Anda di halaman 1dari 20

Noken dalam Sistem Pemilu secara

Langsung

Definisi : Sistem Noken adalah sistem pemilihan umum dengan mekanisme


adanya kesepakatan dari Masyarakat setempat yang dilakukan pada Tempat
Pemungutan Suara (TPS), dengan surat kuasa yang akan diisikan pada noken.
Ada dua sistem Noken di Papua yaitu:
1. Sistem Perwakilan (Noken bigmen). Suara suku diwakilkan kepada ketua
suku yang lalu melakukan pemilihan.
2. Sistem Permusyawatan (Noken gantung). Suara suku dimasukkan ke
dalam kantong partai atau calon yang dipilih secara mufakat. Pola kedua
inilah yang dipakai di Pileg, maupun Pilpres 2014 ini.
Sedangkan, noken sendiri (menurut KBBI) merupakan tas tradisional dari Irian
Jaya yang terbuat dari serat kayu. Di dalam petunjuk teknis (Juknis) KPU Papua
Nomor 1 tahun 2013, noken digunakan sebagai pengganti kotak suara. Istilah
noken dalam pemberian suara sudah dikenal sejak masa referendum, jajak
pendapat, atau disebut sebagai Perpera pada 1969 di Irian Barat, sebelum
namanya berganti menjadi Irian dan Papua kini.
Adapun, arti pemilihan umum sendiri bila mengacu pada UU No.12 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ,Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) ,dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pasal 1 ayat 1
tertulis bahwa Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Status Quo : Di pemilu Indonesia sendiri, paling tidak noken sudah digunakan
pada dua pemilu terakhir pada 2009 dan kini diakui oleh saksi KPU di MK juga
dilakukan pada Pilpres 2014. Sistem noken digunakan dalam pemilihan presiden
di 16 kabupaten yang terletak di Pegunungan Tengah, Papua.
Latar Belakang: Sistem noken sudah berlangsung di Papua selama 4 dekade,
dimulai pada pemilu 1971 di mana pemilu legislatif, pemilu kepala daerah atau
pilpres dilakukan melalui sistem noken. Penggunakan sistem noken dibentuk atas
inisiatif masyarakat setempat karena pertimbangan geografis wilayah
pegunungan yang susah diakses. Sehingga tak semua warga suatu suku dapat
turun gunung demi mencoblos di tempat pemungutan suara. Dikatakan, hal lain
yang menjadi acuan digunakannya sistem noken adalah karena masyarakat di
daerah tersebut belum mengenal baca tulis secara baik. Oleh karena itu, perlu
ditolong mencoblos menggunakan Sistem Noken.

Sejak nama calon kepala daerah atau anggota legislatif atau presiden dan wakil
presiden ditetapkan, orang Papua di berbagai kampung di pegunungan mulai
terlibat dalam diskusi-diskusi, baik yang terjadi secara spontan maupun
terencana. Dalam diskusi itu, mereka saling membagi informasi tentang sepak
terjang setiap calon yang hendak dipilih. Mereka tidak membahas janji-janji para
calon sebab janji tidak bisa dipegang dan sulit diuji kebenarannya. Dengan
mendapatkan
informasi
sebanyak-banyaknya,
orang
kampung
mulai
mendapatkan gambaran tentang calon siapa yang dapat dipercayai dan layak
dipilih. Setiap pemilih di kampung mulai mengambil keputusan personal tentang
calon yang akan dipilihnya. Kemudian calon pilihannya disampaikan kepada
orang lain untuk menguji kelayakan dan mendapatkan tanggapan balik.
Pengujian melalui diskusi berlangsung hingga para pemilih di suatu desa
mencapai kesepakatan.
(tambahan dari sisi Pro )
Maka, menjadi jelas bahwa hasil pemilu adalah keputusan personal dari setiap
pemilih, yang disatukan secara bersama menjadi sebuah kesepakatan
komunitas, dan disimbolkan melalui noken. Rakyat bisa bersepakat mengisi
semua suara dari desanya dalam sebuah noken dan menyerahkannya kepada
calon yang dipercayainya atau membagi suara kepada beberapa calon.
Parameter: Indonesia
Pro
Urgensi
Sistem tersebut merupakan bagian dari
budaya lokal di sana yang harus
dihormati,
karena
mekanisme
pemungutan suara tsb didasarkan
pada hukum adat setempat dan
konstitusi
memang
memberikan
pengakuan
terhadap
perlindungan
masyarakat
adat
dan
hak-hak
konstutisonal.
Inti dari demokrasi adalah partisipasi
seluruh rakyat. Maka, dalam pemilu
yang demokratis, seluruh rakyat mesti
berpartisipasi secara aktif membuat
keputusan
tentang
calon
yang
dipilihnya.

Kontra
Urgensi
Bentuk penyelenggaraan pemilu di
Indonesia
masih
warna-warni.
Ketidakseragaman itulah yang harus
mendapat
perbaikan
sesegera
mungkin. Masyarakat yang masih
menggunakan sistem noken harus
disamakan dengan masyarakat lain
yang menggunakan sistem one man
one vote. Jangan terus menerus
memandang mereka sebelah mata. Ini
menyangkut
HAM,
dan
hak
konstitusional
warga,
pungkasnya.
Penggunaan sistem noken dan ikat
jelas
bukan
hanya
berpotensi
melanggar hak asasi, namun juga
merusak azas pemilihan umum. Jelas
tidak 'luber (langsung, umum, bebas,
rahasia)
dan
jurdil
(juur
dan
adil)',Pemilu
itu
individu
bukan
komunal.

