Npm : B1A019410
Pasal 1 Angka 9 (dari UU No. 51 Tahun 2009) yang berbunyi “Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Isinya sebenarnya sama dengan Pasal 1 Angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, tetapi karena UU
No. 5 Tahun 1986 sudah dirubah, maka yang digunakan adalah UU No. 51 Tahun 2009. Pasal I
Angka 9 (dari UU No. 51 Tahun 2009), sebenarnya adalah definisi KTUN, yaitu suatu
penetapan, terdapat 6 unsur didalamnya salah satunya yaitu penetapan tertulis, dibuat oleh badan
atau pejabat TUN yang merupakan tindakan tata usaha negara yang bersifat konkret individual,
selanjutnya final yang mempunyai akibat hukum terhadap seseorang atau badan hukum perdata.
Rumusan seperti itu perlu dibuat karena jika hanya membaca Pasal 1 Angka 9 itu tidak
cukup, artinya tidak semua. Tidak hanya dimaksudkan sebagaimana Pasal 1 Angka 9 itulah
sebabnya perlu ditambah pasal 3. Pasal 1 Angka 9 sebenarnya KTUN nya ada, KTUNnya dapat
diterima, yaitu suatu perbuatan yang melahirkan sesuatu atau mengeluarkan sesuatu.
Ditambah (+)
Pasal 3 UU No. 5 tahun 1986, merupakan KTUN yang tidak dikeluarkan, yaitu suatu
perbuatan fiktif negatif artinya bahwa pejabat TUN sebenarnya tidak melakukan perbuatan, tidak
menerima SK, tapi disisi lain hal itu menjadi kewajibannya untuk melakukannya, karena
kewajibannya dia dianggap menjadi lalai, sehingga kelalaiannya merupakan suatu perbuatan
hukum, KTUN yang seperti itulah yang disebut dengan KTUN yang fiktif negatif.
KTUN fiktif negatif adalah KTUN yang dianggap ada sebenarnya, secara lahiriah dia
tidak ada, tetapi secara hukum telah dianggap mengeluarkan KTUN. Sama dengan pasal 53 UU
No. 30 Tahun 2014. Yang telah diganti dengan UU No. 11 Tahun 2020 itu telah dianggap
mengeluarkan KTUN.
Perbedaan keduanya yaitu :
Kalau di UU No. 5 Tahun 1986, KTUNnya dikualifikasi menolak, jadi akibat hukumnya
menolak kualifikasinya,
Kalau UU No. 30 Tahun 2014 (yang diubah menjadi UU No. 11 Tahun 2020), dianggap
mengabulkan. Jika dilihat dari sisi hukum acara, maka konsekuensi hukumnya yaitu
apabila KTUN itu didasarkan pada pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 yang digunakan adalah
gugatan.
Apabila suatu sengketa didasarkan pada pasal 53 UU No. 3 Tahun 2014 (yang telah
dirubah dalam (pasal 175 Angka 6 UU No. 11 Tahun 2020) maka instrumen yang
digunakan adalah permohonan.
Perbedaan lainnya yaitu kalau di Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 itu waktunya 4 bulan.
Ditambah (+)
Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014 itu waktunya 10 hari, sedangkan dalam pasal 175
Angka 6 No. 11 Tahun 2020 itu waktunya menjadi 5 hari. Maka yang digunakan UU Cipta
kerja saja. Maka dapat diartikan hal itu mempercepat proses reportasenya.
Ditambah (+)
Pasal 21 UU No. 30 Tahun 2014, kalau diPasal 1 Angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 itu
dikualifikasi KTUN yang extern. Tapi dengan dikeluarkannya UU N0. 30 Tahun 2014
sebagaimana pada Pasal 21 itu bukan hanya KTUN extern yang menjadi objek sengketa TUN
tetapi juga KTUN yang intern. KTUN yang intern adalah KTUN yang keberlakuannya juga
didalam kekuasaan pemerintahan dalam arti sempit.
Itu merupakan perubahan dari UU No. 5 Tahun 1986 dengan keluarnya UU No. 30
Tahun 2014. Kompetensi PTUN yang semula di UU No. 5 Tahun 1986 hanya KTUN yang
extern, tapi dengan adanya pasal 21 UU No. 30 Tahun 2014 termasuk juga KTUN yang intern.
Perbedaannya yakni kalau KTUN yang extern sebagaimana pada Pasal 1 Angka 9 UU No. 51
Tahun 2009 itu gugatan, tapi pada Pasal 21 UU No. 30 Tahun 2014 instrumen yang digunakan
yaitu permohonan.
