A. Definisi Perikatan
Di dalam sistem Hukum Indonesia, perikatan ada dalam buku ke III Kitab Undangundang Hukum Perdata tentang perikatan. Disini diatur perikatan yang lahir dari perjanjian
(kontrak) dan perikatan yang lahir karena undang-undang seperti perbuatan melawan hukum,
perwakilan sukarela, dan pembayaran yang tidak terhutang. Semua bidang yang telah disebutkan
tercangkup dalam satu muatan yaitu perikatan.
Istilah
Perikatan
merupakkan
kesepadanan
dari
istilah
bahasa
Belanda
Istilah hukum
perikatan ini mencangkup semua ketentuan dalam Buku Ketiga dari KUH Perdaa. Karena itu,
istilah Hukum Perikatan terdiri dari dua golongan besar yaitu:
a. Hukum Perikatan yang berasal dari undang-undang
b. Hukum Perikatan yang berasal dari perjanjian1
Pasal 1233 KUH Perdata menyebutkan
perjanjian/kontrak atau karena undang-undang. Dilihat dari penjelasan Pasal 1233 KUH Perdata
bisa dilihat bahwa perikatan tidak sama dengan perjanjian/kontrak. Perikatan merupakan
hubungan hukum, sedangkan perjanjian/kontrak merupakan perbuatan hukum yang melahirkan
perikatan.
Di dalam KUHPerdata Indonesia, dan bahkan KUHPerdata Belanda yang abru tidak
ditemukan definisi perikatan. Makna perikatan ini ditelusuri dari doktrin atau pendapat pakarpakar hukum perdata seperti Subekti. Subekti berpendapat bahwa perikatan adalah suatu
perhubungan antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
1 Dr. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M. Hukum Kontrak Buku Kesatu. (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2015), hlm. 1.
menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan
tersebut.2
Perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan (person) adalah hal-hal
yang terletak dan berada pada lingkungan hukum. Hubungan hukum dalam perjanjian bukan
merupakan suatu hubungan yang timbul dengan sendirinya, namun merupaan hubungan yang
tercipta karena adanya tindakan hukum (rechtsandeling). Tindakan atau perbuatan hukum yang
dilakukan oleh pihak-pihakah yang menimbulkan uhbungan hukum perjanjian, sehingga
terhadap salah satu pihak diberi hak oleh ihak lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak
lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban menunaikan prestasi.3
9. Kesembilan
Subjek perikatan adalah para pihak pada suatu perikatan yaitu kreditor yang berhak dari
debitor yang berkewajiban atas prestasi. Pada debitor terdapat 2 unsur, antara lain schuld yaitu
hutang debitor kepada kreditor dan haftung yaitu harta kekayaan debitor dipertanggungjawabkan
bagi pelunasan utang.
Apabila seorang debitor tidak memenuhi atau tidak menepati perikatan hal tersebut
disebut cedera janji (wanprestasi). Dalam sebuah perikatan akan timbul hak dan kewajiban pada
dua sisi. Dengan arti bahwa pada satu pihak ada hak untuk menuntut sesuatu dan pihak lain
menjadi kewajiban untuk memenuhinya. Sesuatu itu adalah prestasi.
D.2. Objek Perikatan
Prestasi merupakkan obyek dari perjanjian. Prestasi mempunyai peran dimana tanpa
adanya prestasi hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan hukum tidak memiliki
arti apapun bagi hukum perjanjian. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata, maka
prestasi yang diperjanjikan itu adalah untuk menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, atau
untuk tidak melakukan sesuatu. Sebelum dinyatakan wanprestasi harus dilakukan somasi, yaitu
sebuah peringatan untuk debitor agar memenuhi kewajibannya.
Pasal 1233 KUHperdata menyebutkan bahwa perikatan dapat lahir dari 2 hal:
Perjanjian
Perikatan yang lahir dari perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengingkat dirinya terhadap satu
G. Jenis-jenis Perikatan
Sumber Perikatan
(Pasal 1322 BW)
Undang-undang (1352
BW)
Perbuatan Manusia
(1353 BW)
Hanya Undang-undang
(104, 321, 625 BW)
Perbuatan Melawan
Hukum (1365 BW)
6 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja. Perikatan Pada Umumnya. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002). hlm. 41.
