak dengan suatu hak yang wajib
ditunaikan kepada orang atau pihak lain.
Hukum perikatan semacam ini muncul untuk memberikan perlindungan terhadap manusia karena
manusia adalah makhluk yang lemah yang mempunyai potensi untuk saling menguasai atau
melampaui batas-batas hak orang lain. Deng bertindak semena-mena terhadap hak orang lain sebab
ada bukti perjanjian atau kesepakatan baik itu tertulis maupun lisan yang disaksikan oleh pihak ketiga
seperti yang dianjurkan dalam alQur'an bahwa apabila bertransaksi maka hendaklah ditulis.10 Hal ini
senada dengan pendapat bahwa apabila seseorang telah mengikatkan diri dengan orang lain melalui
sebuah perjanjian atau perikatan maka para pihak bertanggungjawab terhadap apa yang telah
dibuatnya baik itu sifatnya untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu karena mereka
sudah terikat satu sama lain. Ini disebabkan janji mengikat hanya bagi para pihak yang terlibat.an
adanya hukum perikatan ini maka manusia akan dapat menghargai hak orang lain dan
Perjanjian sebagai bentuk umum dari kontrak adalah “suatu peristiwa hukum dimana
seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana masing-masing pihak itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal”. 3 Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu
perikatan antara masing-masing pihak yang membuatnya.
Berdasarkan rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang
hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family
law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi (pers
onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu
hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo
memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan
antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.
Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang
sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan
tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan
bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah perjanjian agar
memotong rambut tidak sampai botak.
3 Pusat Bahasa Depatemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Balai Pustaka Jakarta.
mengingkari substansi kesepakatan yang mereka buat. hal ini berbeda sekali pada perjanjian
yang dibua secara lisan, dimana para pihak dapat dengan mudah mengingkari kesepakatan
yang dicapai karena tidak ada kepastian secara tertulis.
Adapun pengertian perjanjian atau kontrak diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata,
dimana yang dimaksud dengan perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu pihak
atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Definisi perjanjian yang terdapat
dalam ketentuan tersebut tidak lengkap, dan terlalu luas. tidak lengkap karena hanya
merumuskan mengenai perjanjian sepihak saja.
Menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah Perbuatan hukum
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Menurut teori baru yang
dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah suatu hubungan
hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum.
Asas Kontrak sebagai Hukum Mengatur biasa disebut aanvullen recht adalah peraturan-
peraturan hukum hukum yang berlaku bagi subjek hukum, misalnya para pihak dalam suatu
kontrak. Akan tetapi, ketentuan hukum seperti ini tidak mutlak berlakunya, karena jika para pihak
mengatur sebaliknya, maka yang berlaku adalah apa yang diatur oleh para pihak tersebut. Jadi,
peraturan yang bersifat umum mengatur dapat disimpangi oleh para pihak. Pada prinsipnya
hukum kontrak termasuk kategori hukum mengatur, yakni sebagian besar (meskipun tidak
menyeluruh) dari hukum kontrak tersebut dapat disimpangi oleh para pihak dengan mengaturnya
sendiri. Oleh karena itu, hukum kontrak ini disebut hukukm yang mempunyai sistem terbuka (open
system). Sebagai lawan dari hukum mengatur adalah hukum yang memaksa (dwingend recht,
mandatory). Dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum memaksa adalah aturan hukum yang
berlaku secara memaksa atau mutlak, dalam arti tidak dapat disimpangi oleh para pihak yang
terlibat dalam suatu perbuatan hukum, termasuk oleh para pihak dalam suatu kontrak.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat di pahami bahwa Menurut kekuatan berlakunya atau kekuatan
mengikatnya, hukum perdata dapat dibedakan atas hukum yang bersifat pelengkap (aanvullend recht) dan
hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht). Hukum yang bersifat pelengkap adalah peraturan-peraturan
hukum yang boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, peraturan-peraturan
hukum mana yang hanyalah berlaku sepanjang orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri
kepentingannya. Misalnya dalam pasal 1477 BW ditentukan bahwa penyerahan harus terjadi di tempat dimana
barang yang dijual berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak telah ditentukan lain.
Peraturan hukum ini bersifat pelengkap, sehingga orang-orang yang mengadakan perjanjian jual beli suatu
barang boleh menyimpanginya dengan mengadakan perjanjian yang menentukan sendiri tempat dan waktu
penyerahan tersebut. Pasal 1477 BW barulah mengikat dan berlaku bagi mereka yang mengadakan perjanjian
jual beli sesuatu barang, kalau mereka tidak menentukan sendiri secara lain.
Hukum yang bersifat memaksa adalah peraturan-peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan atau
disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan , terhadap peraturan-peraturan hukum mana orang-orang
yang berkepentingan harus tunduk dan mentaatinya. Misalnya dalam pasal 39 Undang-undang No. 1 tahun 1974
ditentukan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan berdasarkan alasan yang sah
yang telah ditentukan. Dengan demikian hukum perdata tidak selalu berisi peraturan-peraturan hukum yang
bersifat pelengkap, meskipun hukum perdata merupakan bagian daripada hukum yang mengatur kepentingan-
kepentingan perseorangan, dan pada galibnya dibidang ini berperan kehendak individu yang bersangkutan,
melainkan ada peraturan-peraturan hukum yang bersifat memaksa, yang membatasi kehendak individu-individu
tersebut.
Perikatan masih bersifat abstrak sehingga diperlukan suatu perjanjian yang isinya
memuat perikatan diantara beberapa pihak. Setiap perjanjian memuat perikatan, tetapi tidak
semua perikatan senantiasa dibuat perjanjiannya.
Dalam suatu perjanjian, terdapat perikatan, yaitu adanya saling keterikatan dalam
objek tertentu yang berakibat pada lahirnya hak dan kewajiban diantara pihak-pihak yang
melakukan perjanjian. Berdasarkan hubungan tersebut pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak
yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang. Adapun yang
dituntut disebut prestasi. [1]
Dasar hukum perikatan diatur dalam buku III KUHPerdata dan diklasifikan menjadi dua
macam, yaitu:
1. Umum, yaitu bab 1, 2, dan 4;
2. Khusus, yaitu bab 3, 5, 6, 7, dan 8
Sumber-sumber perikatan pada dasarnya dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Menurut Pasal 1233 KUHPerdata
a. Bersumber dari perjanjian (obligation ex contractu)
b. Bersuber pada Undang-Undang (obligation ex lege)
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-
undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu
dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut:
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang.
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming).
4. Perikatan yang lahir dari tata kerama yang baik atau moral Positif.
Buku I : Tentang orang (Ven Person) dan hukum keluarga (Van Familie);
Buku II : Tentang Benda (Van Zaken), yang didalamnya termasuk hukum waris (Erf Recht);
Buku II : Tentang Perikatan (Verbintenissen Recht) atau hukum perjanjian (Verbintenissen);
Buku IV : Tentang Pembuktian (Van Bewijk) dan Kedaluwarsa (Verjaring).
Jika diamati dengan cermat pembagian yang dilakukan oleh KUHPerdata (BW) diatas, maka dapat dikatakan hal
tersebut hampir sama dengan Code Civil Des Francis yang terdiri dari 3 (tiga) buah buku yang terdiri dari :
Buku I mengatur terkait dengan hukum orang dan hukum keluarga;
Buku II mengatur tentang hukum benda, hak milik, hak menikmati hasil, hak memakai dan mendiami, dan hak
pakai (servitut);
Buku III mengatur tentang hukum waris, hukum perikatan, hukum harta perkawinan, hak gadai, daluarsa, dan
segala sesuatu yang tidak diatur dalam buku I dan buku II.
Sistem yang dianut dalam Buku II/Hukum Benda adalah system tertutup.
Sistem tertutup artinya orang tidak dapat mengadakan/membuat hak-hak kebendaan yang baru selain yang
sudah ditetapkan dalam undang-undang. Jadi hak-hak kebendaan yang diakui itu hanya hal-hak kebendaan yang
sudah diatur oleh undang-undang.
