Anda di halaman 1dari 16

KLIPING CONTOH

KASUS HUKUM PERDATA


INTERNASIONAL

NAMA : IRSYAD BAWAZIR NUR

JURUSAN : FAKULTAS ILMU HUKUM

NIM : 2017.01.1.028

UNIVERSITAS MAYJEN SUNGKONO MOJOKERTO

TAHUN PELAJARAN 2019


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmatNya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah saya yang berjudul “CONTOH
KASUS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL”. Tak lupa kami juga mengucapkan
terimakasih kepada sumber-sumber literature kami ,Dan juga kami berterimakasih kepada
Bapak JUNUS, S.H., M.Hum.. selaku dosen Pembina HUKUM PERDATA
INTERNASIONAL.

Saya berharap semoga pembaca dapat memahami rumusan masalah yang saya bahas pada
makalah ini. Jika ada kekurangan atas makalah ini, saya memohon maaf, karena
kesempurnaan milik Allah SWT dan kekurangan adalah milik kita manusia.

Mojokerto, 2019

Penyusun

Irsyad Bawazir Nur


1. Perceraian Pasangan Warga Negara Afrika Selatan yang Diajukan di
Pengadilan Negeri Denpasar

Putusan Pengadilan Negeri Denpasar dibawah register Nomor 172/PdtG/2014/Pn.Dps


mengenai perceraian warga negara asing di Indonesia merupakan salah satu kasus yang
terkait dengan Hukum Perdata Internasional. Gugatan ini diajukan oleh seorang suami yang
sebut saja namanya Thomas yang merupakan Warga Negara Afrika Selatan, pemegang
Pasport No. M00096351 dan KITAS (Kartu Ijin Tinggal Terbatas) di Indonesia, yang
dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Ngurah Rai, yang saat ini beralamat di Badung Bali. Bahwa
Thomas dan Isteri nya sudah menikah sejak tanggal 12 Desember 1975 dan diterangkan
dalam Akte Perkawinan Lengkap yang telah dikeluarkan Oleh Departemen Dalam Negeri
Republik Afrika Selatan No. Q10424 pada tanggal 12 Desember 2005.

Bahwa sejak pernikahan dilangsungkan hingga sekarang mereka tidak di karuniai


seorang anak. Sudah 10 Tahun terakhir Thomas dan Isterinya sudah tidak tinggal dalam satu
rumah. Kedua pasangan suami isteri tersebut sama-sama bekerja pada bidang perhotelan
namun mereka bekerja pada hotel yang berbeda sehingga mereka harus menjalani perjalanan
ke luar negeri sendiri-sendiri yang mengakibatkan mereka jarang bertemu satu sama lain.
Karena sudah 10 Tahun berpisah dalam arti mereka sudah tidak tinggal dalam satu rumah
kemudian Thomas mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri Denpasar dimana ia
dan isterinya berdomisili sekarang dan Isterinya pun menyetujui nya.

Kasus gugatan perceraian Thomas terhadap isteri nya ini masuk dalam perkara
Hukum Perdata Internasional, karena terdapat unsur asing yaitu Thomas dan Isterinya yang
berkewarganegaraan Afrika Selatan. Dimana dalam menganalisa kasus ini yang menjadi
fokus adalah gugatan perceraian yang diajukan di Pengadilan Negeri Denpasar, Namun
perkawinan kedua pasangan ini dilangsungkan di Afrika Selatan. Dari uraian kasus diatas
kami mencoba menganalisis dengan pranata tradisional Teori Titik Taut, Teori
Kualifikasi, Lex Fori, dan Lex causae. Menurut Bayu Seto Hardjowahono (2013:84) Titik
Taut adalah fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara yang menunjukkan pertautan
antara perkara itu dengan suatu tempat tertentu, dan karena itu menciptkan relevansi antara
perkara yang bersangkutan dengan kemungkinan berlakunya sistem atau aturan hukum
intern dari tempat itu. Pertama-tama kami menentukan apa yang menjadi Titik Taut Primer
dari kasus tersebut.