Terjadinya suatu perjanjian (overeenkomst) diperlukan persetujuan para pihak.7 Dan perjanjian
dalam Pasal 1313 KUH Perdata didefinisikan sebagai suatu perbuatan dimana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Contoh: perjanjian jual-beli
handphone antara A dan B, sehingga melahirkan kewajiban bagi A untuk melakukan pembayaran
sesuai harga yang disepakati dan kewajiban B untuk memberikan barang (handphone) tersebut.
Kewajiban-kewajiban tersebut menjadi hak untuk pihak yang sebaliknnya, merupakan sebuah
hak bagi A untuk menerima barang (handphone) dari B, dan merupakan sebuah hak bagi B untuk
menerima uang pembayaran dari A.
G.1.2 Berdasarkan Undang-Undang
G.1.2.1 Perikatan semata-mata karena undang-undang:
preparatoir (hal-hal yang harus dilakukan oleh debitur menjelang penyerahan dari benda
tersebut.9
G.2.2 Perikatan untuk melakukan sesuatu
Melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam perikatan (perjanjian). 10
Contohnya: perjanjian membangun rumah, mengosongkan lahan, atau membuat karya seni.
G.2.3 Perikatan untuk tidak melakukan sesuatu
Tidak melakukan perbuatan seperti apa yang telah diperjanjikan. 11 Contohnya: perjanjian antara
pabrik dengan distributor agar distributor tidak memasarkan produk dari pesaing pabrik tersebut,
atau perjanjian agar pabrik tidak memasarkan produk tertentu ke distributor lain.
Perikatan perdata: perikatan sesuai dengan rincian di atas, dengan ciri khas dapat
8 Titik Triwulan Tutik. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006).
Halaman 231.
9 Ibid.
10 Ibid.
11 Ibid., halaman 233.
12 J. Satrio. Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. (Bandung: PT Alumni, 1999). Halaman 79.
Perikatan pokok: perikatan yang dapat berdiri sendiri dan memang biasanya berdiri
sendiri, walaupun tidak menutup kemungkinan adanya perikatan lain yang ditempelkan
pada perikatan pokok tersebut. Di sinilah letak pokok perjanjian, misalnya perjanjian
terikat lagi).
Perikatan lama: sebaliknya, pemenuhannya membutuhkan waktu yang banyak, dan
karenanya perikatannya bertahan lama.
Contoh: perikatan akibat perjanjian sewa-menyewa, atau kewajiban penjual untuk
menjamin barangnya (vrijwaren) pada perjanjian jual-beli.
Perikatan sederhana: kewajiban yang harus ditunaikan oleh debitur adalah suatu
kewajiban tertentu saja dan kreditur berhak untuk menolak kalau debitur memberikan
prestasi yang lain atau lain dari yang diperjanjikan (Pasal 1389).
Contoh: perjanjian pinjam pakai, kewajiban debitur adalah mengembalikan abrang yang
dipinjam. Namun kreditur tidak wajib untuk menerima (merasa puas) dengan
pengembalian barang yang sejenis, sekalipun nilainya sama atau bahkan lebih tinggi.
Perikatan kumulatif: mengandung lebih dari satu kewajiban bagi debitur dan pemenuhan
salah satu dari kewajiban-kewajiban tersebut belum membebaskan debitur dari
kewajibannya yang lain.
Contoh: perjanjian jual-beli, menimbulkan banyak perikatan dan karenanya ada beberapa
kewajiban yang ditanggung penjual:
- berkewajiban untuk menyerahkan barangnya
- selama belum diserahkan, harus memeliharanya dengan baik
- penjual harus menanggung bahwa barang tersebut bebas dari sitaan dan bebanbeban.
Perikatan fakultatif: perikatan yang obyeknya hanya berupa prestasi dimana debitur dapat
menggantikan dengan prestasi lain. Pada perikatan fakultatif hanya satu benda saja yang
menjadi prestasi.