Fakta

Fakta
2

(Sekilas kasus Prabowo pasca Pilpres


2014) Prabowo menuduh sistem
noken di Papua sebagai bagian dari
kecurangan
yang
terstruktur,
sistematis, dan masif. Karena dari
sistem noken ini perolehan suara dia
dan Hatta nol persen (nihil) di Papua,
sedangkan Jokowi-JK memperoleh
100 persen.Padahal di Sampang,
Madura, semua TPS dari 17 TPS
yang ada, hasilnya Prabowo-Hatta
menang 100 persen, sedangkan di
Madura, tidak ada sistem seperti
sistem noken di Papua. Kejanggalan
itu tidak dipermasalahkan Prabowo,
karena dia yang diuntungkan.
Contohnya
yang
terjadi
di
Kabupaten
Yahukimo.
Hingga
tanggal
10
Juli
2014,
belum
terselenggara Pemilu. Dan Bawaslu
merekomendasikan adanya Pemilu
Susulan. Justru pada tanggal 10 Juli,
ribuan orang turun ke jalan untuk
memboikot Pemilu Presiden. Rakyat
Papua tidak menginginkan Pilpres.
Yang mereka harapkan adanya
refrendum
di
tanah
Papua.
Sebelumnya, tanggal 8 Juli 2014,
sudah turun juga ribuan massa
menuntut hal serupa. Sehingga pada
tanggal 9 Juli 2014, tidak ada satu
TPS
pun
yang
dibuka
untuk
melangsungkan Pilpres. Aksi massa
ini kelanjutan dari hasil sidang
tahunan Parlemen Nasional West
Papua (PNWP) pada 3-5 April 2014 di
Portnumbay,
West
Papua
memutuskan untuk Boikot Pilres dan
menyerukan refrendum di wilayah
Teritori West Papua. Bahkan terjadi
pembakaran 4.952 surat undangan
pemilih (atau C6) dan 500 lembar
kertas suara. Oleh karena itu pihak
Polda Papua, KPU Papua, Bawaslu
dan
tokoh/
ketua
Adat
bermusyawarah
untuk
melaksanakan Pilpres. Dan sistem

Badan Pengawas Pemilu pun sudah


menyoroti praktik noken di Papua
dan Papua Barat. Menurut Bawaslu,
praktik tersebut tak demokratis dan
rawan dimanipulasi. Indikator paling
sederhana, tak ada identitas penitip
suara pada ketua suku tertentu.
Bukti sistem noken yang tak
demokratis, di daerah pegunungan
Papua
hampir
setiap
suku
mencoblos calon yang sama. "Jadi di
suku A semua coblos calon nomor
urut satu, calon nomor urut dua itu
nol (tidak ada yang memilih).
Berbeda di suku B yang semuanya
coblos calon nomor urut dua
Tidak
ada
aturan
perundangundangan yang menjadi dasar
hukum sistem noken.
Institute for Policy Analysis of
Conflict
(IPAC)
merilis
sebuah
laporan
yang
diberi
judul
Memekarkan Papua: Lebih Banyak
Kabupaten, Lebih Banyak Persoalan
(Carving Up Papua: More Districts,
More Trouble). Dimana laporan ini
mengkaji praktik pemungutan suara
yang secara kolektif disebut sebagai
sistem noken yang digunakan di
banyak tempat di pegunungan yang
menyebabkan penghitungan suara
tidak mungkin bisa dilakukan secara
akurat. Ini juga yang mengakibatkan
hasil pemilihan gubernur yang sulit
untuk diverifikasi. Laporan ini juga
melihat dua kabupaten yang baru
saja dibentuk, yaitu Puncak dan
Nduga dimana pemilu dengan
sistem noken telah mengakibatkan
kekerasan yang mematikan yang
terdiri dari kekerasan antar suku
dan yang kedua antara sub-suku
dengan keluarga besar. Akibat dua
kekerasan
tersebut
pemerintah
kabupaten
harus
membayar
kompensasi dalam jumlah besar
kepada keluarga korban. Padahal
3

Noken kembali dipergunakan.

dana tersebut sebenarnya bisa


digunakan
untuk
biaya-biaya
pelayanan sosial.
Sudah ada kemajuan saat ini di
mana ada dua kabupaten di daerah
pedalaman
yaitu
Kabupaten
Pegunungan Bintang yang dulu
seratus persen sampai dengan 2009
itu seratus persen menggunakan
noken, sekarang satu kabupaten
pegungungan bintang tidak lagi
menggunakan noken. Pertanyaanya
jika satu kabupaten ini dapat
bergerak
maju
tidak
lagi
menggunakan
noken.
Mengapa
kabupaten yang lain tidak? Kita itu
satu, pemilihan di Indonesia juga
harus seragam secara nasional.

Regulasi/Dokrin
Regulasi/Dokrin
Provinsi Papua adalah Provinsi yang Padahal, sudah jelas setiap warga
diberikan
hak
istimewa
oleh
negara memiliki hak politik luber
konstitusi kita, dalam pasal 18B
jurdil untuk memilih seperti dalam
ayat (1) dan (2) UUD RI Tahun
UUD 45 pasal 22E (1): Pemilihan
1945 dijelaskan dalm pasal 18B
Umum
dilaksanakan
secara
ayat (1),
langsung, umum, bebas, rahasia,
Negara
mengakui
dan
jujur dan adil setiap lima tahun.
menghormati
satuan-satuan
Ketentuan
yang
sama
juga
Pemerintah Daerah yang bersifat
disebutkan dalam Undang-Undang
khusus atau bersifat istimewa yang
No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
diatur dalam undang-undang
Umum Anggota DPR, DPD, dan
Sedangkan dalam pasal 18B ayat (2)
DPRD. Artinya, prinsipnya tidak bisa
menyatakan,
diwakilkan siapapun. Sedangkan di
Negara
mengakui
dan
dalam kedua jenis sistem noken itu,
menghormati
kesatuan-kesatuan
prinsip langsung, dan rahasia, tidak
Masyarakat hukum adat beserta
bisa diterapkan. Langsung dan
hak-hak tradisonalnya sepanjang
rahasia
ditentukan
dengan
masih hidup dan sesuai dengan
maksud agar setiap orang yang
perkembangan
masyarakat
dan
berhak memilih dijamin Negara
prinsip Negara Kesatuan Republik
untuk bisa langsung menentukan
Indonesia
yang
diatur
dalam
sendiri pilihannya, dan dengan asas
undang-undang
rahasia seharusnya tidak boleh ada
(Ketentuan dalam pasal 18B ayat 2
orang lain yang tahu calon yang
ini juga sama diatur dalam pasal 51
dipilih seseorang.
Apa yang telah ditetapkan KPU
ayat 1 huruf b UU MK)
haruslah dihormati : Sudah
Artinya kebiasaan adat Masyarakat
ditetapkan KPU dan tetap one man,
Papua menggunakan Noken dalam
4