Kita tidak boleh misalnya mengadakan hak milik baru yang tidak sama dengan hak milik yang sudah diatur oleh
undang-undang.
Berbeda dengan sistem yang dianut oleh hukum perikatan dalam buku III, yaitu sistem terbuka.
Sistem terbuka artinya setiap orang dapat bebas membuat perjanjian apa saja selain apa yang telah ditetapkan
oleh undang-undang asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Sistem terbuka ini merupakan cerminan dari pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Jadi buku III/hukum perikatan menganut asas kebebasan berkontrak.
4. Masalah lain yang muncul sehubungan dengan adanya penafsiran yang luas dari H.R
terhadap perikatan alamiah, sehinggah meliputi kewajiaban-kewajiban berdasarkan tata krama
yang baik atau moral (fastoenverplichtingen ) dan kewajiaban seperti itu dianggap sebagai “
Pembayaran” ( betaling ) dan bukan sesuatu yang “ tidak Wajib” (niet onverplicht), shingga
muncul pertanyaan , apakah moral positif dan tatakrama ( fatsun) sekarang juga merupakan
sumber Perikatan.
Unsur naturalia
Unsur naturalia ini adalah unsur yang sudah pasti ada di dalam perjanjian. Setelah
unsur dari esensialia ini sudah diketahui pasti setelah itu akan terdapat unsur naturalia yang
berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang tidak memenuhi syarat
misal cacat atau kerusakan.
Unsur aksidentalis
Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan
ketentuan yang dapat menyimpang oleh para pihak. Unsur ini merupakan syarat khusus yang
ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kehendaknya. Pada hakikatnya unsur ini bukan
merupakan suatu prestasi yang harus dilaksanakan dan dipenuhi oleh para pihak. Contoh
penentuan tempat saat penyerahan benda dalam hal jual beli.
Subjek hukum
Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian
awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi
pada saat perjanjian tersebut dibuat. Pasal 1338 KUH Perdata menegaskan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Akan tetapi, hal tersebut dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang menegaskan
bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, maka diperlukan empat syarat, yaitu:
Perjanjian baru dapat dikatakan sah jika telah dipenuhi semua ketentuan yang telah
diatur dalam undang-undang tersebut di atas. Pernyataan sepakat mereka yang
mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian digolongkan ke dalam
syarat subjektif atau syarat mengenai orang yang melakukan perjanjian, sedangkan tentang
suatu hal tertentu dan sebab yang halal digolongkan ke dalam syarat objektif atau benda
yang dijadikan objek perjanjian. Hal-hal tersebut merupakan unsur-unsur penting dalam
mengadakan perjanjian.
Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai kewenangan
hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai materi atas
perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah
objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang di sepakati.
Dalam mengadakan suatu perjanjian, setiap subjek hukum harus memenuhi
suatu kondisi tertentu agar dapat mengikat para pihak yang membuatnya. Jika subjek
hukumnya adalah “orang” orang tersebut harus cakap hukum.
Syarat-syarat “orang” yang cakap hukum oleh Prof. Abdulkadir Muhammad dalam
hukum perdata Indonesia adalah :
Namun, jika subjeknya “badan hukum” harus memenuhi syarat formal suatu badan
hukum. Badan hukum merupakan badan-badan atau perkumpulan. Badan hukum
menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro adalah sebagai berikut: “Suatu badan yang di
samping menusia perorangan juga dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai
hak-hak,kewajiban-kewajiban dan kepentingan-kepentingan hukum terhadap orang lain
atau badan lain.”
a. Ada harta kekayaan, bukan harta kekayaan pribadi anggota, pendiri atau
pengurusnya.
b. Ada tujuan tertentu.
c. Ada kepentingan sendiri.
d. Ada organisasi yang teratur.
Kedua jenis subjek hukum tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam
melakukan perjanjian. Oleh karena itu, dalam hukum perjanjian, yang dapat menjadi
subjek hukumnya adalah individu dengan individu atau pribadi dengan pribadi, badan
hukum dengan badan hukum.
c. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan atau hak orang lain
tertentu.
d. Orang yang dapat diganti.
Pada suatu perjanjian terdapat pihak-pihak perjanjian. Para pihak itulah sebagai
subyek hukum, sedangkan lawannya obyek hukum yang berupa benda atau barang. Dalam
KUHPerdata ditentukan hanya orang yang menjadi subyek hukum dan hanya benda yang
menjadi obyek hukum. Mengenai orang secara umum di atur didalam Buku I KUHPerdata,
sedangkan benda di atur didalam Buku III KUHPerdata.
Orang sebagai subyek hukum dapat di bedakan menjadi dua pengertian, yaitu :
a. Natuurlijke persoon, yang disebut orang sebagai manusia atau manusia pribadi
yang berarti pembawa hak atau subyek di dalam hukum.
b. Rechtpersoonyang disebut orang dalam bentuk badan hukum yang dimiliki hak-hak
dan dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang seperti seorang manusia
Objek Perjanjian
Obyek dalam perjanjian merupakan sesuatu yang diperlukan oleh subyek untuk
mencapai tujuan dalam perjanjian.
“Jika Undang-undang telah menetapkan subyek perjanjian yaitu para pihak pembuat
perjanjian, maka yang menjadi obyek dari perjanjian ialah perjanjian itu sendiri.”28
Dalam Pasal 1234 KUHPerdata, “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.” Dapat disimpulkan bahwa dalam
Pasal ini ada 3 (tiga) cara pelaksanaan kewajiban atau prestasi, yakni memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Dengan berdasarkan 3 (tiga) cara pelaksanaan
tersebut, dapat diketahui wujud dari prestasi dapat berupa barang, jasa (keahlian) dan tidak
berbuat sesuatu. Sedangkan perikatan untuk memberikan sesuatu di atur dalam Pasal 1235
KUHPerdata, “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub
kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk
merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan.
Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih terhadap perjanjian- perjanjian
tertentu, yang akibat-akibatnya mengenai hal ini di tunjuk dalam bab- bab yang
bersangkutan.
Tetapi perjanjian untuk menyerahkan bukan semata-mata yang berwujud benda nyata
saja, maupun jenis dan benda tertentu. Seperti dalam persetujuan sewa menyewa yang
diatur dalam Pasal 1550 KUHPerdata. Penyewa wajib menyewakan barang sewa kepada si
penyewa. Yang diserahkan bukan hak kebendaannya tetapi pemakaian untuk dinikmati
dengan aman.
Dalam Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata menentukan, bahwa obyek atau prestasi dalam
perjanjian harus memenuhi syarat, yaitu obyeknya harus tertentu. Atau sekurang-
kurangnya obyek itu mempunyai jenis tertentu seperti yang dirumuskan dalam Pasal
1333 KUHPerdata,
Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit di
tentukan jenisnya.Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja
jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Dengan demikian, dapat di simpulkan apa yang dimaksud dengan “hal tertentu” sebagai
syarat obyektif dari syarat sahnya perjanjian yakni barang yang sudah ditentukan minimal
sudah ditentukan jenisnya, termasuk juga barang yang baru dapat ditentukan atau dihitung
kemudian, walaupun pada saat perjanjian dibuat belum ditentukan.
Hakekat dan suatu Perjanjian pada saat perancangan suatu perjanjian adalah
Perumusan tentang adanya kesepakatan atau kesesuaian kehendak (consensus ad idern);
rumusan tentang adanya janji-janji yang dibuat oleh masing-masing pihak sebagai imbalan
atas janji-janji atau untuk kepentingan pihak yang lain, walaupun selalu ada kemungkinan
dibuatnya kontrak yang berisi perjanjian sepihak. namun dianjurkan untuk selalu memahami
perjanjian yang timbale balik sehingga prestasi harus dilakukan oleh salah satu pihak selalu
dipahami sebagai imbalan atas prestasi yang akan dilakukan oleh pihak lain; Perumusan
tentang pihak-pihak pembuat perjanjian dan informasi tentang kemampuan hukum dan para
pihak untuk melakukan tindakan hukum dan mengikatkan di dalam kontrak dan Perumusan
tentang objek dan nilai ekonomis perjanjian yang menjadi causa dan transaksi diantara para
pihak; Penggunaan bentuk, wujud dan format tertentu (sesuai keinginan para pihak).
