Anda di halaman 1dari 12

Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

PERTEMUAN 9

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti materi perkuliahan pada pertemuan 9 ini mahasiswa
mampu mahasiswa mampu menyimpulkan tentang akibat hukum dari perjanjian.

B. URAIAN MATERI

Hukum perjanjian sering diartikan sama dengan hukum perikatan, hal ini
berdasarkan konsep dan batasan definisi pada kata perjanjian dan perikatan.
Namun, pada dasarnya hukum perjanjian dilakukan apabila dalam sebuah peristiwa
terdapat kedua belah pihak yang saling berjanji satu sama lain untuk melakukan
suatu hal atau ketika seorang mengingkari janji kepada pihak lain. Sedangkan
perikatan dilakukan apabila dua pihak melakukan suatu hubungan hukum.
Hubungan ini memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk
memberikan tuntutan atau memenuhi tuntutan tersebut.1
Perhubungan antara dua orang atau dua pihak2, adalah suatu perhubungan
hukum, yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-
undang.
Apabila tuntutan tersebut tidak dipenuhi secara sukarela, si berpiutang dapat
menuntutnya didepan hakim. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan anatara
dua orang yang disebut perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara
dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis.

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana satu orang atau satu pihak
berjanji kepada seorang atau pihak lain dan dimana dua orang atau dua pihak itu
saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.3 Pengertian perjanjian yang
dikemukakan oleh Yahya Harahap adalah : “perjanjian mengandung pengertian

1
Subekti, “Hukum Perjanjian”. PT Intermasa. Jakarta, 2005, hal. 1
2
Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban
memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berhutang.
3
Pasal 1313 KUHPer. Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih

Hukum Perikatan 1
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

atau suatu hubungan kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang
member kekuatan hak atau sesuatu untuk memperoleh prestasi atau sekaligus
kewajiban kepada pihak lain untuk memperoleh suatu prestasi.”4
Istilah perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPer mendasari Kartini Mulyadi dan
Gunawan Widjaja dalam bukunya menyebutkan “suatu perjanjian adalah (1) suatu
perbuatan, (2) antara sekurang-kurangnya dua orang. Dalam hal ini perbuatan yang
dimaksud adalah perbuatan hukum yang memiliki akibat hukum. Perjanjian juga
dapat dikatakan sebagai perbuatan untuk memperoleh seperangkat hak dan
kewajiban, yaitu akibat-akibat hukum yang merupakan konsekwensi dari adanya
perjanjian. Perbuatan-perbuatan hukum dalam perjanjian merupakan perbuatan-
perbuatan untuk melaksanakan sesuatu, yaitu memperoleh seperangkat hak dan
kewajiban melalui itikad baik”.5
Menilik arti luas dari perjanjian memiliki akibat hukum berupa hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang membuat perjanjian baik pihak
kreditor maupun debitor. Pengertian perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 1313
KUHPerdata mengundang kritik dari para ahli hukum, karena menimbulkan
penafsiran bahwa perjanjian tersebut hanya bersifat sepihak, padahal dalam
perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat secara timbal-balik dari kedua
belah pihak, saling sepakat untuk kedunya mengikatkan diri satu sama lain.

1. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUHPer, perjanjian harus memenuhi empat syarat


agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang
membuatnya6. Syarat-syarat tersebut adalah :

a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya

Awal dari terbentuknya suatu perjanjian dapat dilihat dari syarat yang
pertama ini, yaitu adanya kesepakaan antara para pihak yang berjanji
mengenai isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Setuju atau adanya
kesamaan kehendak atau seiya-sekata mengenai ha-hal pokok dari perjanjian
yang dibuat. Bahwa yang menjadi kehendak dari pihak yang satu, juga
dikehendaki oleh pihak yang lain. Para pihak menghendaki sesuatu yang

4
M. Yahya Harahap, S.H. Segi-Segi Hukum Perjanjian . Alumni, Jakarta, 1986
5
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 1338 KUHPerdata
6
Asas Pacta Sunt Servanda dalam Pasal 1338 KUHPer, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Hukum Perikatan 2
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

sama secara timbal-balik. Misalnya, si penjual mengingini sejumlah uang


sebagai pembayaran dari suatu barang yang diinginkan oleh si pembeli
sebagai suatu kesepakatan. Oleh karena itu munculnya kata sepakat tidak
boleh didasari oleh tiga hal yakni adanya unsur paksaan, penipuan, dan
kekeliruan.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pada saat suatu perjanjian dibuat, para pihak khususnya subyek hukum
yang membuat perjanjian secara hukum telah dewasa atau cakap untuk
melakukan perbuatan hukum. Apabila belum dewasa harus didampingi oleh
walinya. Di dalam KUHPerdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk
melakukan perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka
yang berada dibawah pengampuan.7
Dalam Pasal 1330 KUHPer disebut sebagai orang-orang yang tidak
cakap untuk membuat suatu perjanjian :