Yang menjadi Titik Taut Primer dari kasus tersebut antara lain yaitu: 1)
Kewarganegaraan, karena Thomas dan isterinya mereka adalah pasangan suami isteri yang
berkewarganegaraan Afrika Selatan, 2) Domisili, Tempat tinggal tetap Thomas dan Isterinya
adalah di Bali sehingga Domisili masuk menjadi Titik Taut Primer dalam kasus ini, 3)
Tempat terjadinya perbuatan hukum, poin ke-3 ini masuk menjadi Titik Taut Primer karena
gugatan perceraian yang diajukan Thomas terhadap Isterinya diajukan di Pengadilan Negeri
Denpasar. Setelah ditentukan mana yang menjadi Titik Taut Primer kemudian kita
menentukan apa yang menjadi Titik Taut Sekunder, yang menjadi Titik Taut Sekunder adalah
Hukum Kewarganegaraan (lex patriae)karena Thomas dan Isterinya termasuk Warga Negara
Asing.

Setelah ditentukan apa yang menjadi Titik Taut Primer dan Sekunder kemudian kita
mengkualifikasi kasus tersebut dari uraian fakta hukum yang sudah dijabarkan diatas,
kategori yuridis terhadap fakta yang ditemukan menjadikan kasus ini masuk dalam
kualifikasi hukum tentang orang karena yang menjadi fokus utama nya adalah gugatan
perceraian Warga Negara Asing yang diajukan di PN Denpasar. Kemudian kami
tentukan Lex Fori dari uraian fakta hukum diatas adalah Hukum Indonesia, karena Pasal 207
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) ditegaskan bahwa,
“tuntutan untuk perceraian perkawinan, harus dimajukan kepada pengadilan negeri, yang
mana dalam daerah hukumnya, tatkala surat permintaan termaksud dalam Pasal 831
Reglemen Hukum Acara Perdata dimajukan, si suami mempunyai tempat tinggalnya, atau
dalam hal tak adanya tempat tinggal yang demikian, tempat kediaman sebenarnya.

Jika si suami pada saat tersebut tak mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman
sebenarnya di Indonesia, maka tuntutan harus dimajukan kepada Pengadilan Negeri tempat
kediaman si istri sebenarnya. Hal ini di kuatkan dengan pendapat Sudargo Gautama
(1987:224) “pada saat perkara perceraian atau hidup terpisah diajukan, haruslah salah satu
ketentuan yang terinci dibawah ini terpenuhi, yaitu Pihak tergugat mempunyai “habitual
residence” nya (domisilinya) dinegara tempat perceraian diucapkan. Setelah kita
menemukan lex fori dari kasus tersebut maka langkah selanjutnya menentukan lex
causae dari kasus tersebut menurut pasal 18 AB yang berisi “Bentuk dari tiap perbuatan
ditentukan menurut hukum dari negara atau tempat, dimana perbuatan itu dilakukan.” (locus
regit actum). Dari bunyi pasal tersebut yang merupakan Sumber Hukum Perdata Internasional
maka yang menjadi lex causae dari kasus ini adalah Hukum Indonesia.
Dari hasil analisis kasus yang bersangkutan dapat disimpulkan bahwa dalam
menyelesaikan perkara perceraian yang diajukan oleh warga negara asing di pengadilan
Indonesia dapat diselesaikan di Indonesia, dengan syarat proses peradilan tersebut sesuai
dengan hukum formil dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, Pengadilan
Negeri Denpasar memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili dalam perkara
perceraian Warga Negara Asing berdasarkan tempat tinggal tergugat (forum rei) yaitu di
Indonesia dan pertimbangan Mahkamah Agung yang mengabulkan gugatan perceraian warga
negara asing berkewarganegaraan Afrika Selatan telah sesuai prinsip-prinsip Hukum Perdata
Internasional maka hukum materil yang digunakan yaitu hukum Indonesia sebagai dasar
pemeriksaan gugatan yang diajukan oleh Penggugat.
2. Kasus Gianni Versace S.p.A melawan Sutardjo Jono.

Ringkasan Kasus Gianni Versace S.p.A melawan Sutardjo Jono.

