A. Latar Belakang
Dalam hukum perdata seringkali kita mendengar kata perikatan dan perjanjian.
Meskipun keduanya sama-sama memiliki keterkaitan dan diatur dalam Buku ketiga KUH
Perdata, perikatan dan perjanjian adalah dua hal berbeda. Prof Subekti dalam bukunya
memberikan definisi perikatan sebagai suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan Pasal 1313 KUH
Perdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari definisi tersebut
dapat terlihat bahwa perjanjian dapat menimbulkan perikatan tapi perikatan tidak hanya
ada karena perjanjian melainkan juga hal lain, misalnya karena undang-undang.
Jika ditelaah, perikatan menimbulkan suatu hubungan hukum yang dapat bersifat sepihak
dan relatif. Hubungan hukum dalam perikatan disebut relatif karena hubungan tersebut
hanya dapat dipertahankan dan dimintai pertanggungjawabannya terhadap orang-orang
tertentu. Orang tertentu yang dimaksud adalah para pihak yang terikat karena persetujuan
atau ketentuan undang-undang. Dalam perjanjian, hal yang terjadi adalah suatu perbuatan
hukum. Perbuatan hukum kemudian menimbulkan hubungan hukum/perikatan. Namun,
hubungan tersebut umumnya bersifat timbal balik karena dalam perjanjian masing-masing
pihak memiliki hak dan kewajibannya masing-masing sehingga tidak hanya meletakkan hak
disatu pihak atas prestasi yang menjadi kewajiban pihak lainnya.
Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu atau ada objek yang diperjanjikan kedua
belah pihak. Menurut pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang yang dapat
diperdagangkan/barang tertentu yang dapat ditentukan jenisnya yang dapat menjadi pokok
perjanjian. Dalam perikatan tidak ada ketentuan mengenai objek karena perikatan dapat
dilakukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu.
B. Pengertian Perikatan
Istilah perikatan berasal dari Bahasa Belanda, verbintenis. KUH Perdata sama sekali tidak
memberikan uraian mengenai pengertian perikatan. Meskipun demikian, pengertian perikatan
dapat kita peroleh dari pendapat beberapa pakar hukum.
Berikut ini beberapa pengertian perikatan yang saya kutip dari buku Pokok-Pokok Hukum
Perdata Indonesia karangan P.N.H. SImanjuntak dan buku Hukum Perdata karangan
Komariah
A. Pitlo:
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau
lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban
(debitur) atas sesuatu prestasi.
Von Savigny:
Perikatan hukum adalah hak dari seseorang (kreditur) terhadap seseorang lain (debitur).
Yustianus:
Suatu perikatan hukum atau obligatio adalah suatu kewajiban dari seseorang untuk
mengadakan prestasi terhadap pihak lain.
Abdulkadir Muhammad:
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak
dalam bidang harta kekayaan.
perikatan jual beli, sewa menyewa, dsbnya. Dalam bidang hukum keluarga
misalnya perikatan karena perkawinan, karena lahirnya seorang anak. Perikatan dalam
bidang hukum waris misalnya membayar hutang pewaris dan perikatan dalam bidang
hukum pribadi misalnya perikatan untuk mewakili badan hukum oleh pengurusnya.
2. Perikatan dalam arti sempit yaitu dibatasi pada perikatan yang terdapat
dalam bidang hukum harta kekayaan saja yang menurut sistimatika BW di atur dalam
buku ketiga tentang perikatan (Verbintenis). Menurut Sistimatika IPH hukum harta
kekayaan meliputi hukum benda dan hukum perikatan yang diatur dalam Buku kedua BW
dengan judul tentang Benda
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan
system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada
perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang
atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan
berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak
berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan
perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan
perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Sumber perikatan dalam Pasal 1233 KUH Perdata. Bunyi Pasal 1233 KUH Perdata: “tiap-tiap
perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik karena undang-undang”. Berdasarkan
ketentuan ini ada dua sumber perikatan yaitu pertama perikatan yang lahir dari per- setujuan
atau perjanjian, kedua perikatan yang lahir dari undang-undang.
Persetujuan atau Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji untuk
melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa inilah timbul hubungan antara dua orang itu yang
disebut dengan perikatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu menerbitkan perikatan antara
dua orang yang membuatnya. Mengenai bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau dituliskan
(Subekti, 1995: 1).
Berdasarkan hal itu, maka hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan. Dengan kata lain, Perjanjian adalah sumber perikatan,
di samping sumber lain. Sumber lain dari suatu perikatan adalah undang-undang. Sumber ini
dapat dibedakan lagi menjadi undang-undang saja (semata-mata) serta undang-undang yang
berhubungan dengan akibat perbuatan manusia.