Syarat dan ketentuan yang biasanya disepakati oleh para pihak dalam suatu perjanjian
adalah Besarnya harga jual beli atau harga sewa menyewa dan besarnya modal dasar yang
disepakati; Objek atau barang yang ditentukan; besarnya suku bunga kredit bila merupakan
sesuatu yang menggunakan pinjaman ataupun pembayarannya menggunakan tenggang
waktu; jangka waktu sewa, kredit, leasing atau lain sebagainya bila merupakan perjanjian
pemberian modal ventura; Carapembayaran; biaya yang haru dibayar masing-masing pihak;
kewajiban menutup asuransi jika diperlukan
Dalam melaksanakan suatu perjanjian yang menjadi sasaran pokok suatu perjanjian
atau persetujuan adalah prestasi. Menurut Kitab Undang-undang hukum perdata
Indonesia,perestasi dapat berupa pemberian sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat
sesuatu. Prestasi berupa pemberian sesuatu, dapat dimaknai sebagai perbuatan yang
berwujud penyerahan hak dari masing-masing pihak yang melakukan perjanjian,
khususnya perjanjian yang bersifat obligatoir yaitu perjanjian yang dilekati kewajiban
kepada masing-masing pihak. Contoh pemberian sesuatu antara lain perjanjian jual beli
televisi, dimana penjual menyerahkan televisi pada pembeli, sebaliknya pembeli
menyerahkan sejumlah uang kepada penjual sesuai dengan harga yang di sepakati para
pihak.
Istilah pemberian sesuatu dalam unsur prestasi, sebenarnya kurang tepat karena
pemberian bermakna sebagai perbuatan cuma-cuma seperti hibah. Karena itu, istilah
yang lebih tepatnya adalah menyerahkan sesuatu sebagaimana uraian penulis di atas.
Adapun pengertian berbuat sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu
yang bukan berupa memberikan sesuatu, misalnya membuat naskah buku untuk menerbitkan
oleh penerbit anggota IKAPI. Sedangkan pengertian tidak berbuat sesuatu adalah larangan
bagi pihak tertentu untuk melakukan hal tertentu ulah sebagaimana yang tertuang dalam
perjanjian. Contoh : Ahmad bersedia meminjamkan uang kepada Mahmud dengan ketentuan
Mahmud dilarang menggunakan uang itu untuk berpoya-poya.
C. ASAS-ASAS PERJANJIAN
Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar
belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum
positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum
dalam peraturan konkrit tersebut.
Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan
terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau
putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut.
Dalam menyusun suatu perjanjian atau perjanjian, baik perjanjian itu bersifat
bilateral dan multilateral maupun perjanjian dalam lingkup nasional, regional, dan
internasional, harus didasari pada prinsip hukum dan klausul tertentu. Dalam Hukum
Perdata dikenal beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan dalam penyusunan
perjanjian sehingga akan terhindar dari unsur-unsur yang dapat merugikan para pihak
pembuat suatu perjanjian yang mereka sepakati.
Perlu dijelaskan bahwa asas hukum Asas hukum perjanjian merupakan landasan
norma yang dapat menjadi alat uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma
hukum tersebut pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang
menjiwainya. Asas-asas hukum perjanjian ini dalam kerangka hukum positif memilki
dua fungsi utama yakni, pertama sebagai alat yang membangun konstruksi hukum
perjanjian, membagun fondasi dan menempatkan kedudukan hukum para pihak secara
setara. Kedua, sebagai asas-asas yang mengarahkan pada pihak untuk membentuk
subtansi (isi) dari perjanjian. Dengan demikian pembahasan dalam asas hukum kontrak
ini terbagi menjadi dua, adapun lebih rinci adalah sebagai berikut :
Merupakan asas yang berasal dari kata “consensus” yang berarti sepakat. Dalam
membuat perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan (konsensus) yakni para pihak
sepakat atau setuju mengenai prestasi yang diperjanjikan. Asas konsensualitas ini
terkandung dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang mengharuskan adanya kata
sepakat di antara para pihak yang membuat kontrak.
Maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja,
baik bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan.
Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi :
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”
Tujuan dari pasal di atas bahwa pada umumnya suatu perjanjian itu dapat dibuat secara
bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian
dengan siapapun, bebas untuk menentukan bentuknya maupun syarat-syarat, dan bebas
untuk menentukan bentuknya, yaitu tertulis atau tidak tertulis.
Jadi dari pasal tersebut dapat simpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat
perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat
mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Kebebasan berkontrak dari para
pihak untuk membuat perjanjian itu meliputi :
Merupakan asas yang berasal dari kata “consensus” yang berarti sepakat. Dalam
membuat perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan (konsensus) yakni para pihak
sepakat atau setuju mengenai prestasi yang diperjanjikan. Asas konsensualitas ini
terkandung dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang mengharuskan adanya kata
sepakat di antara para pihak yang membuat kontrak.
Maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja,
baik bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan.
Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi :
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”
Tujuan dari pasal di atas bahwa pada umumnya suatu perjanjian itu dapat dibuat secara
bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian
dengan siapapun, bebas untuk menentukan bentuknya maupun syarat-syarat, dan bebas
untuk menentukan bentuknya, yaitu tertulis atau tidak tertulis.
Jadi dari pasal tersebut dapat simpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat
perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat
mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Kebebasan berkontrak dari para
pihak untuk membuat perjanjian itu meliputi :
21
Pembatasan oleh Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yaitu hanya
mengikat para pihak yang melakukan perjanjian. Pasal 1320 KUH Perdata
mengandung pembatasan bahwa para pihak hanya dapat membuat perjanjian
yang menyangkut causa yang halal saja, diperkuat dengan Pasal 1337 KUH
Perdata, bahwa suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya, Pasal 1338 ayat 3
KUH Perdata tentang berlakunya asas itikas baik dalam melaksanakan
perjanjian.
Yakni dibatasi oleh Sila Keadilan Yang Beradab. Dalam sila ini
manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai
mahluk Tuha Yang Maha Esa, sama derajatnya, sama hak dan kewajiban
asasinya, tanpa membedakan suku, agama, jenis kelamin, kedudukan sosial,
warna kulit dan sebagaiya. Dengan demikian, asas kebebasan berkontrak ini
dibatasi oleh perwujudan harkat dan martabat manusia dalam lapangan
kehidupa sosial.
25
dimaksud disini tidak hanya masyarakat homogenitas muslim tetapi juga
melibatkan kelompok masyarakat nonmuslim.
