Anda di halaman 1dari 128

Modul 3

Civil law

Pokok Bahasan
Konsep dan Norma Perikatan yang Lahir dari Perjanjian/Kontrak

Edisi 2021

Disusun Oleh :
Dr. Saharuddin Daming, S.H., M.H.

Editor :
A. teori dan kaidah Hukum Perikatan

1. Ruang Lingkup Hukum Perikatan


Hubungan manusia dengan yang lain selalu dikaitkan dengan ikatan baik itu ikatan secara sosial
ataupun ikatan secara agama. Istilah ikatan ini kemudian bila dikaitkan dengan aspek sosial dan
ekonomi akan memunculkan istilah perikatan atau yang disebut juga dengan perjanjian. Ada yang
mengatakan bahwa perikatan itu lebih umum yang menyangkut segala aspek sedangkan perjanjian
lebih khusus atau hanya untuk perikatan tertentu seperti hutang piutang atau sewa menyewa hal ini
dapat dipahami karna selain perjajian, perikatan dalam hukum perdata juga mencakup perikatan yang
lahir dari aturan hukum maupun karna pebuatan, terutama perbuatan melawan hukum.

Perikatan ditinjau dari perkembangan hukumnya bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu hukum adat, hukum
barat, dan hukum Islam. Masing-masing hukum memiliki ketentuan tersendiri, walaupun tak luput dari
adanya persamaan dalam beberapa pokoknya. Perjanjian dalam hukum adat merujuk kepada sistem
perjanjian yang dilakukan oleh kelompok masyarakat adat tertentu, sedangkan perjanjian dalam
hukum barat merujuk kepada hukum eropa. Kedua sistem hukum tersebut ada diakui dalam Islam jika
tidak bertentangan prinsip-prinsip perjanjian dalam Islam.

Di Indonesia terdapat hukum adat dan hukum warisan Belanda dalam buku undang-undang hukum
perdata yang dikenal dengan burgerlijk wetboek yang sampai saat ini masih dijadikan rujukan oleh para
penegak hukum. Namun setelah muncul tren syari'ah atau bisa dikatakan bahwa hukum Islam
mengalami perkembangan di dunia modern, muncullah sekarang yang namanya hukum perjanjian atau
kontrak syariah.

Hukum perjanjian atau hukum kontrak yang berlaku saat ini adalah warisan Belanda sehingga ada
kemungkinan mengalami perubahan ketika masyarakat membutuhkan hukum lain yang dirasa sesuai
dengan kebutuhan pada suatu masa tertentu, terutama karena munculnya berbagai kontrak yang
menggunakan istilah- istilah dan sistem syari'ah. Untuk lebih jelasnya di sini akan dijelaskan tentang
apa itu perikatan dari sudut pandang BW dan hukum Islam.

Dalam bahasa Belanda perikatan disebut verbintenis sedang penjanjian disebut overeenkomst
sebagaimana istilah tersebut umum dipakai oleh para ahli hukum. Istilah perikatan juga memiliki
kesamaan kata dalam bahasa arab, yaitu iltizam atau 'aqdun. Adapun dalam bahasa Inggris perikatan
mempunyai keterkaitan makna dengan kata- kata seperti contract, engagement, obligation, dan duty.
Sehingga dapat dimaknai bahwa perikatan itu berhubungan erat dengan perjanjian, tanggungjawab,
kewajiban, dan amanah. Perikatan dalam hubungannya dengan kata-kata terkait di atas dapat
didefinisikan bahwa perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak di
mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, sedang pihak yang lain tersebut
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Adapun definisi yang lazim dipakai untuk perikatan
adalah bahwa perikatan

merupakan hubungan hukum yang menyangkut harta kekayaan antara dua pihak berdasarkan mana
salah satu pihak dapat menuntut pihak lain untuk memberikan, melakukan, atau tidak melakukan
sesuatu.

Perikatan disebut juga dengan akad yang merupakan janji setia kepada Allah di mana janji itu dibuat
oleh manusia dengan sesama manusia dalam pergaulan sehari- hari sebagai makhluk sosial. Perjanjian
ini kemudian memunculkan hak dan kewajiban yang harus dilakukan dan dipenuhi oleh masing-masing
pihak yang bersepakat. Misalnya seorang penjual mobil bersepakat dengan pembeli untuk menjual
barangnya dengan harga 200 juta, maka sang penjual wajib menyerahkan mobilnya dan berhak atas
uang 200 juta rupiah dari sang pembeli tadi, begitu juga sebaliknya sang pembeli wajib menyerahkan
uangnya untuk mendapatkan hak atas mobil yang dimaksud untuk dimilikinya.

Akad atau transaksi sendiri merupakan suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang
dibenarkan oleh syara' yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Maksudnya
adalah bahwa akad terjadi pada saat adanya pernyataan dari pihak pertama mengenai apa yang
diinginkannya dan adanya pernyataan pihak kedua mengenai penerimaan terhadap apa yang
diinginkan oleh pihak pertama. Kondisi inilah yang disebut dengan transaksi.

Istilah akad ini kemudian mengalamai pembaruan dengan adanya istilah iltizam (perikatan) yang dalam
hukum Islam diartikan terisinya dzimmah seseorang atau suatu pihak dengan suatu hak yang wajib
ditunaikan kepada orang atau pihak lain.

Hukum perikatan semacam ini muncul untuk memberikan perlindungan terhadap manusia karena
manusia adalah makhluk yang lemah yang mempunyai potensi untuk saling menguasai atau
melampaui batas-batas hak orang lain. Deng bertindak semena-mena terhadap hak orang lain sebab
ada bukti perjanjian atau kesepakatan baik itu tertulis maupun lisan yang disaksikan oleh pihak ketiga
seperti yang dianjurkan dalam alQur'an bahwa apabila bertransaksi maka hendaklah ditulis.10 Hal ini
senada dengan pendapat bahwa apabila seseorang telah mengikatkan diri dengan orang lain melalui
sebuah perjanjian atau perikatan maka para pihak bertanggungjawab terhadap apa yang telah
dibuatnya baik itu sifatnya untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu karena mereka
sudah terikat satu sama lain. Ini disebabkan janji mengikat hanya bagi para pihak yang terlibat.an
adanya hukum perikatan ini maka manusia akan dapat menghargai hak orang lain dan

Perjanjian/kontrak itu sendiri dalam bahasa belanda disebut ovveremcoms merupakan


bagian dari perikatan yang disebut verbintenis. sedangkan Perikatan adalah suatu
perhubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang lahir dari persetujuan/kesepakatan,
maupun dari undang-undang atau perbuatan (pasal 1233 KUHPerdata). Maka hubungan
hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perikatan merupakan induk dri
perjanjian dimana perjanjian melahirkan perikatan hukum oleh para pihak yang melakukan
perjanjian itu. perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan.
Adapun yang dimaksud hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum.
sedangkan akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak
merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban. Keberadaan suatu
perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal sebagai kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya
syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian/kontrak seperti yang tercantum dalam Pasal
1320 KUHPerdata. Menurut R Subekti Perjanjian adalah suatu pertistiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain atau dimana orang lain saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal (Subekti,1990:7).

Perjanjian sebagai bentuk umum dari kontrak adalah “suatu peristiwa hukum dimana
seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana masing-masing pihak itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal”. 3 Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu
perikatan antara masing-masing pihak yang membuatnya.
Berdasarkan rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang
hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family
law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi (pers
onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu
hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo
memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan
antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.
Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang
sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan
tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan
bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah perjanjian agar
memotong rambut tidak sampai botak.

Adapun pengertian hukum perikatan menurut para ahli:


- Sudikno Mertokusumo
Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban
atas suatu prestasi.
- Hofman
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah subjek hukum yang menyebabkan
seorang atau beberapa orang darinya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara
tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian.
- Salim H. S.
Hukum perikatan sebagai kaidah-kaidah hukum yang mengatur hiubungan hukum antara
subjek hukum yang satu dan subjek hukum yan lain dalam bidang harta kekayaan, yang
subjek hukum yang satu berhak atas suatu prestasi, sedangkan subjek hukum lainnya
berkewajiban untuk mematuhi prestasi.
- Pitlo
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang
atau lebih, atas dasar pihak yang satu sebagai penerima hak atau pemilik hak (kreditur) dan
pihak lain sebagai pemikul tanggung jawab yang berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
- KUHPerdata (BW) buku III
Perikatan adalah “Suatu hubungan hukum antara dua orang, yang memberi hak pada yang
satu menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya ini diwajibkan
memenuhi tuntutan itu.”
2. Perikatan sebagai hukum kontrak
Perikatan dalam hukum perdata merupakan kaidah sekaligus ilmu yang membicarakan
tentang hubungan hukum antara para pihak yaitu kreditur dan debitur Istilah. Perikatan
hukum tersebut dapat terjadi secara lisan, maupun tertulis, dimana yang terakhir ini disebut
kontrak karena perikatan dibuat melalui akta tertulis oleh pejabat yang berwenang. Secara
etimologi, kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. dalam oxford dictionary
merumuskan contract sebagai; an official legal agreement, usu written.1
Menurut kamus oxford tersebut diatas bahwa contract berarti suatu perjanjian resmi,
biasanya dibuat dalam bentuk tertulis. Dalam blacks law dictionary merumuskan; contract is
an agreement between to or more parties creating obligations that are enforceable or
otherwise recognizable at law.2
Menurut kamus blacks law tersebut diatas mengartikan contract sebagai sebuah
perjanjian atara dua pihak atau lebih yang menciptakan kewajiban yang dapat ditegakkan atau
diakui secara hukum.
Dalam KBBI menjelaskan bahwa: kontrak ialah perjanjian (secara tertulis) antara dua pihak
dalam perdagangan, sewa menyewa dan sebagainya, persetujuan yang bersanksi hukum
antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan. 3
Berdasarkan penjelasan dari rangkaian kamus tersebut diatas, maka dapatlah dipahami
bahwa kontrak tidak lain merupakan bentuk perjanjian yang lahir dari
kesepakatan/persetujuan antara dua pihak atau lebih mengenai hak dan kewajiban masing-
masing pihak yang harus dipenuhi dimana hak dapat dituntut, sedangkan kewajiban harus
dipenuhi (prestasi), apabila hak yang dituntut dan kewajiban tidak dipenuhi oleh masing-
masing pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian itu, maka terjadilah
pengingkaran/pencideraan terhadap janji itu (wanprestasi).
Tidak salah jika kontrak sejak dulu sampai sekarang umumnya digunakan dalam dunia
bisnis, baik yang terjadi dalam negeri maupun luar negeri. karena bisnis umumya dilakukan
oleh dua orang/lebih kontrak berfungsi sebagai instrument pengikat bisnis dengan maksud
untuk menjadi alat bukti/sebagai pegangan masing-masing pihak yang berbisnis mengenai apa
yang mereka sepakati dalam bisnis, tertuang dalam kontrak secara tertulis. semua itu
dilakukan sebagai bentuk manifestasi dari kepastian hukum agar para pihak tidak ada yang

1 A S Hornby,oxford dictionary, 1995, oxford university press.

2 Briyan A Garner,blacks law dictionary, 1999, west group.

3 Pusat Bahasa Depatemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Balai Pustaka Jakarta.
mengingkari substansi kesepakatan yang mereka buat. hal ini berbeda sekali pada perjanjian
yang dibua secara lisan, dimana para pihak dapat dengan mudah mengingkari kesepakatan
yang dicapai karena tidak ada kepastian secara tertulis.
Adapun pengertian perjanjian atau kontrak diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata,
dimana yang dimaksud dengan perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu pihak
atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Definisi perjanjian yang terdapat
dalam ketentuan tersebut tidak lengkap, dan terlalu luas. tidak lengkap karena hanya
merumuskan mengenai perjanjian sepihak saja.
Menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah Perbuatan hukum
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Menurut teori baru yang
dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah suatu hubungan
hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum.

3. Kedudukan dan sifat hukum perikatan


Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) atau (KUHPerd) mengenai hukum perjanjian diatur
dalam Buku III tentang Perikatan, dimana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum
kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau
pihak-pihak tertentu. Istilah hukum perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari
bahasa Inggris yaitu contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah
overeenscomsrecht.

Asas Kontrak sebagai Hukum Mengatur biasa disebut aanvullen recht adalah peraturan-
peraturan hukum hukum yang berlaku bagi subjek hukum, misalnya para pihak dalam suatu
kontrak. Akan tetapi, ketentuan hukum seperti ini tidak mutlak berlakunya, karena jika para pihak
mengatur sebaliknya, maka yang berlaku adalah apa yang diatur oleh para pihak tersebut. Jadi,
peraturan yang bersifat umum mengatur dapat disimpangi oleh para pihak. Pada prinsipnya
hukum kontrak termasuk kategori hukum mengatur, yakni sebagian besar (meskipun tidak
menyeluruh) dari hukum kontrak tersebut dapat disimpangi oleh para pihak dengan mengaturnya
sendiri. Oleh karena itu, hukum kontrak ini disebut hukukm yang mempunyai sistem terbuka (open
system). Sebagai lawan dari hukum mengatur adalah hukum yang memaksa (dwingend recht,
mandatory). Dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum memaksa adalah aturan hukum yang
berlaku secara memaksa atau mutlak, dalam arti tidak dapat disimpangi oleh para pihak yang
terlibat dalam suatu perbuatan hukum, termasuk oleh para pihak dalam suatu kontrak.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat di pahami bahwa Menurut kekuatan berlakunya atau kekuatan
mengikatnya, hukum perdata dapat dibedakan atas hukum yang bersifat pelengkap (aanvullend recht) dan
hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht). Hukum yang bersifat pelengkap adalah peraturan-peraturan
hukum yang boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, peraturan-peraturan
hukum mana yang hanyalah berlaku sepanjang orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri
kepentingannya. Misalnya dalam pasal 1477 BW ditentukan bahwa penyerahan harus terjadi di tempat dimana
barang yang dijual berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak telah ditentukan lain.

Peraturan hukum ini bersifat pelengkap, sehingga orang-orang yang mengadakan perjanjian jual beli suatu
barang boleh menyimpanginya dengan mengadakan perjanjian yang menentukan sendiri tempat dan waktu
penyerahan tersebut. Pasal 1477 BW barulah mengikat dan berlaku bagi mereka yang mengadakan perjanjian
jual beli sesuatu barang, kalau mereka tidak menentukan sendiri secara lain.

Hukum yang bersifat memaksa adalah peraturan-peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan atau
disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan , terhadap peraturan-peraturan hukum mana orang-orang
yang berkepentingan harus tunduk dan mentaatinya. Misalnya dalam pasal 39 Undang-undang No. 1 tahun 1974
ditentukan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan berdasarkan alasan yang sah
yang telah ditentukan. Dengan demikian hukum perdata tidak selalu berisi peraturan-peraturan hukum yang
bersifat pelengkap, meskipun hukum perdata merupakan bagian daripada hukum yang mengatur kepentingan-
kepentingan perseorangan, dan pada galibnya dibidang ini berperan kehendak individu yang bersangkutan,
melainkan ada peraturan-peraturan hukum yang bersifat memaksa, yang membatasi kehendak individu-individu
tersebut.

Perikatan masih bersifat abstrak sehingga diperlukan suatu perjanjian yang isinya
memuat perikatan diantara beberapa pihak. Setiap perjanjian memuat perikatan, tetapi tidak
semua perikatan senantiasa dibuat perjanjiannya.
Dalam suatu perjanjian, terdapat perikatan, yaitu adanya saling keterikatan dalam
objek tertentu yang berakibat pada lahirnya hak dan kewajiban diantara pihak-pihak yang
melakukan perjanjian. Berdasarkan hubungan tersebut pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak
yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang. Adapun yang
dituntut disebut  prestasi. [1]

Menurut undang-undang, prestasi dapat berupa:


1.Menyerahkan barang;
2. Melakukan perbuatan;
3. Tidak melakukan perbuatan.
Dan apabila seorang debitur tidak melakukan kewajibannya, maka tindakan si debitur
disebut wanprestasi.[2]

Dasar hukum perikatan diatur dalam buku III KUHPerdata dan diklasifikan menjadi dua
macam, yaitu:
1. Umum,   yaitu bab 1, 2, dan 4;
2. Khusus,  yaitu bab 3, 5, 6, 7, dan 8
Sumber-sumber perikatan pada dasarnya dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Menurut Pasal 1233 KUHPerdata
a. Bersumber dari perjanjian (obligation ex contractu)
b. Bersuber pada Undang-Undang (obligation ex lege)

2. Berdasarkan fakta hukum, yaitu:


a. Putusan hakim
Putusan hakim adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap
(viterlijke gewijsde). Putusan hakim merupakan sumber perikatan karena menimbulkan
kewajiban kepada seseorang untuk memenuhi suatu prestasi.
b. Moral
Perikatan moral termasuk dalam perikatamn alamiah. Perikatan lamiah terdiri atas 3
macam, yaitu:
1. Perikatan berdasarkan ketentuan undang-undang atau kehendak para pihak sejak
semula tidak mempunyai hak penuntutan, contoh Pasal 1788 KUHPerdata, seperti
utang yang timbul karena perjudian.
2. Perikatan yang berasal dari moral yang sifatnya mendesak, contoh orang yang
menemukan dompet, kemudian mengembalikannya, tidak bisa menuntut si pemilik
dompet untuk membayar kepadanya sejumlah uang.
3. Perikatan yang semula perikatan perdata, kemudian karena verjaring menjadi
perikatan moral. Contoh Pasal 1967 sampai dengan Ps 1975.

Dalam KUHPerdata, terdapat perikatan yang dinamakan naturlijke verbintenis (suatu


perikatan yang berbeda ditengah-tengah antara perikatan moral atau kepatutan dan suatu
perikatan hukum).  Perikatan yang digolongkan dalam perikatan ini, yaitu:
1. Utang-utang yang terjaddi karena perjudian, Ps 1788 tidak diizinkan untuk menuntut
pembayaran.
2. Pembayaran bunga dalam hal pinjaman uang yang semata-mata diperjanjikan. Jika si
berutang membayar bunga yang tidak diperjanjikan, ia tidak dapat meminta kembali,
kecuali jika jumlah yang telah dibayar melampaui bunga menurut undang-undang.
3. Sisa utang seorang pailit, setelah dilakukan pembayaran menurut perdamaian
(accord). [3]
Sistem pengaturan hukum perikatan adalh bersistem “terbuka (oppen baar orde).
Artinya, setiap orang boleh memasukkan ide atau kepentingannya dalam melakukan perikatan
tanpa menggantungkan diri pada ketentuan dalam buku III BW mengenai hukum perikatan.
Hukum perikatan juga berlandaskan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)
yang berarti setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur
maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Menurut ketentuan Ps 1338 ayat (1)
KUHPerdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4. Menentukan bentuk perjanjian.
Akan tetapi, keterbukaan itu dibatasi oleh tiga hal, yaitu;
1. Tidak melanggar undang-undang;
2. Tidak bertentangan dengan kesusilaan;
3. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum.[4]

C. Shuld dan Van Haftung


Menurut Shuld  bahwa kewajiban seorang debitur membayar utang-utangnya,
sedangkan menurut Van haftung  bahwa kewajiban seorang debitur membiarkan kreditur
mengambil harta kekayaannya sebesar kewajiban pelunasan utangnya.[5]

Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-
undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu
dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut:
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang.
3.  Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming).
4. Perikatan yang lahir dari tata kerama yang baik atau moral Positif.

4. Sumber dan unsur perikatan


Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau
karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan
dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3.  Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang
timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwa Hukum Perikatan, seacara teknis
yuridisbersumber dan diatur dalam Buku III KUH Perdata yang memuat azas-azas umum dalam empat
bab (titel) dan ketentuan-ketentuan khusus dalam limabelas bab.1 Buku III KUH Perdata berjudul "van
verbintenissen". Istilah verbintenis dalam KUH Perdata merupakan salinan istilah obligation dalam
Code Civil Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah obligation. 2
Istilah verbintenis dalam KUH Perdata ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam kepustakaan
hukum Indonesia. Ada yang menterjemahkan dengan perutangan,3 ada yang menterjemahkan dengan
perjanjian,4 dan ada pula yang menterjemahkan dengan perikatan.5 Penggunaan istilah perikatan
untuk verbintenis nampaknya lebih umum dipergunakan dalam kepustakaan hukum Indonesia.
Menurut ketentuan pasal 1233 UW perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan
yang bersumber dari perjanjian diatur dalam titel II (pasal 1313 s/d 1351) dan titel V s/d XVIII (pasal
1457 s/d 1864) Buku III BW. Scdangkan perikatan yang bersumber dari undangundang diatur dalam
titel III (pasal 1352 s/d 1380) Buku III BW. Perikatan yang bersumber dari undang-undang menurut
pasal 1352 BW dibedakan atas perikatan yang lahir dari undang-undang saja (uit de wet allen) dan
perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia (uit de wet door's mensen
toedoen). Kemudian perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia menurut
pasal 1353 BW dibedakan lagi atas perbuatan yang sesuai dengan hukum (rechtmatige) dan perbuatan
yang melawan hukum (onrechtmatige). Sumber-sumber perikatan dan pembeda-bedaannya tersebut
dapat dischemakan sebagai berikut ini. Perikatan 1233 BW Bersumber dari 1. Perjanjian 1313 BW 2.
Undang-undang 1352 BW terbagi dua a. Undang-undang saja b. Undang-undang karena perbuatan
manusia 1353 BW terbagi dua: - Perbuatan yang sesuai dengan hukum (rechtmatige) 1354
(zaakwaarneming) dan 1359 (onverschuldigde betaling) 35 - Perbuatan yang melawan hukum
(onrechtmatige) (pasal 1365 s/d 1380) Diephuis, Asser dan Suyling sebagaimana dikutip R. Soetojo
Prawirohamidjojo dalam Hukum Perikatan mengatakan bahwa antara perikatan yang bersumber pada
perjanjian dan perikatan yang bersumber pada undang-undang pada hakikatnya tidak ada perbedaan,
sebab semua perikatan meskipun bersumber pada perjanjian pada hakikatnya baru mempunyai
kekuatan sebagai perikatan karena diakui oleh undang-undang dan karena mendapat sanksi dari
undang- undang.6 Meskipun demikian menurut penulis-penulis yang lebih muda seperti Van Brakel,
Losecaat - Vermeer dan Hofmann - Opstaal, kedua macam perikatan itu tetap ada perbedaannya. Pada
perikatan yang bersumber dari undang-undang, perikatan itu diciptakan secara langsung karena suatu
keadaan tertentu perbuatan atau kejadian dan memikulkan suatu kewajiban dengan tidak
menghiraukan kehendak orang yang harus memenuhinya. Sedangkan pada perikatan yang bersumber
dari perjanjian, meskipun mendapat sanksi dari undang-undang, tetapi keharusan untuk memenuhi
kewajiban barulah tercipta setelah yang bersangkutan yang harus memenuhinya memberikan
persetujuannya atau menghendakinya.7 Vollmar, Pitio, H. Drion dan Meyers dalam ajaran umumnya
menyatakan bahwa tidak ada pertentangan (tegenstelling) yang hakiki antara perikatan yang
bersumber dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari undang-undang. Sebab pada akhirnya
selalu undang-undang yang memberi sanksinya meskipun yang menjadi sumbernya perjanjian. Namun
demikian tidak perlu ada keberatan terhadap pembagian yang diadakan pasal 1233 BW itu.8 Para ahli
hukum perdata pada umumnya sependapat bahwa sumber perikatan sebagaimana disebut pasal 1233
BW yaitu perjanjian dan undangundang adalah kurang lengkap. Sumber perikatan yang lain adalah Ilmu
Pengetahuan Hukum Perdata, hukum tidak tertulis dan keputusan hakim (yurisprudensi).
Perlu dipahami bahwa KUHPerdata (BW), dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu :

Buku I : Tentang orang (Ven Person) dan hukum keluarga (Van Familie);
Buku II : Tentang Benda (Van Zaken), yang didalamnya termasuk hukum waris (Erf Recht);
Buku II : Tentang Perikatan (Verbintenissen Recht) atau hukum perjanjian (Verbintenissen);
Buku IV : Tentang Pembuktian (Van Bewijk) dan Kedaluwarsa (Verjaring).
Jika diamati dengan cermat pembagian yang dilakukan oleh KUHPerdata (BW) diatas, maka dapat dikatakan hal
tersebut hampir sama dengan Code Civil Des Francis yang terdiri dari 3 (tiga) buah buku yang terdiri dari :
Buku I mengatur terkait dengan hukum orang dan hukum keluarga;
Buku II mengatur tentang hukum benda, hak milik, hak menikmati hasil, hak memakai dan mendiami, dan hak
pakai (servitut);
Buku III mengatur tentang hukum waris, hukum perikatan, hukum harta perkawinan, hak gadai, daluarsa, dan
segala sesuatu yang tidak diatur dalam buku I dan buku II.
Sistem yang dianut dalam Buku II/Hukum Benda adalah system tertutup.
Sistem tertutup artinya orang tidak dapat mengadakan/membuat hak-hak kebendaan yang baru selain yang
sudah ditetapkan dalam undang-undang. Jadi hak-hak kebendaan yang diakui itu hanya hal-hak kebendaan yang
sudah diatur oleh undang-undang.
Kita tidak boleh misalnya mengadakan hak milik baru yang tidak sama dengan hak milik yang sudah diatur oleh
undang-undang.
Berbeda dengan sistem yang dianut oleh hukum perikatan dalam buku III, yaitu sistem terbuka.
Sistem terbuka artinya setiap orang dapat bebas membuat perjanjian apa saja selain apa yang telah ditetapkan
oleh undang-undang asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Sistem terbuka ini merupakan cerminan dari pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Jadi buku III/hukum perikatan menganut asas kebebasan berkontrak.

4. Masalah lain yang muncul sehubungan dengan adanya penafsiran yang luas dari H.R
terhadap perikatan alamiah, sehinggah meliputi kewajiaban-kewajiban berdasarkan tata krama
yang baik atau moral (fastoenverplichtingen ) dan kewajiaban seperti itu dianggap sebagai “
Pembayaran” ( betaling ) dan bukan sesuatu yang “ tidak Wajib” (niet onverplicht), shingga
muncul pertanyaan , apakah moral positif dan tatakrama ( fatsun) sekarang juga merupakan
sumber Perikatan.

Adapun unsur-unsur perjanjian adalah sebagai berikut:

a. Adanya pihak-pihak yang sekurang-kurangnya dua orang.


b. adanya persetujuan atau kata sepakat.
c. adanya tujuan yang ingin dicapai.
d. adanya prestasi atas kewajiban yang akan dilaksanakan.
e. adanya bentuk tertentu.
f. adanya syarat-syarat tertentu.
selain hal tersebut diatas, unsur perjanjian dilihat dari segi subtansinya terdiri dari:
Unsur esensialia
Inti dari unsur esensialia ini adalah suatu prestasi-prestasi yang di buat oleh kedua
belah pihak mempunyai perbedaan dari jenis perjanjian yang lain dan mempunyai karakteristik
sendiri-sendiri. Seperti dalam membuat definisi, rumusan bahkan pengertian dari perjanjian.
Contoh perjanjian jual beli dibedakan dengan perjnjian tukar-menukar.
Perjanjian esensialia ini adlaah unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian, tanpa adanya
unsur ini maka bisa jadi sepahaman antara kedua belah pihak tidak sejalan.

Unsur naturalia
Unsur naturalia ini adalah unsur yang sudah pasti ada di dalam perjanjian. Setelah
unsur dari esensialia ini sudah diketahui pasti setelah itu akan terdapat unsur naturalia yang
berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang tidak memenuhi syarat
misal cacat atau kerusakan.
  
Unsur aksidentalis
   Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan
ketentuan yang dapat menyimpang oleh para pihak. Unsur ini merupakan syarat khusus yang
ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kehendaknya. Pada hakikatnya unsur ini bukan
merupakan suatu prestasi yang harus dilaksanakan dan dipenuhi oleh para pihak. Contoh
penentuan tempat saat penyerahan benda dalam hal jual beli.

B. SUBJEK DAN OBJEK DALAM HUKUM PERJANJIAN

Subjek hukum

Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian
awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi
pada saat perjanjian tersebut dibuat. Pasal 1338 KUH Perdata menegaskan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Akan tetapi, hal tersebut dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang menegaskan
bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, maka diperlukan empat syarat, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Sesuatu sebab yang halal.

Perjanjian baru dapat dikatakan sah jika telah dipenuhi semua ketentuan yang telah
diatur dalam undang-undang tersebut di atas. Pernyataan sepakat mereka yang
mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian digolongkan ke dalam
syarat subjektif atau syarat mengenai orang yang melakukan perjanjian, sedangkan tentang
suatu hal tertentu dan sebab yang halal digolongkan ke dalam syarat objektif atau benda
yang dijadikan objek perjanjian. Hal-hal tersebut merupakan unsur-unsur penting dalam
mengadakan perjanjian.

Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai kewenangan
hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai materi atas
perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah
objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang di sepakati.
Dalam mengadakan suatu perjanjian, setiap subjek hukum harus memenuhi
suatu kondisi tertentu agar dapat mengikat para pihak yang membuatnya. Jika subjek
hukumnya adalah “orang” orang tersebut harus cakap hukum.

Syarat-syarat “orang” yang cakap hukum oleh Prof. Abdulkadir Muhammad dalam
hukum perdata Indonesia adalah :

a. Seseorang yang sudah dewasa, pengertian dewasa yaitu sudah berumur 21


tahun dalam Hukum perdata.
b. Seseorang yang berusia dibawah 21 tahun tetapi pernah menikah.
c. Seseorang yang sedang tidak menjalani hukum.
d. Berjiwa sehat dan berakal sehat.