Ditambah (+)
Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014, terjadi perubahan lagi di UU No. 5 Tahun 1986 yang
telah dirubah menjadi UU No. 51 tahun 2009 Pada pasal 1 angka 9 ada perubahan lagi. Itulah
yang dikatakan pergeseran-pergeseran kewenangan, banyaknya pasal-pasal menunjukkan adanya
pergeseran kewenangan atau terjadi penambahan atau pengurangan PTUN.
a) Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual, Maka dikata “penetapan tertulis”
sebagaimana dipasal 1 angka 9 itu harus dimaknai sebagai pembuktian. Bukan suatu
keharusan harus ada penetapan tertulisnya, tetapi penetapan tertulis hanya untuk
mempermudah pembuktian. Karena apa bila menggunakan penetapan tertulis maka
dikandung maksud punya bentuk, jika mempunyai bentuk maka akan mempunyai susunan.
Maka kalau ingin menterjemahkan penetapan tertulis maka harus ada konsideral dan ada
petitumnya.
Kata “penetapan tertulis” bukan dimaknai dalam arti bentuk, artinya kata penetapan
tertulis juga bisa dimaknai sebagai kata memo. Kata memo tidak mempunyai bentuk
sebenarnya, dia tidak ada konsideral dan tidak ada petitumnya. Tapi kata memo bisa
mempunyai akibat hukum, bisa merubah hubungan hukum, merubah hubungan hukum itu
menimbulkan perubahan hak dan kewajiban, perubahn hak dan kewajiban bisa menimbulkan
kerugian atau keuntugan, dan apa bila menimbulkan kerugian maka itu menjadi objek
sengketa TUN.
Maka penetapan tertulis bukan dilihat dari segi bentuk. Tapi harus dimaknai bahwa
penetapan tertulis hanya mempermudah pembuktian. Karena didalam Peraturan Mahkamah
Agung, surat edaran Mahkamah Agung, gugatan sebagaimana dimaksud pasal 56 harus
melampirkan objek sengketa. Melampirkan objek sengketa hanya mempermudah pembuktian
saja bukan menjadi syarat formal.
Di UU No. 5 Tahun 1986 itu yang bisa digugat hanya perbuatan yang sifatnya
KTUN, hanya suatu perbuatan yang dilahirkan melalui instrumen KTUN. Tapi dengan
keluarnya UU No. 30 Tahun 2014 perbuatan konret juga termasuk. Misalnya membongkar
lapak-lapak penjualan disekitaran jalanan, tanpa ada surat peringatan, maka pembongkaran
menjadi objek sengketa TUN. Sebelum UU No. 30 Tahun 2014, pembongkaran atau
peristiwa-peristiwa hukum lainnya seperti itu menjadi kewenangan peradilan umum, tetapi
dengan keluarnya UU No. 30 Tahun 2014 sebagaimana pada pasal 87 sekarang menjadi
kompetensi PTUN.
Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 merupakan perubahan dari UU No. 5 Tahun 1986
khususnya mengenai pasal 1 angka 9 itu lebih kepada KTUN. Tetapi dengan keluarnya pasal
87 itu bukan saja KTUN tetapi juga merupakan berbuatan konkret, jadi perbuatannnya
langsung melakukan suatu aksi. Misalnya contoh yang sebelumnya tadi, sebenarnya secara
prosedur didahului oleh peringatan-peringatan (surat perintah pembongkaran). Tetapi
adakalanya tiba-tiba langsung dibongkar, maka pembongkaran itu semula menjadi
kompetensi peradian umum, tetapi setelah dikeluarkannya UU No. 30 Tahun 2014 itu
menjadi kompetensi peradilan TUN , artinya bukan hanya KTUN tetapi juga termasuk
perbuatan konkretnya.
b) Pasal 4 UU No. 30 Tahun 2014 jo Pasal 87 Huruf B UU No. 30 Tahun 2014, menunjukkan
Ruang lingkup hukum administrasi adalah keseluruhan kekuasaan diluar kekuasaan legislatif
dan yudikatif. Hal tersebut sebenarnya menggunakan teori residu dari Van VollenHoven
yang teorinya adalah bahwa ruang lingkup hukum administrasi adalah keseluruhan
kekuasaan diluar kekuasaan legislatif dan yudikatif. Alasan mengapa menggunakan teori
residu adalah karena kekuasaan legislatif dan yudikatif itu telah limitatif. Sedangkan ruang
lingkup Hukum Administrasi itu tidak bisa dirinci, karena tidak bisa dirinci maka
digunakanlah teori negatif.