26
Nilai-nilai syariah yang dimaksud adalah batasan-batasan apa yang
dilarang dalam Hukum Syariah, yaitu batasan-batasan yang diharamkan
dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad. Pembatasan berupa larangan
dalam Syariat Islam antara lain yang terkait dengan larangan makan harta
bersama secara bathil. Yang dimaksud secara bathil adalah memakan atau
mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan dan tidak
sah menurut Hukum Syariah, baik yang dilarang secara langsung oleh al-
Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad atau yang dinyatakan oleh hasil
penggalian hukum (ijtihad) para ahli Hukum Islam (Ulama). Secara umum
dapat dikatakan bahwa memakan harta dengan cara batil juga termasuk di
dalamnya yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Batil
yang dimaksud di sini adalah sesuatu perbuatan hukum yang melanggar
Syariat Islam. Syariat Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang
untuk melakukan akad sesuai yang diinginkannya, sebaliknya apabila ada
unsur pemaksaan atau pemasungan kebebasan akan menyebabkan legalitas
kontrak yang dihasilkan batal atau tidak sah. Asas ini menggambarkan
prinsip dasar bidang muamalah yaitu kebolehan (mubah) yang mengandung
arti bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk
dan macam muamalah baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup
masyarakat. Banyak bidang-bidang usaha yang telah diisyaratkan dalam Al-
Qur’an, misalnya: pertanian (thariq al-zira’ah), peternakan, industri (thariq
shina’ah), baik industri pakaian, industri besi ataupun industri bangunan,
perdagangan (thariq tijarah), industri kelautan, dan jasa. Namun kebebasan
berkontrak tersebut memiliki limitasi terhadap hal-hal yang sudah jelas
dilarang dalam syariat. Tujuan dari limitasi tersebut adalah untuk menjaga
agar tidak terjadi penganiayaan antara sesama manusia melalui kontrak yang
dibuatnya. Limitasi tersebut antara lain larangan bertransaksi secara ribawi,
larangan perjudian atau untung-untungan, dan larangan gharar
(ketidakpastian risiko, spekulasi atau bahaya yang dapat menyesatkan pihak
lain, yang di sini juga termasuk larangan ijon seperti menjual ikan yang
masih berada dalam kolam (mukhabarah) atau menjual barang yang tidak
dapat diserahkan karena belum dikuasai) dalam melakukan transaksi.24
Pemaknaan batil disini juga adalah bila objek perjanjian yang bertentangan
27
dengan norma-norma kesusilaan yang diatur dalam Hukum Islam (Syariat),
misalnya objek perjanjian, adalah barang yang diharamkan atau dilarang
dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad, seperti minuman keras,
daging babi, prostitusi, judi, utang piutang yang mengandung unsur riba,
dan perdagangan orang. Pada sisi lain, terdapat pula larangan-larangan yang
menyangkut teknis dalam bertransaksi, seperti larangan monopoli, larangan
menimbun barang untuk me-naikkan harga, larangan menaikkan penawaran
untuk mengelabui pembeli lain bukan untuk sungguh-sungguh membeli,
larangan perampasan atau akad yang mengandung penipuan dan merampas
milik orang lain tanpa izin. Demikian pula dilarang melakukan eksploitasi
dan unfair dealings serta masih banyak lagi ketentuan dalam perdagangan
yang diatur secara jelasjelas dilarang pelaksanaannya. Selain itu asas
kebebasan berkontrak perspektif perjanjian syariah, juga dibatasi oleh
ketentuan tidak adanya unsur paksaan, kekhilafan dan penipuan. Dasar
hukum asas ini tertuang dalam Surah Al-Baqarah ayat 256 dengan kata
“tidak ada paksaan” sebagaimana yang diatur dalam al-Qur’an Surah
AlBaqarah ayat 256. Adanya kata tidak ada paksaan menegaskan bahwa
Islam menghendaki dalam hal perbuatan apapun harus didasari oleh
kebebasan untuk bertindak sepanjang itu benar dan tidak bertentangan
dengan nilainilai syari’ah. Artinya, dalam hukum Islam kedua belah pihak
dibebaskan membuat perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan
hukum Islam. Islam telah meletakkan asas kebebasan berkontrak yang
secara filosofis bukanlah atas dasar individualisme-pragmatis. Justru
melalui asas kebebasan berkontrak, akan memberikan fungsi dalam
perjanjian agar manusia tidak dapat mengambil keuntungan dari orang lain
dengan memaksa mereka dalam perjanjian yang tidak adil atau dengan
membuat
Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum
perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat
(3) bahwa perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Sementara itu,
Arrest H.R. di Negeri Belanda memberika peranan tertinggi terhadap itikad
baik dalam tahapan praperjanjian bahkan kesesatan ditempatkana di bawah
asas itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak.
29
(1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
7. Asas kesimbangan
8. Asas Kepercayaan
31
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
kontrak, diharuskan oleh “kepatutan”, kebiasaan atau undang-undang”.
9. Asas Moral
Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak,
yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan tertulis. Tujuan
pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian
hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala
timbul sengketa dikemudian hari.
Dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi manakala para
pihak menyatakan kehendaknya untuk mengadakan suatu perjanjian.
35
3. Teori ucapan (uitingstherie)
Dalam teori ini yang dilihat adalah ucapan (jawaban) debitur. Kata
sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitur mengucapkan
persetujuannya terhadap penawaran yang dilakukan kreditur. Jika
dilakukan dengan surat, maka kata sepakat terjadi pada saat menulis
surat jawabannya.
Dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitur
mengirimkan surat jawaban kepada kreditur. Jika pengiriman
dilakukan lewat pos, maka kata sepakat dianggap telah terjadi pada
saat surat jawaban tersebut distempel oleh kantor pos.
Menurut teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat kreditur
menerima kemudian membaca surat jawaban dari debitur, karena saat
itu dia mengetahui kehendak dari debitur.
Menurut teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitur
mengetahui bahwa debitur telah menyatakan menerima tawarannya.
36
Cakap merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan
hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak
dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan
perbuatan tertentu.
37
akibat hukum. Objek suatu perjanjian sekurang-kurangnya dapat
ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada
dan nanti akan ada. Adapun syarat dari objek perjanjian, secara lebih rinci
adalah :
Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan.
Barang-barang yang digunakan untuk kepentingan umum tidak
dapat dijadikan objek perjanjian.
Dapat ditentukan jenisnya.
Barang yang akan datang, dalam kaitan ini hanya barang-
barang yang dapat diperdagangkan saja.
Barang yang akan ada.
Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa
dalam perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya, supaya
perjanjian dapat dilaksanakan dengan baik. Suatu perjanjian yang tidak
memenuhi syarat yang ketiga ini berakibat batal demi hukum,
perjanjiannya dianggap tidak pernah ada (terjadi).
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif. Apabila salah satu
dari syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat di batalkan oleh
para pihak. Jika pembatalan itu hanya dilakukan oleh satu pihak, maka
harus mengajukan gugatan ke pengadilan untuk membatalkan perjanjuan
itu. yang berhak menuntut pembatalan terhadap perjanjian yang tidak
memenuhi syarat subyektif ini adalah pihak yang memberikan sepakat
tidak bebas atau pihak yang tidak cakap. Suatu perjanjian apabila terdapat
salah satu pihak yang memberikan sepakat misalnya seorang anak yang
belum dewasa, maka anak itu sendiri yang dapat atau berhak menuntut
pembatalannya kelak bila ia sudah menjadi dewasa atau orang tua/walinya.
Dalam hal seorang yang berada di bawah pengampuan, pengampunyalah
yang dapat meminta pembatalan dan dalam hal seorang yang telah
memberikan sepakat atau perijinannya secara tidak bebas, dia sendiri yang
dapat meminta pembatalannya.
39
Lalu apakah yang dapat mengancam unsur persetujuan di anggap
tidak memenuhi syarat sehingga perjanjian dapat dibatalkan? Ancaman
tersebut mencakup 3 hal sebagaimana di tegaskan dalam pasal 1321
KUHper :
Syarat Konsensual
1. Teori kehendak
4 https://legalstudies71.blogspot.com/2017/10/teori-kehendak-wilstheorie.html
40
- tidak mudah membuktikan adanya suatu kekeliruan, apabila kehendak
berbeda atau keliru dengan apa yang dinyatakan.
- beban pembuktian terletak pada pihak yang menuntut pembatalan
perjanjian tersebut.
41
Misalnya seseorang menjual mobil yang harga pasarannya adalah
Rp. 100.000.000,-. Namun karena suatu hal, ia menuliskan angka Rp.
10.000.000,- pada surat penawarannya. Apabila kita berpatokan pada teori
pernyataan, maka penjual akan mengalami kerugian yang sangat besar
karena kesalahan penulisan tersebut.
3. Teori kepercayaan
(vertrouwenstheorie)
Teori kepercayaan berusaha untuk mengatasi kelemahan dari teori
pernyataan. Oleh karena itu teori ini juga dapat dikatakan sebagai teori
pernyataan yang diperlunak. Menurut teori ini, tidak semua pernyataan
melahirkan perjanjian. Suatu pernyataan hanya akan melahirkan perjanjian
apabila pernyataan tersebut menurut kebiasaan yang berlaku di dalam
masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan
memang benar dikehendaki. Atau dengan kata lain, hanya pernyataan
yang disampaikan sesuai dengan keadaan tertentu (normal) yang
menimbulkan perjanjian. Lebih lanjut menurut teori ini terbentuknya
perjanjian bergantung pada kepercayaan atau pengharapan yang muncul
dari pihak lawan sebagai akibat dari pernyataan yang diungkapkan.