1) Orang-orang yang belum dewasa;


2) Mereka yang dibawah pengampuan;
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330


KUHPerdata, dinyatakan bahwa "belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum
kawin". Apabila perkawinan itu dibubarkannya sebelum umur mereka genap
21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan
belum dewasa.
Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka
perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum
dipangku oleh orang tua yang hidup terlama namun dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 dan 40 dinyatakan
untuk penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah
menikah. Dalam hal ini cakap bertindak untuk keperluan khusus. Selanjutnya

7
Pasal 1330. Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah, orang-orang yang belum dewasa, mereka yang
ditaruh dibawah pengampuan, orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.

Hukum Perikatan 3
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan cukup umur untuk


kawin adalah 18 tahun. Sehingga apabila seseorang belum berusia genap 21
tahun tetapi telah kawin menimbulkan konsekuensi menjadi cakap bertindak
dengan demikian dasar usia cakap untuk bertindak, jika tidak untuk keperluan
khusus maka usia yang dipakai adalah dua puluh satu tahun atau telah
menikah berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata. Mengenai
pengampuan/perwalian telah diatur dalam Pasal 433 dan 345, bunyinya
sebagai berikut:

Pasal 433

“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila
atau mata gelap harus ditaruh di bawa pengampuan, walaupun jika ia kadang-
kadang cakap menggunakan pikirnya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di
bawah pengampuan karena keborosannya.”

Pasal 345

“Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka
perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum
dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah
dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.”
Selanjutnya untuk penjelasan tentang orang perempuan/isteri dalam hal
telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-
undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula
dalam Pasal 108 KUH Perdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang
bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin
(kuasa tertulis) dari suaminya. Namun hal ini sudah tidak berlaku dengan
adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni
Pasal 31 yang menyatakan: “hak dan kedudukan isteri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.

c. Suatu hal tertentu

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus


mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan
kewajiban kedua belah pihak (jika timbul suatu perselisihan).

Hukum Perikatan 4
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

Secara yuridis, suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu yang
telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah ojek perjanjian dan isi
perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas dan tegas.
Objek perjanjian berupa barang, bahwa yang dimaksudkan dalam perjanjian
paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau
sudah harus berada ditangan debitur atau si berhutang pada waktu perjanjian
dibuat, tidaklah diharuskan oleh undang-undang. Misalnya, perjanjian
mengenai pemesanan sejumlah seragam kepada pihak konveksi. Tetapi
perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada,
sehingga tidak mengira-ngira. Misalnya, perjanjian jual-beli tanah.

d. Suatu sebab yang halal

Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan


dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.8
Yang dimaksud dengan suatu hal adalah tiada lain daripada isi
perjanjian. Dengan segera harus dihilangkan kemungkinan salah sangka
bahwa sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan atau mendorong
seseorang untuk melakukan atau membuat perjanjian. Bukan hal tersebutlah
yang dimaksud oleh undang-undang, karena pada dasarnya undang-undang
tidak memperdulikan sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu
perjanjian atau dorongan jiwa untuk melakukan/membuat suatu perjanjian.
Hukum pada azasnya tidak mengharukan apa yang berada dalam gagasan
seseorang atau apa yang dicita-citakan seseorang. Yang diperhatikan oleh
hukum atau undang-undang disini adalah tindakan orang-orang dalam
masyarakat.
Misalnya, si A membeli rumah karena dia memiliki simpanan uang dan
si A khawatir kalau-kalau dalam waktu singkat akan ada suatu tindakan
moneter pemerintah atau nilai uang akan terus turun. Sebagai contoh lain,
misalnya si A menjual mobilnya karena harga alat-alat mobil sudah sangat
mahal. Gagasan, cita-cita, perhitungan yang menjadi dorongan jiwa untuk
membuat suatu perbuatan-perbuatan tadi bagi hukum tidaklah penting.9