Jadi segala sesuatu yang tidak termasuk kekuasaan legislatif dan yudikatif itu
semuanya menjadi kekuasaan pemerintahan dalam arti sempit atau menjadi ruang lingkup
hukum administrasi dan itulah yang akan menjadi objek sengketa TUN. Walaupun tidak
semua yang dipelajari dalam Hukum Administrasi Negara itu belum tentu menjadi
kompetensi PTUN tetapi hanya kompetensi dalam rangka melaksanakan fungsi pemerintahan
dalam arti sempit yang mengeluarkan KTUN itu yang menjadi kompetensi PTUN.
Jadi pasal 4 menggunakan teori residu dari Van Vollenhoven tetapi disitu karena
masih ada kata lingkungan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) artinya masih ada kata
“lingkungan” disana, padahal teori residu menyatakan keseluruhan kekuasaan diluar
kekuasaan legislatif dan yudikatif.
Jadi kata “lingkungan” jangan dipahami menjadi kekuasaan, sebenarnya pasal 4 dan
pasal 87 huruf B itu mengacu pada teori montesquieu. Tetapi untuk menjelaskan kenapa
memalui teori Van Vollenhoven. Padahal teori Van Vollenhoven memakai teori catur praja
mengenai pembagian kekuasaan. Pergeserannya terjadi di pengertian Montesquieu terhadap
kekuasaan eksekutif itu hanya pelaksanaan UU. Maka teori Montesquieu itu sebenarnya
pemisahan kekuasaan, Jadi bukan pemisahan kekuasaan.
Negara Hukum klasik itu memahami hukum sebagaimana adanya, karena fungsi
Negara hanya menjaga keamanan masyarakat, sedangkan negara hukum modern bukan
hanya menjaga kemanan, tetapi juga memberikan kesejahteraan pada rakyat.
Hukum Administrasi diberikan kebebasan untuk menterjemahkan kekosongan dari
hukum. Dengan kata lain tidak boleh tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa peraturan
perundang-undangan tidak cukup untuk itu. Jadi, ketidakjelasan dan ketidakcukupan
peraturan perundang-undangan mengakibatkan Hukum Administrasi diberikan kewenangan
yang luar biasa yang biasa disebut dengan Freis Ermessen. Maka kewenangan yang luar
biasa itu menafsirkan bahwa peraturan perundang-undangan tidak bisa dengan LetterRecht,
tetapi harus ditafsirkan sesuai dengan tujuan dilahirkannya UU itu ( untuk memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat).
Tetapi disisi lain penjabat TUN tidak boleh melanggar peraturan perundang-
undangan. Itulah yang melahirkan diskresi, yang melahirkan Freis Ermessen yang bisa
melahirkan diskresi. Diskresi itu lahir apabila (pasal 22 UU No. 30 Tahun 2014, (1) Diskresi
hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang. (2) setiap penggunaa
Diskresi Pejabat Pemeritahan bertujuan untuk: a. melancarkan penyelenggaraan
pemerintahan, b. mengisi kekosongan hukum, c. memberikan kepastian hukum, d.mengatasi
stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum),
peraturan perundang-undangan tidak cukup jelas mengaturnya. Peraturan perundang-
undangan samar-samar mengaturnya, maka peraturan yang demikian tidak bisa menjadi
sebab untuk menyatakan tidak melakukan penyelenggaraan pemerintahan.
Maka kata lingkungan jangan diterjemahkan menjadi kekuasaan tapi diartikan
menjadi badan. Jika dibaca kekuasaan maka bertentangan dengan teori residu Van
Vollenhoven. Lembaga eksekutif menjadi DPR, lembaga yudikatif menjadi Pengadilan.
Kekuasaan pemerintahan yang ada di DPR tidak semuanya melahirkan UU. Penyelenggaraan
pemerintahan dipengadilan tidak semuanya melahirkan vonis. Maka perbuatan ketua
pengadilan bukan hanya mengenai mengeluarkan putusan, bukan hanya mengeluarkan vonis,
tetapi ketua juga mengeluarkan KTUN. Sehingga apabila ketua mengeluarkan KTUN itu
bukan rangka melaksanakan kekuasaan yudikatif, tetapi ketua pengadilan dalam rangka
pelaksanaan tindakan-tindakan administratif.
Contohnya: ketua pengadilan menghukum hakimnya turun 1 tingkat pangkatnya
selama 3 tahun, kerena hakimnya melanggar PP No. 53 Tahun 2010 tentang disiplin PNS.