PARA PIHAK

Para pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah Gianni Versace S.p.A,
selaku penggugat yang merupakan badan hukum yang didirikan menurut Undang-Undang
Italia dan berkedudukan di Italia. Perusahaan Gianni Versace S.p.A didirikan pada tahun
1978 oleh seorang desainer terkemuka bernama Gianni Versace. Gianni Versace S.p.A adalah
salah satu perusahaan fesyen ternama di dunia. Perusahaan ini mendesain, memproduksi dan
mendistribusikan produknya yang berupa busana, perhiasana, kosmetik, parfum dan produk
sejenis lainnya .

Pada bulan September 2000, Gianni Versace S.p.A bekerjasama dengan Sunland Group Ltd,
sebuah perusahaan terkemuka Australia membuka “Pallazo Versace”, yaitu sebuah hotel
berbintang enam yang terletak di Gold Coast Australia. Saat ini kepemilikan Versace Group
dipegang oleh keluarga Versace yang terdiri dari Allegra Beck Versace yang memiliki saham
50%, Donatella Versace yang memiliki saham 20% dan Santo Versace yang memiliki saham
sebanyak 30%.

Saat ini Santo Versace menjabat sebagai Presiden perusahaan dan Donatella Versace
merangkap sebgaai Wakil presiden dan direksi Kreasi. Giannni Versace S.p.A selaku
penggugat ini menjual produksinya ke Indonesia dan merek yang melekat pada produk-
produk milik penggugat telah dilindungi oleh hukum Indonesia.

Kemudian, pihak tergugat adalah Sutardjo Jono, seorang Warga Negara Indonesia yang
berkedudukan di Medan, yang diduga melakukan persaingan curang dalam bidang usaha
dengan melakukan peciplakan terhadap barang Gianni Versace S.p.A dan melakukan
pendaftaran merek dagang yang hampir sama dengan nama Versus versace .

Bab I Duduk Perkara ( Kasus Posisi )

Penggugat adalah pemilik yang berhak atas Merek “VERSUS”, “VERSACE”, “VERSACE
CLASSIS V2” dan “VERSUS VERSACE’, yang mana Merek-Merek tersebut telah dipakai,
dipromosikan serta terdaftar di negara asalnya Italia sejak tahun 1989 dna terdaftar pula di 30
negara lebih, sehingga Merek penggugat berdasarkan Pasal 6 ayat 1 Butir b Undang-undnag
No.15 Tahun 2001 tentang Merek dikualifikasikan sebagai Merek Terkenal, di mana Merek
yang disengketakan adalah Merek penggugat yang telah terdaftar.

Tergugat tanpa seizin penggugat telah mendaftar Merek “V2 VERSI VERSUS” yang
mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek-merek penggugat dan Merek
milik tergugat tersebut terdaftar pada Direktorat Jendrakl HAKI.

Bahwa tindakan tergugat tersebut merupakan itikad buruk yang hendak membonceng
keterkenalan Merek-Merek milik penggugat sehingga tergugat dapat menikmati keuntungan
ekonomi dengan mudah atas penjualan produksinya yang membonceng Merek
milik penggugat, atas hal ini seharusnya permohonan pendaftaran Merek
milik tergugat ditolak berdasarkan Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No.15 Tahun 2001
tentang Merek dagang .

Penjelasan duduk perkara(posisi kasus) di atas menunjukkan bahwa kasus ini merupakan
pemboncengan atas Merek Terkenal yang dilakukan oleh warga negara Indonesia secara
pribadi terhadap suatu badan hukum yang berada di Italia .