8
Di dalam Pasal 1337 KUHPerdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
9
Subekti, Op Cit, Hal. 19

Hukum Perikatan 5
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

2. Akibat-akibat Hukum dari Perjanjian


a. Akibat Hukum Perjanjian Yang Sah

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa perjanjian bukan suatu


perikatan moral melainkan perikatan hukum yang memiliki akibat hukum.
Menurut ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, “perjanjian yang dibuat
secara sah yaitu memenuhi syarat-syarat yang telah dipaparkan pada pasal
1320 KUHPerdata berlaku sebagai undang-undang bagi mereka para pihak
yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari kedua
belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang,
dan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

1) Berlaku sebagai undang-undang

Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang


membuat perjanjian. Artinya perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan
memaksa serta memperikan kepastian hukum bagi para pihak yang
menyepakati perjanjian tersebut. Para pihak harus menaati perjanjian itu
sama seperti mereka menaati undang-undang. Jika ada pihak yang
melanggar perjanjian, maka dianggap sama dengan melanggar undang-
undang, sehingga diberi akibat hukum tertentu berupa sanksi.

2) Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak

Oleh karena perjanjian merupakan persetujuan dari kedua belah


pihak, maka apabila akan ditarik kembali atau dibatalkan sewajarnya bila
disetujui oleh kedua belah pihak pula. Bukan merupakan hal yang
seyogyanya apabila perjanjian ditarik atau dibatalkan oleh salah satu pihak
saja.

3) Pelaksanaan dengan itikad baik

Yang dimaksud dengan itikad baik atau te goeder trouw atau in good
faith dalam pasal 1338 KUHPerdata adalah tolak ukur secara objektif untuk
menilai pelaksaan suatu perjanjian. Memperhatikan apakah perjanjian
dilaksanakan mengindahkan dengan norma-norma kepatutan dan
kesusilaan yang berlaku di masyarakat.Secara subjektif Itikad baik dapat
diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu yang terletak dalam hati
seseorang pada waktu dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut..

Hukum Perikatan 6
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal pelaksanaan dari


suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak, karena unsur itikad
baik dalam hal pembuatan suatu kontrak adalah unsur itikad baik subjektif,
sudah dapat dicakup oleh unsur “suatu sebab yang halal” dari pasal 1320
KUHPerdata tersebut.

b. Akibat Hukum Dari Perjanjian Yang Tidak Sah


a. Perjanjian yang dapat dibatalkan (Syarat Subjektif)

“Artinya bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada


pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang telah disepakatinya, akan
tetapi apabila para pihak tidak ada keberatan, maka perjanjian itu tetap
dianggap sah. Pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang waktu 5
(lima) tahun”.10
Dalam Pasal 1454 KUHPerdata dijelaskan mengenai hak meminta
pembatalan hanya ada pada satu pihak saja yaitu pihak yang oleh undang-
undang diberi perlindungan itu

Pasal 1454 KUHPerdata

“Dalam satu hal, di mana suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya


suatu perikatan tidak dibatasi dengan suatu ketentuan undang-undang
khusus hingga suatu waktu yang lebih pendek, waktu itu adalah lima tahun”
“Jangka waktu lima tahun tidak berlaku jika permintaan pembatalan
itu dilakukan sebagai pembelaan atau tangkisan sehingga apa bila
permintaan pembatalan yang diajukan sebagai pembelaan atau tangkisan,
maka dapat diajukan setiap saat walaupun melampaui batas lima tahun
tersebut.”11
Dalam Pasal 1454 KUHPerdata waktu tersebut mulai berlaku :

1) Dalam halnya kebelumdewasaan, sejak hari kedewasaan;


2) Dalam halnya pengampuan, sejak hari pencabutan pengampuan;
3) Dalam halnya paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti;

10
Pasal 1454 KUHPerdata. Dalam semua hal, dimana suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan tidak
dibatasi dengan suatu ketentuan undang-undang khusus hingga suatu waktu yang lebih pendek, waktu itu
adalah lima tahun
11
Ahmadi Miru, Pati Saka, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1454 BW, Rajawali Pers, Jakarta,
2013. Hal 157-158

Hukum Perikatan 7
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

4) Dalam halnya kekhilafan atau penipuan, sejak hari diketahuinya


kekhilafan atau penipuan itu;
5) Dalam halnya perbuatan seorang perempuan yang bersuami, yang
dilakukan tanpa kuasa si suami, sejak hari pembubaran perkawinan;
6) Dalam halnya kebatalan, yang dimaksud dalam pasal 1341 sejak hari
diketahuinya, bahwa kesadaran yang diperlukan untuk kebatalan itu
ada.