Perikatan yang lahir karena semata-mata undang-undang (undang- undang saja) misalnya,
undang-undang meletakkan kewajiban kepada orang tua dan anak untuk saling memberi
nafkah. Begitu juga antara pemilik pe- karangan yang bertetangga, berlaku beberapa hak dan
kewajiban yang ber- dasarkan atas ketentuan undang-undang (Pasal 625 jo. Pasal 626 KUH
Perdata). Hak yang diperoleh dari undang-undang itu disebut Hak Alimentasi. Perikatan yang
lahir karena akibat perbuatan orang yang halal dijumpai dalam Pasal 1354 KUH Perdata yang
berbunyi: “jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili
urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini maka secara diam-diam mengikat
dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili
kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu ...”. Perikatan yang disebutkan dalam
pasal itu disebut zaakwaarneming.
Perikatan yang lahir karena akibat perbuatan melawan hukum dikenal dengan sebutan
onrechtmatige daad, contohnya diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHPerdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut:
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH
Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit
de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge
van’s mensen toedoen)
Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku
III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara
orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga
yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari
sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain
yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio
naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan
(billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber-sumber perikatan.
Unsur-Unsur Perikatan
Dasar hukum Pasal 1233 KUHPdt “tiap-iapt perikatan dilahirkan karena persetujuan baik
karena UU”.
Contoh A berjanji menjual sepeda motor kepada B Akibat dari janji, A wajib menyerahkan
sepeda miliknya kepada B dan berhak menuntut harganya sedangkan B wajib menyerahkan
harga sepeda motor itu dan berhak untuk menuntut penyerahan sepeda.
Dalam contoh diatas apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban maka hukum
“memaksakan” agar kewajiban-kewajiban tadi dipenuhi.
Perlu dicatat tidak semua hubungan hukum dapat disebut perikatan. Contoh kewajiban orang
tua untuk mengurus anaknya bukanlah kewajiban dalam pengertian perikatan.
Artinya adalah setiap hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh terhadap pemenuhan
kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tidaklah masuk
dalam pengertian dan ruang lingkup batasan hukum perikatan.
1. Debitur adalah pihak yang wajib melakukan suatu prestasi atau Pihak yang memiliki
utang (kewajiban)
2. Kreditur adalah Pihak yang berhak menuntut pemenuhan suatu prestasi atau pihak
yang memiliki piutang (hak)
Pihak-pihak (debitur kreditur) tidak harus “orang” tapi juga dapat berbentuk “badan”,
sepanjang ia cakap melakukan perbuatan hukum.
Pihak-pihak (debitur kreditur) dalam perikatan dapat diganti. Dalam hal penggantian debitur
harus sepengatahuan dan persetujuan kreditur, untuk itu debitur harus dikenal oleh kreditur
agar gampang menagihnya misalnya pengambilalihan hutang (schuldoverneming) sedangkan
penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak.
Seorang kreditur mungkin pula mengalihkan haknya atas prestasi kepada kreditur baru, hak
mana adalah merupakan hak-hak pribadi yang kwalitatif (kwalitatiev persoonlijke recht),
misalnya A menjual sebuah mobil kepada B, mobil mana telah diasuransikan kepada
perusahaan asuransi. Dengan terjadinya peralihan hak milik dari A kepada B maka B
sekaligus pada saat yang sama B mengambil alih juga hak asuransi yang telah melekat pada
mobil tersebut. Perikatan yang demikian dinamakan perikatan kwalitatif dan hak yang terjadi
dari perikatan demikian dinamakan hak kwalitatif.
Selanjutnya seorang debitur dapat terjadi karena perikatan kwalitatif sehingga kewajiban
memenuhi prestasi dari debitur dinamakan kewajiban kwalitatif, misalnya seorang pemilik
baru dari sebuah rumah yang oleh pemilik sebelumnya diikatkan dalam suatu perjanjian sewa
menyewa, terikat untuk meneruskan perjanjian sewa menyewa.
Dalam suatu perjanjian orang tidak dapat secara umum mengatakan siapa yang berkedudukan
sebagai kreditur/debitur seperti pada perjanjian timbal balik (contoh jual beli). Si penjual
adalah kreditur terhadap uang harga barang yang diperjual belikan, tetapi ia berkedudukan
sebagai debitur terhadap barang (objek prestasi) yang perjualbelikan. Demikian sebaliknya si
pembeli berkedudukan sebagai debitur terhadap harga barang kreditur atas objek prestasi
penjual yaitu barang yang diperjualbelikan.