Bab II Hasil Putusan


Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarata Pusat pada kasus Gianni Versace S.p.A melawan
Sutardjo Jono mengambil penafsiran persaingan curang berdasarkan ketentuan Penjelasan
Pasal 4 Undang-Undang No.15 Tahun 2001 tentang Merek Pernyataan Majelis Hakim
Pengadilan Niaga mengenai persaingan curang adalah :

Menimbang bahwa dari Penjelasan Pasal 4 tersebut berdasarkan penafsiran a


contario,terdapat 2 elemen penting untuk menentukan adanya itikad baik yaitu :

1)Adanya niat untuk menguntungkan usaha pendaftar sekaligus merugikan pihak lain;

2)Melalui cara penyesatan konsumen atau perbuatan persaingan curang, atau menjiplak atau
menumpang ketenaran merek orang lain “

Selain pernyataan mengenai permasalahan persaingan curang, lebih jauhnya Majelis Hakim
memberikan pertimbangan mengenai tindakan penyesatan konsumen sebagai berikut:

a) Penyesatan tentang asal-usul suatu produk

b) Penyesatan karena produsen

c) Penyesatan melalui penglihatan

d) Penyesatan melalui pendengaran

dan serta memberikan putusan yang memenangkan pihak penggugat dengan bunyi putusan :

1) Menyatakan Tergugat Sutardjo Jono tersebut yang telah dipanggil dengan patut untuk
menghadap tidak hadir;

2) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya dengan Verstek;

3) Menyatakan Penggugat adalah pemilik satu-satunya yang berhak atas Merek-Merek


terkenal VERSUS, VERSUS GIANNI VERSACE, VERSACE CLASSIC V2 dan VERSUS
VERSACE di wilayah Republik Indonesia untuk membedakan hasil
produk Penggugatdengan hasil produksi pihak lain;

4) Menyatakan pendaftaran Merek Tergugat V2 VERSI VERSUS dengan nomor pendaftaran


361066 mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek-Merek terkenal VERSUS,
VERSUS GIANNI VERSACE, VERSACE CLASSIC V2 dan VERSUS VERSACE milik
Penggugat;

5) Menyatakan bahwa tindakan Tergugat mengajukan pendaftaran Merek V2 VERSI


VERSUS dengan nomor pendaftaran 361066 mengandung itikad tidak baik, karena meniru
Merek-merek terkenal milik Penggugat;

6) Menyatakan batal Merek Tergugat V2 VERSI VERSUS nomor pendaftaran 361066 dalam
Daftar Umum Merek Direktorat Jenderal HAKI dengan segala akibat hukumnya;

7) Memerintahkan Panitera untuk mengirimkan salinan Putusan ini setelah mempunyai


kekuatan hukum tetap kepada Departemen Kehakiman dan HAM cq. Direktorat Jenderal
HAKI cq. Direktorat Merek untuk pembatalan Merek dengan cara mencoret Merek V2
VERSI VERSUS nomor pendaftaran 361066 dari Daftar Umum Merek sekaligus
mengumumkannya dalam Berita Resmi Merek;

8) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 5.000,.000,- (Lima
juta rupiah)

Bab III Aspek Hukum Perdata Internasional

1)Titik Taut

Titik taut terbagi atas :

a. Titik Taut Primer adalah faktor – faktor atau kedaan yang menciptakan hubungan dalam
hukum perdata internasional yakni :

· Kewarganegaraan yang berbeda antara penggugat dan tergugat

· Tempat kediaman tergugat yang berada di Indonesia

· Tempat kedudukan badan hukum penggugat yang berada di Italia

b. Titik Taut Sekunder adalah sekumpulan fakta yang menentukan hukum mana yang dipakai
dalam suatu hubungan hukum perdata internasional yakni :

· Tempat terletaknya benda ( lex rei sitae ) yang berada di Indonesia

· Tempat dilakukanya perbuatan hukum ( lex loci actus ) dimana perbuatan perdagangan
yang terjadi di Indonesia

· Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum ( lex loci delicti commisi )yang terjadi di
Indonesia

2) Pilihan Hukum

Pilihan hukum adalah salah satu masalah pokok dalam hukum perdata internasional . dari
titik taut di atas dapat dilihat hukum mana yang harus di gunakan dalam menyelesaikan
perkara di atas adalah hukum yang berlaku di Indonesia sesuai dengan tempat terjadinya
perbuatan hukum ( lex loci actus ) dan tempat terjadinya perbuatan melawan hukum ( lex
loci delicti commisi ) karena dalam kasus diatas tidak terdapat perjanjian ( kontrak ) dengan
cara mendaftarkan gugatan pada Pengadilan Niaga yang dalanm hal ini dalam pengadilan
Niaga Jakarta Pusat .