Cacat Konsesual
43
Padahal “sepakat yang benar” mengikat pihak yang memberikan
sepakat itu sebagai suatu undang-undang (Pasal 1338 ayat (1) B.W.).
Kiranya patut untuk diterima, bahwa sepakat yang tidak didasarkan atas
kehendak yang sebenarnya tidak melahirkan perjanjian yang sah
”Sepakat yang benar, pasti adalah sepakat yang tidak tersesat, tidak
terpaksa, tidak tertipu dan tidak telah diberikan karena adanya
penyalahgunaan keadaan.”
Pemaksaan
46
Mahkamah Agung menyatakan bahwa kondisi di mana salah satu pihak
berada dalam tekanan/intimidasi dari pihak lain, dalam hal ini penahanan
oleh pihak kepolisian atas laporan pihak lain tersebut, membuat perjanjian
yang telah dibuat dapat dibatalkan karena tidak ada kehendak bebas
(dalam membuat kesepakatan).
Hal ini juga pernah dijelaskan oleh Flora Dianti, S.H., M.H. dalam
artikel yang berjudul Dapatkah Rentenir Dipidana? Bahwa penyalahgunaan
keadaan dapat terjadi, bila seseorang menggerakaan hati orang lain
melakukan suatu perbuatan hukum dengan menyalahgunakan keadaan yang
sedang dihadap orang tersebut (Prof. DR. Gr. Van der Burght, Buku
Tentang Perikatan, 1999: 68).
soal paksaan Pasal 1323. Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang
mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan
tersebut, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak
berkepentingan dalam perjanjian yang dibuat itu.
Van Dunne dan Prof. Mr. Gr. Van den Burght (1987) selaku
pencetus ajaran penyalahgunaan keadaan, menjabarkannya menjadi dua
kategori, yaitu:
48
a) penyalahgunaan keunggulan ekonomi dimana salah satu pihak dalam
perjanjian memiliki posisi tawar yang lemah;
49
tersebut berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan
kehendaknya, maka perjanjian tersebut batal.
Penipuan
1. Seorang tersebut masih di bawah umur, yaitu orang yang belum berusia
21 tahun dan belum menikah (Pasal 330 ayat 1 KUH Perdata).
2. Seorang yang berada di bawah pengampuan atau curatele, yaitu orang
yang sudah dewasa atau telah berumur di atas 21 tahun atau sudah
menikah, tetapi tidak mampu karena pemabuk, gila (sakit
ingatan/mental), dan pemboros.
53
dinamakan maritale macht. Ketentuan tersebut di negara Belanda
sekarang sudah dihapuskan karena tidak sesuai lagi dengan
perkembangan jaman. Demikian juga di Indonesia ketentuan tersebut
pelan-pelan juga sudah mulai dihapuskan.
* Kecakapan Bertindak :
* Kewenangan Bertindak :
54
tindakan hukum, dalam hal ini tidak berwenang untuk membuat suatu
perjanjian tertentu.
Orang yang tidak cakap adalah orang-orang yang secara umum tidak
dapat membuat perjanjian, sedangkan orang yang tidak berwenang adalah
orang-orang yang tidak dibenarkan untuk membuat perjanjian tertentu,
sehingga perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang tidak cakap,
mempunyai konsekuensi batal demi hukum.
Berdasarkanatas Pasal 330 ayat (1) (KUH Perdata) batas usia cakap
adalah 21 tahun. Ketentuan ini adalah jelas. Usia didasarkanpada segala
dokumen data diri yang secara sah dimiliki oleh pihak yang bersangkutan.
Bagi pihak yang belum 21 tahun dapat dimintakan pendewasaan.
Objek tertentu
Pasal 1334 : Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang,
dapat menjadi pokok suatu persetujuan. Akan tetapi seseorang tidak
diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka,
ataupun untuk menentukan suatu syarat dalam perjanjian mengenai
warisan itu, sekalipun dengan persetujuan orang yang akan meninggalkan
warisan yang menjadi pokok persetujuan itu, hal ini tidak mengurangi
ketentuan pasal-pasal 169, 176, dan 178.
3. Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi
pokok suatu persetujuan. Akan tetapi seseorang tidak
diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum
terbuka, ataupun untuk menentukan suatu syarat dalam perjanjian
mengenai warisan itu, sekalipun dengan persetujuan orang yang
akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan itu
(Pasal 1334 KUH Perdata).
Pasal 1335 : Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu
sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.
57
Pasal 1337 KUH Perdata, yang berbunyi: Suatu sebab adalah
terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu
bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
4. Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-
undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan
ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).
58
ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan
bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.25
60
untuk menyatakan kehendak yang ditujukan untuk terjadinya suatu akibat
hukum.
Suatu kontrak sendiri terdiri dari serangkaian kata. Oleh karena itu,
untuk menetapkan isi kontrak, perlu dilakukan penafsiran, sehingga dapat
diketahui dengan jelas maksud para pihak dalam kontrak. Jika terjadi suatu
sengketa antara para pihak dan atas sengketa tersebut tidak ada pengaturan
yang jelas dalam perjanjian yang disepakati para pihak, bukan berarti
perjanjian belum mengikat para pihak atau dengan sendirinya batal demi
hukum.
a) interpretasi subsumptif;
b) interpretasi gramatikal;
c) interpretasi sistematis/logis;
d) interpretasi historis;
f) interpretasi komparatif;
g) interpretasi antisipatif/futuristis;
h) interpretasi restriktif;
i) interpretasi ekstensif ;
k) interpretasi interdisipliner;
61
l) interpretasi multidisipliner.
62
penafsiran objektif dengan metode penafsiran subjektif. KUH Perdata juga
mengandung banyak Pasal yang bergerak di tengah-tengah seperti ini.
Dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan atau tidak terikat harus
menggunakan metode interpretasi tertentu, tetapi yang penting bagi hakim
adalah interpretasi yang dipilih adalah dapat tepat sasaran, yaitu dapat
memperjelas ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dapat
secara tepat diterapkan terhadap peristiwanya.
63
Course of Dealing adalah bagaimana para pihak melaksanakan
kontrak yang sebelumnya. Hal ini akan menjadi acuan untuk
menyelesaikan sengketa atas kontrak yang sekarang sedang berlaku antara
mereka. Misalnya dalam kontrak yang sekarang tidak jelas hak dan
kewajiban para pihak. Bukti yang ada hanya selembar kuitansi tanda
terima. Akan tetapi, kontrak sebelumnya jelas mencantumkan bahwa uang
tersebut adalah sebagai setoran modal dalam suatu kontrak agribisnis.
Usage of trade adalah praktis bisnis yang sudah terjadi berulang-ulang
menurut pola yang sama. Misalnya dalam pelaksanaan kontrak sudah
menjadi kebiasaan bahwa suatu perusahaan pemasok barang atau
distributor utama mewajibkan distributor menjual barang secara kredit
kepada pelanggan.
65
Penafsiran Kontrak membuktikan, bahwa perjanjian yang
diwujudkan dalam sekumpulan kata-kata atau tanda-tanda baru
mempunyai arti kalau orang memberikan arti kepadanya. Jadi mau tidak
mau menafsirkan kata-kata dan tanda-tanda tersebut. Kesemuanya sudah
tentu dengan memperhatikan keadaan dan tempat di mana perjanjian
ditutup, dan hal itu berarti bahwa orang tidak cukup menafsirkan secara
gramatika saja. Jadi sebenarnya yang dimaksud dengan “kata-kata yang
jelas” adalah kata-kata yang tidak memberikan banyak peluang penafsiran
yang berlain-lainan.
68
Hal itu berarti bahwa perjanjian harus ditafsirkan sedekat mungkin
dengan maksud para pihak baik diukur dari kehendak para pihak maupun
menurut penerimaan masyarakat yang paling memungkinkan untuk
pelaksanaan perjanjian tersebut. Di sini pembuat undang-undang bersikap
pragmatis dan karenanya tidak harus terikat secara ketat baik dengan
penafsiran gramatikal maupun maksud para pihak.