Karena hakim disamping sebagai pejabat negara juga sebagai PNS. Maka PNS tunduk juga
pada PP No. 53 Tahun 2010 tentang disiplin PNS. Maka penurunan pangkat hakim tersebut
karena melanggar UU tentang disiplin pegawai PNS. Hak itu tidak dikualifikasi sebagai
vonis, tapi dikualifikasi sebagai KTUN.
Kerena KTUN itu maka perbuatan hakim dalam penurunan pangkatnya dapat digugat
di PTUN. Secara garis besar pengadilan itu sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif. Oleh
karena itu, jangan diterjemahkan kata lingkungan tadi menjadi kekuasaan yudikatif, tapi
cukup diterjemahkan menjadi pengadilan. Maka ketika dipengadilan gunakan teori residu,
maka objek kajian Hukum Administrasi adalah keseluruhan kekuasaan diluar kekuasaan
yudikatif.
Perbuatan-perbuatan dipengadilan yang tidak termasuk vonis sebenarnya ada banyak,
misalnya: mengangkat pegawai, mengangkat hakim, memberhentikan hakim,
mempensiunkan hakim, memberikan sanksi administratif kepada hakim, itu semua bukan
proses dalam rangkas melaksanakan kekuasaan yudikatif tapi itu dalam rangka melaksanakan
urusan pemerintahan dalam arti sempit diluar kekuasaan yudikatif. Contoh dari
penyelenggaraan negara lainnya yakni Bpjs, lembaga-lemabaga yang sebagai komisi, komisi
pemilhan umum, KPK, Bawanslu.
Pasal 1 angka 9 dari UU No. 51 Tahun 2009 yang berbunyi “ Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang
berisi tindaka hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata.
Sehingga makna dari arti lebih luas dapat dipahami dalam (pasal 63-69 UU No. 30
Tahun 2014), maka disitu termasuk bagian ke- empat yang mengatur mengenai perubahan,
pencabutan, penundaan dan pembatalan keputusan, itu semua merupakan isi pasal 63-69
tersebut. Maka perubahan, pencabutan, penundaan dan pembatalan itu diberikan
kewenangan oleh pejabat atasan.
Pasal 64 ayat (3) bagian B UU No. 30 Tahun 2014 yang berbunyi “oleh atasan
pejabat yang menetapkan keputusan”. Kalau KTUN itu dicabut oleh atasan maka KTUN
yang terdahulu termasuk menjadi KTUN final yang dikualifikasi menjadi diperluas.
Sehingga bisa saja objek sengketanya menjadi 2 (yakni 1. Pencabutan yang dilakukan oleh
pejabat yang semula. 2. Dilakukan pencabutan, perubahan pembatasan oleh atasan). Tapi
tidak termasuk oleh perintah pengadilan.
Jadi, pengertian final yang diperluas itu maksudnya adalah bahwa KTUN yang
digugat itu bukan hanya KTUN yang awal atau pertama tetapi juga KTUN yang dikeluarkan
oleh atasan sebagai pelaksanaan dari pengawasan terhadap bawahannya, maka tergugat
kemungkinan dilakukan pencabutan, dilakukan perubahan, dilakukan penundaan, bahkan
dilakukan pembatalan.
Pada pasal 54 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986, apabila tergugat lebih dari satu
badan atau pejabat TUN dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan,
gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
salah satu badan atau pejabat TUN.
Ternyata menurut PP No. 11 Tahun 2017 sebagai pelaksana dari UU No. 5 Tahun
2014 bahwa PP No. 53 Tahun 2010 itu tidak dikualifikasi bertentangan, bahkan tidak
dicabut dengan kata lain diberlakukan. Ada banyak PP yang dicabut oleh PP No. 11 Tahun
2017. Tetapi salah satu yang tidak dicabut yakni PP No. 53 Tahun 2010. Sehingga, PP No.
53 Tahun 2010 itu bisa dikualifikasi sebagai pelaksana UU No. 5 Tahun 2014.
Dikurangi (-), arti minus ini yakni walaupun sudah termasuk kedalam rumus yang terdahulu
kalau itu melanggar pasal 2 dan pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986 maka itu tidak termasuk objek
sengketa TUN.
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini:
Dalam Pasal 1 Angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 disebutkan bahwa “perbuatan Tindakan
Tata Usaha Negara”, maka “perbuatan hukum perdata” tidak perlu disebutkan lagi. Mata
tentu yang berisi perdata tidak dimasukkan lagi.
Dalam Pasal 1 Angka 9 terdapat kata “Individual” yang sebenarnya telah menganulir
Huruf b. karena di pasal 1 angka 9 itu seudah disebutkan yang “Individual” maka yang
bersifat umum tentu tidak termasuk.