Namun, jika subjeknya “badan hukum” harus memenuhi syarat formal suatu badan
hukum. Badan hukum merupakan badan-badan atau perkumpulan. Badan hukum
menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro adalah sebagai berikut: “Suatu badan yang di
samping menusia perorangan juga dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai
hak-hak,kewajiban-kewajiban dan kepentingan-kepentingan hukum terhadap orang lain
atau badan lain.”

Syarat formil yang harus dipenuhi sehubungan dengan permohonan untuk


mendapatkan status badan hukum, yaitu :

1) Harus ada akta pendirian dari Notaris.


2) Kewenangan untuk memberikan status Badan Hukum ada pada
Kementerian Hukum dan HAM.
3) Untuk mendapat status tersebut yang bersangkutan mengajukan
permohonan kepada Kementerian Hukum dan HAM melalui Ketua PN
domisili perusahaan.

Menurut Meyers sebagaimana dikutip oleh Abdulkadir Muhammad, menjelaskan


bahwa syarat material badan hukum adalah :

a. Ada harta kekayaan, bukan harta kekayaan pribadi anggota, pendiri atau
pengurusnya.
b. Ada tujuan tertentu.
c. Ada kepentingan sendiri.
d. Ada organisasi yang teratur.

Kedua jenis subjek hukum tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam
melakukan perjanjian. Oleh karena itu, dalam hukum perjanjian, yang dapat menjadi
subjek hukumnya adalah individu dengan individu atau pribadi dengan pribadi, badan
hukum dengan badan hukum.

Dalam teori dan praktek hukum, subyek perjanjian terdiri dari :

a. Individu sebagai orang yang bersangkutan


1) Orang tertentu
2) Badan Hukum
Jika Badan Hukum yang menjadi subyek, perjanjian yang diikat bernama “perjanjian
atas nama” dan kreditur yang bertindak sebagai penuntut disebut “tuntutan atas
nama”.
b. Individu sebagai orang yang bersangkutan
1) Orang tertentu
2) Badan Hukum
Jika Badan Hukum yang menjadi subyek, perjanjian yang diikat bernama “perjanjian
atas nama” dan kreditur yang bertindak sebagai penuntut disebut “tuntutan atas
nama”.

c. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan atau hak orang lain
tertentu.
d. Orang yang dapat diganti.

Pada suatu perjanjian terdapat pihak-pihak perjanjian. Para pihak itulah sebagai
subyek hukum, sedangkan lawannya obyek hukum yang berupa benda atau barang. Dalam
KUHPerdata ditentukan hanya orang yang menjadi subyek hukum dan hanya benda yang
menjadi obyek hukum. Mengenai orang secara umum di atur didalam Buku I KUHPerdata,
sedangkan benda di atur didalam Buku III KUHPerdata.

Orang sebagai subyek hukum dapat di bedakan menjadi dua pengertian, yaitu :

a. Natuurlijke persoon, yang disebut orang sebagai manusia atau manusia pribadi
yang berarti pembawa hak atau subyek di dalam hukum.
b. Rechtpersoonyang disebut orang dalam bentuk badan hukum yang dimiliki hak-hak
dan dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang seperti seorang manusia

Objek Perjanjian

Obyek dalam perjanjian merupakan sesuatu yang diperlukan oleh subyek untuk
mencapai tujuan dalam perjanjian.

“Jika Undang-undang telah menetapkan subyek perjanjian yaitu para pihak pembuat

perjanjian, maka yang menjadi obyek dari perjanjian ialah perjanjian itu sendiri.”28
Dalam Pasal 1234 KUHPerdata, “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.” Dapat disimpulkan bahwa dalam
Pasal ini ada 3 (tiga) cara pelaksanaan kewajiban atau prestasi, yakni memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Dengan berdasarkan 3 (tiga) cara pelaksanaan
tersebut, dapat diketahui wujud dari prestasi dapat berupa barang, jasa (keahlian) dan tidak
berbuat sesuatu. Sedangkan perikatan untuk memberikan sesuatu di atur dalam Pasal 1235
KUHPerdata, “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub
kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk
merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan.

Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih terhadap perjanjian- perjanjian
tertentu, yang akibat-akibatnya mengenai hal ini di tunjuk dalam bab- bab yang
bersangkutan.

Tetapi perjanjian untuk menyerahkan bukan semata-mata yang berwujud benda nyata
saja, maupun jenis dan benda tertentu. Seperti dalam persetujuan sewa menyewa yang
diatur dalam Pasal 1550 KUHPerdata. Penyewa wajib menyewakan barang sewa kepada si
penyewa. Yang diserahkan bukan hak kebendaannya tetapi pemakaian untuk dinikmati
dengan aman.

Dalam Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata menentukan, bahwa obyek atau prestasi dalam
perjanjian harus memenuhi syarat, yaitu obyeknya harus tertentu. Atau sekurang-
kurangnya obyek itu mempunyai jenis tertentu seperti yang dirumuskan dalam Pasal
1333 KUHPerdata,

Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit di
tentukan jenisnya.Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja
jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.

Dengan demikian, dapat di simpulkan apa yang dimaksud dengan “hal tertentu” sebagai
syarat obyektif dari syarat sahnya perjanjian yakni barang yang sudah ditentukan minimal
sudah ditentukan jenisnya, termasuk juga barang yang baru dapat ditentukan atau dihitung
kemudian, walaupun pada saat perjanjian dibuat belum ditentukan.

Hakekat dan suatu Perjanjian pada saat perancangan suatu perjanjian adalah
Perumusan tentang adanya kesepakatan atau kesesuaian kehendak (consensus ad idern);
rumusan tentang adanya janji-janji yang dibuat oleh masing-masing pihak sebagai imbalan
atas janji-janji atau untuk kepentingan pihak yang lain, walaupun selalu ada kemungkinan
dibuatnya kontrak yang berisi perjanjian sepihak. namun dianjurkan untuk selalu memahami
perjanjian yang timbale balik sehingga prestasi harus dilakukan oleh salah satu pihak selalu
dipahami sebagai imbalan atas prestasi yang akan dilakukan oleh pihak lain; Perumusan
tentang pihak-pihak pembuat perjanjian dan informasi tentang kemampuan hukum dan para
pihak untuk melakukan tindakan hukum dan mengikatkan di dalam kontrak dan Perumusan
tentang objek dan nilai ekonomis perjanjian yang menjadi causa dan transaksi diantara para
pihak; Penggunaan bentuk, wujud dan format tertentu (sesuai keinginan para pihak).

Syarat dan ketentuan yang biasanya disepakati oleh para pihak dalam suatu perjanjian
adalah Besarnya harga jual beli atau harga sewa menyewa dan besarnya modal dasar yang
disepakati; Objek atau barang yang ditentukan; besarnya suku bunga kredit bila merupakan
sesuatu yang menggunakan pinjaman ataupun pembayarannya menggunakan tenggang
waktu; jangka waktu sewa, kredit, leasing atau lain sebagainya bila merupakan perjanjian
pemberian modal ventura; Carapembayaran; biaya yang haru dibayar masing-masing pihak;
kewajiban menutup asuransi jika diperlukan

Dalam melaksanakan suatu perjanjian yang menjadi sasaran pokok suatu perjanjian
atau persetujuan adalah prestasi. Menurut Kitab Undang-undang hukum perdata
Indonesia,perestasi dapat berupa pemberian sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat
sesuatu. Prestasi berupa pemberian sesuatu, dapat dimaknai sebagai perbuatan yang
berwujud penyerahan hak dari masing-masing pihak yang melakukan perjanjian,
khususnya perjanjian yang bersifat obligatoir yaitu perjanjian yang dilekati kewajiban
kepada masing-masing pihak. Contoh pemberian sesuatu antara lain perjanjian jual beli
televisi, dimana penjual menyerahkan televisi pada pembeli, sebaliknya pembeli
menyerahkan sejumlah uang kepada penjual sesuai dengan harga yang di sepakati para
pihak.
Istilah pemberian sesuatu dalam unsur prestasi, sebenarnya kurang tepat karena
pemberian bermakna sebagai perbuatan cuma-cuma seperti hibah. Karena itu, istilah
yang lebih tepatnya adalah menyerahkan sesuatu sebagaimana uraian penulis di atas.

Adapun pengertian berbuat sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu
yang bukan berupa memberikan sesuatu, misalnya membuat naskah buku untuk menerbitkan
oleh penerbit anggota IKAPI. Sedangkan pengertian tidak berbuat sesuatu adalah larangan
bagi pihak tertentu untuk melakukan hal tertentu ulah sebagaimana yang tertuang dalam
perjanjian. Contoh : Ahmad bersedia meminjamkan uang kepada Mahmud dengan ketentuan
Mahmud dilarang menggunakan uang itu untuk berpoya-poya.

C. ASAS-ASAS PERJANJIAN
Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar
belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum
positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum
dalam peraturan konkrit tersebut.

Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan
terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau
putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut.

Dalam menyusun suatu perjanjian atau perjanjian, baik perjanjian itu bersifat
bilateral dan multilateral maupun perjanjian dalam lingkup nasional, regional, dan
internasional, harus didasari pada prinsip hukum dan klausul tertentu. Dalam Hukum
Perdata dikenal beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan dalam penyusunan
perjanjian sehingga akan terhindar dari unsur-unsur yang dapat merugikan para pihak
pembuat suatu perjanjian yang mereka sepakati.

Perlu dijelaskan bahwa asas hukum Asas hukum perjanjian merupakan landasan
norma yang dapat menjadi alat uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma
hukum tersebut pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang
menjiwainya. Asas-asas hukum perjanjian ini dalam kerangka hukum positif memilki
dua fungsi utama yakni, pertama sebagai alat yang membangun konstruksi hukum
perjanjian, membagun fondasi dan menempatkan kedudukan hukum para pihak secara
setara. Kedua, sebagai asas-asas yang mengarahkan pada pihak untuk membentuk
subtansi (isi) dari perjanjian. Dengan demikian pembahasan dalam asas hukum kontrak
ini terbagi menjadi dua, adapun lebih rinci adalah sebagai berikut :

1) Asas Hukum Perjanjian yang Membangun Konstruksi Hukum Perjanjian.


2) Asas Konsensualitas.

Merupakan asas yang berasal dari kata “consensus” yang berarti sepakat. Dalam
membuat perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan (konsensus) yakni para pihak
sepakat atau setuju mengenai prestasi yang diperjanjikan. Asas konsensualitas ini
terkandung dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang mengharuskan adanya kata
sepakat di antara para pihak yang membuat kontrak.

1. Asas kebebasan membuat Kontrak

Maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja,
baik bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan.

Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi :
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”

Tujuan dari pasal di atas bahwa pada umumnya suatu perjanjian itu dapat dibuat secara
bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian
dengan siapapun, bebas untuk menentukan bentuknya maupun syarat-syarat, dan bebas
untuk menentukan bentuknya, yaitu tertulis atau tidak tertulis.

Jadi dari pasal tersebut dapat simpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat
perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat
mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Kebebasan berkontrak dari para
pihak untuk membuat perjanjian itu meliputi :

a. Perjanjian yang telah diatur oleh undang-undang.


b. Perjanjian-perjanjian baru atau campuran yang belum diatur dalam undang-
undang.

Merupakan asas yang berasal dari kata “consensus” yang berarti sepakat. Dalam
membuat perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan (konsensus) yakni para pihak
sepakat atau setuju mengenai prestasi yang diperjanjikan. Asas konsensualitas ini
terkandung dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang mengharuskan adanya kata
sepakat di antara para pihak yang membuat kontrak.

2. Asas kebebasan membuat Kontrak

Maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja,
baik bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan.

Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi :
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”

Tujuan dari pasal di atas bahwa pada umumnya suatu perjanjian itu dapat dibuat secara
bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian
dengan siapapun, bebas untuk menentukan bentuknya maupun syarat-syarat, dan bebas
untuk menentukan bentuknya, yaitu tertulis atau tidak tertulis.

Jadi dari pasal tersebut dapat simpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat
perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat
mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Kebebasan berkontrak dari para
pihak untuk membuat perjanjian itu meliputi :

a. Perjanjian yang telah diatur oleh undang-undang.


b. Perjanjian-perjanjian baru atau campuran yang belum diatur dalam undang-
undang.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling penting
dalam hukum perjanjian, karena dari asas inilah tampak adanya pernyataan
dan ungkapan hak asasi manusia dalam mengadakan perjanjian sekaligus
memberikan peluang bagi perkembangan hukum perjanjian. Selain itu asas
ini juga merupakan dasar dari hukum perjanjian. Asas kebebasan berkontrak
tidak tertulis dengan kata-kata yang banyak dalam undang-undang tetapi
seluruh hukum perdata kita didasarkan padanya.

Dalam bahasa lain asas ini dikenal dengan istilah “partij


otonomie” atau “freedom of contract” atau “liberty of contract”. Asas ini
merupakan bentuk asas yang sifatnya universal di anut oleh seluruh negara
termasuk Indonesia. Sultan Remy Sjahdeini menjelaskan bahwa membuat
kontrak menurut hukum perdata di Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai
berikut :

 Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat kontrak;


 Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin
membuat kontrak;
 Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari kontrak
yang akan dibuatnya;
 Kebebasan untuk menentukan objek kontrak;
 Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu kontrak;
 Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan
undang-undang yang bersifat opsional.

Meskipun disebut sebagai asas kebebasan berkontrak, bukan berarti


bebas secara utuh melainkan ada beberapa pembatasan di dalamnya.
Adapun pembatasan tersebut berada pada ketentuan pasal 1337 yang
membatasi kontrak dilarang bertentangan d engan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan.

3. Pembatasan asas kebebasan dalam berkontrak

21
Pembatasan oleh Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yaitu hanya
mengikat para pihak yang melakukan perjanjian. Pasal 1320 KUH Perdata
mengandung pembatasan bahwa para pihak hanya dapat membuat perjanjian
yang menyangkut causa yang halal saja, diperkuat dengan Pasal 1337 KUH
Perdata, bahwa suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya, Pasal 1338 ayat 3
KUH Perdata tentang berlakunya asas itikas baik dalam melaksanakan
perjanjian.

1) Pembatasan oleh Pancasila

Yakni dibatasi oleh Sila Keadilan Yang Beradab. Dalam sila ini
manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai
mahluk Tuha Yang Maha Esa, sama derajatnya, sama hak dan kewajiban
asasinya, tanpa membedakan suku, agama, jenis kelamin, kedudukan sosial,
warna kulit dan sebagaiya. Dengan demikian, asas kebebasan berkontrak ini
dibatasi oleh perwujudan harkat dan martabat manusia dalam lapangan
kehidupa sosial.

2) Pembatasan Oleh Negara

Alenia keempat Pembukaa UUD 1945 mencantumkan bahwa maksud


dibentuknya pemerintahan negara Republik Indoensia adalah untuk
melindungi dan mencerdaskan kehidupan segenap bangsa. Hal ini berarti
bahwa negara mempunyai kewajiban untuk melindungi rakyat dari
perlakuan tidak adil, termasuk terhadap perjanjian yang merugikan salah
satu pihak. Salah satu perwujudan dari upaya perlindungan terhadap
perlakuan tidak adil adalah dengan disahkanya UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yang bertujuan untuk melindungi
konsumen dari perilaku semena-mena para pelaku usaha.

3) Pembatasan oleh persaingan usaha

Berangkat dari fenomena pencantuman klasula baku oleh pihak-pihak


yang berada dalam posisi kuat dalam proses penawarannya, ternyata
persaingan usaha diantara para pelaku usaha juga membatasi gerak mereka
dalam menentukan syarat-syarat tertentu bagi calon konsumen. Hal ini
22
didasari oleh pemikiran bahwa konsumen tentunya akan memilh produsen
yang memberikan syarat-syarat yang lebih ringan dan menarik. Oleh karena
itu, dalam membuat klausula baku para pelaku usaha tentunya
mempertimbangankan hal-hal tersebut.

Dinamika Perkembangan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam


Perjanjian Syariah Di Indonesia Dalam konteks sistem hukum Indonesia,
Hukum Islam juga telah mendapat perhatian penting, formalisasi terhadap
Hukum Islam terutama menyangkut penegakan Perjanjian Syariah, mulai
digagas untuk pertama kali melalui rintisan berdirinya perbankan syariah
dan lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya, seperti Asuransi Syariah,
dan Pegadaian Syariah. Rintisan praktik perbankan Islam di Indonesia
dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan
bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. menyebut beberapa, di antaranya
adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin,
dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktikkan
dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil
Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M
Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank
Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba,
sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna
pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara
sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus,
yakni mudlarabah (bagi hasil), musyarakah (kerja sama), dan murabahah
(pembiayaan).18 Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di
Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18-20 Agustus tahun
tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya
bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya
tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV
MUI di Jakarta 22-25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi
pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok
kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk
melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank
23
Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada
tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi
dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September
1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia. Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan
perbankan syariah pada saat berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993
dengan 18 Muhammad Sjaiful, “Karakteristik Asas Kebebasan Berkontrak
dalam Perjanjian Berbasis Syariah”, Jurnal Universitas Halu Oleo, Vol. 15
No. 1 Mei 2015, h. 75.

pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan


terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri,
keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan
demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang
perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of
forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang
mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut.
Perkembangan kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat
Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24
Desember 2003 menetapkan di antaranya perubahan nama BAMUI menjadi
Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS)19 dan mengubah
bentuk badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan menjadi “adan‟
yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI.
Selain peraturan-peraturan tersebut, terhadap jenis kegiatan, produk dan jasa
keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua fatwa Dewan
Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai
kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa
keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh
lembagalembaga keuangan syariah di Indonesia. Formalisasi Hukum
Ekonomi Syariah di Indonesia yang di dalamnya tentu saja mengadopsi
berbagai perjanjian berbasis syariah secara tidak langsung tentu masuk
dalam pembahasan berbagai asas yang menjadi dasar bagi tegaknya
24
perjanjian-perjanjian berbasis syariah yang didalamnya sudah termasuk asas
kebebasan berkontrak sebagai bahagian integral yang tidak terpisahkan bagi
tegaknya perjanjian yang dimaksud. Karakteristik Batasan Kebebasan
Berkontrak Dalam Perjanjian Syariah Islam memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan
tersebut ditentukan ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati
bentuk dan isinya, maka perikatan tersebut mengikat para pihak yang
menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala sesuatu berdasarkan hak dan
kewajibannya. Namun kebebasan ini tidak absolute. Sepanjang tidak
bertentangan dengan ajaran agama (syari’ah Islam), maka perikatan tersebut
boleh dilaksanakan.20 Menurut Faturrahman Djamil bahwa, ”Syari’ah Islam
memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai
dengan yang diinginkan atau sesuai kehendaknya, akan tetapi yang
menentukan syarat sah tidaknya adalah ajaran agama.21 Asas kebebasan
berkontrak dalam Perjanjian Islam Mabda’ Hurriyah at Ta’aqud. Asas ini
merupakan prinsip dasar dalam hukum perjanjian Islam dalam artian para
pihak bebas membuat suatu perjanjian (Freedom of Making Contract) lisan
maupun tertulis. Bebas dalam menentukan objek perjanjian dan bebas
menentukan dengan siapa membuat perjanjian serta bebas menentukan
bagaimana cara menentukan penyelesaian suatu sengketa jika terjadi
masalah dikemudian hari22. Berdasarkan uraian tersebut, sesungguhnya
Hukum Islam mengakui kebebasan berkontrak, bahwa setiap orang dapat
membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada sebab-sebab tertentu dan
memasukkan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai
dengan kepentingannya sepanjang tidak bertentangan dengan apa yang
dimuat secara substansial dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad
sebagai sumber hukum utama dalam Hukum Islam. Al-Qur’an dan Hadis
Nabi Muhammad secara prinsip telah menempatkan asas kebebasan
berkontrak sebagai bagian integral dari tegaknya perjanjian yang dibuat para
pihak. Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konkretisasi lebih jauh dan
spesifikasi yang lebih tegas terhadap asas-asas perjanjian yang berlangsung
dalam kehidupan masyarakat. Konteks kehidupan masyarakat yang

25
dimaksud disini tidak hanya masyarakat homogenitas muslim tetapi juga
melibatkan kelompok masyarakat nonmuslim.

Landasan adanya asas kebebasan berkontrak23 dalam Islam pada


dasarnya merujuk kepada beberapa dalil dalam Al-Qur‟an dan Hadis Nabi
Muhammad sebagai sumber utama Hukum Islam, yakni: Firman Allah
SWT, “Wahai orang-orang beriman, penuhilah akad-akadmu
(perjanjianperjanjian)” (Quran Surah Al-Maidah; Ayat (1); dan sabda Nabi
Muhammad SAW, “Orang-orang Muslim itu senantiasa setia kepada syarat-
syarat (janjijanji) mereka” Berdasarkan dua rujukan tersebut, maka menurut
kaidah usul fiqih (metode penemuan Hukum Islam), menunjukkan bahwa
perintah syariat untuk memenuhi perjanjian adalah wajib. Artinya, menurut
perspektif Hukum Islam, memenuhi akad itu hukumnya wajib. Dalam al-
Qur’an Surah al-Maidah Ayat (1), menunjukkan kata yang bersifat jamak
yang diletakkan kata sandang al yang menunjukkan keumuman. Sehingga
dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa orang dapat membuat akad apa
saja baik yang bernama maupun yang tidak bernama dan akad-akad itu
wajib dipenuhi. Penghormatan Islam terhadap kebebasan berkontrak tidak
terlepas dari paradigma dasar Hukum Islam yang selalu bertujuan untuk
menciptakan kemanfaatan (maslahah) bagi umat manusia karena mengingat
ajaran Islam adalah pembawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil-
alamin). Selain itu, urgensi asas kebebasan berkontrak yang dijamin oleh
syariah adalah untuk menunjukkan bahwa kebebasan berkontrak pada
asasnya merupakan fitrah manusia yang harus tetap dipertahankan. Namun
demikian, asas kebebasan berkontrak yang ditegakkan dalam perjanjian
syariah adalah asas kebebasan berkontrak yang tidak ditegakkan atas dasar
individualistik-pragmatis. Paradigma dasar dari asas kebebasan berkontrak
perspektif syariah adalah berada dalam kerangka pandang filosofis keilahian
atau kewahyuan. Maknanya bahwa asas perjanjian yang ditegakkan atas
dasar kebebasan berkontrak bukanlah tegak atas dasar kebebasan yang
sifatnya mutlak tetapi kebebasan dimaksud adalah kebebasan yang tidak
melanggar nilai-nilai syariah yang terdapat dalam ajaran islam.

26
Nilai-nilai syariah yang dimaksud adalah batasan-batasan apa yang
dilarang dalam Hukum Syariah, yaitu batasan-batasan yang diharamkan
dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad. Pembatasan berupa larangan
dalam Syariat Islam antara lain yang terkait dengan larangan makan harta
bersama secara bathil. Yang dimaksud secara bathil adalah memakan atau
mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan dan tidak
sah menurut Hukum Syariah, baik yang dilarang secara langsung oleh al-
Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad atau yang dinyatakan oleh hasil
penggalian hukum (ijtihad) para ahli Hukum Islam (Ulama). Secara umum
dapat dikatakan bahwa memakan harta dengan cara batil juga termasuk di
dalamnya yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Batil
yang dimaksud di sini adalah sesuatu perbuatan hukum yang melanggar
Syariat Islam. Syariat Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang
untuk melakukan akad sesuai yang diinginkannya, sebaliknya apabila ada
unsur pemaksaan atau pemasungan kebebasan akan menyebabkan legalitas
kontrak yang dihasilkan batal atau tidak sah. Asas ini menggambarkan
prinsip dasar bidang muamalah yaitu kebolehan (mubah) yang mengandung
arti bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk
dan macam muamalah baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup
masyarakat. Banyak bidang-bidang usaha yang telah diisyaratkan dalam Al-
Qur’an, misalnya: pertanian (thariq al-zira’ah), peternakan, industri (thariq
shina’ah), baik industri pakaian, industri besi ataupun industri bangunan,
perdagangan (thariq tijarah), industri kelautan, dan jasa. Namun kebebasan
berkontrak tersebut memiliki limitasi terhadap hal-hal yang sudah jelas
dilarang dalam syariat. Tujuan dari limitasi tersebut adalah untuk menjaga
agar tidak terjadi penganiayaan antara sesama manusia melalui kontrak yang
dibuatnya. Limitasi tersebut antara lain larangan bertransaksi secara ribawi,
larangan perjudian atau untung-untungan, dan larangan gharar
(ketidakpastian risiko, spekulasi atau bahaya yang dapat menyesatkan pihak
lain, yang di sini juga termasuk larangan ijon seperti menjual ikan yang
masih berada dalam kolam (mukhabarah) atau menjual barang yang tidak
dapat diserahkan karena belum dikuasai) dalam melakukan transaksi.24
Pemaknaan batil disini juga adalah bila objek perjanjian yang bertentangan

27
dengan norma-norma kesusilaan yang diatur dalam Hukum Islam (Syariat),
misalnya objek perjanjian, adalah barang yang diharamkan atau dilarang
dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad, seperti minuman keras,
daging babi, prostitusi, judi, utang piutang yang mengandung unsur riba,
dan perdagangan orang. Pada sisi lain, terdapat pula larangan-larangan yang
menyangkut teknis dalam bertransaksi, seperti larangan monopoli, larangan
menimbun barang untuk me-naikkan harga, larangan menaikkan penawaran
untuk mengelabui pembeli lain bukan untuk sungguh-sungguh membeli,
larangan perampasan atau akad yang mengandung penipuan dan merampas
milik orang lain tanpa izin. Demikian pula dilarang melakukan eksploitasi
dan unfair dealings serta masih banyak lagi ketentuan dalam perdagangan
yang diatur secara jelasjelas dilarang pelaksanaannya. Selain itu asas
kebebasan berkontrak perspektif perjanjian syariah, juga dibatasi oleh
ketentuan tidak adanya unsur paksaan, kekhilafan dan penipuan. Dasar
hukum asas ini tertuang dalam Surah Al-Baqarah ayat 256 dengan kata
“tidak ada paksaan” sebagaimana yang diatur dalam al-Qur’an Surah
AlBaqarah ayat 256. Adanya kata tidak ada paksaan menegaskan bahwa
Islam menghendaki dalam hal perbuatan apapun harus didasari oleh
kebebasan untuk bertindak sepanjang itu benar dan tidak bertentangan
dengan nilainilai syari’ah. Artinya, dalam hukum Islam kedua belah pihak
dibebaskan membuat perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan
hukum Islam. Islam telah meletakkan asas kebebasan berkontrak yang
secara filosofis bukanlah atas dasar individualisme-pragmatis. Justru
melalui asas kebebasan berkontrak, akan memberikan fungsi dalam
perjanjian agar manusia tidak dapat mengambil keuntungan dari orang lain
dengan memaksa mereka dalam perjanjian yang tidak adil atau dengan
membuat

4. Asas itikad baik

Asas ini sebenarnya muncul dari ketentuan imperatif yang tertera


dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menjelaskan bahwa “Kontrak
harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Akan tetapi KUHPerdata tidak
28
memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai apa yang dimaksud
dengan itikad baik ini. Makna “itikad baik” sendiri menurut Kamus Bahasa
Indonesia adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud kemauan
(yang baik). Jadi dapat disimpulkan bahwa maksud itikad baik adalah
semangat yang menjiwai para pihak dalam suatu perbuatan hukum atau
tersangkut dalam hubungan hukum.

Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum
perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat
(3) bahwa perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Sementara itu,
Arrest H.R. di Negeri Belanda memberika peranan tertinggi terhadap itikad
baik dalam tahapan praperjanjian bahkan kesesatan ditempatkana di bawah
asas itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak.

Bahwa orang yang akan membuat perjanjian harus dilakukan dengan


itikad baik. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan
sebagai kejujuran seseorang yaitu apa yang terletak pada seorang pada
waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian
obyektif adalah bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hukum harus
didasarkan pada norma kepatutan atau apaapa yang dirasa sesuai dengan
yang patut dalam masyarakat.

5. asas pacta sun servanda

asas ini mengandung dua pengertian besar yaitu:

a. bahwa daya mengikat perjanjian/conract yang dibuat oleh para pihak,


mempunyai kekuatan sama dengan kekuatan undang-undang,
b. siapa yang membuat/menjadi pihak dalam suatu perjanjian/contract, maka
ia terikat secara hukum sehingga wajib menepati/memenuhi semua apa yang
tertuang dalam perjanjian/contract itu.

Setiap orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi


perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang
harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana
mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat

29
(1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Asas kekuatan mengikat ini merupakan asas yang mengharuskan para


pihak memenuhi apa yang telah merupakan ikatan mereka satu sama lain
dalam kontrak yang mereka buat. Asas hukum ini disebut juga dengan asas
pacta sun servanda, yang secara konkrit dapat dicermati dalam Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata yang memuat ketentuan bahwa “semua kontrak
yang dibuat sesuai dengan undang-undang, berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas Pacta Sun Servanda merupakan asas dalam perjanjian yang


berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat
secara sah oleh para pihak mengikat mereka yang membuatnya dan
perjanjian tersebut berlaku seperti Undang-Undang.

Asas pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian.


Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata :

 Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-


undang.
 Para pihak harus menghormati perjanjian dan
melaksanakannya karena perjanjian itu merupakan kehendak
bebas para pihak.

Dengan demikian para pihak tidak dapat mendapat kerugian karena


perbuatan mereka dan juga tidak mendapat keuntungan darinya, kecuali
kalau perjanjian tersebut dimaksudkan untuk pihak ketiga. Maksud dari asas
ini dalam suatu perjanjian tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum
bagi para pihak yang telah membuat perjanjian itu.