Tentang perjanjian yang kekurangan syarat-syarat subjektifnya


menyangkut kepentingan seseorang, yang mungkin tidak mengingini
perlindungan hukum terhadap dirinya, oleh karena itu dalam hal adanya
kekurangan mengenai syarat subjektif, undang-undang menyerahkan
kepada pihak yang berkepentingan apakah ia menghendaki pembatalan
perjanjiannya atau tidak. Jadi perjanjian yang demikian itu bukannya batal
demi hukum tetapi dapat dimintakan pembatalan.

b. Cacat pada Kehendak ( wilsgebreken)

“Cacat pada kehendak terjadi apabila seseorang telah melakukan


sesuatu perbuatan hukum padahal kehendak tersebut terbentuk secara
tidak sempurna. Kehendak yang terbentuk secara tidak sempurna tersebut
dapat terjadi karena adanya :

1) Ancaman/paksaan (bedreiging/dwang)
2) Kekeliruang/kesesatan/kekhilafan (dwaling)
3) Penipuan (bedrog)
4) Keadaan memaksa (misbruik van omstandigheden).

Mengenai ancaman, kekeliruan dan penipuan, diatur ke dalam pasal


1322 sampai dengan pasal 1328 KUHper

1) Ancaman

Ancaman terjadi apabila seseorang menggerakan orang lain untuk


melakukan suatu perbuatan hukum, dengan menggunakan cara yang
melawan hukum, mengancam akan menimbulkan kerusakan atau
kerugian pada orang tersebut atau kebendaan miliknya atau orang pihak
ketiga dan kebendaan milik pihak ketiga. Salah satu ancaman dapat
terjadi atau dilakukan dengan menggunaka cara yang legal dan ilegal.

Hukum Perikatan 8
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

Contoh sarana yag legal adalah mengancam dengan pisau. Sedangkan


contoh sarana yang ilegal adalah dengan mengancam untuk melakukan
permohonan pailit.

2) Kekeliruan/kesesatan/kekhilafan

Kekeliruan yang dimaksud adalah terdapat kesesuaian antara


kehendak dan pernyataan pernyataan. Namun kehendak salah satu
atau dua belah pihak terbentuk secara cacat. Namun diluar hal tersebut,
maka akibat dari kekeliruan harus ditanggung oleh dan menjadi resiko
pihak yang membuatnya

3) Penipuan (bedrog)

Yang dimaksud dengan penipuan adalah apabila seseorang


sengaja dengan kehendak dan pengetahuan menunjukan kesesatan
pada orang lain. Penipuan dapat terjadi karena suatu fakta dengan
sengaja disembunyikan atau bila suatu informasi dengan sengaja
diberikan secara keliru atau dengan menggunakan tipu daya lainnya.
Terdapat hubungan yang erat diantara kekeliruan dan penipuan.
Perbedaan utama diantara keduanya adalah pada penipuan, unsure
perbuatan melawan hukum dari pihak yang menipu dan tanggung
gugatnya terlihat dengan jelas. Sedangkan pada kekeliriuan hal ini tidak
tampak. Selain itu pada kekeliruan masih terdapat peluang untuk
mengubah perjanjian. Sedangkan pada penipuan, tertutup peluang
untuk mengubah perjanjian. Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila
seseorang tergerak karena keadaan khusus untuk melakukan suatu
perbuatan hukum dan pihak lawan menyalahgunakan hal tersebut”.12

c. Perjanjian yang batal demi hukum (Syarat Objektif)

Artinya bahwa semula dianggap tidak pernah ada dilahirkannya suatu


perjanjian atau perikatan, tanpa harus dibatalkan di pengadilan. Apabila
suatu syarat suatu objek tidak terpenuhi maka perjanjiannya adalah batal
demi hukum (null and void). Dalam hal demikian, secara yuridis dari

12
Herlien Budiyono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerarapannya Dibidang Kenotariatan, Bandung: Citra
Aditya, 2010. Hal. 98-100

Hukum Perikatan 9
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

semula dianggap tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu
perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu.
Pihak yang meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama
lain telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di
depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada.

d. Pelaksanaan Perjanjian

Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa dimana seseorang


berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu.13
Mengingat macam-macam hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan
perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga hal yang diterangkan dalam
Pasal 1241 KUHPerdata, yaitu :

1) Perjanjian untuk memberikan sesuatu/menyerahkan sesuatu barang;


2) Perjanjian untuk berbuat sesuatu;
3) Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

Ketiga hal tersebut dinamakan prestasi.