Contoh: X harus memberikan seekor kerbau kepada Z. Apabila tidak sanggup, maka
dianggap wanprestasi.
Perikatan aternatif (manasuka): perikatan dimana debitur berkewajiban melaksanakan
satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih baik menurut pilihan debitur, kreditur atau
pihak ketiga, dengan pengertian bahwa pelaksanaan daripada salah satu prestasi
mengakhiri perikatan. Debitur bebas dari kewajibannya, jika ia menyerahkan salah satu
dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan (Pasal 1272).
Contoh: A harus menyerahkan kuda kepada B, yang apabila tidak sanggup dapat dengan
menyerahkan seekor sapi. Atau A berkewajiban terhadap B menyerahkan beras Cianjur
sebanyak 100 kg dalam waktu satu bulan, atau 120 kg setelah tiga bulan.
G.3.8 Perikatan yang dapat dibagi perikatan yang tidak dapat dibagi
Perikatan yang dapat dibagi: prestasinya dapat dipecah-pecah sedemikian rupa sehingga
masing-masing bagian berdiri sendiri-sendiri. Tetapi semuanya tetap sebagai satu
tanpa
mungkin terlaksana
tidak bertentangan dengan kesusilaan
tidak bertentangan dengan Undang-undang
Syarat dalam perikatan ini harus disetujui oleh para pihak, dan perikatan tersebut memiliki daya
berlaku pada saat peristiwa / yang dipersyaratkan tersebut terjadi.
Contoh: A berkewajiban mengantarkan (prestasi berupa jasa) B menuju tempat kerjanya apabila
terjadi kerusakan pada kendaraan milik B.
G.5 Berdasarkan ketentuan waktu14
Terdapat 2 jenis perikatan. Yang pertama, perikatan tanpa ketentuan waktu. Perikatan
umum ini langsung berlaku (mengikat) sejak saat dilahirkan. Yang kedua, perikatan dengan
ketentuan waktu, sesuai kesepakatan para pihak.
Ketentuan waktu di sini tidak hanya dengan menentukan dengan konkrit kapan
berlakunya (penyebutan jam, tanggal, bulan, tahun) tetapi dapat juga dengan lahirnya suatu
peristiwa hukum yang pasti akan terjadi. Pasal 1258 mengatur tentang perikatan yang
digantungkan dari terjadinya peristiwa tertentu dalam jangka waktu tertentu.
Contoh: A berkewajiban menyerahkan sebidang tanah kepada B apabila suatu saat C
meninggal dunia.
G.6 Berdasarkan jumlah debitur dan kreditur15
Terdapat 2 jenis perikatan apabila melihat jumlah debitur / krediturnya yang saling
menanggung prestasi, yakni perikatan dengan jumlah debitur / kreditur tunggal (perikatan biasa),
dan perikatan dengan jumlah debitur / kreditur lebih dari 1. Perikatan ini disebut perikatan
tanggung menanggung / tanggung renteng.
G.6.1 Perikatan kreditur tanggung renteng
Diatur dalam Pasal 1278 dan 1280 KUHPer, berikut unsur-unsurnya:
-
Ada lebih dari satu orang kreditur terhadap satu orang debitur yang sama, para kreditur
Adanya lebih dari satu orang debitur terhadap satu orang kreditur yang sama
Kesemua debitur masing-masing bisa ditagih oleh kreditur untuk seluruh prestasi
Pemenuhan prestasi oleh salah satu debitur membebaskan debitur yang lain dari
kewajiban prestasinya
DAFTAR PUSTAKA
16 Ibid., halaman 355.
17 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, op.cit., halaman 97.
Fuady, Munir. 2015. Hukum Kontrak: Buku Kesatu. Jakarta: Citra Aditya Bakti.
Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.
Khairandy, Ridwan. 2013. Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan.
RajaGrafindo Persada.
Satrio, J. S.H. 1993. Hukum Perikatan. Bandung: Alumni.
Simanjuntak, P.N.H. 2009. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Subekti. 1992. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Internusa.