6. Asas berlakunya suatu perjanjian

Pada dasarnya semua perjanjian itu berlaku bagi mereka yang


membuatnya tak ada pengaruhnya bagi pihak ketiga kecuali yang telah
diatur dalam undang-undang, misalnya perjanjian untuk pihak ketiga Asas
berlakunya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang
30
berbunyi : “Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengikatkan diri atas
nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian suatu janji dari
pada untuk dirinya sendiri.”

Serupa dengan pendapat di atas mengenai azas-azas dalam Hukum


Perjanjian, Mucdarsyah Sinungan, menambahkan azas-azas yang telah
tersebut di atas dengan satu azas, yaitu Azas Kepribadian. Menurut azas ini,
seorang hanya diperbolehkan mengikatkan diri untuk kepentingan dirinya
sendiri dalam suatu perjanjian. Azas ini terdapat pada Pasal 1315
KUHPerdata yang menyebutkan bahwa pada umumnya tak seorang dapat
mengikatkan diri pada atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu
janji dari pada untuk dirinya sendiri.

7. Asas kesimbangan

Seimbang artinya adalah keadaan seimbang, sebanding, setimpal.


Dalam maknanya dengan perjanjian berarti keseimbangan posisi para pihak
yang membuat kontrak. Dalam hubungannya dengan perikatan, seimbang
bermakna tidak ada faktor-faktor yang mengganggun posisi keseimbangan
para pihak dalam melakukan kontrak.

8. Asas Kepercayaan

Asas kepercayaan merupakan asas yangs sangat penting dalam suatu


perjanjian, kepercayaan akan menimbulkan suatu kehendak timbal balik
diantara para pihak. Sebelum melakukan perjanjian, kepercayaanlah yang
terlebih dahulu harus dibangun oleh para pihak. Asas kepercayaan ini bukan
merujuk pada kehendak para pihak, tetapi merupakan bentuk pengharapan
yang muncul pada pihak yang bereaksi terhadap apa yang dinyatakan.

kepatutan ini berkaitan langsung dengan tatanan moral dan sekaligus


tatanan akal sehat pada suatu tindakan atau suatu situasi faktual tertentu.
Asas kepatutan ini mengarahkan isi suatu kontrak yang harus
memperhatikan unsur keadilan dalam masyarakat. Asas kepatutan ini
terkandung dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “
Kontrak-kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas

31
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
kontrak, diharuskan oleh “kepatutan”, kebiasaan atau undang-undang”.

9. Asas Moral

Asas moral tampak dalam kontrak yang menimbulkan perikatan


wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan
hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak lainya. Asas moral
ini terdapat dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan “ kesusilaan”.

10. Asas Kebiasaan

Sebagaimana asas lainya asa kebiasaan ini terkandung juga dalam


ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang memuat kententuan bahwa “
Kontrak-kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
kontrak, diharuskan oleh “kepatutan”, kebiasaan atau undang-undang”. Asas
kebiasaan mengarahkan suatu kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang diatur secara tegas dalam undang-undang, yurisprudensi dan
sebagainya, tetapi juga yang menjadi kebiasaan yang diikuti secara umum.

11. Asas Ganti Kerugian

Asas ganti kerugian ini terncantum dalam Pasal 1243 KUHperdata


sebagai berikut : “ akibat wanprestasi yang dilakukan oleh debitur atau
pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak,
yang menimbulkan kerugian bagi kreditor atau pihak yang mempunyai hak
menerima prestasi dari pihak lainya dalam kontrak, menimbulkan kewajiban
debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi
dalalm kontrak untuk membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditor
atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi dan pihak lainya dalam
kontrak tersebut.”

12. Asas ketepatan waktu

Asas ketepatan waktu in sangat penting untuk menentukan kapan


suatu kontrak berakhir atau hapus dan sebagai dasar penuntutan bagi pihak-
32
pihak yang dirugikan, karena kontrak yang dilaksanakan tidak tepat waktu.
Dlam kontrak tertulis batas waktu pelaksanaan kontrak selalu ditegaskan.
Jika prestasi tidak dilaksanakan sesuai dengan waktu yang diperjanjikan,
maka salah satu pihak wanprestasi atau cidera janji.

13. Asas keadaan memaksa

Asas keadaan memaksa merngarahkan setiap kontrak mencantumkan


klausula keadaan memaksa dalam kontrak, karean hal-hal diluar
kemampuan manusia atau diakibatkan oleh kejadian alam. Asas keadaan
memaksa ini merujuk pada aturan dalam Pasal 1244 dan pasal 1245 .

14. Asas pilihan hukum

Asas pilihan hukum (choice of forum) ini sangat penting, umumnya


asas ini berlaku ketika perjanjian mengandung unsur internasional, yaitu
para pihak berbeda kewarganegaraan dan memiliki sistem hukum yang
berbeda. Asas ini menjadikan penting karena ada beberapa pihak asing yang
tidak senang bahwa kontraknya ditafsirkan menurut hukum suatu negara
tertentu.

15. Asas Penyelesaian Sengketa

Asas penyelesaian sengketa ini menghendaki setiap kontrak tertulis


secara tegas bentuk dan mekanisme hukum penyelesaian sengketa hukum
kontrak di antara para pihak yang membuat kontrak. Asas penyelesaian
sengketa penting untuk menentukan pilihan forum berupa lembaga
pengadilan, lembaga arbitrase, atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hukum kontrak,
jika sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak.

Demikianlah asas-asas yang sangat penting bagi pembuatan suatu


perjanjian. Asas kategori pertama mendasari para pihak ketika akan
mengadakan kesepakatan dan memposisikan para pihak secara adil menurut
hukum. Asas kategori kedua adalah asas yang harus diperhatikan para pihak
dalam membentuk isi dari kontrak.

16. Asas Sistem Perjanjian


33
a. Hukum perjanjian menganut system terbuka. Dalam pengertian
ini, hukum perjanjian memberikan kebebasan kepada
masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja,
asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Sistem ini kemudian melahirkan prinsip kebebasan berperjanjian
(freedom of contract) yang membuka kesempatan kepada para
pihak yang membuat perjanjian untuk menentukan hal-hal
berikut ini. Pilihan Hukum (choice of law). Dalam hal ini para
pihak menentukan sendiri dalam perjanjian tentang mana yang
berlaku terhadap interpretasi perjanjian tersebut.
b. Pilihan Forum ( Choice of jurisdiction ). Para pihak menentukan
sendiri dalam perjanjian tentang pengadilan atau forum mana
yang berlaku jika terjadi sengketa di antara para pihak dalam
perjanjian tersebut.
c. Pilihan Domisili ( choice of domicile ). Dalam hal ini masing-
masing pihak melakukan penunjukan dimanakah domisili
hukum dari para pihak tersebut.

Kebebasan di atas tidak hanya berlaku untuk perjanjian yang meliputi


satu wilayah Negara melainkan berlaku juga dalam perjanjian yang
melintasi batas-batas Negara.

D. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian dan akibat hukumnya


Dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat empat syarat
untuk menentukan sahnya perjanjian, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesusian pernyataan


kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai
itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat /
diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan
kehendak, yaitu dengan :

1) Bahasa yang sempurna dan tertulis


2) Bahasa yang sempurna secara lisan
34
3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak
lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang
menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi
dimengerti oleh pihak lawannya.
4) Bahasa isyarat awal asal dapat diterima lawannya
5) Diam dan membisu, tetapi asal dipahami atau diterima oleh
pihak lawan.

Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak,
yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan tertulis. Tujuan
pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian
hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala
timbul sengketa dikemudian hari.

Dengan dilakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka


kedua belah pihak mempunyai kebebasan kehendak.

Masing-masing pihak tidak mendapat tekanan atau paksaan yang


mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.

Kata sepakat dalam suatu perjanjian merupakan suatu keadaan yang


menunjukkan kedua belah pihak sama-sama tidak menolak apa yang
diinginkan pihak lawannya. Dengan adanya kata sepakat, maka perjanjian
itu telah ada, mengikat kedua belah pihak dan dapat dilaksanakan. Untuk
mengetahui kapan terjadinya kata sepakat, KUHPerdata sendiri tidak
mengaturnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori yang
mencoba memberikan penyelesaian persoalan sebagai berikut :

1. Teori kehendak (wilstheorie)

Dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi manakala para
pihak menyatakan kehendaknya untuk mengadakan suatu perjanjian.

2. Teori kepercayaan (vetrouwenstheorie)


Berdasarkan teori kepercayaan, kata sepakat dalam perjanjian
dianggap telah terjadi pada saat pernyataan salah satu pihak dapat
dipercaya secara obyektif oleh pihak yang lainnya.

35
3. Teori ucapan (uitingstherie)

Dalam teori ini yang dilihat adalah ucapan (jawaban) debitur. Kata
sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitur mengucapkan
persetujuannya terhadap penawaran yang dilakukan kreditur. Jika
dilakukan dengan surat, maka kata sepakat terjadi pada saat menulis
surat jawabannya.

4. Teori pengiriman (verzenuingstheorie)

Dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitur
mengirimkan surat jawaban kepada kreditur. Jika pengiriman
dilakukan lewat pos, maka kata sepakat dianggap telah terjadi pada
saat surat jawaban tersebut distempel oleh kantor pos.

5. Teori penerimaan (ontvangstheorie)

Menurut teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat kreditur
menerima kemudian membaca surat jawaban dari debitur, karena saat
itu dia mengetahui kehendak dari debitur.

6. Teori pengetahuan (vernemingstheorie)

Menurut teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitur
mengetahui bahwa debitur telah menyatakan menerima tawarannya.

Setelah mengetahui waktu terjadinya kata sepakat, maka sebagaimana


telah diketahui dengan kata sepakat berakibat perjanjian itu mengikat dan
dapat dilaksanakan. Namun demikian untuk sahnya kata sepakat harus
dilihat dari proses terbentuknya kehendak yang dimaksud. Menurut R.
Subekti meskipun demikian kebanyakan para sarjana berpendapat bahwa
sepanjang tidak ada dugaan pernyataan itu keliru, melainkan sepantasnya
dapat dianggap melahirkan keinginan orang yang mengeluarkan
pernyataan itu, maka vertrouwenstheorie yang dipakai sebagi teori
kepercayaan.

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

36
Cakap merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan
hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak
dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan
perbuatan tertentu.

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk


melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang
akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang mengadakan
perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang
untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh
undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan
perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan
adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak
berwenang melakukan perbuatan hukum adalah :

i. Anak dibawah umur, dalam hal ini anak-anak dianggap tidak


cakap untuk melakukan perjanjian.
ii. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan.
iii. Istri, tercantum dalam pasal 1330 KUH Perdata. Akan tetapi
dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan
hukum, sebagaimna diatur dalam pasal 31 UU Nomor 1 Tahun
1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek
suatu perjanjian. Menurut Pasal 1332 BW ditentukan bahwa barang-
barang yang bisa dijadikan obyek perjanjian hanyalah barang-barang yang
dapat diperd agangkan. Lazimnya barang-barang yang diperdagangkan
untuk kepentingan umum, dianggap scbagai barang-barang diluar
perdagangan sehingga tidak dapat dijadikan obyek perjanjian.
Apa saja yang menjadi objek dari perjanjian haruslah disebutkan
dalam perjanjian secara jelas, misalnya mengenai peralatan, pembagian
keuntungan dan lain-lain. Objek perjanjian tersebut kemudian juga
menjadi objek dari hukum perjanjian itu sendiri, artinya selain para pihak
yang melakukan perjanjian, objek perjanjian tertentu juga dapat dikenai

37
akibat hukum. Objek suatu perjanjian sekurang-kurangnya dapat
ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada
dan nanti akan ada. Adapun syarat dari objek perjanjian, secara lebih rinci
adalah :
 Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan.
 Barang-barang yang digunakan untuk kepentingan umum tidak
dapat dijadikan objek perjanjian.
 Dapat ditentukan jenisnya.
 Barang yang akan datang, dalam kaitan ini hanya barang-
barang yang dapat diperdagangkan saja.
 Barang yang akan ada.
Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa
dalam perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya, supaya
perjanjian dapat dilaksanakan dengan baik. Suatu perjanjian yang tidak
memenuhi syarat yang ketiga ini berakibat batal demi hukum,
perjanjiannya dianggap tidak pernah ada (terjadi).

4. Suatu sebab yang halal


Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat atau terakhir
untuk sahnya perjanjian. Melihat ketentuan dalam Pasal 1335 KUHPerdata
menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat
karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
Perjanjian tanpa sebab apabila perjanjian itu dibuat dengan tujuan
yang tidak pasti atau kabur. Perjanjian yang dibuat karena sebab yang
palsu, tujuannya untuk menutupi apa yang sebenarnya hendak dicapai
dalam perjanjian tersebut. Suatu sebab dikatakan terlarang apabila
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kepentingan
umum (Pasal 1337 KUHPerdata).
Setiap pertjanjian yang dilakukan oleh para pihak, pempunyai akibat
hukum yaitu sah atau tidak sah.jika perjanjian itu memenuhi semua sarat
yang ditentukan dalam pasal 1320 KUH perdata, maka perjanjian itu
berakibat hukum sebagai perjanjian yang sah. Tapi apabila ada unsur yang
tidak trpenuhi,maka perjanjian itu mempunyai akibat hukum sebagai
38
perjanjian yang sah tetapi dapat dibatalkan, atau perjanjin batal demi
hukum.

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif. Apabila salah satu
dari syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat di batalkan oleh
para pihak. Jika pembatalan itu hanya dilakukan oleh satu pihak, maka
harus mengajukan gugatan ke pengadilan untuk membatalkan perjanjuan
itu. yang berhak menuntut pembatalan terhadap perjanjian yang tidak
memenuhi syarat subyektif ini adalah pihak yang memberikan sepakat
tidak bebas atau pihak yang tidak cakap. Suatu perjanjian apabila terdapat
salah satu pihak yang memberikan sepakat misalnya seorang anak yang
belum dewasa, maka anak itu sendiri yang dapat atau berhak menuntut
pembatalannya kelak bila ia sudah menjadi dewasa atau orang tua/walinya.
Dalam hal seorang yang berada di bawah pengampuan, pengampunyalah
yang dapat meminta pembatalan dan dalam hal seorang yang telah
memberikan sepakat atau perijinannya secara tidak bebas, dia sendiri yang
dapat meminta pembatalannya.

Dengan demikian walaupun suatu perjanjian yang tidak memenuhi


syarat subyektif ini tidak dengan sendirinya batal demi hukum, akan tetapi
tidak mempunyai kepastian karena setiap saat terancam oleh bahaya
pembatalan dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk
mematuhinya. Perjanjian ini dalam bahasa Inggris dinamakan voidable
atau dalam bahasa Belanda disebut vernietigbaar.

Hak untuk meminta pembatalan ini selanjutnya dibatasi oleh


undang - undang yaitu dalam Pasal 1454 Kitab Undang - undang Hukum
Perdata, yang memberikan batas waktu 5 (lima) tahun berlakunya hak
tersebut. Juga dalam Pasal 1456 Kitab Undang - undang Hukum Perdata
menentukan bahwa hak tuntutan untuk membatalkan suatu perjanjian
menjadi gugur apabila terdapat penguatan (affirmation) secara tegas atau
secara diam-diam oleh orang tuanya, wali atau pengampu dari suatu pihak
yang tidak memenuhi syarat subyektif.

39
Lalu apakah yang dapat mengancam unsur persetujuan di anggap
tidak memenuhi syarat sehingga perjanjian dapat dibatalkan? Ancaman
tersebut mencakup 3 hal sebagaimana di tegaskan dalam pasal 1321
KUHper :

Syarat Konsensual

Sebagaimana amanat pasal 1320 ayat 1 KUHperdata disebut


kesepakatan atau persetujuan sebagai bentuk peruwujudan asas konsesual,
merupakan syarat sahnya perjanjian. Jika prinsip ini di langgar atau tidak
terpenuhi, maka perjanjian tidak sah. Lalu kapankah kesepakatan atau
persetujuan dapat dicapai oleh para pihak dalam perjanjian?, hal ini di
jawab melalui beberapa teori sebagai berikut :

1. Teori kehendak

Menurut teori kehendak ini, yang menentukan telah terjadinya


suatu perjanjian adalah kehendak para pihak.  Perjanjian mengikat, kalau
kedua kehendak telah saling bertemu dan perjanjian mengikat atas dasar
bahwa kehendak para pihak patut dihormati. 
Jadi, teori kehendak berprinsip bahwa suatu perjanjian yang tidak
didasarkan atas suatu kehendak yang benar adalah tidak sah. Teori
kehendak ini sebagai dasar pembentukan KUH Perdata.

Konsekuensi dari diberlakukannya teori kehendak adalah sebagai


berikut :
- Kalau orang memberikan suatu pernyataan yang tidak sesuai dengan
kehendaknya, maka pernyataan tersebut tidak mengikat dirinya.
- Perjanjian tidak muncul atas dasar pernyataan yang tidak dikehendaki.
Sehingga agar pernyataan mengikat, ia harus didasarkan atas kehendak.

Masalah dari teori kehendak tersebut adalah dalam hal :

4 https://legalstudies71.blogspot.com/2017/10/teori-kehendak-wilstheorie.html
40
- tidak mudah membuktikan adanya suatu kekeliruan, apabila kehendak
berbeda atau keliru dengan apa yang dinyatakan. 
- beban pembuktian terletak pada pihak yang menuntut pembatalan
perjanjian tersebut. 

Meskipun demikian, menurut teori kehendak ini, pernyataan


kehendak tetaplah harus ada. Untuk adanya sepakat, tetap harus ada
pernyataan yang saling bertemu. Selain itu, kehendak dan pernyataan
kehendak harus ada hubungannya, hanya saja yang utama adalah
kehendaknya. Sehingga apabila terjadi perbedaan antara pernyataan
kehendak dan kehendak yang dimaksud, maka yang digunakan untuk
menetapkan  ada atau tidaknya kata sepakat adalah unsur kehendaknya.

2. Teori pernyataan (verklaringstheorie)


Menurut teori pernyataan, pembentukan kehendak terjadi dalam
ranah kejiwaan seseorang. Sehingga pihak lawan tidak mungkin
mengetahui apa yang sebenarnya terdapat di dalam benak seseorang.
Dengan demikian suatu kehendak yang tidak dapat dikenali oleh pihak lain
tidak mungkin menjadi dasar dari terbentuknya suatu perjanjian. 4
Agar suatu kehendak dapat menjadi perjanjian, maka kehendak
tersebut harus dinyatakan. Sehingga yang menjadi dasar dari terikatnya
seseorang terhadap suatu perjanjian adalah apa yang dinyatakan oleh orang
tersebut. 5 Lebih lanjut menurut teori ini, jika terdapat ketidak sesuaian
antara kehendak dan pernyataan, maka hal ini tidak akan menghalangi
terbentuknya perjanjian. 6
Teori pernyataan lahir sebagai jawaban terhadap kelemahan teori
kehendak. Namun teori ini juga memiliki kelemahan. Karena teori
pernyataan hanya hanya berfokus pada pernyataan dan tidak
memperhatikan kehendak seseorang. Sehingga terdapat potensi kerugian
yang terjadi apabila tidak terdapat keseuaian antara kehendak dan
pernyataan.

41
Misalnya seseorang menjual mobil yang harga pasarannya adalah
Rp. 100.000.000,-. Namun karena suatu hal, ia menuliskan angka Rp.
10.000.000,- pada surat penawarannya.  Apabila kita berpatokan pada teori
pernyataan, maka penjual akan mengalami kerugian yang sangat besar
karena kesalahan penulisan tersebut.

3. Teori kepercayaan
(vertrouwenstheorie)
Teori kepercayaan berusaha untuk mengatasi kelemahan dari teori
pernyataan. Oleh karena itu teori ini juga dapat dikatakan sebagai teori
pernyataan yang diperlunak.  Menurut teori ini, tidak semua pernyataan
melahirkan perjanjian. Suatu pernyataan hanya akan melahirkan perjanjian
apabila pernyataan tersebut menurut kebiasaan yang berlaku di dalam
masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan
memang benar dikehendaki.  Atau dengan kata lain, hanya pernyataan
yang disampaikan sesuai dengan keadaan tertentu (normal) yang
menimbulkan perjanjian.  Lebih lanjut menurut teori ini terbentuknya
perjanjian bergantung pada kepercayaan atau pengharapan yang muncul
dari pihak lawan sebagai akibat dari pernyataan yang diungkapkan.

Cacat Konsesual

Dalam Pasal 1321 KUHPer dikatakan bahwa tiada sepakat yang


sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan
paksaan atau penipuan. Paksaan juga mengakibatkan batalnya suatu
perjanjian jika paksaan itu dilakukan terhadap suami atau istri atau sanak
keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah.

Berdasarkan pasal 1321 tersebut di atas, maka unsur yang dapat


mengancam keabsahan kesepakatan adalah kekhilafan, paksaan dan
penipuan, kesemuanya dikategorikan sebagai faktor cacat unsur
5 https://www.jurnalhukum.com/teori-teori-yang-digunakan-untuk-menentukan-terjadinya-
kesepakatan/
42
persetujuan dalam perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian
yang mengandung cacat dalam kehendak adalah perjanjian-perjanjian yang
pada waktu lahirnya mengandung cacat dalam kehendak. Perhatikan kata-
kata “pada waktu lahirnya”.

Undang-undang dalam Pasal 1322 – Pasal 1328 B.W. mengatur


tentang perjanjian yang telah ditutup atas dasar adanya cacat dalam
kehendak. Ke dalam kelompok perjanjian yang mengandung “cacat dalam
kehendak” dalam doktrin dimasukkan perjanjian-perjanjian yang
mengandung unsur “kesesatan, paksaan atau penipuan” pada saat lahirnya
perjanjian. Belakangan juga dimasukkan ke dalamnya perjanjian yang
timbul atas dasar adanya “penyalahgunaan keadaan”.

Pada perjanjian yang mengandung cacat dalam kehendak,


kehendak yang diberikan dalam perjanjian itu bukan didasarkan atas
kehendak (sepakat) yang murni, sepakat di sana diberikan karena ia keliru,
tertekan, tertipu atau di bawah pengaruh orang lain yang
menyalahgunakan keadaan yang ada.

Jadi, bukan merupakan sepakat yang mestinya ia berikan kalau ia


tidak khilaf (keliru), tidak takut kepada tekanan yang ada, kalau
kehendaknya tidak dibawa kepada gambaran yang tidak benar oleh lawan
janjinya atau kepercayaannya tidak disalahmanfaatkan oleh lawan
janjinya. Sepakat di sini adalah sepakat yang – dalam bahasa Jawa --
keblinger, jadi -- walaupun ada diberikan sepakat, namun -- bukan
didasarkan atas kehendak yang sebenarnya.

Dari Pasal 1321 – Pasal 1328 B.W. kita bisa menyimpulkan,


bahwa “sepakat” yang diberikan atas dasar kesesatan, paksaan dan
penipuan (dan kemudian juga penyalahgunaan-keadaan), bukanlah
“sepakat” sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1320 sub 1 B.W., karena
sepakat yang telah diberikan sebagai akibat adanya kesesatan, paksaan,
penipuan dan penyalah-gunaan keadaan, bukan merupakan sepakat yang
sah (baca Pasal 1321 B.W.) dan karenanya bisa dituntut pembatalannya.

43
Padahal “sepakat yang benar” mengikat pihak yang memberikan
sepakat itu sebagai suatu undang-undang (Pasal 1338 ayat (1) B.W.).
Kiranya patut untuk diterima, bahwa sepakat yang tidak didasarkan atas
kehendak yang sebenarnya tidak melahirkan perjanjian yang sah

Dengan mengingat akan sepakat yang mengandung cacat dalam


kehendak sebagai yang disebutkan di atas, maka bisa kita katakan, bahwa:

”Sepakat yang benar, pasti adalah sepakat yang tidak tersesat, tidak
terpaksa, tidak tertipu dan tidak telah diberikan karena adanya
penyalahgunaan keadaan.”

Seorang dikatakan menyepakati suatu perjanjian, kalau ia


menyetujui isi perjanjian itu. Isi perjanjian mengikat karena ia
menyetujuinya. Hal itu berarti, bahwa orang terikat kepada isi perjanjian
sebagai akibat dari sepakat yang telah diberikan. Bukankah Pasal 1320 sub
1 B.W. mengatakan “sepakat mereka yang mengikatkan diri”?

Dengan demikian orang yang menyepakati suatu perjanjian,


menyetujui akibat yang timbul dari perjanjian itu. Menyetujui “akibat
suatu perjanjian” berarti menghendaki akibat yang timbul dari perjanjian
yang ia sepakati atau dengan perkataan lain menyetujui untuk terikat pada
akibat perjanjian yang bersangkutan. Di lain pihak atas dasar sepakat, ia
pun mendapatkan apa yang menjadi haknya berdasarkan perjanjian yang
bersangkutan. Kita melihat, unsur sepakat dalam perjanjian mempunyai
peranan yang sangat penting untuk sahnya perjanjian.

Dengan demikian bisa kita simpulkan, bahwa :

“Sepakat yang benar didasarkan atas kehendak (yang benar). Sepakat


dalam perjanjian adalah pertemuan dua kehendak, yang diberikan oleh
para pihak di dalam suatu perjanjian.”

Di dalam “sepakat yang diberikan para pihak”, termasuk sepakat


yang diberikan orang melalui seorang kuasa, yang bertindak untuk dan
atas namanya, dalam batas-batas kewenangan yang diberikan kepadanya.
44
Sehubungan dengan pokok pembicaraan kita di depan, maka yang
perlu kita ketahui adalah, apakah perjanjian, yang ditutup atas dasar
adanya kesesatan, paksaan, penipuan dan penyalahgunaan kehendak,
lahir? Apakah dalam peristiwa seperti itu lahir perjanjian?

Terkait lahirnya perjanjian ini akan dibahas dalam tulisan berikutnya.

Adapun rumusan kekhilafan dalam Pasal 1322 KUH Perdata.


Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi
mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk
mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan terutama
karena diri orang yang bersangkutan.

Jika memperhatikan Pasal 1322 tersebut diatas,, maka dapat di pahami


bahwa jika kekhilafan terhadap objek maka bisa terjadi suatu kebatalan.
Sedangkan, kekhilafan terhadap orang tidak menjadi sebab kebatalan.
Namun, dalam hal kekeliruan terhadap orang, dimana prestasi dari
perjanjian khusus hanya dapat dijalankan orang tersebut maka dapat
dibatalkan. Misalnya, saat meminta seorang penyanyi pop bernama santi
untuk tampil namun ternyata yang datang adalah santi penyanyi rock.
Dalam hal ini, kekhilafan terhadap orang dapat dibatalkan.

Pemaksaan

Prof. Subekti dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum


Perdata (hal. 135), mengatakan bahwa paksaan terjadi jika seseorang
memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Misalnya
ia akan dianiaya atau akan dibuka rahasianya jika ia tidak menyetujui suatu
perjanjian. Yang diancamkan harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang
oleh undang-undang. Jikalau yang diancamkan itu suatu perbuatan yang
memang diizinkan oleh undang-undang, misalnya ancaman akan menggugat
yang bersangkutan di depan hakim dengan penyitaan barang, itu tidak dapat
dikatakan suatu paksaan.

Pendapat serupa juga dikatakan oleh Elly Erawati dan Herlien


Budiono dalam bukunya yang berjudul Penjelasan Hukum tentang
45
Kebatalan Perjanjian (hal. 56). Tentang paksaan dalam KUHPerdata adalah
paksaan secara kejiwaan atau rohani, atau suatu situasi dan kondisi di mana
seseorang secara melawan hukum mengancam orang lain dengan ancaman
yang terlarang menurut hukum sehingga orang yang berada di bawah
ancaman itu berada di bawah ketakutan dan akhirnya memberikan
persetujuannya dengan tidak secara bebas. Ancaman itu menimbulkan
ketakutan sedemikian rupa sehingga meskipun kehendak orang yang
diancam itu betul telah dinyatakan, kehendak tersebut menjadi cacat hukum
karena terjadi akibat adanya ancaman. Tanpa adanya ancaman, kehendak itu
tidak akan pernah terwujud. Apa yang diancamkan berupa kerugian pada
orang atau kebendaan milik orang tersebut atau kerugian terhadap pihak
ketiga atau kebendaan milik pihak ketiga.

Mengenai ancaman dibuka rahasia perselingkuhannya, hal tersebut


dapat dikategorikan sebagai paksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1324
KUHPerdata. Ini karena dalam hal pemberian persetujuan atas jual beli
tersebut, si B berada dalam keadaan yang tidak bebas. Hal ini disebut
dengan “misbruik van omstandigheden” (penyalahgunaan keadaan).

Hal ini sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung atas


Perkara Nomor 2356K/Pdt/2010. Dalam putusan ini, dijelaskan bahwa
Penggugat membuat perjanjian jual beli dalam keadaan Penggugat ditahan
oleh polisi karena laporan dari Tergugat I dan Tergugat II. Keadaan
tersebut digunakan untuk menekan Penggugat agar mau membuat atau
menyetujui perjanjian jual beli tersebut. Hal ini adalah merupakan
“misbruik van omstandigheden” yang dapat mengakibatkan perjanjian
dapat dibatalkan karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320
KUHPer yaitu tidak ada kehendak yang bebas dari pihak Penggugat.

Putusan Mahkamah Agung ini merupakan penerapan dari Pasal


1323 KUHPer yang mengatur bahwa “Paksaan yang dilakukan terhadap
orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya
persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak
ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu.”

46
Mahkamah Agung menyatakan bahwa kondisi di mana salah satu pihak
berada dalam tekanan/intimidasi dari pihak lain, dalam hal ini penahanan
oleh pihak kepolisian atas laporan pihak lain tersebut, membuat perjanjian
yang telah dibuat dapat dibatalkan karena tidak ada kehendak bebas
(dalam membuat kesepakatan).