Pemilihan Umum dianggap sah


secara
hukum,
karena
itu
merupakan hak tradisional Papua
yang
mendekatkan
pada
Musyawarah
untuk
memilih
Pemimpin, hal tersebut terjamin oleh
sumber dari segala sumber hukum
Indonesia
ini,
seharusnya
hal
tersebut
tidak
perlu
dipermasalahkan
oleh
Kubu
Pemohon/Prabowo Subianto dalam
gugatannya
pada
Mahkamah
Konstitusi terkait Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum (PHPU), karena
memang
itu
adalah
inisiatif
Masyarakat
adat
Papua
yang
dikarenakan
faktor
geografis
menghambat proses pendistribusian
surat suara dan pendekatan mereka
terhadap
musyawarah
bersama
ketua adat setempat, buktinya
hingga
kini
Masyarakat
adat
setempat tidak pernah melakukan
protes
terhadap
pemberlakuan
sistem noken karena memang murni
inisiatif mereka sendiri.
MK telah memutuskan bahwa sistem
noken menjadi sistem yang sah
dalam
pemilihan
umum
(pemilu). Mahkamah
Konstitusi
pernah mengeluarkan Keputusan
tentang pembolehan penggunaan
sistem noken di Provinsi Papua, pada
Kpts.MK
No.47-48/PHPU.A-VI/2009
tentang
Pemilu
Legislatif
di
Kabupaten Yahukimo tanggal 9 juni
2009.
Dalam
pertimbangannya
MK
menyatakan: Menimbang bahwa
Mahkamah dapat memahami dan
menghargai nilai budaya yang hidup
di kalangan masyarakat Papua yang
khas
dalam
menyelenggarakan
pemilihan umum dengan cara atau
sistem kesepakatan warga atau
aklamasi. Mahkamah menerima cara

one vote, one value system


Dalam bahasa Sri-Edi Swasono,
demokrasi adalah daulat rakyat.
Bukan daulat tuanku. Bukan pula
daulat pasar (Demokrasi Daulat
Rakyat, Kompas 16/8/2014).
Menurut Reydonnyzar (Staf Ahli
Mendagri): Apabila masing-masing
daerah/suku tetap mempertahankan
cara-cara
kedaerahan
dan
kesukuannya dalam pemilu, dapat
dibayangkan jika 1.127 suku yang
ada di Indonesia melaksanakan
sistem
pemilu
sesuai
adatistiadatnya?
Tentu
saja,
akan
menimbulkan
berbagai
macam
persoalan
kompleks
dalam
pelaksanaan pemilu.
Pelaksanaan pemilu yang tidak
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan justru akan
merusak legiltimasi dan menciderai
lembaga demokrasi. Penyeragaman
metode pemberian suara ini dapat
menutup celah kecurangan dari
implementasi pluralitas hukum yang
mengatur
metode
pemberian
suara.
Menurut
Peneliti
politik
dari
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan
Indonesia
(LIPI)
Siti
Zuhro
mengatakan, Jangan dibenturkan
dengan kearifan lokal karena dalam
pemilu itu harus terukur supaya
pemilunya tidak kacau balau. Bila
ada yang tidak terukur, maka akan
sangat rawan ada penyimpangan.
Jangan
sampai
rakyat
Papua
kembali
mengatakan
dibodohin
terus-menerus,
Menurut Ketua DPRD Keerom Isack
Yunam, SH, Pemilihan Umum baik
itu
Legislatif,
Gubernur,
dan
Bupati/Walikota merupakan amanat
undang-undang yang menjadi dasar
pelaksanaannya, sehingga tatanan
pemilihan yang telah ditetapkan
5

pemilihan kolektif
(kesepakatan
warga atau aklamasi) yang telah
diterima
masyarakat
Kabupaten
Yahukimo tersebut karena jika
dipaksakan pemilihan umum sesuai
dengan
peraturan
perundangundangan
yang
berlaku
dikhawatirkan akan timbul konflik di
antara
kelompok-kelompok
masyarakat setempat.
Dari sini jelas, MK mengakui dan
memperbolehkan sistem noken di
Provinsi
Papua,
sangat
jelas
substansi dikeluarkan keputusan itu
sama dengan polemik seputar noken
sekarang ini, bahwa hak masyarakat
adat harus diprioritaskan, juga
dengan faktor geografis di Provinsi
Papua
Sila keempat Pancasila adalah,
Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan.
Sampai hari ini di Papua masih
banyak suku yang menjalankan
tradisi
permusyawaratan/perwakilan
dalam PEMILU.
Pasal 73 pada UU nomor 39 tahun
1999 tentang HAM. Isinya: Hak dan
kebebasan
yang
diatur
dalam
Undang-undang ini hanya dapat
dibatasi oleh dan berdasarkan
undang-undang, semata-mata untuk
menjamin
pengakuan
dan
penghormatan terhadap hak asasi
manusia serta kebebasan dasar
orang lain, kesusilaan, ketertiban
umum dan kepentingan bangsa.
Sepanjang tak dilarang undangundang, bagaimanapun MK harus
putuskan sisten noken sah secara
hukum.
Penjelasan Hasyim Sangadji (saksi
ahli dari KPU di sidang MK)
Bahwa nilai budaya lokal yang
masih hidup dan berkembang di

dalam undang-undangn wajib untuk


dilaksanakan.
Termasuk
di
dalamnya pemilihan dengan sistem
yang
memang
sudah
diatur.
Pemilihan ini menggunakan system
demokrasi dan itu berlaku dari
Sabang sampai Merauke. Jadi harus
dilakukan dengan undang-undangan
yang berlaku. Makanya system
noken harus ditiadakan. Dinilainya,
penggunaan
pemilihan
sistem
noken selama ini tidak sesuai
dengan
tempatnya.
Karena
seharusnya sistem itu diberlakukan
untuk pemilihan kepala suku yang
memang berada dalam ruang
lingkup adat, bukan untuk pemilu
yang
jelas-jelas
sistem
pemilihannya sudah diatur secara
nasional.