Harta kekayaan sebagai kriteria dari adanya sebuah perikatan. Tentang harta kekayaan
sebagai ukurannya (kriteria) ada 2 pandangan yaitu :
Selanjutnya kewajiban tidak selalu muncul sebagai akibat adanya kontrak, melainkan dapat
pula muncul dari peraturan hukum yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang.
Kewajiban disini merupakan keharusan untuk mentaati hukum yang disebut wajib hukum
(rechtsplicht) misalnya mempunyai sepeda motor wajib membayar pajak sepeda motor, dll
1. Memberikan sesuatu;
2. Berbuat sesuatu;
3. Tidak berbuat sesuatu
Memberikan sesuatu misalnya pemberian sejumlah uang, memberi benda untuk dipakai
(menyewa), penyerahan hak milik atas benda tetap dan bergerak. Berbuat sesuatu misalnya
membangun rumah. Tidak melakukan sesuatu misalnya A membuat perjanjian dengan B
ketika menjual apotiknya, untuk tidak menjalankan usaha apotik dalam daerah yang sama.
Ketiga prestasi diatas merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitur.
Syarat-syarat prestasi :
Schuld adalah kewajiban debitur untuk membayar utang sedangkan haftung adalah kewajiban
debitur membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak hutang debitur, guna
pelunasan hutangnya apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya membayar hutang
tersebut.
Setiap kreditur mempunyai piutang terhadap debitur. Untuk itu kreditur mempunyai hak
menagih hutang piutang tersebut. Di dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, disamping hak
menagih hutang (vorderingsrecht), apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar
hutangnya maka kreditur mempunyai hak menagih kekayaan debitur sebesar piutangnya pada
debitur itu (verhaalsrecht).
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas
kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
1. Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang
menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak
yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
2. Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata
sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam
Pasal 1320 KUHP Perdata.
E. Jenis-Jenis Perikatan
(1) Perikatan Bersyarat
(2) Perikatan Dengan Ketetapan Waktu
(3) Perikatan Manasuka (boleh pilih)
(4) Perikatan Tanggung Menanggung
(5) Perikatan yang dapat dan tidak dapat dibagi
(6) Perikatan dengan Ancaman Hukuman
ad. (1) Perikatan Bersyarat
Perikatan Bersyarat (voorwardelijk verbintenis) adalah Perikatan yang digantungkan pada
syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadinya,
baik dengan menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa, maupun dengan
membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut (Pasal 1253
KUHPerdata). Dari ketentuan Pasal ini dapat dibedakan dua perikatan bersyarat yaitu :
a. Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila syarat “peristiwa” yang dimaksudkan itu terjadi, maka Perikatan dlaksanakan (Pasal
1263 KUHPerdata). Jadi, sejak peristiwa itu terjadi, kewajiban debitur untuk berprestasi
segera dilaksanakan.
b. Perikatan dengan syarat batal
Di sini justru perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila “peristiwa” yang dimaksudkan
itu terjadi (Pasal 1265 KUHPerdata).
ad. (2) Perikatan Dengan Ketetapan Waktu
Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan
pelaksanaannya. Maksud syarat “ketepatan waktu” ialah pelaksanaan perikatan itu
digantungkan pada “waktuu yang ditetapkan”. Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa
yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti, atau dapat berupa tanggal yang sudah
ditetapkan.
Misalnya A berjanji kepada anak perempuannya yang telah kawin itu untuk memberikan
rumahnya, apabila bayi yang sedang dikandungnya itu telah lahir.
Dalam perikatan dengan ketepatan waktu, apa yang harus dibayar pada waktu yang
ditentukan tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba. Tetapi apa yang telah dibayar sebelum
waktu itu tiba tidak dapat diminta kembali (Pasal 1269 KUHPerdata).
Menurut ketentuan PAsal 1304 KUHPerdata, ancaman hukukam itu ialah untuk melakukan
sesuatu apabila perikatan tidak dipenuhi, sedangkan penetapan hukuman itu adalah sebagai
ganti kerugian karena tidak dipenuhinya prestasi (Pasal 1307 KUHPerdata). Ganti kerugian
selalu berupa uang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ancaman hukuman itu berupa
ancaman pembayaran denda. Pembayaran denda sebagai ganti kerugian tidak dapat dituntut
oleh kreditur apabila tidak berprestasi debitur itu karena adanya keadaan memaksa
(overmacht).