PERTEMUAN 9
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti materi perkuliahan pada pertemuan 9 ini mahasiswa
mampu mahasiswa mampu menyimpulkan tentang akibat hukum dari perjanjian.
B. URAIAN MATERI
Hukum perjanjian sering diartikan sama dengan hukum perikatan, hal ini
berdasarkan konsep dan batasan definisi pada kata perjanjian dan perikatan.
Namun, pada dasarnya hukum perjanjian dilakukan apabila dalam sebuah peristiwa
terdapat kedua belah pihak yang saling berjanji satu sama lain untuk melakukan
suatu hal atau ketika seorang mengingkari janji kepada pihak lain. Sedangkan
perikatan dilakukan apabila dua pihak melakukan suatu hubungan hukum.
Hubungan ini memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk
memberikan tuntutan atau memenuhi tuntutan tersebut.1
Perhubungan antara dua orang atau dua pihak2, adalah suatu perhubungan
hukum, yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-
undang.
Apabila tuntutan tersebut tidak dipenuhi secara sukarela, si berpiutang dapat
menuntutnya didepan hakim. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan anatara
dua orang yang disebut perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara
dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana satu orang atau satu pihak
berjanji kepada seorang atau pihak lain dan dimana dua orang atau dua pihak itu
saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.3 Pengertian perjanjian yang
dikemukakan oleh Yahya Harahap adalah : “perjanjian mengandung pengertian
1
Subekti, “Hukum Perjanjian”. PT Intermasa. Jakarta, 2005, hal. 1
2
Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban
memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berhutang.
3
Pasal 1313 KUHPer. Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih
Hukum Perikatan 1
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1
atau suatu hubungan kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang
member kekuatan hak atau sesuatu untuk memperoleh prestasi atau sekaligus
kewajiban kepada pihak lain untuk memperoleh suatu prestasi.”4
Istilah perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPer mendasari Kartini Mulyadi dan
Gunawan Widjaja dalam bukunya menyebutkan “suatu perjanjian adalah (1) suatu
perbuatan, (2) antara sekurang-kurangnya dua orang. Dalam hal ini perbuatan yang
dimaksud adalah perbuatan hukum yang memiliki akibat hukum. Perjanjian juga
dapat dikatakan sebagai perbuatan untuk memperoleh seperangkat hak dan
kewajiban, yaitu akibat-akibat hukum yang merupakan konsekwensi dari adanya
perjanjian. Perbuatan-perbuatan hukum dalam perjanjian merupakan perbuatan-
perbuatan untuk melaksanakan sesuatu, yaitu memperoleh seperangkat hak dan
kewajiban melalui itikad baik”.5
Menilik arti luas dari perjanjian memiliki akibat hukum berupa hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang membuat perjanjian baik pihak
kreditor maupun debitor. Pengertian perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 1313
KUHPerdata mengundang kritik dari para ahli hukum, karena menimbulkan
penafsiran bahwa perjanjian tersebut hanya bersifat sepihak, padahal dalam
perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat secara timbal-balik dari kedua
belah pihak, saling sepakat untuk kedunya mengikatkan diri satu sama lain.
Awal dari terbentuknya suatu perjanjian dapat dilihat dari syarat yang
pertama ini, yaitu adanya kesepakaan antara para pihak yang berjanji
mengenai isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Setuju atau adanya
kesamaan kehendak atau seiya-sekata mengenai ha-hal pokok dari perjanjian
yang dibuat. Bahwa yang menjadi kehendak dari pihak yang satu, juga
dikehendaki oleh pihak yang lain. Para pihak menghendaki sesuatu yang
4
M. Yahya Harahap, S.H. Segi-Segi Hukum Perjanjian . Alumni, Jakarta, 1986
5
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 1338 KUHPerdata
6
Asas Pacta Sunt Servanda dalam Pasal 1338 KUHPer, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Hukum Perikatan 2
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1
Pada saat suatu perjanjian dibuat, para pihak khususnya subyek hukum
yang membuat perjanjian secara hukum telah dewasa atau cakap untuk
melakukan perbuatan hukum. Apabila belum dewasa harus didampingi oleh
walinya. Di dalam KUHPerdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk
melakukan perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka
yang berada dibawah pengampuan.7
Dalam Pasal 1330 KUHPer disebut sebagai orang-orang yang tidak
cakap untuk membuat suatu perjanjian :
7
Pasal 1330. Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah, orang-orang yang belum dewasa, mereka yang
ditaruh dibawah pengampuan, orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
Hukum Perikatan 3
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1
Pasal 433
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila
atau mata gelap harus ditaruh di bawa pengampuan, walaupun jika ia kadang-
kadang cakap menggunakan pikirnya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di
bawah pengampuan karena keborosannya.”