70
disebutkan bahwa lampiran tersebut merupakan satu kesatuan dengan
perjanjian asal.48 Misalnya, apabila dua orang melakukan kerjasama dan
memasukkan modal untuk suatu usaha perdagangan.
71
pemberian kuasa untuk membeli dirumuskan sangat umum, tetapi hal ini
tidak berarti bahwa kuasa tersebut termasuk kuasa untuk menjual.
72
Jika kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, maka
setiap isi kontrak harus ditafsirkan secara fair atau patut. Pada waktu yang
lalu dianut pendapat baik dikalangan sarjana maupun peraturan
perundang-undangan bahwa penafsiran kontrak hanya diperlukan untuk
sesuatu yang tidak jelas. Jika isi kontrak telah jelas, maka tidak ada atau
tidak diperlukan penafsiran. Sehubungan dengan hal ini Pasal 1378 BW
(lama) Belanda.
73
Hal tersebut disebabkan karena kehendak merupakan gejala
psikologis yang tidak dapat dilihat dengan panca indera. Hal ini berlainan
dengan ajaran penafsiran normatif. Titik pandang aliran ini adalah bukan
pada kehendak subjektif para pihak yang menjadi objek penafsiran.
Penafsiran ini menurut aliran ini adalah menetapkan tindakan nyata dan
menetapkan akibat-akibat hukum yang timbul karenanya. Penafsiran
kontrak juga harus dilakukan dengan memperhatikan kebiasaan setempat.
Demikian pedoman yang diberikan oleh Pasal 1382 BW (lama) Belanda.
74
3. kata-kata kontrak harus diperlakukan sesuai dengan sifat
kontrak;
75
sesuai jenis kontrak yang dimilikinya, misalnya suatu kontrak jual beli
memiliki sifat yang berbeda dengan kontrak kerja.
76
dari masing-masing pihak dan hal ini bisa menjadi potensi sengketa
dikemudian hari. Pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kontrak tentunya
sangat berkepentingan agar kontrak yang telah dibuatnya dapat
memberikan kejelasan dan kepastian mengenai hal-hal yang menjadi hak-
hak dan kewajibannya dengan pihak lain. Hakhak dan kewajibannya yang
telah dicantumkan dalam klausule kontrak dapat dijamin pelaksanaannya
dengan baik, masing-masing pihak dapat memenuhi prestasinya sesuai
dengan yang telah dirumuskan dalam kontrak.
Dalam hal ini para pihak harus mencari makna kesepakatan baru
dengan jalan menafsirkan kontrak tersebut secara adil. Penafsiran kontrak
secara adil ini tidak mudah dilakukan oleh para pihak, karena masing-
masing pihak umumnya memiliki subyektifitas yang tinggi, yaitu
menafsirkan suatu kontrak dengan melihat kepentingan dan keuntungan
pihaknya sendiri.
77
kalau isi perjanjian tidak jelas atau diterima dengan isi yang yang lain oleh
lawan janjinya, maka dalam hal ini perlu dicari apa sebenarnya maksud
dari para pihak. Dan yang dimaksud dengan “maksud para pihak” tidak
lain adalah apa yang disepakati para pihak. Karena sepakat adalah hasil
pertemuan kehendak, maka dalam peristiwa itu sebenarnya harus mencari
apa sebenarnya “kehendak” para pihak itu.
78
ditemukan ketidakjelasan-ketidakjelasan maupun ketidaklengkapan yang
dapat berpengaruh terhadap pemenuhan prestasi masingmasing pihak.
c. menurut zamannya.
80
Jika kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, maka
setiap isi kontrak harus ditafsirkan secara fair atau patut. Di samping itu,
perjanjian harus ditafsirkan beranjak dari kepatutan dan kelayakan.
6 https://media.neliti.com/media/publications/85205-none-e9c88443.pdf
81
Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang
melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak
yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk
memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada
satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.
82
pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya, sehingga
menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau
membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya
wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut
pembatalan perjanjian.perjanjian yang dibuat tersebut berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Karena berlaku
sebagai undang-undang, maka perjanjian tersebut mengikat para pihak
untuk menaatinya. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata.
84
berprestasi sehasnnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau
sikap yang diambil olehnya akan menimbulkan kerugian.
2. Syarat formil, yaitu adanya peringatan atau somasi hal kelalaian atau
wanprestasi pada pihak debitur harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu
dengan memperingatkan debitur, bahwa kreditor menghendaki pembayaran
seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. Somasi adalah teguran keras
secara tertulis dari kreditor berupa akta kepada debitur, supaya debitur harus
berprestasi dan disertai dengan sangsi atau denda atau hukuman yang akan
dijatuhkan atau diterapkan, apabila debitur wanprestasi atau lalai.
85
Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya wanprestasi adalah
sebagai berikut (Satrio, 1999):
86
7
Pasal 1243 menyatakan:
Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu
perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila siberutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau
dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya.
Pasal 1244 menyatakan:
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila
ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau
tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh
sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya.
walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.
7 http://www.dppferari.org/pengertian-bentuk-penyebab-dan-hukum-wanprestasi/
87
a. Kewajiban membayar ganti rugi
Ganti rugi itu harus dihitung berdasarkan nilai uang dan harus
berbentuk uang. Jadi ganti rugi yang ditimbulkan adanya wanprestasi itu
hanya boleh diperhitungkan berdasar sejumlah uang. Hal ini dimaksudkan
untuk menghindari terjadinya kesulitan dalam penilaian jika harus diganti
dengan cara lain.
b. Pembatalan perjanjian
88
syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam
perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan hakim
adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat,
memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi
kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu
bulan.
c. Peralihan risiko
89
Bunga Moratoir merupakan ganti rugi dalam wujud sejumlah uang,
sebagai akibat dari tidak atau terlambat dipenuhinya perikatan yang berisi
kewajiban pembayaran sejumlah uang oleh debitur. Hal ini diatur khusus
pada Pasal 1250 paragraf (1) KUHPerdata yang menyatakan:
“Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan
pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga
sekadar disebabkan terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri
atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang, dengan tidak
mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus.”
90
Mengenai besaran Bunga Konventional ini, karena bunga ini
timbul berdasarkan kesepakatan para pihak, maka besarannya dapat
ditentukan bersama oleh para pihak dengan mengenyampingkan besaran
bunga menurut undang-undang.
Perlu diperhatikan bahwa dalam menyepakati Bunga Konventional ini
para pihak yang menyepakati wajib membuat membuat perjanjian dalam
bentuk tertulis. Hal ini sebagaimana dinyatakan pada kutipan Pasal 1767
KUHPerdata:
“…Bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian boleh melampaui
bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang tidak
dilarang oleh undang-undang. Besarnya bunga yang diperjanjikan
dalam perjanjian harus ditetapkan secara tertulis.”
91
adalah Bunga Moratoir Kompensatoir, atau Bunga Kompensatoir bukan
Bunga Moratoir.
Untuk menelaah lebih dalam lagi, perlu diketahui apakah Kreditur
dalam meminta bunga dari debitur karena timbulnya kerugian yang riil
akibat kelalaian tersebut, atau kerugian itu karena semata-mata
keuntungan yang diharapkan oleh Kreditur.
Apabila ternyata kerugian adalah suatu pengharapan keuntungan
dari Kreditur (opportunity loss), maka Bunga Moratoir lah yang mungkin
dikenakan kepada Debitur. Namun, untuk meminta Bunga Moratoir
tersebut perlu suatu putusan dari Pengadilan.
Sedangkan apabila Bunga Kompensatoir, Kreditur harus benar-
benar membuktikan telah terjadi kerugian terhadapnya akibat lalainya
Debitur, sehingga penggantian kerugian tersebut dapat diberikan kepada
Kreditur.