3) Pilihan Forum

Pilihan Forum juga merupakan suatu masalah dalam hukum perdata internasional.

Masalah hukum perdata internasional dapat diselesaikan dengan dua cara yakni :

· Lembaga peradilan
· Lembaga arbitrase

Dalam kasus ini sudah jelas sekali pilihan forum yang digunakan pihak penggguat terhadap
pihak tergugat dalam perkara penciplakan merek dagang .

Pihak penggugat mendaftarkan gugatannya pada suatu badan peradilan yang berada di
Indonesia yakni peradilan niaga Jakarta Pusat .

4) Kualifikasi Dalam HPI

Kualifikasi dalam hukum perdata internasional ada dua macam yaitu :

a. Kualifikasi Fakta

ialah kulifikasi yang dilakukaun terhadap sekumpulan fakta dalam suatu peristiwa hukum
untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih perstiwa hukum berdasarkan kategori hukum dan
kaidah kiada hukum dari system hukum yang di anggap seharusnya berlaku ( lex causae ).

Pada kasus ini kualifikasi faktanya ialah adanya penciplakan barang dan merek dagang yang
dilakukan oleh Sutardjo Jono serta melakukan pendaftaran merek pada Dirjen HAKI dengan
maksud menguntungkan diri sendiri dan melakukan penyesatan terhadap konsumen atas
suatu merek dagang terkenal yang bertentangan dengan penjelasan pasal 4 undang – undang
no.15 tahun 2001 tentang merek dagang .

b. Kualifikasi Hukum

ialah penggolongan atau pembagian hukum kedalam kategori hukum yang telah ditetapkan
sebelumnya.

Pada kasus ini tidak terdapat kualifikasi hukum karena kasus ini bukan berasal dari sebuah
perjanjian .
Bab IV Kesimpulan

Dengan melihat penyelesaian kasus antara Gianni Versace S.p.A dengan Sutardjo Jono dalam
perkara persainggan dagang yang bersifat curang di peradilan niaga Jakarta Pusat
menunjukan bahwa dalam melakukan persaingan dagang harus dilakukan secara sehat tanpa
harus melakukan penciplakan terhadap suatu merek dagang yang terkenal untuk mendapatkan
keuntungan karena menimbulkan kerugian pribadi yang besar seperti dalam kasus ini .

Serta menjadi bahan pembelajaran terhadap Dierjen HAKI dalam pendaftaran merak di
indonesia seharusnya dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dan penyelidikan terlebih
dahulu.

Mengenai putusan pengadilan niaga Jakarta Pusat sudah dilakukan eksekusi terhadap putusan
tersebut sesuai dengan putusan di atas .
3. WNA Rebutan Hak Asuh Anak di Pengadilan Indonesia

Demi perlindungan dan kepentingan terbaik si anak, yurisdiksi pengadilan

dinomorduakan.

Mawar (nama samaran) dijadikan rebutan orangtuanya di meja hijau. Mawar lahir di
Jakarta enam tahun lalu. Meski lahir di Indonesia, kedua orangtuanya ekpatriat dari
Negeri Paman Sam. Karena itu pula dalam Akta Kelahiran Mawar tercatat sebagai
Warga Negara Amerika Serikat (USA).

Sejak 2000, kedua pasangan ekspatriat yang menikah di Philadelphia, USA, pada 1997
ini, tinggal di Indonesia dengan kartu izin tinggal terbatas (Kitas). Akibat
cekcok rumah tangga, pertengahan 2007 Mawar dan sang ibu mengungsi ke rumah
keluarga orangtuanya. Buntutnya, ibu Mawar, sebut saja namanya Rembulan,
mengajukan Permohonan Perlindungan dan Kuasa Asuh ke Pengadilan Negeri Jakara
Selatan.

Sebelum membawa persoalan ke meja hijau, Rembulan sempat melaporkan suaminya,


Joki (nama samaran) ke Polda Metro Jaya atas perbuatan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT). Perkaranya kini sedang berjalan di tahap penyidikan. Dalam
permohonan, Rembulan mendalilkan Joki sudah berbuat kelewat batas, mulai dari
sering mengajak bertengkar di depan Mawar, hingga mengancam hendak membunuh
Rembulan.