dalam masyarakat, khususnya di


daerah pedalaman Papua terkait
dengan pelaksanaan pemungutan
suara dengan menggunakan noken
merupakan sebuah kearifan lokal
yang perlu diberikan ruang, tempat
bagi perkembangan demokrasi.
Bila sistem noken ini ditolak oleh
penyelenggara Pemilu, apakah itu di
tingkat KPPS, maupun PPD, maka
pasti sebagian masyarakat adat di
pegunungan, tidak menggunakan
hak
pilihnya.
Dan
ini
akan
menimbulkan masalah sosial baru,
bahkan gesekan antarmasyarakat di
tingkat
bawah
yang
akan
memunculkan masalah baru di
lapangan
Tito
Panggabean,
seorang
Antropolog;
Peneliti
Kebudayaan
Masyarakat
Pegunungan
Tengah
Papua, yang sudah sangat sering
berbaur dan berinteraksi dengan
masyarakat Papua di pedalaman
itu, mengatakan Jangan
mengira
para bigman itu adalah mereka yang
juga
terisolasi
dari
informasi
berkaitan dengan calon pimpinan
yang akan dipilih. Karena para
pimpinan (bigman) itu bukan orang
yang tidak pernah keluar kampung.
Sebagian besar mereka menjadi
aparat pemerintah; kepala desa,
atau aparat desa yang diundang
untuk rapat koordinasi di kantor
kecamatan.
Dengan
demikian
banyak
informasi
yang
dapat
diserap, termasuk yang berkaitan
dengan
pemilihan.
Atas
dasar
pertimbangan itulah masyarakat
pedalaman di Papua yang bisa terdiri
dari beberapa desa menyerahkan
perwakilan
mereka
kepada bigman itu.
Soekarno
pernah
mengatakan:
Biarkanlah seribu kembang tumbuh
dan bersemi di Persada Nusantara
7

ini! Dengan demikian marilah kita


memberi kearifan lokal yang ada di
pedalaman
Papua
untuk
memperkaya
khazanah
budaya
bangsa
dengan
memberikan
kesempatan mereka memilih melalui
sistem noken!
Sila-sila Pancasila:
1. Ketuhanan yang Maha Esa: basis
dasar adalah freedom of religion [ini
sudah dijelaskan lebih jauh dalam
Pasal 28E UUD '45 ->> HAM
2. Kemanusian yang adil dan
beradab: basis dasar adalah
kesetaraan hak atas semua warga
negara dan keadilan tanpa ada
kecualinya ->> HAM
3. Persatuan Indonesia: basis dasar
adalah nasionalisme yang
berdasarkan persamaan hak untuk
semua bangsa-bangsa, suku-suku,
penganut-penganut agama, dll ->>
HAM
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam
pemusyawaratan perwakilan: basis
dasar adalah persamaan hak untuk
memilih, dipilih, berserikat,
berkumpul ->> HAM
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia: basis dasar adalah semua
warga negara punya hak yang sama
untuk: mendapat perlindungan
hukum, mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan
kesehatan, setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama
guna mencapai persamaan dan
keadilan [Affirmative Action], dll
baca pasal 28A sampai 28J ->> HAM
Asas lex superior derogat legi
inferiori. Hak asasi warga negara
adalah
untuk
bisa
memilih.
Sedangkan
pemilu
adalah
8

manifestasi dari hak asasi warga


negara untuk bisa memilih, maka
asas
pemilu
WAJIB
untuk
menghargai dan melindungi hak-hak
warga negara untuk memilih. Bila
dilihat, ternyata asas pemilu yang di
22E
malah
memberangus/merampas/merampok
hak asasi sebagian dari warga
negara untuk memilih, maka pasal
ini harus dikesampingkan, tetapi
harus melalui landasan hukum lain
yang ada didalam UUD '45. Dan
pasal
yang
tersedia
untuk
perlindungan ini adalah pasal 27(1)
dan pasal 18B(2).
Argumen
Argumen
Jika sistem noken tidak diberlakukan Mengacu pada parameter HAM yang
di Indonesia maka tentu perdebatan
diterima secara internasional oleh
muncul seputar jaminan hak-hak
anggota PBB yakni 'free and fair
adat yang terdapat pada UUD RI
election'.
Namun,
hal
ini
Tahun 1945 yang merupakan acuan
bertentangan dengan sistem noken
dari
hukum-hukum
yang
ada
karena pemilih
tidak
bebas
dibawahnya.
menentukan
pilihan
karena
Hasil pilpres yang menggunakan
kemungkinan ada paksaan dari
sistem noken, entah apa pun
pihak
lain.
Masyarakat
hasilnya, mencerminkan kedaulatan
menggunakan
hak
pilihnya
rakyat. Rakyat telah melaksanakan
berdasarkan
orang-orang
pilpres secara langsung, umum,
berpengaruh di sekitarnya, atau
bebas, transparan, jujur, dan adil.
sekadar ikut-ikutan. Selain itu pula,
Dengan demikian, menggugat hasil
ada kontrol dari tetua adat. Apalagi,
pilpres di Pegunungan Papua berarti
jika
masyarakat
menolak
mempermasalahkan
kedaulatan
mengunakan sistem noken akan
rakyat.
mendapat sanksi adat. Dalam
Bahkan
secara
tradisional,
sistem ini menjadi tidak ada
berdasarkan
hirarki
kesukuan
kesetaraan
sebab
adanya
mereka, yang mereka telah lakukan
keistimewaan
yang
diberikan
secara turun temurun, pemilihan
kepada tetua adat.
secara NOKEN telah sesuai dengan Rentan kecurangan, Tidak dapat di
adab mereka didalam menentukan
jamin, ketua adat itu objektif dalam
pilihan politik mereka. Dengan kata
pemberian
suara.
itu
bukan
lain telah memenuhi hak asasi
demokrasi yang sesungguhnya.

Adapun terkait indikasi bisa terjadi


mereka didalam memilih, ditambah
lagi ini juga dilindungi oleh pasal
praktik politik uang (money politic)
18B(2).
yang lebih besar, karena pihak Pemenuhan hak asasi manusia untuk
pihak
pendukung
calon
9

dapat
memilih
sesuai
dengan
pilihannya
sendiri
tidak
harus
dilakukan secara LUBER. LUBER
adalah salah satu sistem nya saja,
ada alternatif lain untuk melakukan
pemilu yang jurdil tanpa harus
LUBER. Sebagai contoh, tentu saja
sistem ikat dan/atau NOKEN dan
elektoral
yang
kesemuanya
merupakan
sistem
representatif.
Sudah
ratusan
tahun
amrik
melakukan sistem elektoral untuk
pemilihan presiden mereka, gak ada
masalah yang besar. Dan sistem
elektoral
telah
dijamin
lewat
Amandemen
ke
14
konstitusi
mereka.
HAM sebagaimana dijamin dalam
kelima sila Pancasila, letaknya jauh
lebih tinggi dari asas pemilu, yang
hanya merupakan salah satu dari
sekian banyak manifestasi dari
pemenuhan hak asasi manusia itu
sendiri untuk memilih sesuai dengan
yang dia inginkan. Berarti sudah
seharusnya, kita melihat
jangan
hanya berkutat kepada pohonnya
saja [Pasal 22E(1)], tapi kepada
hutannya
[UUD
'45]
secara
keseluruhan.

partai/presiden
hanya
perlu
menyogok ketua adat tanpa perlu
menyogok seluruh masyarakat yang
ada di Papua.