Kesimpulannya, setiap tidak dilaksanakannya suatu prestasi oleh
Debitur, atau dalam hal ini tidak melakukan pembayaran/keterlambatan
melakukan pembayaran sebagaimana permasalahan yang dipertanyakan,
maka Debitur dapat dikenakan penggantian biaya, kerugian, dan
bunga oleh Kreditur.
8 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt505747d665ed5/bunga/
92
Menurut Muhammad Syaifuddin dalam bukunya yang
berjudul Hukum Kontrak Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat,
Teori, Dogmatik, Dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan)
Halaman 339, secara prosedural tetapi konkrit, suatu wanprestasi baru
terjadi jika debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan
prestasi dalam kontrak, dinyatakan lalai (in mora stelling; ingebereke
stelling) untuk melaksanakan prestasinya, atau dengan kata
lain wanprestasi ada jika debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban
melaksanakan prestasi dalam kontrak tersebut tidak dapat membuktikan
bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu di luar kesalahannya atau
karena keadaan memaksa. Jadi, pernyataan lalai adalah
suatu rehctmiddel atau upaya hukum kontrak (vide KUH Perdata) untuk
sampai kepada tahap debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban
melaksanakan prestasi dalam kontrak tersebut dinyatakan wanprestasi.
1. Harus mengganti kerugian yang diderita oleh kreditor atau pihak lain
yang memiliki hak untuk menerima prestasi tersebut (Pasal 1243 BW);
93
2. Harus Pemutusan kontrak yang dibarengi dengan pembayaran ganti
kerugian (Pasal 1267 BW);
94
Dalam doktrin dan yurisprudensi, surat peringatan ini dikenal
dengan somasi. Somasi yang tidak dipenuhi oleh debitur tanpa alasan yang
sah akan membawa debitur berada dalam keadaan lalai, dan sejak saat itu
semua akibat wanprestasi mulai berlaku terhadap debitur. Dengan
terjadinya keadaan wanprestasi, maka terbitlah hak kreditur untuk
menuntut pembatalan kontrak dan ganti rugi.
Karena tak ada ketentuan berapa kali somasi harus diajukan, maka
dalam praktek, somasi itu umumnya diajukan tiga kali yaitu: Somasi I,
Somasi II, Somasi III bisa juga Somasi I dan Somasi II (Terakhir). Somasi
pertama umumnya berupa peringatan yang masih bersifat soft, karena
kreditur biasanya masih meyakini bahwa dengan peringatan tersebut
debitur akan dengan sukarela melaksanakan isi somasi.
Jika somasi pertama tak dihiraukan, atau dijawab tapi jawabannya
tidak memuaskan, atau kreditur dan debitur berhasil melakukan
perundingan tapi tidak mencapai kesepakatan, maka kreditur dapat
melayangkan Somasi II. Somasi II memberikan peringatan yang lebih
tegas dari sebelumnya, dimana kreditur telah mengarahkan wanprestasi
kontrak langsung pada alternatif-alternatif penyelesaian yang diharapkan.
Dalam Somasi III, yang diajukan karena debitur tak juga
memberikan penyelesaian yang memuaskan, ancaman kreditur sudah
menjadi sangat tegas. Dalam somasi III kreditur hanya memberi dua
pilihan: laksanakan atau digugat. Dan jika Somasi III inipun tak memberi
penyelesaian yang memuaskan kreditur, barulah kreditur dapat meminta
pengacaranya untuk membuatkan surat gugatan ke pengadilan guna
menuntut pembatalan kontrak dan, jika kreditur memang di rugikan,
sekaligus menuntut ganti ruginya (biaya, rugi, dan bunga).
Somasi minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditor.
Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditor berhak membawa
persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan,
apakah debitor wanprestasi atau tidak. Somasi adalah teguran dari si
berpiutang (kreditor) kepada si berutang (debitor) agar dapat memenuhi
prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara
95
keduanya. Somasi ini diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal
1243 KUHPerdata.
Akibat hukum dari debitur yang telah
melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi berupa:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);
2. Pembatalan perjanjian;
3. Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak
saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan
hakim.
Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat
dilakukan oleh krediturdalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima
kemungkinan sebagai berikut (Pasal 1276 KUHPerdata):
1. Memenuhi/melaksanakan perjanjian;
2. Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;
3. Membayar ganti rugi;
4. Membatalkan perjanjian; dan
5. Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.
96
Ada kemungkinan bahwa ingkar janji (wanprestasi) itu terjadi
bukan hanya karena kesalahan debitur (lalai atau kesengajaan), tetapi juga terjadi
karena keadaan memaksa.
Kesengajaan adalah perbuatan yang diketahui dan dikehendaki.
Kelalaian adalah perbuatan yang mana si pembuatnya mengetahui
akan kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain.
97
semua akibat wanprestasi mulai berlaku terhadap debitur. Dengan
terjadinya keadaan wanprestasi, maka terbitlah hak kreditur untuk
menuntut pembatalan kontrak dan ganti rugi.
Karena tak ada ketentuan berapa kali somasi harus diajukan, maka
dalam praktek, somasi itu umumnya diajukan tiga kali yaitu: Somasi I,
Somasi II, Somasi III bisa juga Somasi I dan Somasi II (Terakhir). Somasi
pertama umumnya berupa peringatan yang masih bersifat soft, karena
kreditur biasanya masih meyakini bahwa dengan peringatan tersebut
debitur akan dengan sukarela melaksanakan isi somasi.
Jika somasi pertama tak dihiraukan, atau dijawab tapi jawabannya
tidak memuaskan, atau kreditur dan debitur berhasil melakukan
perundingan tapi tidak mencapai kesepakatan, maka kreditur dapat
melayangkan Somasi II. Somasi II memberikan peringatan yang lebih
tegas dari sebelumnya, dimana kreditur telah mengarahkan wanprestasi
kontrak langsung pada alternatif-alternatif penyelesaian yang diharapkan.
Dalam Somasi III, yang diajukan karena debitur tak juga
memberikan penyelesaian yang memuaskan, ancaman kreditur sudah
menjadi sangat tegas. Dalam somasi III kreditur hanya memberi dua
pilihan: laksanakan atau digugat. Dan jika Somasi III inipun tak memberi
penyelesaian yang memuaskan kreditur, barulah kreditur dapat meminta
pengacaranya untuk membuatkan surat gugatan ke pengadilan guna
menuntut pembatalan kontrak dan, jika kreditur memang di rugikan,
sekaligus menuntut ganti ruginya (biaya, rugi, dan bunga).
Somasi minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditor.
Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditor berhak membawa
persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan,
apakah debitor wanprestasi atau tidak. Somasi adalah teguran dari si
berpiutang (kreditor) kepada si berutang (debitor) agar dapat memenuhi
prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara
keduanya. Somasi ini diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal
1243 KUHPerdata.
Akibat hukum dari debitur yang telah
melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi berupa:
98
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);
2. Pembatalan perjanjian;
3. Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat
tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
99
Kelalaian adalah perbuatan yang mana si pembuatnya mengetahui akan
kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain.
Karena tak ada ketentuan berapa kali somasi harus diajukan, maka
dalam praktek, somasi itu umumnya diajukan tiga kali yaitu: Somasi I,
Somasi II, Somasi III bisa juga Somasi I dan Somasi II (Terakhir). Somasi
pertama umumnya berupa peringatan yang masih bersifat soft, karena
kreditur biasanya masih meyakini bahwa dengan peringatan tersebut
debitur akan dengan sukarela melaksanakan isi somasi.
a) Memenuhi/melaksanakan perjanjian;
b) Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;
c) Membayar ganti rugi;
d) Membatalkan perjanjian; dan
e) Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.
f) Ganti rugi yang dapat dituntut:
102
Ganti rugi harus mempunyai hubungan langsung (hubungan
kausal) dengan ingkar janji” (Pasal 1248 KUHPerdata) dan kerugian dapat
diduga atau sepatutnya diduga pada saat waktu perikatan dibuat.
9 https://abpadvocates.com/catat-inilah-upaya-hukum-yang-dapat-dilakukan-jika-terjadi-
wanprestasi/
103
karena perbuatan melawan hukum oleh orang lain hendak mengajukan
tuntutan ganti kerugian di hadapan Pengadian Negeri.