Pendapat Mahkamah Agung tersebut sejalan dengan Pasal 1324


KUHPerdata yang mengatur bahwa: “Paksaan terjadi, bila tindakan itu
sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan
ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya,
atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam
pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan
kedudukan orang yang bersangkutan.” Adanya kehendak bebas dalam
membuat kesepakatan merupakan syarat sahnya suatu perjanjian.

Ini berarti perjanjian jual beli yang dilakukan antara si A dan si B


dapat dimintakan pembatalannya oleh si B sebagai pihak yang dirugikan
karena tidak terpenuhinya syarat subjektif dari syarat sah perjanjian, yaitu
adanya sepakat para pihak.

Hal ini juga pernah dijelaskan oleh Flora Dianti, S.H., M.H. dalam
artikel yang berjudul Dapatkah Rentenir Dipidana? Bahwa penyalahgunaan
keadaan dapat terjadi, bila seseorang menggerakaan hati orang lain
melakukan suatu perbuatan hukum dengan menyalahgunakan keadaan yang
sedang dihadap orang tersebut (Prof. DR. Gr. Van der Burght, Buku
Tentang Perikatan, 1999: 68).

Dalam Pasal 1323 KUH Perdata mengatur sebagai berikut : Paksaan


yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan
mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan
itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam
persetujuan yang dibuat itu. Dalam ketentuan ini, paksaan tidak hanya
berpotensi di lakukan oleh para pihak dalam perjanjian, tetapi juga pihak
ketiga yang sama sekali tidak terlibat dan tidak berkepentingan sejak semula
dalam perjanjian yang dibuta oleh para pihak. Jadi siapapun yang
47
melakukan pemaksaan kepada salah satu atau para pihak dalam perjanjian
untuk menyetujui hal-hal dalam perjanjian yang sebenarnya tidak pernah
dikehendaki oleh korban, maka persetujuan tersebut dapat dinyatakan tidak
sah kecuali jika dibuktikan sebaliknya.

soal paksaan Pasal 1323. Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang
mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan
tersebut, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak
berkepentingan dalam perjanjian yang dibuat itu.

Pasal 1324 KUHPerdata yang mengatur bahwa: “Paksaan terjadi, bila


tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat
menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya,
orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat.

Kemudian, berdasarkan Pasal 1325 KUHPer, paksaan juga


membatalkan suatu kesepakatan bila dilakukan terhadap suami atau istri
atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah.

Pasal 1325 KUHPerdata: “Paksaan membuat suatu persetujuan


(menjadi) batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang
membuat persetujuan, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau
istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah.”

“Paksaan”, dalam ilmu hukum perdata berkembang menjadi teori


mengenai “penyalahgunaan keadaan” dan penyalahgunaan wewenang
(dimana pejabat negara yang memegang kekuasaan monopoli dapat digugat
secara perdata dengan perberatan tertentu mengingat sifat kekuatan yang
dijabatnya adalah bersifat monopolistis dalam arti masyarakat yang
membutuhkan pelayanan negara tidak dapat mencari substitusi atau
alternatifnya di lain tempat, semisal mengurus sertifikat tanah).

Van Dunne dan Prof. Mr. Gr. Van den Burght (1987) selaku
pencetus ajaran penyalahgunaan keadaan, menjabarkannya menjadi dua
kategori, yaitu:
48
a) penyalahgunaan keunggulan ekonomi dimana salah satu pihak dalam
perjanjian memiliki posisi tawar yang lemah;

b) penyalahgunaan kejiwaan semisal seorang kepala sekolah terhadap


muridnya, seorang atasan terhadap bawahannya, seorang polisi terhadap
sipil, kurang sehatnya salah satu pihak, masih awamnya salah satu pihak,
masih dibawah umurnya salah satu pihak, memanfaatkan keadaan
darurat/genting salah satu pihak, penggunaan istilah teknis yang tidak
dipahami orang awam, dsb.

sehingga mengakibatkan sifat / karakter perjanjian yang mengikat mereka


menjadi tidak seimbang.

Teori ini terpaksa penulis kategorikan ke dalam unsur “paksaan”,


mengingat KUHPerdata versi Indonesia yang merupakan peninggalan
Hindia-Belanda belum mengaturnya secara spesifik. Di Belanda sendiri,
KUHPerdata versi pertama sudah lama ditinggalkan. Kini di Negeri Kincir
Angin tersebut, dengan KUHPerdata versi baru yang modern dan
progresif, telah diatur mengenai pasal spesifik perihal penyalahgunaan
keadaan.

Secara falsafah dan sosiologis, unsur paksaan maupun


“penyalahgunaan keadaan” masuk dalam kategori “bukti persangkaan”
tiadanya kesepakatan (baca: cacat kehendak) dan tiadanya causa yang
sahih sebagai suatu circumtial evidences.

Mahkamah Agung di Belanda (Hoge Raad) dalam putusannya


dalam kasus BOVAG II  tanggal 11 Januari 1957, NJ 1959, menyatakan
bahwa jika dalam suatu perjanjian, seseorang karena tekanan keadaan
secara tidak adil memikul beban yang sangat merugikan, maka perjanjian
itu dapat dinyatakan sebagai perjanjian yang memiliki kausa tidak sahih.

Di Indonesia sendiri dapat kita temui penerapan teori tersebut


dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 3641 K/Pdt/2001, tanggal 11
September 2002, yang membuat kaidah hukum bahwa dalam keadaan
penyalahgunaan keadaan dimana salah satu pihak dalam perjanjian

49
tersebut berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan
kehendaknya, maka perjanjian tersebut batal.

Batalnya perikatan karena alasan “penyalahgunaan keadaan”


merupakan pengejawantahan asas kontemporer dalam hukum perdata yang
dinamakan sebagai asas “iustum pretium”—esensinya, perikatan yang
membawa akibat kerugian finansial dari salah satu pihak adalah harus
dibatalkan karena adanya penyalahgunaan keadaan.

Perhatikan Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung putusan


No. 3641 K/Pdt/2001 tanggal 11 September 2002 dalam menilai
kebebasan dalam membuat perjanjian dalam kasus akta yang merugikan
salah satu pihak karena ditanda-tangani secara terpaksa dan terlaksana di
Sel Tahanan Polda Metro Jaya, dengan pertimbangan sbb:

“Bahwa azas kebebasan berkontrak tidak bersifat mutlak yang


berarti dalam keadaan tertentu Hakim berwenang melalui tafsiran hukum
untuk meneliti serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu
perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang, sehingga salah satu
pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya seolah-olah
perjanjian terjadi secara sepihak. Mengingat sistim hukum perjanjian yang
bersifat terbuka, maka pada waktu terjadi suatu perjanjian yang berlaku
tidak hanya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Hukum Adat saja,
tetapi nilai-nilai hukum lainnya yang hidup dikalangan rakyat lainnya
sesuai dengan kepatutan, keadilan perikemanusiaan seperti penyalah
gunaan keadaan atau larangan penyalah gunaan ekonomi yang berlaku
secara berdampingan dan saling mengisi sehingga merupakan suatu satu
kesatuan. Oleh karena itu nilai-nilai yang dimaksud mempunyai pengaruh
yang dapat dipakai sebagai upaya terhadap ketentuan-ketentuan yang telah
disepakati.”penanda tanganan perjanjian dalam akta perjanjian No. 41 dan
42 oleh pemohon kasasi ketika ia berada dalam tahanan adalah terjadi
karena ada penyalah gunaan keadaan atau kesempatan, sehingga pemohon
kasasi sebagai salah satu pihak dalam perjanjian-perjanjian yang telah
disepakati dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.
Berarti akibat hukum yang dibuat sebagaimana tersebut dalam perjanjian
50
yang tercantum dalam akta perjanjian No. 41 dan 42 tersebut beserta
perjanjian lainnya yang terbit atau dibuat berdasarkan kedua perjanjian
tersebut harus dibatalkan.”

Adapun kaidah hukum yang ditarik dari putusan tersebut, ialah:

– Dalam azas kebebasan berkontrak Hakim berwenang untuk meneliti dan


menyatakan bahwa kedudukan para pihak berada dalam yang tidak
seimbang, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas menyatakan
kehendaknya.

– Dalam perjanjian yang bersifat terbuka, nilai-nilai hukum yang hidup


dalam masyarakat sesuai dengan kepatutan, keadilan, perikamanusiaan
dapat dipakai sebagai upaya perubahan terhadap ketentuan-ketentuan yang
disepakati dalam perjanjian. [Note Penulis: sebenarnya hal ini telah diatur
secara tegas dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang merupakan pembatalan
kebebasan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa perikatan tidak dapat
melanggar kepatutan serta kesusilaan.]

Note SHIETRA & PARTNERS: Namun, untuk digarisbawahi,


tidak dapatlah dibenarkan teori tersebut diberlakukan secara mutlak,
karena justru dapat menjadi upaya “penyalahgunaan hukum” oleh salah
satu pihak yang mengklaim bahwa dirinya lemah secara ekonomi maupun
secara politis. Ketidakpastian hukum mengakibatkan dampak destruktif
bagi dunia ekonomi Indonesia, sehingga yang terjadi ialah justru
ketidakpastian itu sendiri, diculasinya pihak yang kuat oleh itikad buruk
pihak yang lemah untuk menyahgunakan keadaan seperti halnya kasus
debitor yang menolak ketika agunannya dieksekusi. Teori ini hanya boleh
dan hanya dapat diberlakukan bila memang ada itikad buruk dari pihak
yang kuat untuk memanfaatkan posisi daya tawar pihak lawan yang lemah
untuk ditindas/dihisap secara politis dan secara ekonomis. Selama pihak
yang lemah yang datang pada pihak yang “kuat”, maka faktor kebebasan
memilih dan bertindak serta kebebasan untuk membuat perikatan haruslah
dihormati seluruh pihak, termasuk oleh hakim, meski kekuatan mengikat
51
perikatan perdata tersebut hanya "separuh" oleh sebab pihak yang lemah
tetap dapat mengklaim adanya "cacat kehendak".

Menurut Pasal 1326 KUHPer, paksaan tersebut berbeda dengan


rasa takut karena hormat kepada bapak, ibu atau keluarga lain dalam garis
ke atas. Jika paksaan karena rasa hormat dilakukan oleh bapak ibu dan
keluarga garis keturunan ke atas tanpa disertai kekerasan, tidak cukup
untuk membatalkan persetujuan.

Pada dasarnya, akibat dari adanya paksaan dalam kesepakatan


adalah membuat kesepakatan tersebut tidak sah dan dapat dibatalkan, dan
sebagai konsekuensinya perjanjiannya juga menjadi tidak sah dan dapat
dibatalkan.

Pasal 1326 KUHPerdata: “Rasa takut karena hormat terhadap ayah,


ibu atau keluarga lain dalam garis ke atas, tanpa disertai kekerasan, tidak
cukup untuk membatalkan persetujuan.”

Menurut Pasal 1327 KUHPer, Pembatalan suatu persetujuan


berdasarkan paksaan tidak dapat dimintakan lagi bila saat paksaan selesai
dan pihak yang merasa terpaksa itu sudah tidak keberatan terhadap
perjanjian tersebut baik secara diam-diam maupun secara tegas. Pembatalan
juga tidak dapat dimintakan setelah lewat waktu tertentu yang diizinkan
undang-undang.

Pasal 1327 KUHPerdata: “Pembatalan suatu persetujuan berdasarkan


paksaan tidak dapat dituntut lagi, bila setelah paksaan berhenti persetujuan
itu dibenarkan, baik secara tegas maupun secara diam-diam, atau jika telah
dibiarkan lewat waktu yang ditetapkan oleh undang-undang untuk dapat
dipulihkan seluruhnya ke keadaan.

Penipuan

Berdasarkan Pasal 1328 KUHPER dikatakan bahwa penipuan


merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan. Dalam ranah
52
perdata khususnya perjanjian, penipuan dapat dikatakan terjadi apabila
seandainya tidak terdapat suatu tipu muslihat yang dilakukan, maka pihak
lawan tidak akan setuju terhadap kesepakatan tersebut.

Pasal 1328 KUH Perdata, yang berbunyi: Penipuan merupakan suatu


alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai
oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak
yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat

Kecakapan dalam perbuatan hukum

Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan setiap orang adalah cakap


untuk membuat suatu perjanjian, kecuali jika oleh undang-undang
dinyatakan tidak cakap membuat perjanjian

Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, orang-orang yang dinyatakan tidak


cakap adalah mereka yang: Belum dewasa, berarti mereka yang belum
berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum menikah. Sebagai contoh,
seorang anak yang baru berusia 8 tahun tidak dapat membuat perjanjian
untuk dirinya sendiri

berdasarkan ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, dapat


dikatakan bahwa seseorang dikatakan tidak cakap hukum, apabila :

1. Seorang tersebut masih di bawah umur, yaitu orang yang belum berusia
21 tahun dan belum menikah (Pasal 330 ayat 1 KUH Perdata).
2. Seorang yang berada di bawah pengampuan atau curatele, yaitu orang
yang sudah dewasa atau telah berumur di atas 21 tahun atau sudah
menikah, tetapi tidak mampu karena pemabuk, gila (sakit
ingatan/mental), dan pemboros.

3. Wanita yang bersuami, karena ia harus mendampingi suami. Mengenai


ketidak-cakapan wanita yang sudah bersuami ini ada hubungannya
dengan sistem yang dianut dalam Hukum Perdata Barat di Belanda yang
menyerahkan kepemimpinan dalam keluarga kepada suami, yang

53
dinamakan maritale macht. Ketentuan tersebut di negara Belanda
sekarang sudah dihapuskan karena tidak sesuai lagi dengan
perkembangan jaman. Demikian juga di Indonesia ketentuan tersebut
pelan-pelan juga sudah mulai dihapuskan. 

Orang-orang yang tergolong dalam ketiga hal tersebut di atas,


apabila melakukan perjanjian harus diwakili oleh orang yang cakap hukum,
yaitu orang tua, wali, atau kurator. Apabila tidak, maka perjanjian yang
dibuatnya akan cacat hukum, dan akibatnya perjanjian tersebut dapat
dibatalkan.

Dalam ketentuan Pasal 1320 dan 1330 KUH Perdata tersebut,


digunakan istilah kecakapan dan bukan kewenangan. Istilah kecakapan dan
kewenangan mempunyai perbedaan maksud yang sangat mendasar.
Perbedaan istilah kecakapan bertindak dan kewenangan bertindak adalah
sebagai berikut :

* Kecakapan Bertindak :

 Kecakapan bertindak menunjuk kepada kewenangan yang umum,


maksudnya kewenangan umum untuk membuat suatu perjanjian atau
untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya. Orang yang tidak
cakap untuk bertindak adalah pasti orang yang tidak berwenang. Orang
yang secara yuridis tidak cakap, ada kemungkinan dalam kenyataannya
adalah orang tahu betul akan akibat atau konsekuensi dari tindakannya.

* Kewenangan Bertindak : 

 Kewenangan bertindak menunjuk kepada sesuatu hal yang khusus,


maksudnya kewenangan untuk bertindak dalam peristiwa yang khusus.
Sehingga ketidakwenangan dapat dikatakan menghalang-halangi untuk
melakukan tindakan hukum tertentu.  Orang yang dikatakan tidak
wenang (tidak berwenang) adalah orang yang secara umum cakap
untuk bertindak, tetapi untuk hal-hal tertentu tidak dapat melaksanakan

54
tindakan hukum, dalam hal ini tidak berwenang untuk membuat suatu
perjanjian tertentu.

Orang yang dinyatakan tidak cakap bertindak, pada umumnya


berkaitan dengan masalah kehendak. Undang-undang beranggapan bahwa
orang tertentu tidak atau belum dapat menyatakan kehendaknya dengan
sempurna, dalam arti belum dapat menyadari sepenuhnya, akibat hukum
yang muncul dari pernyataan kehendaknya. Sehingga atas tindakan hukum
yang mereka perbuat, tidak dapat diberikan akibat hukum sebagaimana
mestinya. Sehingga orang yang tidak cakap dalam penyelenggaraan
kepentingannya atau dalam melakukan tindakan hukum harus diwakili
oleh orang lain, yaitu orang yang cakap hukum, seperti orang tua, wali,
atau curator. 

Orang yang tidak cakap adalah orang-orang yang secara umum tidak
dapat membuat perjanjian, sedangkan orang yang tidak berwenang adalah
orang-orang yang tidak dibenarkan untuk membuat perjanjian tertentu,
sehingga perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang tidak cakap,
mempunyai konsekuensi batal demi hukum.

Berdasarkanatas Pasal 330 ayat (1) (KUH Perdata) batas usia cakap
adalah 21 tahun. Ketentuan ini adalah jelas. Usia didasarkanpada segala
dokumen data diri yang secara sah dimiliki oleh pihak yang bersangkutan.
Bagi pihak yang belum 21 tahun dapat dimintakan pendewasaan.

Pasal 1331 KUHPerdata menyatakan bahwa orang-orang yang dalam


dinyatakan tidak cakap untuk membuat persetujuan, boleh menuntut
pembatalan perikatan yang telah mereka buat dalam hal kuasa untuk itu
tidak dikecualikan oleh undang-undang.

Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa “Hanya barang-barang


yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”

Batas usia cakap untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan


ketiga undang-undang yang dipaparkan adalah berbeda.Batasan usia
55
cakapmenurut KUH Perdata adalah 21 tahun sedangkanUUJN dan UU
Ketenagakerjaan cakap adalah 18 tahun.

Akibat hukum perjanjian sah apabila memenuhi syarat subyektif dan


obyektif sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata. Kecakapan termasuk kedalam syarat subyektif apabila suatu
perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif maka akibat hukum dapat
dibatalkan

Objek tertentu

Pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa: Suatu perjanjian harus


mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal
saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.

Pasal 1334 : Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang,
dapat menjadi pokok suatu persetujuan. Akan tetapi seseorang tidak
diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka,
ataupun untuk menentukan suatu syarat dalam perjanjian mengenai
warisan itu, sekalipun dengan persetujuan orang yang akan meninggalkan
warisan yang menjadi pokok persetujuan itu, hal ini tidak mengurangi
ketentuan pasal-pasal 169, 176, dan 178.

Suatu Hal Tertentu


Berdasarkan kedua pasal diatas, maka hal tertentu yang menjadi
syarat keabsahan dalam perjanjian antara lain :

1. Suatu hal tertentu merupakan objek dari suatu perjanjian. Bisa


berupa barang dalam perjanjian jual beli, berupa jasa dalam
perjanjian pekerjaan jasa serta berupa hak dan kewajiban dari
kreditor dan debitor.
2. Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang
yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu
56
tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan
atau dihitung (Pasal 1333 KUH Perdata).

3. Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi
pokok suatu persetujuan. Akan tetapi seseorang tidak
diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum
terbuka, ataupun untuk menentukan suatu syarat dalam perjanjian
mengenai warisan itu, sekalipun dengan persetujuan orang yang
akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan itu
(Pasal 1334 KUH Perdata).

Sebab yang halal

Pasal 1335 : Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu
sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.

Terhadap suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif


sahnya perjanjian maka perjanjian ini batal demi hukum, artinya tidak
pernah terjadi suatu perjanjian dan berarti pula tidak pernah ada perikatan.
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif, dalam bahasa Inggris
dikatakan “null and void”.

Sedangkan syarat ketiga dan ke empat disebut syarat objektif. Apabila


salah satu syarat tersebut tifak terpenuhi, maka perjanjian bukan dapat di
batalkan, tetapi batal demi hukum yang berarti perjanjian itu batal dengan
sendirinya tanpa dibatalkan oleh para pihak maupun pengadilan.

Pasal 1336 KUHPerdata menjawab sebagai berikut: “Jika tidak


dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang sahih, ataupun jika
ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, perjanjiannya namun
demikian adalah sah.”

57
Pasal 1337 KUH Perdata, yang berbunyi: Suatu sebab adalah
terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu
bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.

Berdasrkan ketentuan tersebut di atas, maka dapatlah di pahami bahwa


sebab halal meliputi :

1. Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab


yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan (Pasal
1335 KUH Perdata).
2. Makna “sebab” di sini bukan merupakan motivasi atau dorongan jiwa
yang membuat para pihak membuat kontrak. Hukum tidak
mempedulikan motivasi dan dorongan jiwa semacam itu di dalam
kontrak. Makna “sebab” yang dimaksud adalah isi dari kontrak itu
sendiri.

3. Makna “halal” di sini bukan halal secara agama, melainkan secara


hukum, yaitu objek yang diperjanjikan bukan merupakan objek yang
terlarang secara hukum. Sebab yang halal meliputi perbuatan yang
tidak melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
umum.

4. Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-
undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan
ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).

5. Contoh yang melanggar undang-undang: kontrak human trafficking.

6. Contoh yang melanggar kesusilaan: kontrak film pornografi.

7. Contoh melanggar ketertiban umum: kontrak untuk membuat


demonstrasi, kemudian menutup jalan sehingga menimbulkan
kemacetan.

Pihak dalam perjanjian maupun hak kewajibannya

58
ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan
bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.25

Pasal 1339 KUH Perdata dimasukkan prinsip kekuatan mengikat


ini: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undangundang.”

Pasal 1340 KUH. Perdata :"Suatu Perjanjian hanya berlaku antara


pihakpihak yang membuatnya."

Pasal 1341 KUHPerdata memberikan hak kepada setiap kreditur


untuk mengajukan pembatalan segala perbuatan yang tidak diwajibkan
yang dilakukan oleh debitur dengan nama apapun, juga yang merugikan
kreditur, asal dapat dibuktikan bahwa ketika perbuatan dilakukan baik
debitur ataupun orang dengan atau untuk siapa debitur/\.

E. Penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian/kontrak

Penafsiran kontrak merupakan suatu metode yang menunjukkan proses


dalam memberi arti yang sebenarnya kepada bahasa yang digunakan
dalam kontrak untuk selanjutnya dapat ditentukan bagaimana akibat
hukum dari kontrak tersebut. Pengertian kontrak seperti ini yang umum
diberikan atau dianut oleh banyak kalangan ahli hukum kontrak. Karena
itu, sebagian ahli hukum kontrak mencoba membedakan antara istilah
penafsiran (interpretation) dengan istilah kontruksi (construction) terhadap
suatu kontrak, dengan menyatakan bahwa kata penafsiran lebih
menitikberatkan kepada pemberian arti terhadap bahasa yang digunakan,
sedangkan kata konstruksi dalam hal ini diartikan sebagai penentuan
akibat hukum dari kontrak yang sudah ditafsirkan tersebut.

Menurut Corbin, penafsiran atau interpretasi kontrak adalah proses di


mana seseorang memberikan makna terhadap suatu simbol dari ekspresi
59
yang digunakan oleh orang lain. Simbol yang lazim digunakan adalah
kata-kata baik satu per satu maupun kelompok, oral atau tertulis. Suatu
perbuatan dapat juga menjadi simbol yang dapat dilakukan interpretasi.

Oleh karena itu, interpretasi kontrak harus dibedakan dengan


konstruksi kontrak. Jika akan dibuat pembedaan, maka dapat dilihat
bahasa suatu kontrak dimulai dengan interpretasi bahasa yang digunakan,
proses interpretasi berhenti manakala sampai pada penentuan hukum
diantara para pihak.

Menurut A. Joanne Kellermann, penafsiran kontrak adalah penentuan


makna yang harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh
para pihak dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul karenanya.

Dengan demikian menafsirkan suatu kontrak berarti menemukan dan


menentukan arti dari pernyataan kehendak para pihak yang dilakukan
untuk menimbulkan akibat hukum. Pengertian “penafsiran kontrak” sulit
dibayangkan tanpa sekaligus menelaah bagaimana sebenarnya perjanjian
terbentuk. Perjanjian terbentuk karena adanya pernyataan kehendak dari
para pihak dan tercapainya kata 14 H.F.A. Vollmar, Hukum Benda
menurut KUH Perdata, terjemahan Chidir Ali, Tarsito, Bandung, 1990,
hlm.17. 15 Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 54. 16 Ridwan Khairandy, “PT
Pulau Intan Cemerlang dan PT Gunung Berlian v Syafei Juremi, et.al,
(Putusan Mahkamah Agung No: Reg. No. 1851/Pdt./1984): Analisis
terhadap Kesalahan Pengadilan dalam Penafsiran Perjanjian dan
Penentuan Kompetensi Absolut Arbitrase”, dalam blog.staff.uii.ac.id.,
hlm. 4. 17 Lihat Arthur Linton Corbin, Corbin on Contract, West
Publishing Co, St. Paul, Minn, 1982, hlm. 487 – 493. Sebagaimana dikutip
Ridwan Khairandy, Ibid. 18 Ibid. Bambang S.

Penafsiran Kontrak Menurut sepakat di antara para pihak tersebut.


Pernyataan kehendak dapat dilakukan dengan kata-kata lisan ataupun
tertulis, sikap atau tindakan, singkatnya tanda-tanda atau simbol-simbol.
Tanda atau simbol tersebut biasanya berupa kata-kata yang merupakan alat

60
untuk menyatakan kehendak yang ditujukan untuk terjadinya suatu akibat
hukum.

Suatu kontrak sendiri terdiri dari serangkaian kata. Oleh karena itu,
untuk menetapkan isi kontrak, perlu dilakukan penafsiran, sehingga dapat
diketahui dengan jelas maksud para pihak dalam kontrak. Jika terjadi suatu
sengketa antara para pihak dan atas sengketa tersebut tidak ada pengaturan
yang jelas dalam perjanjian yang disepakati para pihak, bukan berarti
perjanjian belum mengikat para pihak atau dengan sendirinya batal demi
hukum.

Karena pengadilan dapat mengisi kekosongan hukum tersebut melalui


penafsiran untuk menemukan hukumnya yang berlaku bagi para pihak
yang membuat perjanjian. Ajaran interpretasi dalam hukum ini sudah lama
dikenal, yang disebut dengan hermeneutika yuridis.

Secara umum dalam teori ilmu hukum maupun dalam praktek


peradilan, dikenal beberapa macam metode interpretasi, yang meliputi
beberapa macam, yaitu:

a) interpretasi subsumptif;

b) interpretasi gramatikal;

c) interpretasi sistematis/logis;

d) interpretasi historis;

e) interpretasi teleologis/ sosiologis;

f) interpretasi komparatif;

g) interpretasi antisipatif/futuristis;

h) interpretasi restriktif;

i) interpretasi ekstensif ;

j) interpretasi otentik atau secara resmi;

k) interpretasi interdisipliner;
61
l) interpretasi multidisipliner.

Sedangkan dalam ilmu hukum kontrak, dikenal ada 3 (tiga) metode


penafsiran kontrak, yaitu: metode penafsiran subjektif, metode penafsiran
objektif dan metode penafsiran antara objektif dan subjektif.

a. Metode Penafsiran Subjektif.

Menurut metode penafsiran subjektif ini, penafsiran kontrak


dilakukan dengan berpegang seoptimal mungkin pada maksud yang
sebenarnya dari para pihak, tanpa terlalu berpegang kepada kata-kata yang
ada dalam kontrak tersebut. Metode ini dianut juga oleh KUH Perdata,
dengan menyebutknnya dalam Pasal 1343 KUH Perdata.

Metode “hermeneutika hukum” menurut Jazim Hamidi merupakan


alternatif metode penemuan hukum baru oleh hakim yang berbasis pada
interpretasi teks hukum. yang menentukan bahwa penafsiran kontrak
dilakukan dengan lebih mempertimbangkan dan menyelidiki maksud dan
tujuan dari kedua belah pihak dari hanya melihat kepada kata-kata secara
gramatikal.

b. Metode Penafsiran Objektif.

Berbeda dengan metode penafsiran subjektif, maka metode


penafsiran objektif lebih menekankan pada apa yang tertulis dalam suatu
kontrak, daripada melihat kepada maksud dari para pihak, apalagi jika
bahasa yang digunakan dalam kontrak sudah cukup jelas.

Metode penafsiran objektif ini sesuai pula dengan doktrin


“pengetian jelas” yang menyatakan bahwa tidak diperlukan penafsiran jika
bahasa dalam kontrak sudah jelas artinya. Pasal 1342 KUH Perdata juga
menyatakan hal yang senada.

c. Metode Penafsiran antara Objektif dan


Subjektif.

Dalam perkembangannya, yang banyak terjadi dalam praktik


penafsiran perjanjian justru penafsiran yang bergerak antara metode

62
penafsiran objektif dengan metode penafsiran subjektif. KUH Perdata juga
mengandung banyak Pasal yang bergerak di tengah-tengah seperti ini.

Dengan demikian, metode penafsiran ini berupaya


mengkombinasikan antara kedua metode penafsiran objektif dengan
metode penafsiran subjektif. Dalam praktik, tidak ada prioritas dalam
penggunaan metode interpretasi. Oleh karena itu metode interpretasi dapat
digunakan sendiri-sendiri, dapat pula disinergikan beberapa metode
interpretasi sekaligus secara bersama-sama.

Dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan atau tidak terikat harus
menggunakan metode interpretasi tertentu, tetapi yang penting bagi hakim
adalah interpretasi yang dipilih adalah dapat tepat sasaran, yaitu dapat
memperjelas ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dapat
secara tepat diterapkan terhadap peristiwanya.

Dalam sistem common law seperti yang berlaku di Amerika


Serikat, dikenal juga cara penafsiran perjanjian oleh pengadilan untuk
mengisi kekosongan hukum dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

Uniform Commercial Code menyebutkan tiga cara untuk


melakukan interpretasi hukum, yaitu Course of performence, Course of
dealing dan Usage of trade. Course of performance, adalah bagaimana
para pihak bertindak melaksanakan perjanjian. Misalnya dalam perjanjian
distributor dijelaskan bahwa kualitas produk Bambang Sutiyoso, Metode
Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan
Berkeadilan.

Bambang S. Penafsiran Kontrak yang disalurkan secara


berkesinambungan adalah the highest grade oil. Jika kemudian terjadi
sengketa mengenai kualitas minyak, maka yang menjadi dasar untuk
menentukan kualitas minyak yang diperjanjikan adalah minyak yang
diterima pada pengiriman pertama. Dengan demikian tindakan para pihak
dalam melaksanakan kontrak berlaku sebagai bukti tentang maksud para
pihak.