Solusi
Solusi
Untuk
kedepannya,
diharapkan Sudah
69
Indonesia
Merdeka.
penerapan sistem noken dapat
Rakyat Papua harus memperoleh
dilaksanakan lebih tertib. Dengan
pendidikan yang layak sehingga
demikian, tidak ada lagi pihak yang
bisa
mengikuti
sistem
politik
mempersoalkan sistem pemilihan
modern.
Artinya
mereka
yang telah menjadi salah satu
menggunakan cara yang sama
warisan budaya adat Indonesia,
seperti rekan-rekan di tempat
khususnya
masyarakat
Papua
lainnya. Selama ini, pemerintah
tersebut. Upaya penertiban sistem
terlihat abai terhadap mereka,
noken
dapat
dimulai
dengan
termasuk
dalam
memberi
peningkatan
konsolidasi
antara
pendidikan dan pengetahuan yang
penyelenggara pemilu di daerah
cukup penting mengenai pemilu,
dengan masing-masing ketua adat.
sistem dan cara pemunguitan suara.
Justru dari pemilu langsung dengan
Akibatnya
yang
mereka
tahu
sistem noken harusnya mendorong
hanyalah cara memilih melalui adat
10

kita agar perlu menggali kearifan


lokal di seluruh nusantara agar
memunculkan
dan
menambah
sistem
pemilu
berbeda-beda
bentuknya, tetapi mencerminkan
kedaulatan rakyat sehingga seluruh
rakyat
berpartisipasi
dan
beremansipasi dalam pemilu.
Sementara untuk ke depannya
pemerintah
daerah
segera
merencanakan program legislasi
daerah yang selanjutnya disebut
prolegda
guna
pembentukan
Peraturan daerah provinsi atau
peraturan daerah kabupaten/kota
yang disusun secara terencana,
terpadu dan sistematis dengan
melibatkan pihak akademisi sebagai
upaya
pembentukan
naskah
akademik
dari
segi
yuridis,
antrologis dan sosiologis menuju
pengakuan dan perlindungan sistem
noken
pengganti
kotak
suara
program pemilihan umum diseluruh
tanah papua.
Indonesia yang terus mengalami,
berevaluasi,
dan
memperbaiki
penyelenggaraan
pemilu
dalam
demokratisasi sudah dan harus
menghadapi
Noken.
Kodifikasi
undang-undang
pemilu
serentak
nasional dan daerah sepantasnya
menyertakan
pembahasan
pemilihan model Noken. Dengan
merujuk kesesuaian pemilu berdasar
tingkatan dari lokal hingga nasional,
terma dan pemaknaan Noken lebih
tepat ada dalam lingkup pilkada
serentak, bukan pemilu nasional.
Jadi, setiap warga negara atau
setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai
persamaan
dan
keadilan
sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 28 Ayat (2) UUD 1945

mereka tersebut.
Kedepannya, harus ada edukasi
kepada masyarakat Papua secara
kontinyu untuk dapat menggunakan
mekanisme sistem pemilu yang
sama secara nasional. Biarkan
Papua MELEK tak berbeda dengan
bagian
Indonesia
lainnya
dan
bersetara dengan saudaranya yang
lain di seluruh Nusantara. Sudah
saatnya
warga
Papua
di
Pegunungan Tengah menjalankan
sistem one man one vote! Kita
bergerak maju dan harus dimulai
sejak dini. Kapan lagi kalau tidak
mulai dari sekarang?

11

Speaker Pro
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Syalom, Salam Sejahtera.
Terimakasih kepada kesempatan yang telah diberikan moderator. Selamat siang
kepada dewan juri yang terhormat, tim kontra yang bersemangat, serta kaum
intelektual muda yang ada di ruangan ini.
Perkenalkan kami dari tim pro, saya Astrid Fatimah sebagai pembicara
pertama, Densen Handra sebagai pembicara kedua, dan Mochamad Dzaki
sebagai pembicara ketiga. Disini kami hadir untuk menegaskan bahwa kami
setuju dengan noken dalam sistem pemilihan umum secara langsung.
Pertama-tama, marilah kita mengangkat pembicaraan topik perdebatan
kali ini dengan menyamakan pemandangan kita terlebih dahulu.
Noken (menurut KBBI) merupakan tas tradisional dari Irian Jaya yang terbuat dari
serat kayu. Di dalam petunjuk teknis (Juknis) KPU Papua Nomor 1 tahun 2013,
noken digunakan sebagai pengganti kotak suara.
Pemilihan umum sendiri bila mengacu pada UU No.12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ,Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) ,dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pasal 1 ayat 1 tertulis
bahwa Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Untuk dapat memudahkan masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan
menyalurkan hak suaranya sebagai warga negara Indonesia, maka pemilihan
umum di Papua menggunakan sistem noken. Terdapat 2 jenis sistem noken:
pertama, suara suku diwakilkan kepada ketua suku yang melakukan pemilihan
atau yang dikenal dengan noken bigmen. Kedua, yakni noken gantung dimana
suara suku dimasukkan ke dalam kantong partai atau calon yang dipilih secara
mufakat.
Munculnya noken bukan tanpa sebab, tentu banyak hal lain yang menjadi
acuan digunakannya sistem noken selain dari alasan geografis tersebut. Sistem
noken juga digunakan karena masih banyak pula masyarakat di daerah Papua
yang belum mengenal baca tulis secara baik. Oleh karena itu, perlu ditolong
mencoblos menggunakan sistem noken. Alasan ini seharusnya membukakan
mata kita bahwa keberadaan noken jelas sangat dibutuhkan. Lantas bagaimana
12