Pasal 345
“Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka
perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum
dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah
dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.”
Selanjutnya untuk penjelasan tentang orang perempuan/isteri dalam hal
telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-
undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula
dalam Pasal 108 KUH Perdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang
bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin
(kuasa tertulis) dari suaminya. Namun hal ini sudah tidak berlaku dengan
adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni
Pasal 31 yang menyatakan: “hak dan kedudukan isteri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.
Hukum Perikatan 4
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1
Secara yuridis, suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu yang
telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah ojek perjanjian dan isi
perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas dan tegas.
Objek perjanjian berupa barang, bahwa yang dimaksudkan dalam perjanjian
paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau
sudah harus berada ditangan debitur atau si berhutang pada waktu perjanjian
dibuat, tidaklah diharuskan oleh undang-undang. Misalnya, perjanjian
mengenai pemesanan sejumlah seragam kepada pihak konveksi. Tetapi
perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada,
sehingga tidak mengira-ngira. Misalnya, perjanjian jual-beli tanah.
8
Di dalam Pasal 1337 KUHPerdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
9
Subekti, Op Cit, Hal. 19
Hukum Perikatan 5
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1
Yang dimaksud dengan itikad baik atau te goeder trouw atau in good
faith dalam pasal 1338 KUHPerdata adalah tolak ukur secara objektif untuk
menilai pelaksaan suatu perjanjian. Memperhatikan apakah perjanjian
dilaksanakan mengindahkan dengan norma-norma kepatutan dan
kesusilaan yang berlaku di masyarakat.Secara subjektif Itikad baik dapat
diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu yang terletak dalam hati
seseorang pada waktu dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut..
Hukum Perikatan 6
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1
10
Pasal 1454 KUHPerdata. Dalam semua hal, dimana suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan tidak
dibatasi dengan suatu ketentuan undang-undang khusus hingga suatu waktu yang lebih pendek, waktu itu
adalah lima tahun
11
Ahmadi Miru, Pati Saka, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1454 BW, Rajawali Pers, Jakarta,
2013. Hal 157-158
Hukum Perikatan 7
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1
1) Ancaman/paksaan (bedreiging/dwang)
2) Kekeliruang/kesesatan/kekhilafan (dwaling)
3) Penipuan (bedrog)
4) Keadaan memaksa (misbruik van omstandigheden).
1) Ancaman
Hukum Perikatan 8
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1
2) Kekeliruan/kesesatan/kekhilafan
3) Penipuan (bedrog)
12
Herlien Budiyono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerarapannya Dibidang Kenotariatan, Bandung: Citra
Aditya, 2010. Hal. 98-100
Hukum Perikatan 9
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1
semula dianggap tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu
perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu.
Pihak yang meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama
lain telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di
depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada.
d. Pelaksanaan Perjanjian
13
Subekti, Op Cit, 2005, Hal.36
Hukum Perikatan 10
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1
14
Ibid. Hal.37
15
Ahmadi Miru, Pati Saka, Op Cit, 2013. Hal. 81
Hukum Perikatan 11
Universitas Pamulang Ilmu Hukum S-1
C. SOAL LATIHAN
Petunjuk :
1. Jawab pertanyaan berikut dengan tulisan tangan saudara di atas kertas folio
bergaris
2. Jawaban dikumpulkan pada saat perkuliahan di kelas.
Pertanyaan :
1. Berikan pengertian perjanjian dan apa akibat hukum dari perjanjian yang
terkandung dalam pengertian tersebut?
2. Jelaskan akibat hukum dari perjanjian yang sah!
3. Bagaimana apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif?
4. Bagaimana apabila perjanjian tidak memenuhi syarat obyektif?
D. REFERENSI
Ahmadi Miru, Pati Saka, “Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai
1456 BW”, Rajawali Pers, Jakarta, 2013
Hukum Perikatan 12