63
Course of Dealing adalah bagaimana para pihak melaksanakan
kontrak yang sebelumnya. Hal ini akan menjadi acuan untuk
menyelesaikan sengketa atas kontrak yang sekarang sedang berlaku antara
mereka. Misalnya dalam kontrak yang sekarang tidak jelas hak dan
kewajiban para pihak. Bukti yang ada hanya selembar kuitansi tanda
terima. Akan tetapi, kontrak sebelumnya jelas mencantumkan bahwa uang
tersebut adalah sebagai setoran modal dalam suatu kontrak agribisnis.
Usage of trade adalah praktis bisnis yang sudah terjadi berulang-ulang
menurut pola yang sama. Misalnya dalam pelaksanaan kontrak sudah
menjadi kebiasaan bahwa suatu perusahaan pemasok barang atau
distributor utama mewajibkan distributor menjual barang secara kredit
kepada pelanggan.

Penafsiran Kontrak Menurut KUH Perdata Beberapa pedoman


dalam penafsiran kontrak sudah dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Per), yaitu di Buku Ketiga Bagian Keempat, yang
terdiri dari 10 Pasal, mulai dari Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351.
Selanjutnya ketentuan dalam Pasal-Pasal tersebut akan dipaparkan lebih
lanjut untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang penafsiran
kontrak dalam KUH Perdata.

Pasal 1342 KUH Perdata Dalam ketentuan Pasal 1342 KUH


Perdata disebutkan bahwa “jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah
diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran”
(indeen de bewordingen eener overeenkomst duidelijk ziujn, mag men
daarvan uitlleging niet afwijken). Misalnya sudah jelas diperjanjikan
bahwa kewajiban pihak pemborong membuat jalan baru, bukan
memperbaiki jalan lama yang sudah ada.

Ketentuan Pasal 1342 KUH Perdata menjadi landasan dari


argumen bahwa jika kata-kata di dalam perjanjian yang dibuat para pihak
telah jelas, para pihak dianggap terikat meskipun pernyataan kehendak
yang telah diberikan ternyata tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
semula. Pembuat undang-undang beranjak pada pendapat bahwa hanya
pernyataan yang kurang jelas harus ditafsirkan.
64
Bunyi ketentuan Pasal 1342 KUH Perdata haruslah dibaca jika
telah ditentukan apa yang sebenarnya telah dijanjikan oleh para pihak,
maka para pihak dan hakim tidak boleh menyimpang dari apa yang telah
dinyatakan tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 1342 KUH Perdata
tersebut, maka hakikatnya penafsiran tidak diperkenankan apabila kata-
kata suatu perjanjian telah jelas. Hal inilah yang dalam ilmu hukum
kontrak disebut dengan asas sens clair atau doktrin kejelasan makna (plain
meaning rules).

Meskipun demikian, apabila dicermati ada dua hal yang menarik


dalam hal ini, yaitu pada anak kalimat : “kata-kata suatu perjanjian” dan
pada kalimat: “Kalau kata-kata perjanjian sudah jelas, maka tidak
diperkenankan menafsirkan”.Apa yang dikemukakan di atas adalah sesuai
dengan “Teori Kehendak” sebagai teori yang paling cocok untuk bagian
yang terbesar daripada perjanjian-perjanjian. Memang dalam peristiwa-
peristiwa tertentu yang merupakan penyimpangan, teori tersebut tidak
memberikan penyelesaian yang memuaskan.

Pada teori kepercayaan, di sini memungkinkan orang terikat pada


suatu pernyataan yang tidak didasarkan atas kehendaknya, tetapi
didasarkan atas penerimaan pihak lain menurut ukuran yang berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan dalam menerima pernyataan seperti itu.
Dalam peristiwa seperti itu yang dicari adalah arti yang diberikan oleh
masyarakat terhadap kata atau tanda seperti itu. Memang ada ketentuan
yang memberikan dukungan ke arah pemikiran seperti itu (Pasal 1346).

Dengan demikian tindakan “menafsirkan” ada kalanya adalah lain


daripada mencari kehendak para pihak, sehingga harus ditambah dengan
kata-kata “atau mencari arti yang diberikan oleh masyarakat yang
bersangkutan kepada kata-kata atau tanda-tanda seperti yang dinyatakan
oleh yang satu terhadap yang lain”.

Hal ini menimbulkan kesan bahwa ada kalanya kata-kata suatu


perjanjian sudah jelas, sehingga tidak memerlukan suatu penafsiran. Suatu
kesan yang layak timbul pada setiap orang yang membaca Pasal tersebut.

65
Penafsiran Kontrak membuktikan, bahwa perjanjian yang
diwujudkan dalam sekumpulan kata-kata atau tanda-tanda baru
mempunyai arti kalau orang memberikan arti kepadanya. Jadi mau tidak
mau menafsirkan kata-kata dan tanda-tanda tersebut. Kesemuanya sudah
tentu dengan memperhatikan keadaan dan tempat di mana perjanjian
ditutup, dan hal itu berarti bahwa orang tidak cukup menafsirkan secara
gramatika saja. Jadi sebenarnya yang dimaksud dengan “kata-kata yang
jelas” adalah kata-kata yang tidak memberikan banyak peluang penafsiran
yang berlain-lainan.

Seperti diketahui bahwa menafsirkan perjanjian adalah mencari


kehendak para pihak yang dinyatakan oleh yang satu kepada pihak yang
lain, sementara itu wujud pernyataan kehendak itu bisa secara tegas atau
diam-diam, sedang yang tegas bisa secara lisan, tertulis maupun dengan
melalui tanda-tanda. Berdasarkan hal itu, maka seolah-olah Pasal 1342
KUH Perdata hanya berlaku bagi pernyataan yang dibuat secara lisan dan
tertulis saja dan tidak berlaku bagi yang diwujudkan dalam bentuk tanda-
tanda. Tetapi ternyata Hooge Raad (H.R.) memberikan penafsiran yang
luas, sehingga meliputi juga apa yang disebut terakhir.

Jadi di samping pernyataan yang dibuat secara lisan dan tertulis,


termasuk juga yang diwujudkan dalam bentuk tanda-tanda lainnya, yang
digunakan untuk menyampaikan kehendak seseorang. Dalam hal ini isi
seakan-akan suatu perjanjian sepenuhnya ditentukan oleh apa yang telah
disepakati oleh para pihak. Namun dalam praktik, seringkali kenyatannya
tidak selalu demikian. Para pihak pada waktu membuat perjanjian tidak
sekaligus membayangkan tentang berbagai persoalan yang mungkin
muncul nantinya, misalnya tentang luas, akibat, maupun konsekuensi yang
tidak terduga dari keseluruhan perjanjian.

Beranjak dari hal ini, penafsiran perjanjian bukanlah semata-mata


aktivitas hakim, pengacara, ataupun notaris, melainkan juga terutama oleh
para pihak dalam perjanjian. Banyak ahli hukum beranggapan bahwa
penafsiran perjanjian adalah tugas dari Hakim. Sebenarnya para pihak
sendiri yang pertama kali harus menafsirkan perjanjian yang telah mereka
66
buat. Baru kemudian, jika ternyata para pihak berbeda pendapat, adalah
tugas dari Hakim sebagai pihak ketiga untuk melakukan penafsiran.

Ketentuan dalam Pasal 1342 KUH Perdata masih mengikuti


pandangan lama yang mengajarkan bahwa penafsiran perjanjian hanya
diperlukan untuk sesuatu yang tidak jelas. Penafsiran tidak diperlukan jika
kata-kata dalam perjanjian sudah jelas.

Belakangan, orang membuktikan perjanjian yang terdiri dari


serangkaian kata baru memiliki arti kalau orang memberi arti kepada kata-
kata itu. Kesemuanya itu sudah tentu harus memperhatikan keadaan dan
tempat di mana perjanjian dibuat. Hal ini berarti pula bahwa orang tidak
cukup menafsirkan kata-kata secara gramatikal (grammatical) saja.

Jadi, sebenarnya yang dimaksud dengan “kata-kata yang jelas


adalah kata-kata yang tidak memberikan banyak peluang penafsiran yang
berlainan.Pasal 1343 KUH Perdata Ragam cara tersedia untuk
menafsirkan kata-kata dalam perjanjian. Salah satunya beranjak dari upaya
menyelidiki apa yang menjadi maksud kedua belah pihak yang membuat
perjanjian dan tidak semata-mata berpegang teguh pada makna kata-kata
menurut hurufnya.

Dalam kaitan ini Pasal 1343 KUH Perdata menyatakan : “ Jika


kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran,
maka harus diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat
perjanjan”. Misalnya apakah para pihak sesungguhnya bermaksud
membuat perjanjian penitipan barang atau perjanjian sewa menyewa.
Dalam perjanjian penitipan barang, pihak yang menerima titipan
bertanggung jawab terhadap kehilangan barang yang dititipkan, sedangkan
dalam sewa menyewa pihak yang menyewakan tempat tidak bertanggung
jawab atas barang milik penyewa.

Dengan demikian ketentuan Pasal 1343 KUHPerdata menentukan


bahwa jika kata-kata dalam perjanjian dapat diberikan berbagai tafsir harus
dipilih penafsiran yang meneliti maksud keduabelah pihak yang membuat
perjanjian tersebut daripada sekedar memegang teguh kata-kata tersebut
67
secara literal (letterlijk). Dengan demikian, perjanjian harus diberi tafsir
yang paling sesuai dengan kehendak para pihak, walaupun artinya
menyimpang dari kata-kata yang terdapat dalam perjanjian.

Dari ketentuan Pasal 1343 tersebut terlihat bahwa teori kehendak


(histrosispsikologis) dijadikan dasar penafsiran perjanjian. Penafsiran
perjanjian menurut teori ini tidak lain daripada menetapkan kehendak dari
orang yang melakukan tindakan hukum. Dalam kenyataannya, teori ini
sulit dilaksanakan dan dapat menimbulkan berbagai kesulitan. Dikatakan
sulit karena kehendak merupakan gejala psikologis yang tidak dapat
dilihat dengan panca indera.

Hal ini berlainan dengan ajaran penafsiran normatif. Titik pandang


aliran penafsiran normatif bukan pada kehendak subjektif para pihak yang
menjadi objek penafsiran. Penafsiran menurut aliran ini adalah
menetapkan tindakan nyata dan menetapkan akibat-akibat hukum yang
timbul karenanya.

Pasal 1344 KUH Perdata Pasal 1344 KUH Perdata menyatakan :


“Jika suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus
dipilih pengertian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan daripada
pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan”. Misalnya,
untuk barang tidak bergerak (real property) hukum yang berlaku adalah
hukum di mana benda tidak bergerak itu berada.

Jadi, meskipun para pihak membuat perjanjian adalah warga


negara Indonesia, namun harus tunduk pada hukum di mana real property
itu berada, misalnya di negara bagian California, USA. Pasal 1344 KUH
Perdata ini sebagaimana Pasal sebelumnya juga memberikan patokan, jika
suatu perjanjian memungkinkan untuk diberikan lebih dari satu penafsiran,
dan yang satu lebih memungkinkan untuk dilaksanakan. Dalam keadaan
demikian, harus dipilih pengertian yang lebih memungkinkan pelaksanaan
janji yang bersangkutan daripada memberikan pengertian yang tidak
memungkinkan pelaksanaan perjanjian.

68
Hal itu berarti bahwa perjanjian harus ditafsirkan sedekat mungkin
dengan maksud para pihak baik diukur dari kehendak para pihak maupun
menurut penerimaan masyarakat yang paling memungkinkan untuk
pelaksanaan perjanjian tersebut. Di sini pembuat undang-undang bersikap
pragmatis dan karenanya tidak harus terikat secara ketat baik dengan
penafsiran gramatikal maupun maksud para pihak.

Pasal 1345 KUH Perdata Pasal 1345 KUH Perdata menyebutkan :


“Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih
pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian”. Pasal 1345
KUHPerdata juga memberikan pedoman penafsiran perjanjian. Pasal ini
menentukan bahwa perjanjian harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga
artinya paling selaras dengan sifat kontrak. Dalam hal ini harus
diperhatikan apakah perjanjian itu bersifat konsensuil atau harus
memenuhi formalitas tertentu ataukah harus ada penyerahan barang/uang
sebagai syarat keabsahan perjanjian.

Setiap jenis perjanjian memiliki ciri-ciri tersendiri. Oleh karena itu,


sangat logis jika perjanjian tertentu ditafsirkan sesuai dengan ciri-ciri
perjanjian itu. Semua hal tersebut dilakukan dengan memperhatikan kaitan
janji yang satu dengan yang lain. Tanpa ketentuan ini pun orang akan
melakukan cara kerja seperti itu, karena katakata atau suatu tanda baru
kelihatan maksudnya kalau kata atau tanda itu dikaitkan dengan kata atau
tanda yang lain, bahkan dengan keseluruhan isi perjanjian yang
bersangkutan. Suatu kata yang berdiri sendiri dapat memiliki makna yang
sangat berbeda dibanding jika ia merupakan bagian dari suatu rangkaian
kata atau tanda.

Pasal 1346 KUH Perdata Pasal 1346 KUH Perdata menyebutkan :


“Hal-hal yang meragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi
kebiasaan di mana perjanjian itu dibuat”. Oleh karena itu penafsiran
perjanjian juga harus dilakukan dengan memperhatikan kebiasaan
setempat. Misalnya, dahulu timbul keraguan apakah para pihak bermaksud
mengadakan perjanjian gadai atau fidusia. Sekarang sudah diakui oleh
yurisprudensi bahwa fidusia adalah hukum kebiasaan yang hidup dalam
69
kalangan masyarakat bisnis. Bahkan eksistensi dan keabsahan fidusia
sudah diakui dalam UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia.

Ketentuan Pasal 1346 KUH Perdata digunakan menurut kebiasaan


yang berlaku dan diterapkan dalam lingkungan ahli yang berasal dari satu
profesi, bidang perdagangan umum atau yang khusus, misalnya di dunia
asuransi, perbankan dan lain-lain.45 Dengan demikian, ukuran yang
digunakan untuk menafsirkan suatu perjanjiannya, ukurannya tidak hanya
didasarkan kepada orang yang menafsirkannya, tetapi juga pada
pandangan masyarakat di mana perjanjian Pasal 1347 KUH Perdata Pasal
1347 KUH Perdata menyebutkan: “Hal-hal yang menurut kebiasaan
selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam
perjanjian”.

Hal ini sesungguhnya bertentangan dengan pengaturan resiko


dalam BW yang menyatakan bahwa jika barang musnah sebelum
dilakukan penyerahan, maka resiko ditanggung oleh pembeli. Kebiasaan
ini dianggap secara diam-diam telah diperjanjikan oleh para pihak, maka
dapat mengenyampingkan hukum yang bersifat optional, seperti
pengaturan risiko dalam BW. Misalnya, di negeri Belanda, berlaku suatu
kebiasaan di antara pedagang sapi bahwa sebelum sapi diserahkan maka
resiko masih di tangan penjual.

ketentuan Pasl 1347 KUH Perdata sebenarnya harus dikeluarkan


dari Bagian Keempat “Tentang penafsiran suatu perjanjian” dan
dimasukkan ke dalam bagian sebelumnya “Tentang akibat suatu
perjanjian”. Alasannya karena hal tersebut telah di atur di dalam ketentuan
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yakni bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan iktikad baik.

Pasal 1348 KUH Perdata Pasal 1348 KUH Perdata menyatakan:


“Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian harus ditafsirkan dalam
hubungan satu sama lain, artinya tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka
perjanjian seluruhnya”. Oleh karena itu, janji-janji tambahan yang dibuat
tersendiri harus dilampirkan pada perjanjian asal dan dengan tegas harus

70
disebutkan bahwa lampiran tersebut merupakan satu kesatuan dengan
perjanjian asal.48 Misalnya, apabila dua orang melakukan kerjasama dan
memasukkan modal untuk suatu usaha perdagangan.

Ketika akan diadakan pembagian keuntungan terjadi sengketa.


Dalam perjanjian terdapat klausula bahwa keuangan perusahaan harus
diaudit oleh akuntan publik. Maka sebelum diadakan pembagian
keuntungan harus diadakan audit lebih dahulu.

Pasal 1349 KUH Perdata Pasal 1349 KUH Perdata menyebutkan:


“Jika atas suatu janji timbul keraguraguan, maka janji tersebut harus
ditafsirkan atas kerugian orang yang meminta diperjanjikan suatu hal
(meminta suatu hak) dan atas keuntungan orang yang telah mengikatkan
diri (menyanggupi kewajiban)”.

Ketentuan ini harus diterapkan berdasarkan kepatutan. Kesukaran


yang timbul adalah bahwa in concreto sulit untuk menentukan “orang yang
minta diperjanjikannya sesuatu hal” dan “orang yang mengikatkan dirinya
untuk itu”. Karena pada perjanjian timbal balik justru para pihak saling
menjanjikan sesuatu hal kepada pihak lainnya. Dalam hal demikian, maka
tiap beding harus dicermati dan dimaknai sendiri-sendiri. Misalnya dalam
suatu perjanjian tidak jelas apakah para debitur bertanggung jawab secara
tanggung renteng kepada kreditur ataukah masing-masing bertanggung
jawab sendiri sebesar uang yang diterimanya.

Dalam hal ini, maka perjanjian ditafsirkan untuk keuntungan


debitur yaitu masing-masing bertanggungjawab sendiri atas jumlah uang
yang diterimanya.51 Pasal 1350 KUH Perdata Pasal 1350 KUH Perdata
menyebutkan: “Meskipun kata-kata suatu perjanjian dirumuskan secara
sangat umum, namun perjanjian itu hanya meliputi hal-hal yang nyata
yang dimaksudkan oleh kedua belah pihak”. Jadi bagaimanapun luasnya
lingkup makna kata-kata dalam suatu perjanjian, sebenarnya apa yang
lebih penting ialah hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan oleh para pihak
sewaktu perjanjian dibuat. Misalnya kata-kata dalam suatu perjanjian

71
pemberian kuasa untuk membeli dirumuskan sangat umum, tetapi hal ini
tidak berarti bahwa kuasa tersebut termasuk kuasa untuk menjual.

Pasal 1351 KUH Perdata Pasal 1351 KUH Perdata menyatakan


bahwa:”Suatu hal yang dinyatakan untuk menjelaskan suatu perjanjian,
tidak dapat digunakan untuk membatasi kekuatan perjanjian dalam hal-hal
yang tidak dinyatakan”.

Oleh karena itu jika seseorang dalam suatu perjanjian menyatakan


suatu hal untuk menjelaskan perikatan, tak dapatlah ia dianggap bahwa
dengan demikian hendak mengurangi kekuatan perjanjian menurut hukum
dalam hal-hal yang tidak dinyatakan. Yurisprudensi menetapkan bahwa
dalam hal adanya selisih pendapat mengenai isi perjanjian di antara para
pihak, maka penafsiran perjanjian adalah tugas utama dari hakim dengan
menilai fakta-fakta yang ada.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1343 KUH Perdata, hakim akan


mendahulukan maksud dan tujuan para pihak daripada memegang teguh
kata-kata suatu perjanjian. Namun jika kata-kata pun tidak jelas, tetap
hakim harus menentukan dari kata-kata yang tidak jelas itu apa yang
sebenarnya dimaksudkan oleh para pihak. Dengan demikian, para hakim
atau para pihak haruslah memperhatikan tentang cara-cara untuk
melakukan penafsiran terhadap substansi kontrak. Ketentuan-ketentuan
mengenai pedoman penafsiran di atas, di dalam KUHPerdata Belanda
(Baru) yang mulai berlaku pada 1 Januari 1992 tidak dimuat lagi.
Sekarang dianut paham semua perjanjian harus ditafsirkan sesuai dengan
iktikad baik.

Asas itikad baik memegang peranan penting dalam penafsiran


kontrak. Beberapa sistem hukum, seperti hukum kontrak Jerman memiliki
ketentuan yang mewajibkan bahwa kontrak harus ditafsirkan sesuai
dengan itikad baik. Pasal 157 BGB menyatakan bahwa semua kontrak
harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik. Dalam beberapa sistem hukum
lainnya, seperti hukum kontrak Belanda, peranan itikad baik dalam
penafsiran kontrak dibangun oleh pengadilan.

72
Jika kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, maka
setiap isi kontrak harus ditafsirkan secara fair atau patut. Pada waktu yang
lalu dianut pendapat baik dikalangan sarjana maupun peraturan
perundang-undangan bahwa penafsiran kontrak hanya diperlukan untuk
sesuatu yang tidak jelas. Jika isi kontrak telah jelas, maka tidak ada atau
tidak diperlukan penafsiran. Sehubungan dengan hal ini Pasal 1378 BW
(lama) Belanda.

Iktikad baik dalam perjanjian memiliki tiga fungsi. Pertama,


semua kontrak harus ditafsirkan dengan iktikad baik. Kedua,
melaksanakan perjanjian dengan iktikad baik harus mengacu kepada
kerasionalan dan kepatutan, Ketiga, iktikad juga memiliki fungsi
pembatasan menentukan bahwa jika kata-kata suatu kontrak telah jelas,
tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan
penafsiran (indeen de bewoordingen eener overeenkomst duidelijke zijn,
mag men daarvan door uitlegging niet afwijken). Sekarang ini dianut
paham bahwa dalam penafsiran kontrak tidak lagi dibedakan antara isi
kontrak yang jelas, dan yang tidak jelas, bahkan terhadap kata-kata yang
tampak jelas, dapat dilakukan penafsiran dengan mengarahkannya kepada
kehendak para pihak atau keadaan khusus yang relevan untuk menentukan
makna yang mereka maksud.

Selain ketentuan di atas, BW (lama) dan KUHPerdata Indonesia


masih memberikan beberapa pedoman lagi dalam menafsirkan suatu
kontrak. Misalnya Pasal 1379 BW (lama) Belanda61 menentukan bahwa
jika kata-kata suatu kontrak dapat diberikan berbagai macam penafsiran,
harus dipilih penafsiran yang meneliti maksud keduabelah pihak yang
membuat kontrak itu daripada memegang teguh kata-kata tersebut secara
literal (letterlijk). Dengan demikin, kontrak harus diberikan penafsiran
yang paling sesuai dengan kehendak (historis-psikologis) dijadikan dasar
penafsiran kontrak. Penafsiran kontrak menurut ajaran ini tidak lain
daripada menetapkan kehendak dari orang yang melakukan tindakan
hukum. Dalam kenyataannya ajaran ini menimbulkan berbagai kesulitan.

73
Hal tersebut disebabkan karena kehendak merupakan gejala
psikologis yang tidak dapat dilihat dengan panca indera. Hal ini berlainan
dengan ajaran penafsiran normatif. Titik pandang aliran ini adalah bukan
pada kehendak subjektif para pihak yang menjadi objek penafsiran.
Penafsiran ini menurut aliran ini adalah menetapkan tindakan nyata dan
menetapkan akibat-akibat hukum yang timbul karenanya. Penafsiran
kontrak juga harus dilakukan dengan memperhatikan kebiasaan setempat.
Demikian pedoman yang diberikan oleh Pasal 1382 BW (lama) Belanda.

Dengan demikian ukuran yang digunakan untuk menafsirkan suatu


kontrak, ukurannya tidak didasarkan hanya kepada orang yang
menafsirkannya saja, tetapi juga pendangan masyarakat dari tempat
kontrak itu dibuat. Berlainan dengan BW (lama), BW (baru) Belanda tidak
lagi memuat ketentuanketentuan penafsiran kontrak. Ketentuan-ketentuan
penafsiran kontrak yang terdapat dalam BW (lama) tersebut telah
dihilangkan karena sebagian dianggap tidak

Sebangun dengan Pasal 1342 KUHPerdata Indonesia. 60 A. Joanne


Kellermann, dalam Ridwan Khairandy, Ibid. 61 Sebangun dengan Pasal
1343 KUHPerdata Indonesia 62 Sebangun dengan Pasal 1346
KUHPerdata Indonesia Bambang S. Penafsiran Kontrak Menurut... 225
diperlukan lagi dan sebagian lagi dianggap terlalu umum rumusannya,
sehingga maknanya tidak tepat.63 Dengan demikian, penafsiran ini
seluruhnya diserahkan kepada dunia peradilan dan ilmu pengetahuan
untuk mengembangkan ketentuan dan asas-asas dalam penafsiran kontrak.

Ada beberapa prinsip umum penafsiran kontrak yang diterima


pengadilan di Belanda sebagai berikut:

1. maksud para pihak yang harus diuji daripada sekedar


menafsirkan makna literal kata-kata dalam kontrak;

2. ketentuan-ketentuan kontrak harus dipahami dalam makna in


which it would have any effect rather than in a sense in which it
would have no effect;

74
3. kata-kata kontrak harus diperlakukan sesuai dengan sifat
kontrak;

4. jika menafsirkan suatu kontrak harus mengingat aspek, regional,


lokal, profesional, dan kebiasaan;

5. in case of uncertainties (general) conditions drawn up by a


profesional party are in principle construed in favor of other party,
especially when the other party is a consumer;

6. persyaratan-persyaratan umum yang tertulis atau ketikan


tambahan yang dicetak mengalahkan persyaratan yang dicetak;

7. suatu argumen a contrario harus digunakan dengan penuh hati-


hati.

Penyebutan prinsip-prinsip tersebut di atas tidak berarti bahwa


daftar tersebut sebagai daftar prinsip penafsiran yang lengkap. Prinsip-
prinsip tersebut memberikan beberapa pedoman umum penafsiran kontrak.
Beberapa prinsip-prinsip tersebut di atas sebenarnya diambil dari
ketentuan penafisiran dalam BW (lama).

Cara penafsiran yang demikian itu berbeda dengan yang dianut di


Amerika Serikat. Jika di dalam sistem civil law, hakim dapat langsung
menafsirkan kontrak berdasarkan asas itikad baik, sedangkan dalam sistem
common law, penafsiran kontrak umumnya diarahkan kepada unsur yang
mengacu kepada maksud para pihak (intention the parties).

Proses untuk menemukan hukum melalui berbagai cara penafsiran


juga sudah sejak lama dikenal dalam lapangan hukum internasional,
khususnya berbagai cara penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian-
perjanjian in-ternasional, baik yang diatur dalam Konvensi, pendapat para
ahli maupun dari berbagai keputusan pengadilan (nasional ataupun
internasional). Interaksi antara ketentuan hukum nasional dengan kaidah-
kaidah hukum internasional akan semakin bertambah karena
berkembangnya Sifat kontrak yang pada tempat pertama didefinisikan

75
sesuai jenis kontrak yang dimilikinya, misalnya suatu kontrak jual beli
memiliki sifat yang berbeda dengan kontrak kerja.

lalu lintas pergaulan hidup internasional. Hubungan kerjasama


antarnegara senantiasa dipelihara dan ditingkatkan. Sebagai salah satu
bentuk perwujudannya dituangkan dalam kegiatan itu sehingga
perselisihan yang berkaitan dengan penafsiran perjanjian juga akan
semakin meningkat.

Di dalam struktur hukum internasional dewasa ini tidak terdapat


suatu badan yang berwenang penuh untuk memberikan penafsiran pada
perjanjian internasional yang dapat mengikat semua negara. Lazimnya
penafsiran perjanjian dilakukan oleh negara masing-masing menurut
ketentuan hukum nasionalnya, baik hal ini dilakukan oleh Pengadilan
maupun oleh Pemerintahnya.

Hak suatu negara untuk mengadakan penafsiran sendiri memang


diakui dalam hukum internasional sehingga tidaklah berlebihan apabila
dike-mukakan pendapat Mc.Nair sebagaimana dikutip oleh Yudha Bakti
Ardhiwisastra yang menyatakan bahwa: “there is no part of the Law of
Treaties which the writer approaches with more trepidation that the
question of inter-pretation”. Makna Penafsiran Kontrak bagi Pihak-Pihak
yang Bersangkutan. Makna penafsiran kontrak bagi pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya sangat penting, mengingat perbedaan penafsiran
dalam menjalankan isi kontrak dapat berakibat pemenuhan prestasi
sebagaimana telah dirumuskan dalam kontrak tersebut menjadi berjalan
tidak lancar atau terhambat. Karena para pihak umumnya hanya mau
memenuhi pretasi sesuai dengan cara penafsirannya sendiri, yang lebih
menguntungkan posisinya. Konsekuensi logis adanya ketidaklancaran
dalam pemenuhan isi kontrak seperti itu dapat berpotensi mengakibatkan
sengketa di kemudian hari.

Rumusan kontrak yang jelas akan memudahkan para pihak dalam


melaksanakan dan memenuhi prestasi sesuai isi kontrak. Sebaliknya
rumusan kontrak yang tidak jelas akan menyulitkan pemenuhan prestasi

76
dari masing-masing pihak dan hal ini bisa menjadi potensi sengketa
dikemudian hari. Pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kontrak tentunya
sangat berkepentingan agar kontrak yang telah dibuatnya dapat
memberikan kejelasan dan kepastian mengenai hal-hal yang menjadi hak-
hak dan kewajibannya dengan pihak lain. Hakhak dan kewajibannya yang
telah dicantumkan dalam klausule kontrak dapat dijamin pelaksanaannya
dengan baik, masing-masing pihak dapat memenuhi prestasinya sesuai
dengan yang telah dirumuskan dalam kontrak.

Dalam hal ini para pihak harus mencari makna kesepakatan baru
dengan jalan menafsirkan kontrak tersebut secara adil. Penafsiran kontrak
secara adil ini tidak mudah dilakukan oleh para pihak, karena masing-
masing pihak umumnya memiliki subyektifitas yang tinggi, yaitu
menafsirkan suatu kontrak dengan melihat kepentingan dan keuntungan
pihaknya sendiri.