Dalam sidang yang berlangsung Senin (21/1) kemarin PN Jaksel mengabulkan


permohonan penetapan yang diminta Rembulan. Hakim Syafrullah Sumar menyatakan
hak asuh Mawar untuk sementara dialihkan ke Rembulan. Masih lagi ditambahi, Joki
baru bisa menemui Mawar setelah mendapat izin dari Rembulan.

Atas putusan itu, kuasa hukum Joki buru-buru bertanya, Lalu kalau pemohon tidak
mengizinkan, klien kami tidak bisa bertemu anaknya? tanya Suhendra Asido
Hutabarat dari kantor hukum Lie Hutabarat. Pak Hakim menjawab singkat, Itu nanti
dikonsultasikan dulu dengan pihak pemohon. Dipelajari dulu bunyi penetapannya.

Kontan saja, tim kuasa hukum Joki meradang. Menurut Suhendra, putusan hakim
Syafrullah telah melanggar yurisdiksi hukum negara lain. Baik Joki, Rembulan,
maupun Mawar, semuanya ekspatriat alias WNA. Hakim tidak bisa begitu saja
mengabulkan permohonan Rembulan. Hukum perdata internasional di Indonesia
menganut sistem nasionalitas, sebelum seorang WNA dengan tegas menyatakan
penundukan diri pada hukum Indonesia, maka harus diterapkan hukum nasional dari
negaranya, ujarnya.

Selain kurang definitif menyebut rentang waktu pengalihan hak asuh itu, ada yang
lebih aneh lagi menurut Suhendra. Hak asuh, ujarnya, harus diberikan setelah ada
putusan perceraian. Itu pun mestinya melalui Undang-undang No. 23/2002 tentang
Perlindungan Anak, bukan berdasar UU No. 23/2004 tentang Penghapusan KDRT.
Untuk bercerai, jelas Suhendra, pasangan ekpatriat mesti kembali ke negara yang
dulunya mengesahkan pernikahan mereka. Ini bisa dibilang hakim telah melakukan
penyelundupan hukum. Harusnya hakim menengok pada hukum yang berlaku di
negara mereka berasal, cetus Suhendra.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, pasal 32 UU Penghapusan KDRT memang


jelas menyebut kemungkinan pemberian perintah perlindungan pada korban KDRT
oleh ketua pengadilan. Perlindungan ini dapat diberikan dalam waktu paling lama satu
tahun. Jika dimohonkan, perlindungan bisa diperpanjang lagi atas penetapan
pengadilan. Sayang, dalam hal korbannya anak, UU KDRT tidak menyebut dengan
gamblang tentang pengalihan hak asuh.

Setali tiga uang dengan Joki, Sekjen Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA)
Arist Merdeka Sirait menilai hakim kurang cermat. Bermodal laporan dari pihak Joki,
Komnas PA pernah menyambangi Mawar ke sekolahnya. Dari hasil kami menanyai
Mawar dengan didampingi gurunya, kami melihat si anak saat itu dalam kondisi di
bawah tekanan. Ini mestinya diperhatikan hakim, ujar Arist dari ujung telepon.

Menurut Arist, seorang anak ibarat kertas kosong yang bisa ditulisi apapun oleh
orangtuanya. Apalagi Mawar sudah lebih dari empat bulan terpisah dari sang ayah.
Jika dalam rentang waktu itu, ibunya menggiring imaji Mawar tentang sosok ayahnya
sebagai sosok yang menakutkan, ujar Arist, Anak seumur itu ya pasti akan takut. Ia
menekankan, apa pun putusan hak asuh itu, hakim tidak bisa semena-mena
memisahkan anak dari orangtuanya.

Lain lagi fakta yang muncul di persidangan. Pak Hakim merasa tersentuh
menyaksikan Mawar yang ketakutan bak melihat hantu saat didekati ayahnya.
Peristiwa di persidangan itu, dijadikan bahan pertimbangan yang cukup kuat oleh
Syafrullah dalam mengambil putusan. ia menuliskannya dalam pertimbangan.