104
Kran induknya berada dalam rumah di tingkat atas di atas gudang-gudang
tersebut dan penghuninya tidak mau memenuhi permintaan untuk menutup
kran induk (mematikan) tersebut, sekalipun kepadanya telah dijelaskan
bahwa dengan tidak ditutupnya kran induk tersebut akan timbul kerusakan
besar pada barang yang tersimpan dalam gudang tersebut karena akan
tergenang air. Maatschappij Pertanggungan telah membayar ganti
kerugian, tetapi kemudian menuntut penghuni rumah tingkat atas tersebut
di muka Pengadilan.
105
hukum, sekalipun perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal
yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan
masyarakat. Beberapa penganut dari ajaran sempit ini adalah Simons dan
Land.
106
Kekhawatiran yang terutama dikemukakan oleh Simons adalah
sesuai dengan pendapat-pendapat para sarjana lainya yang menganut
ajaran yang luas, tidaklah beralasan karena sebagaimana diketahui dalam
hukum perdata, banyaklah yang diserahkan pada para pendapat para hakim
yang memutus, sedang hasil-KDVLO GDULSDGD ¥Freies (UPHVVHQ¥
sedemikian itu dapat saja memuaskan bilamana hakim yang bersangkutan
akan menggunakan wewenangnya secara baik.
107
Perbandingan dengan Wanprestasi Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 2,
Agustus 2013 111 perbuatan melawan hukum adalah merupakan suatu
perbuatan atau suatu kealpaan berbuat, yang melanggar hak orang lain,
atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku (orang yang
melakukan perbuatan) atau melanggar, baik kesusilaan ataupun
bertentangan dengan keharusan, yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat tentang orang lain atau barang.
108
c.Bertentangan dengan kesusilaan
Yang dimaksud dengan kesusilaan adalah norma-norma kesusilaan
sepanjang norma-norma tersebut oleh pergaulan hidup diterima sebagai
peraturanperaturan hukum yang tidak tertulis. Suatu perbuatan atau
melalaikan sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan merupakan
perbuatan melawan hukum.
110
wanprestasi merupakan genus specifik dari onrechtmatige daad seperti
yang dirumuskan dalam pasal 1365 BW.
112
Dalam pasal 1365 KUHPerdata memberikan kemungkinan
beberapa jenis penuntutan, antara lain (M.A. Moegni Djojodirdjo1976 :
102) :
113
Dalam hal ini penderita dapat juga mengajukan tuntutan kehadapan
Pengadilan agar Pengadilan Negeri memberikan keputusan dieclaratoir
tanpa menuntut pembayaran ganti kerugian. Demikian juga penderita
dapat menuntut agar Pengadilan Negeri menjatuhkan keputusannya
dengan melarang pelaku untuk melakukan perbuatan melawan hukum lagi
dikemudian hari. Bilamana si pelaku tetap tidak mentaati keputusan untuk
mengembalikan pada keadaan semula, maka si pelaku tersebut dapat
dikenakan uang paksa.
114
b. melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana
diperjanjikan;
a. pemenuhan perikatan;
c. ganti rugi;
Dalam hal yang demikian, ingkar janji tidak segera terjadi sejak
saat debitor tidak memenuhi prestasinya. Untuk itu diperlukan suatu
tenggang waktu yang layak. Jadi pada persetujuan yang tidak ditentukan
tenggang waktu prestasinya, ingkar janji tidak terjadi secara hukum. Untuk
menentukan saat terjadinya wanprestasi/ingkar janji, undang-undang
memberikan pengaturannya dengan lembaga penetapan lalai
(ingebrekestelling). Penetapan lalai adalah pesan dari kreditor kepada
115
debitor, dengan mana kreditor memberitahukan kepada pada saat
kapankah selambat-lambatnya ia mengharapkan pemenuhan prestasi.
116
sedangkan interests adalah sama dengan Tuntutan Ganti Rugi dalam
Perbuatan Melawan Hukum: Suatu Perbandingan dengan Wanprestasi Lex
Jurnalica Volume 10 Nomor 2, Agustus 2013 115 bunga dalam arti
keuntungan (Soebekti, Op.Cit : 47). Berkaitan dengan ganti rugi,
undangundang memberikan ketentuan mengenai apa yang dapat
dimasukkan dalam ganti rugi. Berarti dalam hal ini terdapat ketentuan
pembatasan dari apa yang boleh dituntut dalam ganti rugi.
117
adalah berupa interest, rente atau bunga. Perkataan morotoir berasal dari
kata latin mora yang berarti kealapaan atau kelalaian. Jadi bunga morotoir
berarti bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitor alpa
atau lalai membayar utangnya. Oleh undang-undang yang dimuat dalam
Lembaran Negara tahun 1848 No. 22, bunga tersebut ditetapkan sebesar 6
% setahun dan menurut pasal 1250 KUHPerdata, bunga yang dituntut
tidak boleh melebihi prosenan yang ditetapkan dalam undang-undang
tersebut.
119
b) Pembelaan terpaksa (noodweer) Pasal 49 KUHPidana
menyatakan, barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa
dilakukannya untuk membela dirinya atau orang lain untuk
membela kehormatan diri atau orang lain atau untuk membela
harta benda miliknya sendiri atau orang lain terhadap serangan
dengan sengaja yang datangnya dengan tiba-tiba. Dalam
pembelaan terpaksa, serangan datang dengan sengaja yang tidak
dapat dielakkan lagi (bahaya yang mengancamnya) itu, terjadinya
karena perbuatan yang melawan hukum dari orang lain.
120
baik dianggap sebagai diberikan secara sah; Tuntutan Ganti Rugi
dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu Perbandingan dengan
Wanprestasi Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 2, Agustus 2013 117
- pelaksanaannya adalah termasuk lingkungan kewajiban pegawai
bawahan tersebut.
122
hingga akibatnya tidak akan timbul. Tuntutan Ganti Rugi dalam Perbuatan
Melawan Hukum: Suatu Perbandingan dengan Wanprestasi Lex Jurnalica
Volume 10 Nomor 2, Agustus 2013 118 Ajaran Conditio Sine Qua Non
mengajarkan bahwa syarat-syarat baik positif maupun negatif sama-sama
merupaka sebab dan sebagai demikian sama nilainya.
2. Generaliserende theorie. Yang terkenal dari teori ini adalah ajaran Von
Kries, dengan ajarannya adaequate veroorzaking (Vos Mr. HB : 78). yang
mengajarkan bahwa perbuatan yang harus dianggap sebagai sebab
daripada akibat yang timbul adalah perbuatan yang seimbang dengan
akibat.
123
menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman
oleh undang-undang.
b. Kerugian merupakan akibat langsung dan serta merta dari ingkar janji
(wanprestasi) Dalam hal ini maksudnya antara ingkar janji dan kerugian
harus mempunyai hubungan causal. Jika tidak maka kerugian tidak harus
diganti.
1. Conditio Sine qua Non (Van Buri) Menurut teori ini suatu akibat
ditimbulkan oleh berbagai peristiwa yang tidak dapat ditiadakan untuk
adanya akibat. Berbagai peristiwa tersebut merupakan satu kesatuan yang
disebut sebab ajaran conditio sine qua non berpendapat bahwa syarat-
syarat yang tidak mungkin ditiadakan untuk adanya akibat adalah senilai
dan menganggap setiap syarat adalah sebab.
10
126
DAFTAR PUSTAKA
127
HUKUM
Ade Armando, dkk. Ensiklopedin Islam untuk Pelajar. Jakarta : PT Ichtiar Baru
Van Hoeve.
Ahmad Azhar Basyir. 2000. Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam).
Edisi Revisi. Yogyakarta : UII Press.
Gemala Dewi, Dkk. 2005. Hukum Perikatan Islam. Jakarta : Prenada Media
Group.
Hamzah Ya’cub. 1984. Kode Etik Dagang Menurut Islam Pola Pembinaan Hidup
dalam Berekonomi. Bandung : CV Diponegoro.
128