Sementara itu kepentingan pihak lain sering tidak terakomodir


dengan baik. Peraturan perundang-undangan sendiri tidak mengatur secara
tegas mengenai pemakaian kalimat untuk merumuskan kontrak, apakah
kontrak itu harus dirumuskan dengan kalimat yang panjang atau pendek.
Bagi undang-undang, yang penting adalah kalimat yang digunakan untuk
merumuskan kontrak harus jelas serta memuat atau menggambarkan
adanya kesepakatan mengenai esensi kontrak.

Rumusan yang demikian itu sudah cukup untuk bisa diakui


sebagai kontrak atau kontrak itu dianggap telah ada. Dengan demikian
sebenarnya untuk merumuskan kalimat dalam suatu kontrak, undang-
undang tidak banyak mengatur, tetapi diserahkan perumusannya kepada
para pihak sesuai dengan yang diinginkan, sepanjang isinya jelas dan
mudah dipahami.

Dengan demikian selalu ada pernyataan kehendak yang


diwujudkan dalam bentuk penawaran dan penerimaan. Kalau kehendak
yang satu dinyatakan dan diterima dengan jelas bagi pihak yang lain, maka
tidak ada masalah mengenai isi perjanjian bagi bagi para pihak, tetapi

77
kalau isi perjanjian tidak jelas atau diterima dengan isi yang yang lain oleh
lawan janjinya, maka dalam hal ini perlu dicari apa sebenarnya maksud
dari para pihak. Dan yang dimaksud dengan “maksud para pihak” tidak
lain adalah apa yang disepakati para pihak. Karena sepakat adalah hasil
pertemuan kehendak, maka dalam peristiwa itu sebenarnya harus mencari
apa sebenarnya “kehendak” para pihak itu.

Perlu ditegaskan di sini, bahwa yang dicari adalah yang disepakati


oleh para pihak, bukan yang dikehendaki oleh salah satu pihak.70 Hal ini
juga sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang didasarkan pada
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang
menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak.

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan


kebebasan kepada para pihak untuk:

a. membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. mengadakan perjanjian dengan siapapun;

c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratanya;

d. menentukan bentuknya perjanjian, baik tertulis maupun lisan. \

Latar individualisme belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak


adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam
zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang
pesat pada zaman renaisance, melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de
Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rousseau.

Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk


memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak, asas ini
diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”.Meskipun demikian dalam
praktik sangat mungkin terjadi penyimpanganpenyimpangan, karena bisa
saja kontrak yang telah dibuat justru dalam pelaksanaannya kemudian

78
ditemukan ketidakjelasan-ketidakjelasan maupun ketidaklengkapan yang
dapat berpengaruh terhadap pemenuhan prestasi masingmasing pihak.

Oleh karena itu, bagi para pihak tentunya diperlukan kejelasan,


ketegasan dan kepastian dalam menafsirkan isi kontrak. Dalam hal ini
seakan-akan suatu perjanjian sepenuhnya ditentukan oleh apa yang telah
disepakati oleh para pihak. Namun dalam praktik, seringkali kenyatannya
tidak selalu demikian. Para pihak pada waktu membuat perjanjian tidak
sekaligus membayangkan tentang berbagai persoalan yang mungkin
muncul nantinya, misalnya tentang luas, akibat, maupun konsekuensi yang
tidak terduga dari keseluruhan perjanjian. Beranjak dari hal ini, penafsiran
perjanjian bukanlah sematamata aktivitas hakim, pengacara, ataupun
notaris, melainkan juga terutama oleh para pihak dalam perjanjian. Banyak
ahli hukum beranggapan bahwa penafsiran perjanjian adalah tugas dari
Hakim.

Sebenarnya para pihak sendiri yang pertama kali harus


menafsirkan perjanjian yang telah mereka buat. Baru kemudian, jika
ternyata para pihak berbeda pendapat, adalah tugas dari hakim atau arbiter
sebagai pihak ketiga untuk melakukan penafsiran. Pihak ketiga haruslah
dari pihak yang netral, dimana ia tidak memiliki kepentingan apapun
dengan pihak-pihak yang bersangkutan, baik dari sisi interest keluarga
maupun kepentingan ekonomi lainnya. Jadi, tugas penting dari hakim ialah
menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal nyata di masyarakat.

Apabila undang-undang tidak dapat dijalankan menurut arti


katanya, hakim harus menafsirkannya. Dengan kata lain, apabila undang-
undangnya tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya sehingga ia dapat
membat suatu keputusanyang adil dan sesuai dengan maksud hukum yaitu
mencapai kepastian hukum. Karena itu, orang dapat mengatakan bahwa
menafsirkan undang-undang adalah kewajiban hukum dari
hakim.Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada
beberapa pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan
undang-undang itu. Logeman mengatakan bahwa hakim harus tunduk
pada kehendak pembuat undangundang.
79
Dalam hal kehendak itu tidak dapat di baca begitu saja dari kata-
kata peraturan perundangan, hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-
kata tersebut, dalam sistem undang-undang atau dalam arti kata-kata
seperti itu yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Hakim wajib mencari
kehendak pembuat undangundang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran
yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap tafsiran adalah tafsiran yang
dibatasi oleh kehendak pembuat undangundang.

Karena itu, hakim tidak diperkenankan menafsirkan undang-


undang secara sewenang-wenang. Hakim tidak boleh menafsirkan kaidah
yang mengikat, kecuali hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud
pembuat undang-undang saja yang menjadi tafsiran yang tepat.

Karena itu menurut Polak, cara penafsiran ditentukan oleh:

a. materi peraturan perundangan yang bersangkutan;

b. tempat perkara diajukan; dan

c. menurut zamannya.

Menurut Van Schifgaarde, penafsiran tidaklah terbatas pada


persoalan tata bahasa belaka. Penafsiran yuridis normatif pun penting dan
ini menyoal akibat hukum dari sudut pandang hukum objektif. Ini berarti
bahwa penafsiran penafsiran yuridis normatif dilakukan dengan tujuan
memunculkan pengertian yang menyimpang atau berbeda dari tujuan
yang diharapkan oleh para pihak, satu dan lain hal karena maksud dari
para pihak ternyata bertentangan dengan hukum objektif.79 Asas itikad
baik memegang peranan penting dalam penafsiran kontrak.

Beberapa sistem hukum, seperti hukum kontrak Jerman memiliki


ketentuan yang mewajibkan bahwa kontrak harus ditafsirkan sesuai
dengan itikad baik. Pasal 157 BGB menyatakan bahwa semua kontrak
harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik. Dalam beberapa sistem hukum
lainnya, seperti hukum kontrak Belanda, peranan itikad baik dalam
penafsiran kontrak dibangun oleh pengadilan.

80
Jika kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, maka
setiap isi kontrak harus ditafsirkan secara fair atau patut. Di samping itu,
perjanjian harus ditafsirkan beranjak dari kepatutan dan kelayakan.

Di dalam arrest Haviltex (13 Maret 1981, NJ 1981, 635 AA1981,


p. 355), Hoge Raad mengajukan formulasi mendasar yang terus diikuti
putusan-putusan selanjutnya. Hoge Raad dalam yurisprudensi tersebut
mempertimbangkan bahwa “makna ketentuan-ketentuan dalam suatu
perjanjian akan ditentukan menurut pengertian yang saling diberikan oleh
para pihak terhadap suatu keadaan tertentu dan juga atas dasar tersebut
menurut apa yang sepatutnya dapat saling mereka harapkan”.
Ditambahkan pula pentingnya “turut mempertimbangkan dari lingkungan
sosial ekonomi masyarakat manakah para pihak berasal dan pengetahuan
hukum apa yang dapat diharapkan dari pihak-pihak yang bersangkutan.

F. Wanprestasi dan akibat hukumnya


Perikatan yang lahir dari perjanjian, sebagian merupakan tindakan
hukum yang bersifat timbal balik menimbulkan sisi aktif dan sisi pasif.
Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditor untuk menuntut pemenuhan
prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur
untuk melaksanakan prestasinya. Pada situasi normal antara prestasi dan
kontra prestasi akan saling bertukar, namun pada kondisi tertentu
pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul
peristiwa yang disebut wanprestasi.

Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda,


yaitu “wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau
kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam
suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian
ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.

6 https://media.neliti.com/media/publications/85205-none-e9c88443.pdf
81
Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang
melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak
yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk
memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada
satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.

Berikut definisi dan pengertian wanprestasi dari beberapa sumber buku:

 Menurut Abdul Kadir Muhammad (1982), wanprestasi adalah tidak


memenuhi kewajiban yang harus ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan
yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena Undang-
undang.
 Menurut Wirjono Prodjodikoro (2000), wanprestasi adalah ketiadaan
suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus
dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.
 Menurut Erawaty dan Badudu (1996), wanprestasi adalah pengingkaran
terhadap suatu kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian yang dilakukan
oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut.
 Menurut Saliman (2004), wanprestasi adalah suatu sikap dimana
seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana
yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.

Menurut Kamus Hukum, Wanprestasi berarti kelalian, kealpaan,


tidak menepati janji, tidak memenuhi kontrak. Jadi, wanprestasi adalah
suatu keadaan dalam mana seorang debitor (berutang) tidak melaksanakan
prestasi yang diwajibkan dalam suatu kontrak, yang dapat timbul karena
kesengajaan atau kelalaian debitor itu sendiri dan adanya keadaan
memaksa (overmacht).

Menurut J Satrio: “Suatu keadaan di mana debitur tidak


memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan
kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya”. Mengutip dari Yahya
Harahap : “Wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat

82
pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya, sehingga
menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau
membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya
wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut
pembatalan perjanjian.perjanjian yang dibuat tersebut berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Karena berlaku
sebagai undang-undang, maka perjanjian tersebut mengikat para pihak
untuk menaatinya. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata.

Istilah wanprestasi, sepadan dengan artinya ingkar jani, cedera janji


dan lain-lain. Namun Definisi wanprestasi yang dirumuskan sejumlah
pakar, kurang mendeskripsikan wanprestasi secara utuh, karena
wanprestasi hanya diletakkan pada debitur, padahal wanprestasi dapat pula
dilakukan oleh kreditur. Karena itu penulis merumuskan wanprestasi
sebagai perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak atau keduanya
baik karena sengaja atau lalai, maupun karena keadaan memaksa atau
alasan lain sehingga prestasi tidak di penuhi sesuai perjanjian.
Adapun  Wanprestasi   menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
atau BW (Burgerlijk wetboek voor Indonesie disebut dalam Pasal 1238
berbunyi;

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan


sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa Si berutang akan harus dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Orang atau pihak yang lalai akan pemenuhan kewajibannya


sementara ia sudah mengikatkan diri di dalam suatu kesepakatan
(perikatan).

Unsur wanprestasi, dapat digolongkan menjadi empat katagori yakni:

1. Kreditur sama sekali Tidak melaksanakan isi kesepakatan;


2. Kesepakatan tersebut dilaksanakan akan tetapi melenceng dari isi
kesepakatan;
83
3. Kesepakatan tersebut dilaksakan tetapi sudah lewat waktu;

4. Melakukan perbuatan atau tindakan yang tidak ada disepakati dalm


perjanjian.

Menurut Satrio (1999), terdapat tiga bentuk wanprestasi, yaitu:

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sehubungan


dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan
debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila
prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur
dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru
tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi
prestasi sama sekali.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk dan syarat tertentu hingga
terpenuhinya wanprestasi adalah sebagai berikut (Ibrahim, 2004):

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.


2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Adapun syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang


Debitur sehingga dikatakan dalam keadaan wanprestasi, yaitu:

1. Syarat materill, yaitu adanya kesengajaan berupa: a) kesengajaan adalah


suatu hal yang dilakukan seseorang dengan di kehendaki dan diketahui serta
disadari oleh pelaku sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain. b)
Kelalaian, adalah suatu hal yang dilakukan dimana seseorang yang wajib

84
berprestasi sehasnnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau
sikap yang diambil olehnya akan menimbulkan kerugian.
2. Syarat formil, yaitu adanya peringatan atau somasi hal kelalaian atau
wanprestasi pada pihak debitur harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu
dengan memperingatkan debitur, bahwa kreditor menghendaki pembayaran
seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. Somasi adalah teguran keras
secara tertulis dari kreditor berupa akta kepada debitur, supaya debitur harus
berprestasi dan disertai dengan sangsi atau denda atau hukuman yang akan
dijatuhkan atau diterapkan, apabila debitur wanprestasi atau lalai.

Dalam hal wanprestasi yang memposisikan tidak di penuhinya


prestasi sama sekali, dapat di contohkan misalnya: Umar meminjam uang
pada Amir sebesar 10 juta rupiah dengan janji akan membayar kembali
secara angsuran selama 20 bulan namun Umar sama sekali tidak memnuhi
janji nya. atau Umar membayar pinjamannya kepada Amir tidak dalam
bentuk uang melainkan membayarnya dengan padi yang baru saja di
panen, itu pun nilainya tidak sepadan dengan jumlah utang nya. Ini beraeti
Umar memnuhi prestasinya, tetapi melenceng atau tidak seperti yang di
perjanjikan.

Dalam perjannian, Umar harus membayar angsuran bulanan atas


pinjamannya kepada Amir paling lambat tanggal 10 setiap bulan, namun
Umar baru membayar angsuran lewat tanggal 10. Wanprestasi ini berarti
memenuhi kewajiban, tetapi terlambat atau lampau waktu dari tanggal
yang disepakati. Dalam perjanjian disepakati bahwa Umar dilarang
membeli barang mewah selama pinjaaman belum lunas, namun Umar
melanggarnya dengan tetap membeli barang mewah. Wanprestasi jenis ini
merupakan bentuk perbuatan yang dilarang.

Penyebab Terjadinya Wanprestasi

85
Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya wanprestasi adalah
sebagai berikut (Satrio, 1999):

a. Adanya Kelalaian Debitur (Nasabah)

Kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya (debitur) jika ada


unsur kesengajaan atau kelalaian dalam peristiwa yang merugikan pada
diri debitur yang dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Kelalaian
adalah peristiwa dimana seorang debitur seharusnya tahu atau patut
menduga, bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan
timbul kerugian.

Sehubungan dengan kelalaian debitur, perlu diketahui kewajiban-


kewajiban yang dianggap lalai apabila tidak dilaksanakan oleh seorang
debitur, yaitu:

1. Kewajiban untuk memberikan sesuatu yang telah dijanjikan.

2. Kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan.


3. Kewajiban untuk tidak melaksanakan suatu perbuatan.
4. Karena Adanya Keadaan Memaksa (overmacht/force majure)

Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi


oleh pihak debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena
kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat
diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. Dalam keadaan
memaksa ini debitur tidak dapat dipersalahkan karena keadaan memaksa
tersebut timbul di luar kemauan dan kemampuan debitur.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa adalah


sebagai berikut:

1. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan benda


yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap.

86
7

2. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi


perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara.
3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu
membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur. Jadi bukan karena
kesalahan pihak-pihak, khususnya debitur.

Akibat dari adanya wanprestasi tersebut, masing-masing pihak yang


merasa dirugikan berhak menggugat ke Pengadilan untuk menuntut ganti rugi,
berupa penggantian biaya, kerugian dan bunga jika ada. Sebagaiman
dinyatakan dalam Pasal 1243 dan Pasal 1244 KUH Perdata (BW) yang
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1243 menyatakan:
Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu
perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila siberutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau
dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya.

Pasal 1244 menyatakan:
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila
ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau
tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh
sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya.
walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka materi tuntutan akibat


wanprestasi antara lain :

7 http://www.dppferari.org/pengertian-bentuk-penyebab-dan-hukum-wanprestasi/
87
a. Kewajiban membayar ganti rugi

Ganti rugi adalah membayar segala kerugian karena musnahnya


atau rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur. Untuk
menuntut ganti rugi harus ada penagihan atau (somasi) terlebih dahulu,
kecuali dalam peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak memerlukan adanya
teguran.

Ketentuan tentang ganti rugi diatur dalam pasal 1246 KUHPerdata,


yang terdiri dari tiga macam, yaitu: biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah
segala pengeluaran atas pengongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan
oleh kreditur sedangkan bunga adalah segala kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau yang sudah
diperhitungkan sebelumnya.

Ganti rugi itu harus dihitung berdasarkan nilai uang dan harus
berbentuk uang. Jadi ganti rugi yang ditimbulkan adanya wanprestasi itu
hanya boleh diperhitungkan berdasar sejumlah uang. Hal ini dimaksudkan
untuk menghindari terjadinya kesulitan dalam penilaian jika harus diganti
dengan cara lain.

b. Pembatalan perjanjian

Sebagai sangsi yang kedua akibat kelalaian seorang debitur yaitu


berupa pembatalan perjanjian. Sangsi atau hukuman ini apabila seseorang
tidak dapat melihat sifat pembatalannya tersebut sebagai suatu hukuman
dianggap debitur malahan merasa puas atas segala pembatalan tersebut
karena ia merasa dibebaskan dari segala kewajiban untuk melakukan
prestasi.

Menurut KUHPerdata pasal 1266: Syarat batal dianggap selalu


dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik,
manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang
demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus
dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun

88
syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam
perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan hakim
adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat,
memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi
kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu
bulan.

c. Peralihan risiko

Akibat wanprestasi yang berupa peralihan risiko ini berlaku pada


perjanjian yang objeknya suatu barang, seperti pada perjanjian pembiayaan
leasing. Dalam hal ini seperti yang terdapat pada pasal 1237 KUHPerdata
ayat 2 yang menyatakan‚ Jika si berutang lalai akan menyerahkannya,
maka semenjak saat kelalaiannya kebendaan adalah atas tanggungannya.

Perlu penulis tegaskan bahwa bunga sebagai salah satu materi


tuntuan dalam wanprestasi merupakan hal yang dilarang atau haram dalam
syariat islam. namun karena kajian ini memaparkan wanprestasi menurut
hukum barat, maka penting untuk mengetahui lebih khusus mengenai
pemenuhan Bunga oleh Debitur, mari kita telaah tiga jenis bunga dalam
hukum Indonesia. Sebagaimana dikutip dari buku Hukum Perikatan yang
ditulis oleh J.Satrio, ada tiga jenis bunga yaitu:
1. Bunga Moratoir, yaitu bunga yang terhutang karena Debitur terlambat
memenuhi kewajiban membayar sejumlah uang;
2.    Bunga Konventional, yaitu bunga yang disepakati para pihak; dan
3.    Bunga Kompensatoir, yaitu semua bunga, di luar bunga yang
diperjanjikan.
 
Berdasarkan pengertian di atas Bunga Moratoir merupakan Bunga
Kompensatoir, sehingga dalam pengertiannya terdapat Bunga Moratoir
Kompensatoir, Bunga Konventional dan Bunga Kompensatoir bukan
Moratoir, berikut penjelasan dan perbedaan dari 3 hal tersebut.
A.   Bunga Moratoir Kompensatoir

89
Bunga Moratoir merupakan ganti rugi dalam wujud sejumlah uang,
sebagai akibat dari tidak atau terlambat dipenuhinya perikatan yang berisi
kewajiban pembayaran sejumlah uang oleh debitur. Hal ini diatur khusus
pada Pasal 1250 paragraf (1) KUHPerdata yang menyatakan:
“Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan
pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga
sekadar disebabkan terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri
atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang, dengan tidak
mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus.”

Bunga yang ditentukan berdasarkan undang-undang adalah bunga


sebesar 6% (enam) persen setahun, Pada prinsipnya, Bunga Moratoir ini
tidak perlu dibuktikan adanya suatu kerugian oleh Kreditur, namun untuk
pengenaan Bunga Moratoir hanya harus dibayar terhitung mulai dari
diminta di muka Pengadilan, kecuali dalam hal-hal yang mana undang-
undang menetapkan bahwa ia berlaku demi hukum. Demikian
ketentuan Pasal 1250 paragraf (3) KUHPerdata.
Kesimpulan dari Bunga Moratoir adalah bunga yang diharapkan
menjadi keuntungan atas akibat kelalaian pelaksanaan suatu prestasi
Debitur, menjadi Kompensatoir apabila bunga tersebut menjadi pengganti
kerugian sehingga menjadi bersifat kompensatoir.
 
B.   Bunga Konventional
Bunga Konventional adalah bunga yang diperjanjikan oleh para pihak
dalam suatu perjanjian, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1767
KUHPerdata, dan karenanya tidak ada sangkut pautnya dengan masalah
ganti rugi. Bunga ini diberikan bukan sebagai ganti rugi, tetapi karena
disepakati oleh para pihak dan karenanya mengikat para pihak. Hal ini
didasari pada asas kebebasan berkontrak yang tercantum pada Pasal 1338
KUHPerdata yang menyatakan:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”

90
Mengenai besaran Bunga Konventional ini, karena bunga ini
timbul berdasarkan kesepakatan para pihak, maka besarannya dapat
ditentukan bersama oleh para pihak dengan mengenyampingkan besaran
bunga menurut undang-undang.
 
Perlu diperhatikan bahwa dalam menyepakati Bunga Konventional ini
para pihak yang menyepakati wajib membuat membuat perjanjian dalam
bentuk tertulis. Hal ini sebagaimana dinyatakan pada kutipan Pasal 1767
KUHPerdata:
“…Bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian boleh melampaui
bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang tidak
dilarang oleh undang-undang. Besarnya bunga yang diperjanjikan
dalam perjanjian harus ditetapkan secara tertulis.”

C.  Bunga Kompensatoir Bukan Moratoir


Bunga Kompensatoir adalah semua bunga yang bukan Bunga
Konvensional dan bukan Bunga Moratoir. Yang membedakan antara
Bunga Kompensatoir dengan Bunga Moratoir adalah kepentingan
perlunya pembuktian atas kerugian. Sebagaimana telah dijelaskan pada
Bagian A, Bunga Moratoir tidak perlu dibuktikan adanya kerugian oleh
Kreditur. Sedangkan, untuk Bunga Kompensatoir bukan Moratoir harus
ada kerugian riil atau dianggap ada. Bunga Kompensatoir ini pada
dasarnya diberikan untuk mengganti kerugian atau pembayaran bunga-
bunga yang telah dikeluarkan oleh Kreditur sebagai akibat dari
wansprestasinya debitur.
Menjawab pertanyaan tentang bunga atas keterlambatan atau
penundaan pembayaran, dengan tidak ada surat pernyataan atas pengenaan
bunga tersebut, kami mengasumsikan bahwa perjanjian jual-beli di antara
para penjual dan pembeli tidak mencantumkan bunga sebagai salah satu
prasyarat pengganti kerugian atas keterlambatan
pembayaran. Sehingga, dapat dipastikan dalam hal ini, Bunga yang
dikenakan bukanlah Bunga Konservatoir, melainkan kemungkinannya

91
adalah Bunga Moratoir Kompensatoir, atau Bunga Kompensatoir bukan
Bunga Moratoir.
Untuk menelaah lebih dalam lagi, perlu diketahui apakah Kreditur
dalam meminta bunga dari debitur karena timbulnya kerugian yang riil
akibat kelalaian tersebut, atau kerugian itu karena semata-mata
keuntungan yang diharapkan oleh Kreditur.
Apabila ternyata kerugian adalah suatu pengharapan keuntungan
dari Kreditur (opportunity loss), maka Bunga Moratoir lah yang mungkin
dikenakan kepada Debitur. Namun, untuk meminta Bunga Moratoir
tersebut perlu suatu putusan dari Pengadilan.
 
Sedangkan apabila Bunga Kompensatoir, Kreditur harus benar-
benar membuktikan telah terjadi kerugian terhadapnya akibat lalainya
Debitur, sehingga penggantian kerugian tersebut dapat diberikan kepada
Kreditur.
Kesimpulannya, setiap tidak dilaksanakannya suatu prestasi oleh
Debitur, atau dalam hal ini tidak melakukan pembayaran/keterlambatan
melakukan pembayaran sebagaimana permasalahan yang dipertanyakan,
maka Debitur dapat dikenakan penggantian biaya, kerugian, dan
bunga oleh Kreditur.

Namun, mengingat tidak disepakati mengenai besarnya bunga atas


keterlambatan pembayaran tersebut, maka Kreditur tidak dapat meminta
penggantian bunga kompensatoir tanpa kejelasan hal-hal sebagai berikut:
1.    Bahwa benar-benar terjadi suatu keadaan lalainya Debitur yang tidak
melakukan pembayaran/atau terlambatnya pembayaran dengan lewatnya
waktu yang telah ditetapkan,

2.    Adanya suatu surat perintah pembayaran, disertai dengan informasi


kerugian riil yang diderita oleh Kreditur untuk meminta suatu bunga
sebagai penggantian kerugian (Kompensatoir) akibat kelalaian Debitur.

8 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt505747d665ed5/bunga/
92
Menurut Muhammad Syaifuddin dalam bukunya yang
berjudul Hukum Kontrak Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat,
Teori, Dogmatik, Dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan)
Halaman 339, secara prosedural tetapi konkrit, suatu wanprestasi baru
terjadi jika debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan
prestasi dalam kontrak, dinyatakan lalai (in mora stelling; ingebereke
stelling) untuk melaksanakan prestasinya, atau dengan kata
lain wanprestasi ada jika debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban
melaksanakan prestasi dalam kontrak tersebut tidak dapat membuktikan
bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu di luar kesalahannya atau
karena keadaan memaksa. Jadi, pernyataan lalai adalah
suatu rehctmiddel atau upaya hukum kontrak (vide KUH Perdata) untuk
sampai kepada tahap debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban
melaksanakan prestasi dalam kontrak tersebut dinyatakan wanprestasi.

Jika dalam pelaksanaan prestasi tersebut tidak ditentukan tenggang


waktunya, maka seorang kreditor atau pihak yang mempunyai hak
menerima prestasi dalam kontrak, dipandang perlu
memeringatkan/menegur agar debitor atau pihak lainnya yang mempunyai
kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak untuk memenuhi
kewajibannya. Teguran ini disebut juga dengan somasi (sommatie).

Wanprestasi yang dilakukan oleh debitor atau pihak yang


mememiliki kewajiban untuk melaksanakan prestasi dalam perikatan,
dapat menimbulkan kerugian bagi kreditor atau pihak lain yang
mempunyai hak atas prestasi tersebut.

Oleh karena adanya wanprestasi debitor atau pihak yang


mempunyai kewajiban dalam melaksanakan prestasi atas kontrak
mengakibatkan hal-hal sebagai berikut:

1. Harus mengganti kerugian yang diderita oleh kreditor atau pihak lain
yang memiliki hak untuk menerima prestasi tersebut (Pasal 1243 BW);

93
2. Harus Pemutusan kontrak yang dibarengi dengan pembayaran ganti
kerugian (Pasal 1267 BW);

3. Harus menerima peralihan resiko sejak wanprestasi tersebut terjadi


(Pasal 1237 ayat (2) BW);

4. Harus menanggung biaya perkara jika perkara tersebut dibawa ke


pengadilan (Pasal 181 ayat (2) HIR).

Bentuk-bentuk daripada wanprestasi pada umumnya adalah sebagai


berikut:
1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
2. Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat);
3. Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; dan
4. Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan.

Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa


menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta
ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti
kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan,
kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut, serta
bunga. Wanprestasi ini merupakan bidang hukum perdata.
Apabila telah terjadi wanprestasi maka langkah yang dapat diambil
adalah melakukan somasi/teguran atas tindakan ingkar janji tersebut.
Somasi/teguran ini bermanfaat untuk mengingatkan pihak yang telah
wanprestasi terhadap kewajiban yang harus dipenuhi sesuai perjanjian.
Untuk menuntut pembatalan suatu kontrak dan ganti rugi dari
debitur, pertama-tama debitur harus wanprestasi, dan wanprestasi itu
terjadi karena kesalahan atau kelalaiannya. Tidak dilaksanakannya
kewajiban kontrak tidak membuat debitur serta merta (otomatis) berada
dalam keadaan wanprestasi. Untuk membuatnya berada dalam keadaan
wanprestasi, kreditur harus melakukan langkah pendahuluan berupa
penyerahan surat peringatan (somasi) kepada debitur.