caranya melakukan pemilu di tengah keterbatasan transportasi, komunikasi,


serta akses kepedalaman populasi yang angka buta hurufnya tinggi, bila bukan
dengan memberlakukan sistem noken? Kebutuhan akan noken kian mendesak
ketika sarana dan prasarana untuk menjalankan pemilu secara langsung tidak
berkembang sesuai dengan perkembangan sistem politik yang ada.
Jika diurut lebih jauh, keberadaan sistem ikat dan sistem noken sebetulnya
sudah pernah digunakan dalam sistem pemilihan terbuka tahun 1969 yang
dikenal dengan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat). Sistem noken sendiri
merupakan kebudayan arif lokal yang sudah mendarah daging sejak tahun
tersebut. Fakta sejarah itu membuktikan bahwa ternyata negara-negara anggota
PBB mengakui hasil PEPERA yang dipilih menggunakan sistem perwakilan.
Artinya demokrasi noken memang diakui dunia sebagai simbol musyawarah
tertinggi pengambilan keputusan bagi masyarakat adat Papua. Jika dunia
berpendapat demikian, mestinya kita selaku yang empunya budaya lebih
menghargai dan melestarikannya, termasuk budaya demokrasi lokal. Lantas,
kenapa kita mempermasalahkannya noken?
Dewan juri yang terhormat,
Provinsi Papua adalah Provinsi yang diberikan hak istimewa oleh konstitusi
kita, dalam pasal 18B ayat (1) dan (2) UUD RI Tahun 1945 dijelaskan dalam pasal
18B ayat (1),Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintah
Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undangundang. Sedangkan dalam pasal 18B ayat (2) menyatakan, Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang (Ketentuan dalam pasal 18B ayat 2 ini juga sama diatur dalam
pasal 51 ayat 1 huruf b UU MK) .Artinya, kebiasaan adat Masyarakat Papua
menggunakan Noken dalam Pemilihan Umum dianggap sah secara hukum,
karena

itu

merupakan

hak

tradisional

Papua

yang

mendekatkan

pada

Musyawarah untuk memilih Pemimpin, hal tersebut terjamin oleh sumber dari
segala sumber hukum Indonesia ini
Berdasarkan Pasal 18 B ayat (2) tersebut, negara wajib menghormati
sekaligus melindungi hak-hak tradisional orang Papua termasuk Noken, baik
sebagai simbol entitas budaya maupun sebagai instrumen demokrasi yang
mengutamakan prinsip musyawarah untuk mufakat. Termasuk musyawarah dan
mufakat untuk memilih wakil-wakil mereka (pileg) maupun memilih pemimpin
13

mereka (Pilkada dan Pilpres). Mekanisme ini nyata-nyata MASIH ADA dan HIDUP
dalam keseharian komunitas suku-suku di wilayah pegunungan Papua.
Dewan juri yang terhormat, pertanyaan kemudian, apakah hanya dengan
perwakilan kepala adat, sistem pemiliihan ini dengan serta merta melanggar
prinsip demokrasi? Jawabannya, TENTU TIDAK, karena prinsip demokrasi juga
mengakui musyawarah mufakat. Hal ini terang-terang diakui dalam ground
norm kita yang bernama Panca Sila, pada sila keempatnya.
Hal penting lainnya, proses penggunaan Noken juga telah diuji sejak
pemilihan bupati dan wakil bupati Kabupaten Yahukimo Tahun 2009 lalu,
Mahkamah Konstitusi telah mengakui Noken sebagai bagian kearifan lokal
pegunungan tengah atau yang biasa disebut dengan Demokrasi Noken yang
perlu

dilestarikan

melalui

Keputusan

MK

No.

48

dan

49

tahun

2009.

"Penggunaan noken dalam pemilihan umum diperbolehkan sebagai upaya


untuk menghormati kearifan lokal dalam proses demokrasi," tulisan dalam
keputusan tersebut. Sebagai putusan pengadilan, jelas merupakan yurisprudensi
yang mengikat, dan hanya bisa dimentahkan dengan putusan MK pula yang
berbeda. Jauh dari itu semua, mengingkari keabsahan pemilihan dengan sistem
Noken yang sebagaian besar berlaku di Papua maka sama halnya pengingkaran
hak konstitusional terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
yang harus dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban,
sebagaimana amanat Pasal 28 I ayat 3 UUD NRI 1945.
Tidak ada yang salah dalam sistem noken, sebab pada dasarnya
masyarakat tetap bisa mengungkapkan pendapatnya tentang siapa yang pantas
mereka pilih sebagai caleg/capres melalui proses musyawarah dan mufakat
dalam lingkup satu kampung. Perlu digaris bawahi jika banyak oknum yang
membedakan sistem noken dengan sistem one man one vote, tim pro ingin
menjelaskan bahwa one man one vote diadopsi dari demokrasi barat (yang kita
anggap demokrasi modern) sementara sistem noken yang lahir dari budaya asli
orang Papua.
Maka, amat disayangkan kalau masa depan sistem Noken harus tergusur
oleh mekanisme demokrasi barat yang individual dengan mengagungkan one
man one vote. Itu sama saja kita menduplikasi western democracy atau
eastern democracy. Kita memang sedang menuju ke arah sana. Mungkin
kelak, Noken tinggal menjadi dongeng demokrasi untuk meriwayatkan
kepada anak cucu kita bahwa pada mulanya demokrasi asli Indonesia adalah
musyawarah untuk mufakat, bukan one man one vote.
14

Jika memang terindikasi penggelembungan suara bila melakukan pemilu


dengan sistem noken, pertanyaannya apa bukti adanya penggelembungan suara
tersebut? Jika masih menggunakan bahasa terindikasi atau berpotensi tentunya
itu hadir secara subjektifitas orang yang menganalisa persoalan tersebut, karena
Hukum di Indonesia ini membutuhkan bukti bukan dugaan, jika sistem noken
tidak diberlakukan di Indonesia maka tentu perdebatan muncul seputar jaminan
hak-hak adat yang terdapat pada UUD RI Tahun 1945 yang merupakan acuan
dari hukum-hukum yang ada dibawahnya.
Dewan
melengserkan

juri

yang

terhormat,

penggunaan

noken

daripada
yang

mencari

sudah

solusi

jelas-jelas

lain

untuk

dibutuhkan

keberadaanya. Disini kami hadir untuk menekankan penting adanya kodifikasi


undang-undang pemilu serentak nasional dan daerah untuk menyertakan
pembahasan pemilihan model Noken. Perlunya UU secara tertulis yang mengatur
keberadaan noken. Dengan demikian, tidak ada lagi pihak yang mempersoalkan
sistem pemilihan yang telah menjadi salah satu warisan budaya adat Indonesia,
khususnya masyarakat Papua tersebut.
Akhir kata, mengutip perkataan Soekarno Biarkanlah seribu kembang
tumbuh dan bersemi di Persada Nusantara ini!

Dengan demikian biarkanlah

nilai budaya lokal yakni memilih menggunakan sistem noken yang masih hidup
ini berkembang di dalam masyarakat, khususnya di daerah pedalaman Papua.
Noken merupakan sebuah kearifan lokal yang perlu diberikan ruang, tempat bagi
perkembangan demokrasi.