Perjanjian yang pertama mengenai memberikan sesuatu, misalnya
dalam perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar barang,
pernghibahan dan lain sebagainya.
Perjanjian macam kedua mengenai berbuat sesuatu misalnya,
perjanjian untuk membuat seragam karyawan, perjanjian untuk membuat
suatu lukisan, perjanjian untuk membangun jalan, perjanjian untuk
membangun rumah dan lain-lainnya.
Perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) juga
secara mudah dapat di jalankan secara rill, asal saja bagi si berpiutang
(kreditor) tidak penting oleh siapa perbuatan itu akan di lakukan, misalnya
membuat sebuah garasi, yang dengan mudah dapat dilakukan oleh orang
lain. Kalau yang harus dibuat itu sebuah lukisan, sudah barang tentu
perbuatan itu tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain pelukis yang
menjanjikan membuat lukisan itu. Karena itu untuk melakukan suatu
perbuatan yang sangat pribadi, tidak dapat dilaksanakan secara rill apabila

13
Subekti, Op Cit, 2005, Hal.36

Hukum Perikatan 10
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

pihak yang menyanggupi melakukan perbuatan tersebut tidak menepati


janjinya.
“Perjanjian macam ketika yang mana menerangkan tentang
perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu tergambar misalnya pada perjanjian
kontrak ekslusif artis yang menyatakan sang artis(kreditur) tidak boleh
mengambil kontrak sinetron dari rumah produksi lain selama proses
perjanjian belangsung dengan pihak rumah produksi terkait (debitur). Atau
dalam perjanjian untuk tidak membuang sampah sembarangan dan
perjanjian untuk tidak datang telat untuk bekerja”.14

Untuk melakukan suatu perjanjian, lebih dahulu harus di tetapkan


secara tegas dan rinci mengenai apa yang menjadi hak dan kewajiban
masing-masing pihak yang berjanji. Biasanya orang yang mengadakan
suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau menetapkan secara rinci hak
dan kewajiban mereka. Hal-hal pokok dan penting saja yang biasanya
ditetapkan dalam perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli hanya
menetapkan tentang nama barang yang dibeli, jenisnya, jumlahnya,
harganya. Tidak di tetapkan tentang tempat penyerahan barang, biaya
pengantaran tempat dan waktu pembayaran.
Perjanjian itu sendiri terdiri atas serangkaian perkataan-
perkataan.Untuk menetapkan isi suatu perjanjian, perlu lebih dahulu
ditetapkan dengan teliti dan mendalam mengenai apa yang dimaksud
dengan para pihak dengan mengucapkan atau menulis perkataan tersebut,
perbuatan ini dinamakan menafsirkan perjanjian.
Dalam pasal 1342 KUHPerdata yang bunyinya “Jika kata-kata suatu
perjanjian jelas tidaklah diperkenankan untuk menyimpang dari padanya
dengan jalan penafsiran”. Pasal ini hanya menerangkan bahwa penafsiran
hanya dibutuhkan jika kata-kata yang tercantum dalam perjanjian itu tidak
jelas, bermakna ganda, atau yang multitafsir sehingga apa uang sudah
jelas tidak diperkenankan untuk ditafsirkan.15

14
Ibid. Hal.37
15
Ahmadi Miru, Pati Saka, Op Cit, 2013. Hal. 81

Hukum Perikatan 11
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1

C. SOAL LATIHAN
Petunjuk :
1. Jawab pertanyaan berikut dengan tulisan tangan saudara di atas kertas folio
bergaris
2. Jawaban dikumpulkan pada saat perkuliahan di kelas.

Pertanyaan :
1. Berikan pengertian perjanjian dan apa akibat hukum dari perjanjian yang
terkandung dalam pengertian tersebut?
2. Jelaskan akibat hukum dari perjanjian yang sah!
3. Bagaimana apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif?
4. Bagaimana apabila perjanjian tidak memenuhi syarat obyektif?

D. REFERENSI
Ahmadi Miru, Pati Saka, “Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai
1456 BW”, Rajawali Pers, Jakarta, 2013

Herlien Budiyono, “Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerarapannya Dibidang


Kenotariatan”, Bandung: Citra Aditya, 2010

M. Yahya Harahap, S.H. “Segi-Segi Hukum Perjanjian”, Alumni, Jakarta, 1986

Subekti, “Hukum Perjanjian”. PT Intermasa. Jakarta, 2005

Hukum Perikatan 12

Anda mungkin juga menyukai