94
Dalam doktrin dan yurisprudensi, surat peringatan ini dikenal
dengan somasi. Somasi yang tidak dipenuhi oleh debitur tanpa alasan yang
sah akan membawa debitur berada dalam keadaan lalai, dan sejak saat itu
semua akibat wanprestasi mulai berlaku terhadap debitur. Dengan
terjadinya keadaan wanprestasi, maka terbitlah hak kreditur untuk
menuntut pembatalan kontrak dan ganti rugi.
Karena tak ada ketentuan berapa kali somasi harus diajukan, maka
dalam praktek, somasi itu umumnya diajukan tiga kali yaitu: Somasi I,
Somasi II, Somasi III bisa juga Somasi I dan Somasi II (Terakhir). Somasi
pertama umumnya berupa peringatan yang masih bersifat soft, karena
kreditur biasanya masih meyakini bahwa dengan peringatan tersebut
debitur akan dengan sukarela melaksanakan isi somasi.
Jika somasi pertama tak dihiraukan, atau dijawab tapi jawabannya
tidak memuaskan, atau kreditur dan debitur berhasil melakukan
perundingan tapi tidak mencapai kesepakatan, maka kreditur dapat
melayangkan Somasi II. Somasi II memberikan peringatan yang lebih
tegas dari sebelumnya, dimana kreditur telah mengarahkan wanprestasi
kontrak langsung pada alternatif-alternatif penyelesaian yang diharapkan.
Dalam Somasi III, yang diajukan karena debitur tak juga
memberikan penyelesaian yang memuaskan, ancaman kreditur sudah
menjadi sangat tegas. Dalam somasi III kreditur hanya memberi dua
pilihan: laksanakan atau digugat. Dan jika Somasi III inipun tak memberi
penyelesaian yang memuaskan kreditur, barulah kreditur dapat meminta
pengacaranya untuk membuatkan surat gugatan ke pengadilan guna
menuntut pembatalan kontrak dan, jika kreditur memang di rugikan,
sekaligus menuntut ganti ruginya (biaya, rugi, dan bunga).
Somasi minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditor.
Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditor berhak membawa
persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan,
apakah debitor wanprestasi atau tidak. Somasi adalah teguran dari si
berpiutang (kreditor) kepada si berutang (debitor) agar dapat memenuhi
prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara

95
keduanya. Somasi ini diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal
1243 KUHPerdata.
Akibat hukum dari debitur yang telah
melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi berupa:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);
2. Pembatalan perjanjian;
3. Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak
saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan
hakim.
Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat
dilakukan oleh krediturdalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima
kemungkinan sebagai berikut (Pasal 1276 KUHPerdata):
1. Memenuhi/melaksanakan perjanjian;
2. Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;
3. Membayar ganti rugi;
4. Membatalkan perjanjian; dan
5. Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

Ganti rugi yang dapat dituntut:


 Debitur wajib membayar ganti rugi, setelah dinyatakan lalai ia
tetap tidak memenuhi prestasi itu”. (Pasal 1243  KUHPerdata). “Ganti rugi terdiri
dari biaya, rugi, dan bunga” (Pasal 1244 s.d. 1246 KUHPerdata).
 Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang
nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh suatu pihak.
 Rugiadalah kerugian karena kerusakan barang-barang
kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur.
 Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan
keuntungan, yang sudah dibayarkan atau dihitung oleh kreditur.
 Ganti rugi harus mempunyai hubungan langsung (hubungan
kausal) dengan ingkar janji” (Pasal 1248 KUHPerdata) dan kerugian dapat diduga
atau sepatutnya diduga pada saat waktu perikatan dibuat.

96
 Ada kemungkinan bahwa ingkar janji (wanprestasi) itu terjadi
bukan hanya karena kesalahan debitur (lalai atau kesengajaan), tetapi juga terjadi
karena keadaan memaksa.
 Kesengajaan adalah perbuatan yang diketahui dan dikehendaki.
 Kelalaian adalah perbuatan yang mana si pembuatnya mengetahui
akan kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain.

Bentuk-bentuk daripada wanprestasi pada umumnya adalah sebagai


berikut:
1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
2. Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat);
3. Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; dan
4. Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut
pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada
pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang
nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya
wanprestasi tersebut, serta bunga. Wanprestasi ini merupakan bidang hukum
perdata.
Apabila telah terjadi wanprestasi maka langkah yang dapat diambil adalah
melakukan somasi/teguran atas tindakan ingkar janji tersebut. Somasi/teguran ini
bermanfaat untuk mengingatkan pihak yang telah wanprestasi terhadap kewajiban
yang harus dipenuhi sesuai perjanjian.
Untuk menuntut pembatalan suatu kontrak dan ganti rugi dari
debitur, pertama-tama debitur harus wanprestasi, dan wanprestasi itu
terjadi karena kesalahan atau kelalaiannya. Tidak dilaksanakannya
kewajiban kontrak tidak membuat debitur serta merta (otomatis) berada
dalam keadaan wanprestasi. Untuk membuatnya berada dalam keadaan
wanprestasi, kreditur harus melakukan langkah pendahuluan berupa
penyerahan surat peringatan (somasi) kepada debitur.
Dalam doktrin dan yurisprudensi, surat peringatan ini dikenal
dengan somasi. Somasi yang tidak dipenuhi oleh debitur tanpa alasan yang
sah akan membawa debitur berada dalam keadaan lalai, dan sejak saat itu

97
semua akibat wanprestasi mulai berlaku terhadap debitur. Dengan
terjadinya keadaan wanprestasi, maka terbitlah hak kreditur untuk
menuntut pembatalan kontrak dan ganti rugi.
Karena tak ada ketentuan berapa kali somasi harus diajukan, maka
dalam praktek, somasi itu umumnya diajukan tiga kali yaitu: Somasi I,
Somasi II, Somasi III bisa juga Somasi I dan Somasi II (Terakhir). Somasi
pertama umumnya berupa peringatan yang masih bersifat soft, karena
kreditur biasanya masih meyakini bahwa dengan peringatan tersebut
debitur akan dengan sukarela melaksanakan isi somasi.
Jika somasi pertama tak dihiraukan, atau dijawab tapi jawabannya
tidak memuaskan, atau kreditur dan debitur berhasil melakukan
perundingan tapi tidak mencapai kesepakatan, maka kreditur dapat
melayangkan Somasi II. Somasi II memberikan peringatan yang lebih
tegas dari sebelumnya, dimana kreditur telah mengarahkan wanprestasi
kontrak langsung pada alternatif-alternatif penyelesaian yang diharapkan.
Dalam Somasi III, yang diajukan karena debitur tak juga
memberikan penyelesaian yang memuaskan, ancaman kreditur sudah
menjadi sangat tegas. Dalam somasi III kreditur hanya memberi dua
pilihan: laksanakan atau digugat. Dan jika Somasi III inipun tak memberi
penyelesaian yang memuaskan kreditur, barulah kreditur dapat meminta
pengacaranya untuk membuatkan surat gugatan ke pengadilan guna
menuntut pembatalan kontrak dan, jika kreditur memang di rugikan,
sekaligus menuntut ganti ruginya (biaya, rugi, dan bunga).
Somasi minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditor.
Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditor berhak membawa
persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan,
apakah debitor wanprestasi atau tidak. Somasi adalah teguran dari si
berpiutang (kreditor) kepada si berutang (debitor) agar dapat memenuhi
prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara
keduanya. Somasi ini diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal
1243 KUHPerdata.
Akibat hukum dari debitur yang telah
melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi berupa:

98
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);
2. Pembatalan perjanjian;
3. Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat
tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka


yang dapat dilakukan oleh krediturdalam
menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai
berikut (Pasal 1276 KUHPerdata):
1. Memenuhi/melaksanakan perjanjian;
2. Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;
3. Membayar ganti rugi;
4. Membatalkan perjanjian; dan
5. Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

Ganti rugi yang dapat dituntut:


 Debitur wajib membayar ganti rugi, setelah dinyatakan lalai ia tetap tidak
memenuhi prestasi itu”. (Pasal 1243  KUHPerdata). “Ganti rugi terdiri dari biaya,
rugi, dan bunga” (Pasal 1244 s.d. 1246 KUHPerdata).
 Biayaadalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-
nyata sudah dikeluarkan oleh suatu pihak.
 Rugiadalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan
kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur.
 Bungaadalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang
sudah dibayarkan atau dihitung oleh kreditur.
 Ganti rugi harus mempunyai hubungan langsung (hubungan kausal)
dengan ingkar janji” (Pasal 1248 KUHPerdata) dan kerugian dapat diduga atau
sepatutnya diduga pada saat waktu perikatan dibuat.
 Ada kemungkinan bahwa ingkar janji (wanprestasi) itu terjadi bukan
hanya karena kesalahan debitur (lalai atau kesengajaan), tetapi juga terjadi karena
keadaan memaksa.
 Kesengajaan adalah perbuatan yang diketahui dan dikehendaki.

99
 Kelalaian adalah perbuatan yang mana si pembuatnya mengetahui akan
kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain.

Bentuk-bentuk daripada wanprestasi pada umumnya adalah sebagai


berikut:

1) Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;


2) Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat);
3) Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; dan
4) Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan.

Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa


menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta
ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti
kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan,
kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut, serta
bunga. Wanprestasi ini merupakan bidang hukum perdata.

Apabila telah terjadi wanprestasi maka langkah yang dapat diambil


adalah melakukan somasi/teguran atas tindakan ingkar janji tersebut.
Somasi/teguran ini bermanfaat untuk mengingatkan pihak yang telah
wanprestasi terhadap kewajiban yang harus dipenuhi sesuai perjanjian.

Untuk menuntut pembatalan suatu kontrak dan ganti rugi dari


debitur, pertama-tama debitur harus wanprestasi, dan wanprestasi itu
terjadi karena kesalahan atau kelalaiannya. Tidak dilaksanakannya
kewajiban kontrak tidak membuat debitur serta merta (otomatis) berada
dalam keadaan wanprestasi. Untuk membuatnya berada dalam keadaan
wanprestasi, kreditur harus melakukan langkah pendahuluan berupa
penyerahan surat peringatan (somasi) kepada debitur.

Dalam doktrin dan yurisprudensi, surat peringatan ini dikenal


dengan somasi. Somasi yang tidak dipenuhi oleh debitur tanpa alasan yang
sah akan membawa debitur berada dalam keadaan lalai, dan sejak saat itu
semua akibat wanprestasi mulai berlaku terhadap debitur. Dengan
100
terjadinya keadaan wanprestasi, maka terbitlah hak kreditur untuk
menuntut pembatalan kontrak dan ganti rugi.

Karena tak ada ketentuan berapa kali somasi harus diajukan, maka
dalam praktek, somasi itu umumnya diajukan tiga kali yaitu: Somasi I,
Somasi II, Somasi III bisa juga Somasi I dan Somasi II (Terakhir). Somasi
pertama umumnya berupa peringatan yang masih bersifat soft, karena
kreditur biasanya masih meyakini bahwa dengan peringatan tersebut
debitur akan dengan sukarela melaksanakan isi somasi.

Jika somasi pertama tak dihiraukan, atau dijawab tapi jawabannya


tidak memuaskan, atau kreditur dan debitur berhasil melakukan
perundingan tapi tidak mencapai kesepakatan, maka kreditur dapat
melayangkan Somasi II. Somasi II memberikan peringatan yang lebih
tegas dari sebelumnya, dimana kreditur telah mengarahkan wanprestasi
kontrak langsung pada alternatif-alternatif penyelesaian yang diharapkan.

Dalam Somasi III, yang diajukan karena debitur tak juga


memberikan penyelesaian yang memuaskan, ancaman kreditur sudah
menjadi sangat tegas. Dalam somasi III kreditur hanya memberi dua
pilihan: laksanakan atau digugat. Dan jika Somasi III inipun tak memberi
penyelesaian yang memuaskan kreditur, barulah kreditur dapat meminta
pengacaranya untuk membuatkan surat gugatan ke pengadilan guna
menuntut pembatalan kontrak dan, jika kreditur memang di rugikan,
sekaligus menuntut ganti ruginya (biaya, rugi, dan bunga).

Somasi minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditor.


Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditor berhak membawa
persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan,
apakah debitor wanprestasi atau tidak. Somasi adalah teguran dari si
berpiutang (kreditor) kepada si berutang (debitor) agar dapat memenuhi
prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya.
Somasi ini diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal 1243
KUHPerdata.
101
Akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah
hukuman atau sanksi berupa:

a) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);


b) Pembatalan perjanjian;
c) Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat
tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
d) Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka


yang dapat dilakukan oleh krediturdalam menghadapi debitur yang
wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut (Pasal 1276
KUHPerdata):

a) Memenuhi/melaksanakan perjanjian;
b) Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;
c) Membayar ganti rugi;
d) Membatalkan perjanjian; dan
e) Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.
f) Ganti rugi yang dapat dituntut:

Debitur wajib membayar ganti rugi, setelah dinyatakan lalai ia


tetap tidak memenuhi prestasi itu”. (Pasal 1243 KUHPerdata). “Ganti rugi
terdiri dari biaya, rugi, dan bunga” (Pasal 1244 s.d. 1246 KUHPerdata).

Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-


nyata sudah dikeluarkan oleh suatu pihak.

Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan


kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur.

Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang


sudah dibayarkan atau dihitung oleh kreditur.

102
Ganti rugi harus mempunyai hubungan langsung (hubungan
kausal) dengan ingkar janji” (Pasal 1248 KUHPerdata) dan kerugian dapat
diduga atau sepatutnya diduga pada saat waktu perikatan dibuat.

Ada kemungkinan bahwa ingkar janji (wanprestasi) itu terjadi


bukan hanya karena kesalahan debitur (lalai atau kesengajaan), tetapi juga
terjadi karena keadaan memaksa.

Kesengajaan adalah perbuatan yang diketahui dan dikehendaki.

Kelalaian adalah perbuatan yang mana si pembuatnya mengetahui


akan kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain.

G. Tuntutan ganti rugi dalam perikatan melawan hukum dan


wanprestasi

Perbuatan Melawan Hukum dan wanprestasi

Suatu Pengertian Bila kita mencari perumusan perbuatan melawan


hukum dari ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata adalah hal yang sia-sia
karena ketentua pasal 1365 KUHPerdata tidak memberikan perumusan
dari perbuatan melawan hukum tetapi hanya mengatur bilakah seseorang
mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum. Ketentuan pasal
1365 KUHPerdata menyatakan, setiap perbuatan melawan hukum, yang
oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang
yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu

Dari ketentuan tersebut, unsur-unsur untuk mengajukan gugatan


atas perbuatan melawan hukum adalah adanya perbuatan Tuntutan Ganti
Rugi dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu Perbandingan dengan
Wanprestasi Jadi ketentuan ini hanya mengatur tentang syarat yang harus
dipenuhi bilamana seseorang menderita kerugian yang disebabkan oleh

9 https://abpadvocates.com/catat-inilah-upaya-hukum-yang-dapat-dilakukan-jika-terjadi-
wanprestasi/
103
karena perbuatan melawan hukum oleh orang lain hendak mengajukan
tuntutan ganti kerugian di hadapan Pengadian Negeri.

Jadi bukan mengatur onrechtmatige daad tetapi syarat-syarat untuk


menuntut ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Rumusan
perbuatan melawan hukum sebelum tahun 1919 merupakan perumusan
dalam arti sempit, sebagaimana beberapa putusan yang disampaikan oleh
Hofmann (Hofmann, 1932 : 261), yaitu :

1. Keputusan H.R. (Hoge Raad) tanggal 6 Januari 1905, dengan kasus :


Maatschappij Singer telah mengalami saingan yang berat dari sebuah
maatschappij lainnya yang menjual mesinmesin jahit dari lain-lain pabrik,
akan tetapi telah berdagang dengan menggunakan nama Singer
Maatschappij dan karenanya umum telah mengira bahwa maatschappij
yang tersebut belakangan itu benar-benar menjual mesinmesin jaihit dari
Singer Manufacturing Co yang terkenal itu. Karenanya Singer
Maatschappij yang asli menuntut ganti kerugian berdasarkan pasal 1401
BW Belanda (pasal 1365 KUHPerdata), akan tetapi Hoge Raad telah
menolaknya, karena pada waktu itu tidak terdapat ketentuan Undang
Undang yang memberi perlindungan terhadap atas hak nama perdagangan.

2. Keputusan HR tanggal 24 Nopember 1905 Seorang perbankan (bankir)


telah mengedarkan prospectus tentang sebuah Perseroan Terbatas yang
akan didirikan dengan mengajukan fakta-fakta yang tidak benar. Pembeli-
pembeli saham yang karenanya telah mengalami kerugian telah menuntut
ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum, akan tetapi tuntutan
mana juga telah ditolak oleh HR karena tidak dibuktikan bahwa bankir
tersebut telah membaca prospectus terlebih dahulu sebelum ia
menandatanganinya dan Undang Undang pada waktu itu belum
mengharuskan penandatangan prospectus untuk membacanya atau
memberi jaminan tentang kebenaran segala sesuatunya yang ditentukan
dalam prospectus tersebut.

3. Keputusan HR tanggal 10 Juni 1910 Dalam sebuah gedung di Zutphen


karena iklim yang sangat dinginnya pipa air dalam gudang tersebut pecah.

104
Kran induknya berada dalam rumah di tingkat atas di atas gudang-gudang
tersebut dan penghuninya tidak mau memenuhi permintaan untuk menutup
kran induk (mematikan) tersebut, sekalipun kepadanya telah dijelaskan
bahwa dengan tidak ditutupnya kran induk tersebut akan timbul kerusakan
besar pada barang yang tersimpan dalam gudang tersebut karena akan
tergenang air. Maatschappij Pertanggungan telah membayar ganti
kerugian, tetapi kemudian menuntut penghuni rumah tingkat atas tersebut
di muka Pengadilan.

Tuntutan ini pun ditolak oleh HR dengan alasan bahwa tidak


terdapat suatu ketentuan Undang Undang yang mewajibkan penghuni dari
rumah tingkat atas tersebut untuk kepentingan pihak ketiga. Dalam
rumusan HR tersebut, jelaslah bahwa perumusan perbuatan melawan
hukum tidak dapat mencakup segala persoalan sebagaimana diajukan dan
diputuskan oleh Pengadilan Negeri. Dalam putusan Raad sebelum tahun
1919, perbuatan melawan hukum diartikan dalam arti sempit. Melawan
hukum adalah sekedar suatu perbuatan yang melanggar hak subjektif
orang lain yang timbul karena undang-undang atau yang bertentangan
dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri.

Jadi perbuatan tersebut harus melanggar hak subjektif orang lain


atau bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang
telah diatur dalam undang-undang atau dengan perkataan lain menurut
Pitlo, melawan hukum ditafsirkan sebagai melawan undang undang
(onwetmatige).

Pandangan yang demikian disebabkan pengaruh dari ajaran


legisme dimana orangorang berpendapat tidak ada hukum di luar Tuntutan
Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu Perbandingan
dengan Wanprestasi Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 2, Agustus 2013
110 undang-undang. Sehingga orang tidak dapat memberi penafsiran di
luar kaidah-kaidah tertulis.

Suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang undang


menurut ajaran yang sempit ini sama sekali tidak dapat dijadikan melawan

105
hukum, sekalipun perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal
yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan
masyarakat. Beberapa penganut dari ajaran sempit ini adalah Simons dan
Land.

Alasan yang dikemukakan oleh Land adalah :

1. Pengundangan undang-undang kita (Belanda) dengan sengaja mula


kalanya dengan berdasarkan pada ketentuan pasal 1382 Code Civil (1401
BW Belanda = 1365 KUHPerdata) menambahakan istilah wederrechtelijk
yang kemudian diubah menjadi onrechmatig untuk menyatakan bahwa tiap
perbuatan yang menyebabkan kerugian bagi orang lain adalah melawan
hukum (onrechtmatig).

2. Ketentuan pasal 1365 KUHPerdata didasarkan pada Domat. Land


mengira bahwa ia menjadikan paragrap yang bersangkutan dari Domat
yang hanya memperhatikan masalah khusus saja menjadi peraturan umum,
akan tetapi sekalipun demikian tidaklah ia bermaksud mengadakan
perobahan dalam pengertian onrechtmatig sebagai bertentangan dengan
undang-undang.

Sementara argumentasi dari Simons adalah khawatir kalau-kalau


kepastian hukum akan terganggu bilamana onrechtmatig diartikan sebagai
bertentangan dengan moral atau pergaulan hidup masyarakat, karena
menurut hematnya akan terlalu banyak diserahkan pada penglihatan
pribadi (subjektif inzicht) daripada para Hakim. Akan dengan mudah
timbul perbedaan pandangan tentang kepatutan dan kesopanan yang harus
diindahkan dalam pergaulan masyarakat.

Lagi pula dikhawatirkannya kalau-kalau dengan perumusan yang


luas itu akan terjadi percampuran-bauran tentang hukum dan kesopanan,
terlebih-lebih bilamana mengenai perbuatan mengabaikan (nalaren). Apa
yang diharuskan oleh kesopanan dan kepatutan dalam pergaulan
masyarakat tidaklah selalu terkena saksi daripada undang-undang.

106
Kekhawatiran yang terutama dikemukakan oleh Simons adalah
sesuai dengan pendapat-pendapat para sarjana lainya yang menganut
ajaran yang luas, tidaklah beralasan karena sebagaimana diketahui dalam
hukum perdata, banyaklah yang diserahkan pada para pendapat para hakim
yang memutus, sedang hasil-KDVLO GDULSDGD ¥Freies (UPHVVHQ¥
sedemikian itu dapat saja memuaskan bilamana hakim yang bersangkutan
akan menggunakan wewenangnya secara baik.

Selanjutnya pendapat Hoge Raad sebagaimana dituangkannya


dalam keputusannya tanggal 2 Mei 1930 dengan pertimbangannya antara
lain sebagai berikut: ¥8QWXN NHSHQWLQJDQ RUDQJ ODLQ
WLGDN perlulah seseorang melakukan sesuatu perbuatan agar tidak
menimbulkan kerugian bagi orang lain tersebut, bilamana perbuatan
tersebut bagi orang tersebut yang harus melakukannya akan menimbulkan
kerugian baginya dan orang lain tersebut tidak bersedia untuk membayar
ganti kerugiannya.

Bilamana pengertiannya yang luas mengenai onrechtmatig dapat


diterapkan, maka akan terjadi bahwa banyak perbuatan yang oleh tiap
orang dirasakan sebagai perbuatan melawan hukum akan dapat diputuskan
oleh Hakim Perdata, sekalipun perbuatan itu tidaklah bertentangan dengan
ketentuanketentuan daripada undang-undang. Penganut ajaran luas ini
yang sekaligus merupakan pelopornya adalah Molengraaf.

Menurutnya seseorang akan melakukan perbuatan melawan hukum


bilamana ia bertindak secara lain daripada yang diharuskan dalam
pergaulan masyarakat mengenai seseorang atau benda lain. Atas dasar
keinginan akan pemikiran dalam arti luas tersebut, maka pada tahun
tanggal 11 Januari 1911, Pemerintah mengajukan rancangan undang-
undang pada Parlemen Belanda (Tweede Kamer) dengan tujuan perubahan
penafsiran yang luas dari pengertian perbuatan melawan hukum dan pada
tahun 1913 rancangan undang-undang mengalami perubahan.

Dalam rancangan yang telah mengalami perubahan tersebut,


Tuntutan Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu

107
Perbandingan dengan Wanprestasi Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 2,
Agustus 2013 111 perbuatan melawan hukum adalah merupakan suatu
perbuatan atau suatu kealpaan berbuat, yang melanggar hak orang lain,
atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku (orang yang
melakukan perbuatan) atau melanggar, baik kesusilaan ataupun
bertentangan dengan keharusan, yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat tentang orang lain atau barang.

Bertitik tolak dari penafsiran dalam arti luas dari onrechtmatig


daad tersebut, menurut Arrest 1919, suatu perbuatan disebut perbuatan
melawan hukum apabila :

a.Bertentangan dengan hak orang lain

Yang dimaksud disini adalah bertentangan atau melanggar


hak subjektif orang lain. Menurut Meijers, ciri khas dari hak
subjektif adalah suatu wewenang khusus yang diberikan oleh
hukum kepada seseorang untuk digunakan bagi kepentingannya.

Hak-hak subjektif yang diakui oleh Yurisprudensi adalah :

1. hak-hak perorangan, seperti kebebasan, kehormatan, nama baik;

2. hak-hak atas harta kekayaan seperti hak-hak kebendaan dan hak-


hak mutlak lainnya.

b. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri

Dalam hal ini merupakan tindak tanduk yang bertentangan dengan


ketentuan undang-undang. Suatu perbuatan adalah melawan hukum bila
perbuatan tersebut telah bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
Yang dimaksud dengan kewajiban hukum adalah kewajiban yang
berdasarkan atas hukum yaitu yang mencakup keseluruhan norma-norma
baik tertulis maupun tidak tertulis. Sehingga yang dimaksud dengan
bertentangan dengan kewajiaban hukum pelaku adalah perbuatan
seseorang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan keharusan
atau larangan.

108
c.Bertentangan dengan kesusilaan
Yang dimaksud dengan kesusilaan adalah norma-norma kesusilaan
sepanjang norma-norma tersebut oleh pergaulan hidup diterima sebagai
peraturanperaturan hukum yang tidak tertulis. Suatu perbuatan atau
melalaikan sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan merupakan
perbuatan melawan hukum.

d.Bertentangan dengan keharusan

yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai


orang lain atau benda. Setiap manusia menginsyafi bahwa ia merupakan
bagian dari kehidupan masyarakat dan karenanya dalam segala
perbuatannya harus memperhatikan kepentingan-kepentingan sesamanya.
Harus mempertimbangkan kepentingan sendiri dengan kepentingan orang
lain dan mengikuti apa yang oleh masyarakat dianggap sebagai hal yang
layak dan patut.

Dapat dianggap bertentangan dengan kepatutan adalah :

- perbuatan yang sangat merugikan orang lain tanpa kepentingan


yang layak;

- perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya


terhadap orang lain, dimana menurut manusia yang normal hal itu
harus diperhatikan.

Bilamana perbuatan melawan hukum terjadi, apabila seseorang


bertindak secara lain daripada yang diharuskan dalam pergaulan
masyarakat mengenai seseorang atau benda lain dan perbuatan tersebut
bertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri, bertentangan dengan kesusilaan, dan bertentangan
dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat.

Lalu apa yang dimaksud dengan wanprestasi ? Sedangkan


perkataan wanprestasi, berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi
buruk. Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada
waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi perjanjian telah
109
lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam
melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya/selayaknya.

Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa


empat macam (Subekti, 1987: 45).

a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana


diperjanjikan; Tuntutan Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan
Hukum: Suatu Perbandingan dengan Wanprestasi Lex Jurnalica
Volume 10 Nomor 2, Agustus 2013 112

c. melaksanakan apa yang diperjanjikannya tetapi terlambat; d.


melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya. Apabila si berutang (debitor) tidak melakukan apa
yang diperjanjikan, maka dikatakan ia melakukan wanprestasi. Ia
alpa atau lalai atau ingkar janji. Atau juga ia melanggar perjanjian,
bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh
dilakukannya.

Wanprestasi membawa akibat hukum, yaitu keharusan bagi debitor


untuk membayar ganti kerugian atau dengan adanya wanprestasi oleh
salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian
seperti yang dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 21
Mei 1973 No. 70HK/Sip/1972 yang menyebutkan, bahwa apabila salah
satu pihak melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan pembayaran
barang yang dibeli, pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan
perjanjian (Yurisprudensi Indonesia MARI, 1974: 250).

Sebab dengan tindakan debitor dalam melaksanakan kewajiban


tidak tepat waktu atau tak layak, jelas merupakan pelanggaran hak
kreditor. Setiap pelanggaran hak orang lain, berarti merupakan perbuatan
melawan hukum atau (onrechtmatige daad). Memang hampir serupa
onrechtmatige daad dengan wanprestasi. Itu sebabnya dapat dikatakan,

110
wanprestasi merupakan genus specifik dari onrechtmatige daad seperti
yang dirumuskan dalam pasal 1365 BW.

Oleh karenanya sebagaimana juga halnya dalam onrechmatige


daad/perbuatan melawan hukum, maka dalam wanprestasi pun demikian
halnya. Yakni wanprestasi sebagai perbuatan melawan hak kreditor, akan
hilang atau terhapus atas dasar alasan overmacht/keadaan memaksa. Jika
ketidaktepatan waktu pelaksanaan atau terdapatnya kekurang sempurnaan
pelaksanaan prestasi yang merugikan kreditor terjadi di luar perhitungan
debitor, dalam hal seperti ini wanprestasi tidak melekat. Tidak ada dalam
hal ini perbuatan melawan hukum.

Kekurang tepatan waktu dan kekurang patutan yangdapat dipakai


sebagai dasar wanprestasi adalah jika timbul keadaan² keadaan yang
benar-benar dapat diperkirakan oleh debitor. Namun untuk membenarkan
keadaan di luar perkaraannya, debitur harus membuktikan akan adanya
keadaan memaksa di luar perhitungan dan kemampuannya. Kedudukan
Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi Dalam Sistem Hukum
Indonesia Buku Ketiga Kitab Undang Undang Hukum Perdata
menyebutkan tetang terjadinya perikatan dan mengemukakan bahwa
perikatan timbul dari persetujuan dan undang-undang.

Terhadap perikatan yang lahir dari undang-undang, pasal 1352


KUHPerdata membaginya menjadi perikatan yang hanya terjadi karena
undang-undang aja dan perikatan yang timbul dari undang-undang karena
perbuatan manusia dimana yang terakhir ini dibagi menjadi perbuatan
melawan hukum dan perbuatan menurut hukum

. Dibedakanya sumber perikatan kedalam persetujuan dan undang-


undang ini menimbulkan kritik :

1. Dalam pasal 1233 KUHPerdata, undang² undang dibedakan dari


persetujuan. padahal sebenarnya hal tersebut tidak perlu, karena
persetujuan itu dapat menimbulkan perikatan karena ditentukan
demikian oleh undang-undang. Jadi undang-undang-lah sebagai
satu-satunya sumber perikatan. Pendapat ini ditentang oleh Pitlo
111
yang mengemukakan bahwa, pendapat yang demikian itu tidaklah
dapat dipertanggungjawabkan, karena sekalipun Undang-Undang
tidak menyebutkan persetujuan sebagai sumber perikatan, ia tetap
masih merupakan sumber perikatan. Hal ini disebabkan karena
kehidupan bersama menuntut bahwa manusia itu dapat menepati
perkataannya.

2. Perikatan tidak pernah akan timbul hanya dari undang-undang


saja karena undang-undang tidak mungkin menciptakan suatu
perikatan dari hal yang tidak ada. Menurut Pitlo, adapun yang
dimaksud oleh pembentuk undang-undang adalah perikatan yang
terjadi karena undangundang saja sebagai lawan daripada perikatan
yang ditimbulkan oleh perbuatan hukum.

3. Dalam menentukan sumber-sumber perikatan undang-undang


tidak mencakup Tuntutan Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan
Hukum: Suatu Perbandingan dengan Wanprestasi Lex Jurnalica
Volume 10 Nomor 2, Agustus 2013 113 seluruh perikatan.