Speaker Kontra
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Syalom, Salam Sejahtera.
Terimakasih kepada kesempatan yang telah diberikan moderator. Selamat siang
kepada dewan juri yang terhormat, kemudian tim pro yang kami banggakan,
serta kaum intelektual muda di ruangan ini.
Perkenalkan kami dari tim kontra, saya Astrid Fatimah sebagai pembicara
pertama, Densen Handra sebagai pembicara kedua, dan Mochamad Dzaki
sebagai pembicara ketiga. Pertama-tama kami ingin berterima kasih kepada tim
pro yang sudah mencoba memaparkan argumennya mengenai topik ini, namun
disini kami hadir untuk menegaskan bahwa kami tidak setuju dengan Noken
dalam sistem pemilihan secara langsung.
Dewan Juri yang terhormat, saat ini kita tahu bahwa tidak ada aturan
perundang-undangan hitam di atas putih yang menjadi dasar hukum sistem
15

noken. Sistem Pemilu yang diatur secara nasional di Indonesia hanya ada satu,
yaitu ONE MAN ONE VOTE ONE VALUE, dan karena itu seharusnya sistem noken
tidak perlu diberlakukan. Jangan terus menerus memandang masyarakat Papua
dengan sebelah mata. Ini menyangkut HAM! dan HAK KONSTITUSIONAL WARGA!
Penggunaan sistem noken jelas bukan hanya berpotensi melanggar hak asasi,
namun juga merusak azas pemilihan umum. Jelas tidak 'luber (langsung, umum,
bebas, rahasia) dan jurdil (juur dan adil)' sebagaimana asas pemilu yang tertulis
dalam UUD 45 pasal 22E (1). Ketentuan tersebut juga disebutkan dalam UndangUndang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD. Pemilu itu individu bukan komunal. Prinsipnya tidak bisa diwakilkan oleh
siapapun.
Perlu ditegaskan kembali, kami tidak setuju dengan digunakannya sistem
Noken dan terbukti pula pelarangan sistem noken juga sudah dituangkan di
Peraturan

KPU

(PKPU).

Pada

PKPU

No

26/2013

tentang

Pemungutan,

Penghitungan dan Rekapitulasi Suara dalam Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota sudah menegaskan bahwa adalah kewajiban
penyelenggara

Pemilu

bahwa

tunduk

pada

asas

Pemilu

dan

peraturan

perundang-undangan. Berarti sudah tidak ada lagi alasan yang bisa dipakai
untuk menyelenggarakan pemilu yang bertentangan dengan asas pemilu.
Apakah baik jika para warga hanya berpangku tangan pada ketua adat
yang melakukan pemilihan? Dimana kesempatan memilih yang seharusnya
mereka punya seperti saudara-saudara mereka yang lain di seluruh Indonesia?
Tentu adanya sistem noken akan mencederai demokrasi yang seharusnya
melekat pada diri Indonesia. Kami dengan jelas mengatakan bahwa sistem noken
merupakan

sitem

pemilihan

yang

tidak

demokratis.

Mengapa?

karena

masyarakat tidak memberikan hak suara mereka secara bebas tapi malah
diwakilkan.
Lain dulang lain kaki,lain orang lain hati. Setiap orang pastinya memiliki
pendapat yang berbeda-beda antar satu dengan lainnya. Adanya sistem noken
membuat masyarakat Papua hanya membebek apa yang dipilih oleh ketua
adatnya.
Perlu diketahui bahwa di setiap negara, prinsip dari Pemilu itu sama, yakni
pelaksanaan (mekanisme) dari sistem demokrasinya. Satu kata kunci yang
terkandung dalam demokrasi, yaitu partisipasi. Semegah apapun Pemilu digelar
dengan corak paling mutakhir sekalipun, tapi kalau ia mengabaikan partisipasi

16

warga negaranya, Pemilu hanyalah sebuah seremonial politik lima tahunan


belaka, hampa tiada bermakna.
Abraham Lincoln dalam pidatonya mendefinisikan demokrasi sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hal ini berarti
kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi berada di tangan rakyat dan rakyat
memiliki hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan
pemerintahan. Demokrasi di Indonesia pun diterapkan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat. Hal ini berarti memang seharusnya setiap masyarakat
memiliki hak untuk memilih tanpa diwakilkan. Maka, sesungguhnya sudah
menjadi hak bagi masyarakat untuk terlibat dan berpatisipasi secara langsung
dalam pemilu.
Dewan juri yang terhormat, kita tahu pula bahwa penyelenggaran sistem
noken membuka pintu besar siapa yang sering bakar batu dialah yang
berkesempatan dipilih meski mayoritas pemilih tidak paham dengan maksud si
caleg, karena suara mereka diwakilkan oleh ketua suku. Ditambah lagi, dengan
sistem noken kita dapat melihat kurangnya kontrol masyarakat yang juga
membuka peluang menjadikan suara pemilih dapat dimobilisir para tetua-tetua
desa atau kepala suku sesuai kepentingan tertentu. Adapun terkait indikasi ini
bisa terjadi praktik politik uang (money politic) yang lebih besar, karena pihakpihak pendukung calon partai/presiden hanya perlu menyogok ketua adat tanpa
perlu menyogok seluruh masyarakat yang ada di Papua.
Perkataan tim pro yang menyebutkan bahwa noken adalah kebudayaan
arif lokal harus kami koreksi agar tidak sesat pikir. Sebab, sesungguhnya noken
lahir karena kecemplung ke dalam politik alias kecelakaan, bukan sesuatu yang
dirancang. Seperti tulisan dalam buku berjudul "Pilgub Papua Tidak Demokratis"
yang ditulis oleh Pares L. Wenda. Dalam tulisan itu, ia membahas bahwa Sistem
Noken bukan budaya orang pegunungan, tetapi Sistem Noken lahir sejak 1971
dari pernyataan ketua MRP Timotius Murib saat dengar pendapat di MK sebelum
putusan akhir Pilgub Papua.
Dewan juri yang terhormat, konflik dalam penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah (pilkada) dengan sistem noken di Papua yang memakan banyak
korban seperti Pilkada Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua juga seharusnya
menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk menghapuskan sistem noken. Akibat
sistem noken, bahkan konflik juga terjadi di antara suami dan istri. Bahkan,
Badan Pengawas Pemilu pun sudah turut menyoroti praktik noken di Papua dan
Papua Barat. Menurut Bawaslu, praktik tersebut tak demokratis dan rawan
17