Lalu mengapa putusan ini tidak menunggu terlebih dulu kelanjutan proses pidana atas
KDRT yang dituduhkan pada Joki? Menurut salah satu dari tim kuasa hukum
Rembulan yang enggan disebut namanya, hak perlindungan untuk anak melalui
pengalihan pengasuhan ke tempat yang lebih aman tidak harus menunggu kelanjutan
proses pidana. Lagipula, permohonan ini sebenarnya ditujukan demi
terjaminnya anak dari perilaku kekerasan baik fisik maupun psikis. Kalau mesti
menunggu, Nanti keburu anaknya kena dampak buruk dari kekerasan, ujarnya. Atau
malah terlanjur dibunuh ayahnya gimana?

The best interest of the child

Mengenai asas nasionalitas yang dijadikan tameng Kuasa Hukum Joki, pakar hukum
perdata internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Zulfa Djoko Basuki berpendapat
berbeda. Zulfa justru menilai putusan hakim itu sudah tepat. Menurutnya, untuk
ekspatriat asal Amerika yang tinggal di Indonesia, karena hukum di negaranya
menganut paham domisili, maka hukum perdata internasional yang berlaku buat
keduanya adalah hukum domisili ia tinggal.

Dia menambahkan, hukum di negara maju rata-rata malah lebih tegas mengatur soal
perlindungan anak dan KDRT. Sehingga, menurut Zulfa, hakim tidak perlu susah-
susah melongok pada hukum negara asal WNA. Toh ujarnya, Hukum di sana saya kira
sama. Kalau dikembalikan ke sana, nanti juga malah dilakukan penunjukan kembali
(renvoi, red).

Pengabulan permohonan itu, menurutnya bisa dianggap sebagai tindakan provisi dari
hakim. Apalagi hakim sudah yakin, kedekatan si anak lebih condong pada ibunya.
Kecuali bisa dibuktikan kalau si anak memang lebih dekat dengan ayahnya, itu baru
lain lagi, ujarnya.

Dalam menyangkut perlindungan anak dari kekerasan orangtua, asas yang dianut
adalah the best interest of the child. Mana yang terbaik buat si anak saja. Kalau hakim
menyaksikan sendiri si anak ketakutan pada ayahnya, cara melindungi si anak ya
dengan mengalihkan hak asuh pada orangtua yang lebih dekat dengan si anak. Saya
kira itu sudah tepat.
Malahan, di sejumlah negara, imbuhnya, jika perbuatan KDRT telah terbukti sah dan
meyakinkan, bukan cuma hak asuh saja yang dialihkan ke salah satu pihak, tapi pelaku
kekerasan itu bahkan bisa dihukum dengan pemangkasan habis hak kunjung
terhadap anaknya. Namun dalam putusan seperti ini, Zulfa menyarankan agar hakim
lebih banyak mengkaitkannya pada aturan normatif yang ada, seperti UU
Perlindungan Anak atau konvensi-konvensi internasional tentang perlindungan anak.

Namun Suhendra menilai lain. Jika memang pertimbangan pengalihan hak asuh anak
didasari KDRT, Dimana letak kekerasannya, toh tidak terbukti. Hasil visum et
repertum si anak yang dikeluarkan RS Jakarta tertanggal 23 September 2007 yang
dijadikan bukti oleh pemohon hanya menyebut nyeri, ujar Hendra. Mestinya
dibuktikan dulu terjadinya KDRT. Ini kan sama saja penculikan hak asuh anak atas
nama KDRT yang tidak dibuktikan. Ini preseden buruk, pungkasnya.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18394/wna-
rebutan-hak-asuh-anak-di-pengadilan-indonesia
https://www.kompasiana.com/dhikmaheradika/566470912c7a61b
906d0d5fb/perceraian-pasangan-warga-negara-afrika-selatan-
yang-diajukan-di-pengadilan-negeri-denpasar
http://tommyregar.blogspot.com/2011/11/kasus-gianni-versace-
spa-melawan.html

Anda mungkin juga menyukai