Selain persetujuan dan undang-undang masih terdapat fakta-fakta


hukum lainnya yang dapat menimbulkan perikatan. Apabila seseorang
dalam surat wasiat membuat surat legaat, maka pada waktu orang itu
meninggal timbul suatu perikatan antara para ahli waris dengan legataris,
dimana yang pertama berkewajiban dan yang kedua berhak. Perikatan
yang timbul dari putusan hakim, dimana hakim membenarkan pengakuan
penggugat yang tanpa hak atas suatu tuntutan, dan kewajiban untuk
membuat perhitungan dalam hal memperkaya diri dengan tidak beralasan.

Tuntutan yang Dapat Disarankan Atas Perbuatan Melawan Hukum


dan Wanprestasi Seperti telah diuraikan di atas, seorang yang melakukan
perbuatan melawan hukum maupun wanprestasi wajib mengganti
kerugian. Untuk itu kita perlu lebih memahami mengenai tuntutan-
tuntutan apa yang dimungkinkan dalam perbuatan melawan hukum
maupun wanprestasi. Terlebih dahulu kita akan membahas mengenai
tuntutan dalam perbuatan melawan hukum.

112
Dalam pasal 1365 KUHPerdata memberikan kemungkinan
beberapa jenis penuntutan, antara lain (M.A. Moegni Djojodirdjo1976 :
102) :

1. ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk uang;

2. ganti kerugian dalam bentuk natura atau pengembalian keadaan


pada keadaan semula;

3. pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan dalah bersifat


melawan hukum;

4. larangan untuk melakukan suatu perbuatan;

5. meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum;

6. pengumuman daripada keputusan atau dari sesuatu yang telah


diperbaiki. Pembayaran ganti kerugian tidak selalu harus berwujud
uang. Hoge Raad dalam Keputusan tanggal 24 Mei 1918 telah
mempertimbangkan bahwa pengembalian pada keadaan semula
adalah merupakan pembayaran ganti kerugian yang paling tepat.

Maksud ketentuan pasal 1365 KUHPerdata adalah untuk seberapa


mungkin mengembalikan penderita pada keadaan semula, setidak-tidaknya
pada keadaan yang mungkin dicapainya, sekiranya tidak dilakukan
perbuatan melawan hukum. Maka yang diusahakan adalah pengembalian
yang nyata yang kiranya lebih sesuai daripada pembayaran ganti kerugian
dalam bentuk uang karena pembayaran sejumlah uang hanyalah
merupakan nilai yang equivalen saja. Seorang penderita perbuatan
melawan hukum berwenang meminta penggantian natura.

Selain daripada haknya untuk meminta ganti kerugian atau untuk


menuntut pengembalian pada keadaan semula (restitutio in integrum),
maka penderita berwenang untuk mengajukan nilai-nilai tuntutan yakni
agar pengadilan menyatakan bahwa perbuatan yang dipersalahkan pada
pelaku merupakan perbuatan melawan hukum.

113
Dalam hal ini penderita dapat juga mengajukan tuntutan kehadapan
Pengadilan agar Pengadilan Negeri memberikan keputusan dieclaratoir
tanpa menuntut pembayaran ganti kerugian. Demikian juga penderita
dapat menuntut agar Pengadilan Negeri menjatuhkan keputusannya
dengan melarang pelaku untuk melakukan perbuatan melawan hukum lagi
dikemudian hari. Bilamana si pelaku tetap tidak mentaati keputusan untuk
mengembalikan pada keadaan semula, maka si pelaku tersebut dapat
dikenakan uang paksa.

Tuntutan-tuntutan tersebut dapat diajukan secara komulatif


beberapa tuntutan secara sekaligus dengan ketentuan bahwa sesuatu
pembayaran ganti kerugian tidak dapat berupa dua jenis ganti kerugian
sekaligus yakni tidak dapat dituntut pengembalian keadaan pada keadaan
semula dengan ganti kerugian berupa sejumlah uang. Lebih lanjut
yurisprudensi Hoge Raad tanggal 17 November 1967 telah menyatakan:
bahwa pelaku perbuatan melawan hukum dapat dihukum untuk membayar
ganti kerugian sejumlah uang kepada penderita atas kerugian yang
ditimbulkannya akan tetapi pelaku juga dalam hal si penderita
menuntutnya dan hakim menganggap tuntutan tersebut sudah pantas dapat
juga dihukum untuk melakukan suatu prestasi lain yang dapat meniadakan
kerugian yang ditimbulkannya.

Tuntutan Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu


Perbandingan dengan Wanprestasi Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 2,
Agustus 2013 114 Setelah dipahami mengenai tututan dalam perbuatan
melawan hukum, maka perlu juga dipahami apa yang menjadi tuntutan
dalam perbuatan wanprestasi. Kita ketahui bahwa pada debitor terletak
kewajiban untuk memenuhi prestasi.

Dan jika ia tidak melaksanakan kewajibannya tersebut bukan


karena keadaan memaksa maka debitor dianggap melakukan ingkar janji.
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitor dapat berupa empat
macam (Subekti, 1987 : 45).

a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

114
b. melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana
diperjanjikan;

c. melaksanakan apa yang diperjanjikannya tetapi terlambat;

d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh


dilakukannya.

Ingkar janji (wanprestasi) membawa akibat yang merugikan bagi


debitur karena sejak saat tersebut debitur kewajiban mengganti kerugian
yang timbul sebagai akibat daripada ingkar janji tersebut.

Dalam hal debitor melakukan ingkar janji, tuntutan yang dapat


diajukan oleh kreditor adalah :

a. pemenuhan perikatan;

b. pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;

c. ganti rugi;

d. pembatalan persetujuan timbal balik;

e. pembatalan dengan ganti rugi.

Jika wanprestasi menimbulkan kewajiban ganti kerugian dan


kreditor dapat menuntut hal-hal di atas, maka melakukan tuntutan, kreditor
harus memahami mengenai kapan sesungguhnya debitor dapat dikatakan
telah ingkar janji, apakah ingkar janji terjadi dengan sendirinya.
Adakalanya perjanjian tidak ditentukan kapan saat pemenuhan prestasi.

Dalam hal yang demikian, ingkar janji tidak segera terjadi sejak
saat debitor tidak memenuhi prestasinya. Untuk itu diperlukan suatu
tenggang waktu yang layak. Jadi pada persetujuan yang tidak ditentukan
tenggang waktu prestasinya, ingkar janji tidak terjadi secara hukum. Untuk
menentukan saat terjadinya wanprestasi/ingkar janji, undang-undang
memberikan pengaturannya dengan lembaga penetapan lalai
(ingebrekestelling). Penetapan lalai adalah pesan dari kreditor kepada

115
debitor, dengan mana kreditor memberitahukan kepada pada saat
kapankah selambat-lambatnya ia mengharapkan pemenuhan prestasi.

Dengan pesan ini kreditor menentukan dengan pasti, pada saat


manakah dalam keadaan wanprestasi, manakala ia tidak memenuhi
prestasinya. Sejak saat itu pulalah debitor harus menanggung akibat-akibat
yang merugikan yang disebabkan tidak dipenuhinya prestasi. Jadi lalai
adalah syarat untuk menentapkan terjadinya wanprestasi.

Ganti rugi yang dapat dituntut dalam wanprestasi, pasal 1243


KUHPerdata telah memberikan pengaturannya yang merupakan peraturan
prinsipil mengenai ganti kerugian dalam hal tidak dipenuhi perikatan.
Ganti rugi tersebut berupa biaya, rugi dan bunga (kosten, schaden en
interesten). Yang dimaksud dengan biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh satu pihak. Jika
seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan seorang pemain
sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan, dan pemain ini kemudian
tidak datang sehingga pertunjukkan terpaksa dibatalkan, maka yang
termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan
lain-lain.

Selanjutnya yang dimaksud dengan rugi adalah kerugian karena


kerusakan barangbarang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh
kelalaian si debitor. Misalnya, dalam hal jual beli sapi. Kalau sapi yang
dibelinya itu mengandung suatu penyakit yang menular kepada sapi-sapi
lainnya milik si pembeli, hingga sapi-sapi ini mati karena penyakit
tersebut. Ataupun, rumah yang baru diserahkan oleh pemborong ambruk
karena salah konstruksinya, hingga merusakkan segala perabot rumah.
Sedangkan yang dimaksud dengan bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan (winstdervig) yang sudah dibayangkan atau
dihitung oleh kreditor.

Demikianlah ganti rugi yang dianut dalam buku III KUHPerdata.


Dalam Code Civil, ganti rugi diperinci dalam dua unsur, yakni dommages
dan interests. Dommages meliputi apa yang disebut dengan biaya dan rugi,

116
sedangkan interests adalah sama dengan Tuntutan Ganti Rugi dalam
Perbuatan Melawan Hukum: Suatu Perbandingan dengan Wanprestasi Lex
Jurnalica Volume 10 Nomor 2, Agustus 2013 115 bunga dalam arti
keuntungan (Soebekti, Op.Cit : 47). Berkaitan dengan ganti rugi,
undangundang memberikan ketentuan mengenai apa yang dapat
dimasukkan dalam ganti rugi. Berarti dalam hal ini terdapat ketentuan
pembatasan dari apa yang boleh dituntut dalam ganti rugi.

Ketentuan pasal 1247 diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga


yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian
dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan
karena suatu tipu daya yang Dari ketentuan tersebut, berarti ganti rugi
dibatasi hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang merupakan
akibat langsung dari wanprestasi.

Persyaratan dapat diduga dan akibat langsung dari wanprestasi


sangat rapat hubungannya satu sama lain. Lazimnya apa yang tak dapat
diduga juga bukan suatu akibat langsung dari kelalaian si debitor. Menurut
teori sebab akibat (adequat teori) suatu peristiwa dianggap sebagai akibat
lain apabila peristiwa yang pertama secara langsung diakibatkan oleh
peristiwa yang kedua dan menurut pengalaman masyarakat hal tersebut
dapat diduga akan terjadi.

Menurut yurisprudensi, persyaratan dapat diduga itu, juga meliputi


besarnya kerugian. Jadi kerugian yang yang jumlahnya meliputi batas-
batas yang dapat diduga tidak boleh ditimpakan kepada debitor untuk
membayarnya, kecuali jika ia nyata-nyata telah berbuat secara licik,
melakukan tipu daya, tetapi juag masih dalam batas-batas yang terletak
dalam persyaratan akibat langsung yang ditentukan dalam pasal 1248
KUHPerdata.

Pembatasan lainnya juga diberikan berkaitan dengan bunga


morotoir yang berkaitan dengan prestasi pembayaran sejumlah uang.
Apabila prestasi tersebut berupa pembayaran sjeumlah uang, maka
kerugian yang diderita oleh kreditor kalau pembayaran itu terlambat

117
adalah berupa interest, rente atau bunga. Perkataan morotoir berasal dari
kata latin mora yang berarti kealapaan atau kelalaian. Jadi bunga morotoir
berarti bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitor alpa
atau lalai membayar utangnya. Oleh undang-undang yang dimuat dalam
Lembaran Negara tahun 1848 No. 22, bunga tersebut ditetapkan sebesar 6
% setahun dan menurut pasal 1250 KUHPerdata, bunga yang dituntut
tidak boleh melebihi prosenan yang ditetapkan dalam undang-undang
tersebut.

Syarat-Syarat Materil yang Harus Dipenuhi Untuk Menuntut Ganti


Kerugian Pertama-tama kita membahas mengenai syarat-syarat materiil
yang harus dipenuhi untuk menuntut ganti rugi dalam perbuatan melawan
hukum, yakni :

a. Adanya perbuatan melawan hukum.

Perbuatan melawan hukum adalah merupakan suatu perbuatan atau


kealpaan yang atau bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku sendiri atau bertentangan baik dengan
kesusilaan maupun dengan sikap hati-hati yang harus diindahkan dalam
pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda. Suatu perbuatan akan
lenyap sifat melawan hukum karena adanya dasar pembenar
(rechtvaardigings grond).

Adakalanya suatu perbuatan yang menurut satu atau lebih kritrium


melawan hukum, tidak merupakan perbuatan melawan hukum. Karena
masalahmasalah yang membenarkan perbuatan tersebut. Dasar-dasar
pembenar tersebut adalah keadaan memaksa (overmacht), pembelaan
terpaksa (noodwer), ketentuan undang-undang (wttelijk voorschrift) dan
perintah jabatan (wettelijk bevel). Menurut G.J. Scholten, suatu dasar
pembenar hanyalah dapat diterapkan bilamana telah secara dasar
menerapkannya.

Masalah-masalah khusus yang meniadakan sifat melawan hukum


yang disebut dasar-dasar pembenar selalu mengandung sifat eksepsional
dan karenanya hanyalah sebagai pengecualian pembenaran penyimpangan
118
terhadap norma umum yang melarang perbuatan yang bersangkutan. Suatu
dasar pembenar meniadakan sifat melawan hukum daripada suatu tindak
tanduk yang tercela sehingga karenanya pertanggungan gugat Tuntutan
Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu Perbandingan
dengan Wanprestasi Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 2, Agustus 2013
116 si pelaku sama sekali lenyap dan tidak ada persoalan tentang
pembagian kerugian. Segala sesuatu yang tidak melawan hukum akan
tetap tidak melawan hukum.

Akan tetapi bila sifat melawan hukum daripada suatu perbuatan


sudah ditiadakan oleh suatu dasar pembenar, maka perbuatan tersebut
tidak akan hilang sifat sahnya lagi dengan timbul kemungkinan bahwa
sikap hati-hati harus dilakukan dalam pergaulan masyarakat mengehendaki
bahwa si pelaku dikemudian hari tetap harus memperbaiki kerugian yang
ditimbulkan oleh perbuatannya yang sah tersebut.

Secara umum dasar pembenar dapat dibagi menjadi 2 golongan


utama, yang dapat berupa dasar-dasar pembenar yang berdiri sendiri, akan
tetapi dapat juga merupakan perluasan daripada dasar-dasar pembenar
yang berasal dari undang-undang sekalipun dasardasar tersebut disebut
dasar-dasar pembenar tidak tertulis, yaitu :

1. Dasar pembenar yang berasal dari undang-undang, yakni keempat jenis


dasar-dasar peniadaan hukuman tersebut;

a) Keadaan memaksa (overmacht) Biasanya overmacht dalam


rangka perbuatan melawan hukum dihubungkan dengan ketentuan
hukum pidana. Pasal 48 KUHPidana menentukan, bahwa tiada
boleh seseorang dihukum, bila ia melakukan sesuatu perbuatan
pidana karena keadaan terdesak oleh keadaan memaksa.
Overmacht adalah suatu suatu paksaan yang tidak dapat dielakkan
lagi yang datangnya dari luar. Secara lengkap overmacht adalah
bukannya hanya paksaan (dwang) terhadap mana orang tidak dapat
memberikan perlawannya, melainkan juga tiap paksaan terhadap
mana perlu dilakukan perlawanan.

119
b) Pembelaan terpaksa (noodweer) Pasal 49 KUHPidana
menyatakan, barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa
dilakukannya untuk membela dirinya atau orang lain untuk
membela kehormatan diri atau orang lain atau untuk membela
harta benda miliknya sendiri atau orang lain terhadap serangan
dengan sengaja yang datangnya dengan tiba-tiba. Dalam
pembelaan terpaksa, serangan datang dengan sengaja yang tidak
dapat dielakkan lagi (bahaya yang mengancamnya) itu, terjadinya
karena perbuatan yang melawan hukum dari orang lain.

c) Peraturan perundang-undangan (wettlijk voorschrift) atau


kewenangan menurut undang-undang (wettlijke bevoegdheid)
Peraturan perundang-undangan adalah tiap peraturan yang
dikeluarkan oleh suatu kekuasaan yang oleh undangundang dasar
atau undang-undang diberi wewenang untuk membuat peraturan
dan yang dibuat berdasarkan kewenangan tersebut. Kewenangan
menurut undang-undang bukanlah merupakan dasar pembenar
yang berasal dari undang-undang, dimana dasar pembenar tersebut
walaupun tidak berasal dari undangundang namun ada
hubungannya dengan undang-undang. Ia baru dikatakan telah
melawan hukum apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan
penyelahgunaan wewenang.

d) Perintah jabatan (ambtelijk bevel) Pasal 51 KUHPidana


menyatakan bahwa tidaklah dapat dihukum barang siapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan
yang diberikan oleh penguasa yang berwenang untuk itu. Perintah
jabatan tersebut hanyalah berlaku sebagai dasar pembenar bagai
orang yang telah melaksanakan perintah tersebut. Dalam ayat (2)
pasal 51 KUHPidana tersebut menyatakan bahwa suatu perintah
yang diberikan oleh pejabat pemerintah yang tidak mempunyai
kewenangan untuk itu, tidaklah meniadakan sifat melawan
hukumnya, akan tetapi merupakan suatu dasar peniadaan, dengan
syarat : - bilamana perintah tersebut oleh bawahan secara itikad

120
baik dianggap sebagai diberikan secara sah; Tuntutan Ganti Rugi
dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu Perbandingan dengan
Wanprestasi Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 2, Agustus 2013 117
- pelaksanaannya adalah termasuk lingkungan kewajiban pegawai
bawahan tersebut.

2. Dasar pembenar yang tidak berasal dari undang-undang yang


karenanya juga disebut dasar-dasar pembenar tidak tertulis. b. Adanya
kesalahan (schuld) Dengan adanya syarat kesalahan padal pasal 1365
KUHPerdata, pembuat undangundang berkehendak menekankan bahwa si
pelaku perbuatan melawan hukum hanyalah bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkannya bilamana perbuatan dari kerugian tersebut
dapat dipersalahkan padanya (LEH Rutten :436).

Istilah kesalahan (schuld) juga digunakan dalam arti kealpaan.


(onachtzaamheid) sebagai lawan dari kesengajaan. Schuld mencakup
kealpaan dan kesngajaan. Dengan demikian pengertian kesalahan
mencakup dua pengertian, yakni kesalahan dalam arti luas dan kesalahan
dalam arti sempit. Kesalahan dalam arti luas terdiri dari kealpaan dan
kesalahan dalam arti sempit yakni kesengajaan.

Untuk kesengajaan ialah cukup bilamana orang pada waktu ia


melakukan perbuatan atau pada waktu melalaikan kewajiban sudah
mengetahui bahwa akibat yang merugikan itu menurut perkiraannya akan
atau pasti akan timbul dari orang tersebut, sekalipun ia telah
mengetahuinya masih juga melakukan perbuatannya atau melalaikan
keharusannya.

Pembuatan undang-undang menerapkan istilah schuld dalam


beberapa arti, yakni,

a. pertanggungjawaban si pelaku atas perbuatan dan atas kerugian


yang ditimbulkan karena perbuatan tersebut;

b. kealpaan sebagai lawan kesengajaan;

c. sifat melawan hukum.


121
d. Adanya Kerugian (Schade)

Penentuan ganti kerugian berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata


menunjukkan segisegi persamaan dengan penentuan ganti kerugian karena
wanprestasi, tapi juga dalam beberapa hal berbeda. Untuk penentuan ganti
kerugian karena perbuatan melawan hukum dapat diterapkan ketentuan-
ketentuan yang sama dengan ketentuan-ketentuan ganti kerugian dalam
wanprestasi. Yurisprudensi MARI No. 610K/Sip/1968 tenggal 23 Mei
1978, meskipun tuntutan ganti kerugian jumlahnya dianggap tidak pantas,
sedang penggugat mutlak menuntut sejumlah itu, hakim berwenang untuk
menentapkan berapa sepantasnya harus dibayar, hal ini tidak melanggar
pasal 178 (3) HIR. Jadi dalam hal ini hakim berwenang untuk menentukan
berapa sepantasnya harus dibayar ganti kerugian, sekalipun penggugat
menuntut ganti kerugian dalam jumlah yang tidak pantas. Kerugian dalam
perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian kekayaan atau kerugian
bersifat idiil atau moril. Kerugian kekayaan pada umumnya mencakup
kerugian yang diderita oleh penderita dan keuntungan yang diharapkan
diterimanya. Sedang kerugian moril mencakup kerugian akibat ketakutan,
keterkejutan, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.

d.Adanya hubungan kausal (oorzakelijk verband)

Ajaran kausalitas tidak hanya penting dalam bidang hukum pidana


saja, melainkan juga dalam bidang perdata. Dalam hukum pidana, ajaran
kausalitas penting untuk menentukan siapakah yang dapat dipertanggung-
jawabkan terhadap timbulnya suatu akibat. Sedangkan dalam hukum
perdata, ajaran kausalitas adalah untuk meneliti adakah hubungan kausa
antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan,
sehingga si pelaku dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Van Buri, suatu harus dianggap sebagai sebab daripada


suatu akibat, maka tiap-tiap masalah yang merupakan syarat untuk
timbulnya suatu akibat adalah menjadi sebab daripada akibat. Syarat
menurut Van Buri, adalah sesuatu perbuatan atau masalah adalah syarat
daripada suatu akibat apabila perbuatan masalah itu tidak dapat ditiadakan

122
hingga akibatnya tidak akan timbul. Tuntutan Ganti Rugi dalam Perbuatan
Melawan Hukum: Suatu Perbandingan dengan Wanprestasi Lex Jurnalica
Volume 10 Nomor 2, Agustus 2013 118 Ajaran Conditio Sine Qua Non
mengajarkan bahwa syarat-syarat baik positif maupun negatif sama-sama
merupaka sebab dan sebagai demikian sama nilainya.

Ajaran ini disebut juga dengan Equivalentie theorie. Dalam hukum


perdata, sesuai pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan tertentu dapat
disebut sebagai sebab yakni sebagai causa efficients daripada suatu
peristiwa tertentu. Sebab alasan disini adalah sesuatu yang dengan
bekerjanya menimbulkan perobahan yang telah menimbulkan akibat dan
sebab ini disebut dengan causa efficient. Ajaran Von Buri ini ditolak oleh
Traeger, yang membedakan antara syarat (voorwaarde) dan alasan
(aanleiding), dimana Traeger hanya mencari satu masalah saja yang harus
dianggap sebagai sebab dari akibat, yang untuk itu digunakan dua jenis
cara, yaitu :

1. Individualiserende theorie, yaitu cara yang mencari sebab setelah


akibatnya timbul, yaitu dengan mencari keadaan yang nyata, in concreto.
Dari rangkaian masalah dipilihlah satu perbuatan yang dapat dianggap
sebagai sebab daripada akibat.

2. Generaliserende theorie. Yang terkenal dari teori ini adalah ajaran Von
Kries, dengan ajarannya adaequate veroorzaking (Vos Mr. HB : 78). yang
mengajarkan bahwa perbuatan yang harus dianggap sebagai sebab
daripada akibat yang timbul adalah perbuatan yang seimbang dengan
akibat.

Adapun dasar untuk menentukan perbuatan yang seimbang adalah


perhitungan yang layak, yakni masalah-masalah yang diketahui atau
seharusnya diketahui oleh pelaku. Lebih lanjut menurut Von Kries, yang
dianggap sebagai sebab yang menimbulkan akibat adalah perbuatan yang
seimbang dengan akibat yakni perbuatan yang menurut perhitungan yang
layak dapat menimbulkan akibat, sedang pembuatan mengetahui atau
setidak-tidaknya harus mengetahui bahwa perbuatannya itu akan

123
menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman
oleh undang-undang.

Ganti kerugian pada prinsipnya berlaku juga untuk perbuatan


melawan hukum maupun wanprestasi, dimana ganti kerugian dalam
wanprestasi pada asasnya ditentukan oleh 2 faktor, yaitu : kerugian yang
nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharusnya diperoleh, dimana
keduanya tercakup dalam biaya, rugi dan bunga. Dalam menentukan
besarnya kerugian harus diperhatikan :

1. Objektifitas, yaitu harus diteliti berapa kiranya jumlah kerugian seorang


kreditur pada umumnya dalam keadaan yang sama seperti seperti keadaan
kreditor yang bersangkutan.

2. Keuntungan yang diperoleh kreditor disebabkan terjadinya ingkar janji


dari debitor, misalnya karena penyerahan barang tidak dilaksanakan, maka
pembeli tidak perlu mengeluarkan biaya-biaya untuk mengambil dan
menyimpan barang. Ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum memiliki
syarat yang harus dipenuhi, maka ganti rugi dalam wanprestasi juga
memiliki persyaratan yang harus dipenuhi.

Bahwa tidak setiap kerugian yang diderita oleh kreditor harus


diganti oleh debitor. Undang-undang menentukan bahwa syarat untuk
menuntut ganti rugi dalam wanprestasi adalah :

1. Adanya perbuatan ingkar janji dari debitor yang cukup dibuktikan


dengan lewatnya waktu.

2. Adanya kerugian, dimana kerugian tersebut merupakan :

a. Kerugian yang dapat diduga atau sepatutnya diduga pada waktu


perikatan dibuat. Menurut pasal 1247 KUHPerdata, bahwa debitur hanya
wajib mengganti kerugian atas kerugian yang dapat diduga pada waktu
perikatan dibuat, kecuali jika ada kesengajaan. Menurut yang dimaksud
dengan kesengajaan adalah jika debitor dengan sengaja dan sadar
melanggar akan kewajibannya tanpa menghiraukan ada atau tidaknya
maksud daripada debitor untuk menimbulkan kerugian. Dapat diduga
124
harus diartikan secara objektif yaitu menurut manusia yang normal
Tuntutan Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu
Perbandingan dengan Wanprestasi Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 2,
Agustus 2013 119 timbulnya kerugian tersebut harus dapat diduga.

b. Kerugian merupakan akibat langsung dan serta merta dari ingkar janji
(wanprestasi) Dalam hal ini maksudnya antara ingkar janji dan kerugian
harus mempunyai hubungan causal. Jika tidak maka kerugian tidak harus
diganti.

Terdapat dua teori mengenai hubungan sebab akibat, yaitu :

1. Conditio Sine qua Non (Van Buri) Menurut teori ini suatu akibat
ditimbulkan oleh berbagai peristiwa yang tidak dapat ditiadakan untuk
adanya akibat. Berbagai peristiwa tersebut merupakan satu kesatuan yang
disebut sebab ajaran conditio sine qua non berpendapat bahwa syarat-
syarat yang tidak mungkin ditiadakan untuk adanya akibat adalah senilai
dan menganggap setiap syarat adalah sebab.

2. Adequate Vewoorzaking (Von Kries) Teori ini berpendapat bahwa


suatu syarat merupakan sebab, jika menurut sifatnya pada umumnya
sanggup untuk menimbulkan akibat. Hoge Raad memberikan perumusan
mengenai hal ini sebagaimana putusannya tangal 18 Nopember 1927,
yaitu, bahwa suatu perbuatan merupakan sebab jika menurut pengalaman
dapat diharapkan/diduga akan terjadinya akibat yang bersangkutan.

10

H. Pembatalan Dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian


Pembatalan Perjanjian Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah
satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hokum.

i. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi


karena adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak
10 Sri Redjeki Slamet, judul: TUNTUTAN GANTI RUGI DALAM PERBUATAN MELAWAN HUKUM:
SUATU PERBANDINGAN DENGAN WANPRESTASI,
https://media.neliti.com/media/publications/18068-ID-tuntutan-ganti-rugi-dalam-perbuatan-
melawan-hukum-suatu-perbandingan-dengan-wanp.pdf
125
diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat
diperbaiki.
ii. Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua
mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat
memenuhi kewajibannya.
iii. Terkait resolusi atau perintah pengadilan.
iv. Terlibat hokum.
v. Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam
melaksanakan perjanjian.

126
DAFTAR PUSTAKA

(1) Satrio J, “ Hukum perikatan Pada Umumnya” Bandung : Penerrbit


Alumni,1993, hlm. 38
[2] Subekti, “Pokok-pokok Hukum Perdata,” dalam Wawan Muhwan
Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam,  (Cet. X;
Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 16-18.
[2] Wawan Muhwan Hariri, HUKUM PERIKATAN Dilengkapi Hukum Perikatan
dalam Islam,  (Cet. X; Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 18.
[2] Ibid, hlm. 20-23.
[4] Ibid,  hlm. 31.
[5] Ibid,  hlm. 33.
[6] Ibid,  hlm. 95-98.
[7] Ibid.
[8] Ibid,  hlm. 114-116.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid,  hlm. 152-155.
[12] Ibid.
[13] Ibid,  204-205.
[14] Ibid.
[15] iIbid, hlm. 237-242.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid,  hlm. 327-331.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid,  hlm. 352-354.
[26] Ibid.
[27] Ibid.

127
HUKUM

Abdurrahman Raden Aji Haqqi. 1999. The Philosophy of Islamic Law of


Transactions. Kuala Lumpur: Univision Press.

Ade Armando, dkk. Ensiklopedin Islam untuk Pelajar. Jakarta : PT Ichtiar Baru
Van Hoeve.

Ahmad Azhar Basyir. 2000. Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam).
Edisi Revisi. Yogyakarta : UII Press.

Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. 1999. Memahami Syariat Islam.


Semarang : Pustaka Rizki Putra.

Faturrahman Djamil. 2001. Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum


Perikatan. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Gemala Dewi, Dkk. 2005. Hukum Perikatan Islam. Jakarta : Prenada Media
Group.

Ghufron A. Mas’adi. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Cetakan ke-1. Jakarta :


Raja Grafindo Persada.

Hamzah Ya’cub. 1984. Kode Etik Dagang Menurut Islam Pola Pembinaan Hidup
dalam Berekonomi. Bandung : CV Diponegoro.

Mariam Darus Badrulzaman. 2001. Perjanjian Baku (Standard),


Perkembangannya di Indonesia. Bandung : Alumni.

Rahmani Timorita Yulianti, 2008, “Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum


Kontrak Syari’ah”, Jurnal Ekonomi Islam La_Riba. Vol. II, No. 1, Juli. Yogyakarta :
UIN Sunan Kalijaga.

R. Wirjono Prodjodikoro. 1981. Asas-Asas Hukum Perdata. Cetakan Ke-8.


Bandung : Sumur Bandung.

Salim H.S. 2003. Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia.


Jakarta : Sinar Grafika.

128

Anda mungkin juga menyukai