dimanipulasi. Indikator paling sederhana, tak ada identitas penitip suara pada
ketua suku tertentu. Lebih lagi, bukti sistem noken yang tak demokratis, di
daerah pegunungan Papua hampir setiap suku mencoblos calon yang sama. "Jadi
di suku A semua coblos calon nomor urut satu, calon nomor urut dua itu nol
(tidak ada yang memilih). Logikanya kan tidak mungkin. Setiap kandidat pasti
punya tim sukses, ke mana suara mereka?
Dewan juri yang terhormat, disini kami pertegaskan bahwa, noken dalam
sistem pemilhan umum bukanlah solusi, justru sebaliknya ini adalah lampu
merah bagi Indonesia untuk segera menjalankan Sistem ONE MAN ONE
VOTE ONE VALUE di Indonesia. Pemilihan Umum baik itu Legislatif, Gubernur,
dan Bupati/Walikota merupakan amanat undang-undang yang menjadi dasar
pelaksanaannya, sehingga tatanan pemilihan yang telah ditetapkan dalam
undang-undang wajib untuk dilaksanakan. Termasuk di dalamnya pemilihan
dengan sistem yang memang sudah diatur.
Adanya noken dalam sistem pemilu secara langsung malah akan
melahirkan konflik berkepanjangan seperti halnya perkataan Reydonnyzar (Staf
Ahli Mendagri): Apabila masing-masing daerah/suku tetap mempertahankan
cara-cara kedaerahan dan kesukuannya dalam pemilu, dapat dibayangkan jika
1.127 suku yang ada di Indonesia melaksanakan sistem pemilu sesuai adatistiadatnya? Tentu saja, akan menimbulkan berbagai macam persoalan kompleks
dalam pelaksanaan pemilu. Jangan sampai di suatu daerah yang sebelumnya
tak jamak ada praktik pemilihan adat tersebut tetapi mendadak "diada-adakan"
belakangan.
Sudah 69 Indonesia Merdeka! Biarkan Papua MELEK tak berbeda dengan
bagian Indonesia lainnya dan bersetara dengan saudaranya yang lain di seluruh
Nusantara. Pemerintah juga sudah seharusnya memberikan pendidikan yang
layak

mengenai

pemilu,

sistem

dan

cara

pemungutan

suara,

sehingga

masyarakat tidak hanya mengenal cara memilih melalui adat mereka tersebut,
tetapi bisa mengikut sistem pemilihan yang telah ditetapkan secara nasional,
yakni ONE MAN ONE VOTE ONE VALUE. Kita bergerak maju dan harus dimulai
sejak dini. Kapan lagi kalau tidak mulai dari sekarang?
Pasal 28 I UUD 45

Sumber:
http://hukum.kompasiana.com/2014/08/18/sistem-noken-dan-ikat-suara-dipapua-legalkah-681030.html
18

https://bengcumenggugat.wordpress.com/2014/07/23/prabowo-menipu-tentangkecurangan-pemilu-papua/
http://nasional.kompas.com/read/2014/08/21/17470521/Sistem.Noken.dan.Demo
krasi
http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/08/21/nanody-inipenjelasan-hakim-mk-soal-sistem-noken-di-papua
http://www.jpnn.com/read/2014/08/14/251630/Sistem-Noken-Hanya-Milik-RakyatPapuahttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52fa42698ddcb/komnas-hamkhawatir-sistem-noken-dipakai-dalam-pemilu
http://politik.kompasiana.com/2014/08/19/menggugat-sistem-noken-di-papuabukti-prabowo-tidak-aspiratif-669246.htm
http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2093902/komnas-ham-sistem-nokendan-ikat-dalam-pemilu-melanggar-haml
http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/02/11/269553256/Komnas-HAM-TemuiMK-Bahas-Sistem-Noken-dan-Ikat
http://kanalsatu.com/id/post/30136/demokrasi-noken
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53eb0c81267dc/keabsahan-sistemnoken-dalam-pemilu
https://www.facebook.com/permalink.php?
story_fbid=734584346564481&id=684145541608362
http://www.komapo.org/index.php/berita/lokal/36-sospol/616-sistem-nokenmetode-rahasia-menemukan-harga-diri-dan-kepastian-hukum
http://politik.rmol.co/read/2014/08/15/167906/Soal-Sistem-Noken,-AnggotaKomnas-HAM-Melintirhttp://hukum.kompasiana.com/2014/08/06/adakah-kecurangan-pilpres-di-papua667388.html
http://yancearizona.files.wordpress.com/2010/10/konstitusionalitas-noken.pdf
http://bintangpapua.com/index.php/waropen/itemlist/tag/SISTEM%20NOKEN
http://www.komapo.org/index.php/sospol/36-sospol/584--kontroversi-peranbigman-dalam-pemilihan-sistem-noken-di-papuahttp://fh.unlam.ac.id/web/2014/02/komnas-ham-dan-mk-bahas-soal-keabsahansistem-noken-pemilu-di-papua/
http://www.beritasatu.com/nasional/202249-tim-prabowohatta-nilai-sistemnoken-cederai-demokrasi.html
19

http://www.portalkbr.com/nusantara/papua/2972185_5512.html
http://www.kompasiana.com/prokontra/?topik=Sistem-Noken-di-Pilpres-201420.html
http://nasional.kompas.com/read/2014/02/03/2304566/Komnas.HAM.Minta.KPU.d
an.Bawaslu.Tolak.Sistem.Pemilu.Noken.
http://bintangpapua.com/index.php/waropen/item/14396-sistem-noken-tak-adapayung-hukumnya
http://akreditasi-islamic-center-subang-p2k-unsub.nomor.net/_b.php?
_b=info&id=84347
http://forum.detik.com/sistem-noken-itu-apakah-sah-sebagai-bagian-dari-sistempemilu-t1002524p31.html
http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/08/13/agar-seragam-secaranasional-ahli-berharap-sistem-noken-tak-dipakai-lagi
http://beritaseru.com/sistem-noken-dianggap-langgar-hak-konstitusi-rakyatpapua.html
http://politik.kompasiana.com/2014/08/07/pilpres-belajar-noken-sesuai-pancasiladari-papua-678512.html
http://suluhpapua.com/read/2014/02/22/pemilihan-sistem-noken-harusditiadakan/

20

Anda mungkin juga menyukai