Dalam Pasal 1 Angka 9 terdapat kata “final” yang sebenarnya telah menganulir Huruf c
yang menyatakan “persetujuan”. Jadi yang namanya memerlukan persetujuan sebenarnya
belum final, kerna belum final otomatis tidak termasuk KTUN.
adanya UU TNI maka polisi tidak masuk lagi menjadi TNI, artinya polisi telah
dikeluarkan dari TNI. Oleh karena itu Pasal 2 Huruf f mengenai ABRI itu talah dikurangi
POLRI. Jika semula KTUN yang lahir dilingkungan ABRI menjadi kompetensi peradilan
militer, maka sekarang karena polisi telah dikeluarkan dari TNI maka Kepolisian menjadi
kompetensi PTUN. Jadi kompetensi yang lahir dari kepolisian dalam penyelenggaraan
administrasi kepolisian menjadi objek sengeketa TUN.
Tetapi kalau KTUN yang lahir dari proses penyelidikan atau penyidikan (karna masuk
dalam pidana) maka bukan menjadi kompetensi PTUN.
Yang dimaksud dengan Ruang Lingkup hukum administrasi adalah keseluruhan diluar
legislatif dan yudikatif. Hasil pemeriksaan badan peradilan juga merupakan kompetensi
PTUN. KTUN yang lahir dari administrasi kepolisian (kaitkan dengan teori residu)
bahwa dikepolisian itu ada fungsi administratif dan fungsi yudikatif. Jadi fungsi
penyelidikan dan penyidikan dikepolisian termasuk fungsi yudikatif sebagaimana
dimaksud oleh Montesquieu, maka tidak menjadi kompetensi PTUN sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 tadi. Kerena dipasal 2 sudah dijelaskan bahwa dalam rangka
proses pidana bukan kompetensi PTUN, sebagaimana disebutkan pada pasal 2 huruf d
dan e.
Salah satu UU yang mencabut pasal 2 huruf g yakni UU tentang Pemilu, UU tentang
Pilkada, UU Pemilihan Presiden, UU tentang Mahkamah Konstitusi.
Khususnya megenai selisih perhitungan suara, tetapi tidak semua KTUN penyelenggaraan
Pemilu tidak merupakan kompetensi PTUN.
perselisihan pemilu administratif yang bukan perselisihan perhitungan suara tetap menjadi
kompetensi PTUN.
Jadi KTUN dari penyelenggaraan pemilu, sebagian menjadi kompetensi PTUN, kecuali
penyelenggaraan pemilu yang mengenai selisih perhitungan suara yang menjadi kompetensi
Mahkamah Konstitusi.
Karena selisih perhitungan suara instrumennya juga KTUN. Jadi dipenyelenggaraan pemilu ada
banyak KTUN, misalnya KTUN yang menyatakan bahwa calon tidak memenuhi syarat.
Jadi intinya, Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986 tidak perlu ada dan tidak perlu diperhatikan lagi.
Artinya bahwa di Pasal 2 ada banyak kewenangan PTUN yang secara akademik seharusnya
kewenangan PTUN tetapi secara Normatif diberikan kepada peradilan lain.
Dikurangi (-)
Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986, yang berisi: Pengadilan tidak berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang
disengketakan itu dikeluarkan :
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa
yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Sebenarnya termasuk KTUN tetapi karena dibuat dalam kondisi perang, bencana, maka
disitu terdapat kedaruratan. Maka kedaruratan menjadi dasar untuk mengkualifikasi bahwa
KTUN itu bukan kompetesi PTUN. Kerena secara garis besar bahwa UU No. 5 Tahun 1986 itu
sebenarnya melindungi hak-hak individu.
Secara garis besar tujuan yang hakiki peradilan TUN untuk melindungi masyarakat dari
perbuatan semena-mena yang dilakukan badan atau pejabat TUN. Oleh karena itu peradilan
TUN lebih melindungi hak-hak individual. Tetapi karena pancasila lebih melindungi
kepentingan umum dari pada kepentingan individual, maka kepentingan individual dikalahkan
oeh kepentingan umum.
Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986, yang berisi: Gugatan dapat diajukan dalam teggang
waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Meskipun sudah masuk kedalam rumus-rumus. Kalau itu digugat telah lewat 90 hari
maka itu tidak menjadi kompetensi PTUN. Cara menghitung 90 hari yaitu sejak diterimanya atau
diumumkannya. Jadi kalau peraturan perundang-undangannya mengatur bahwa KTUN itu harus
diterimakan maka daya mengikatnya sejak diterimanya (Perhatikan Pasal 50-61).
Oleh karena itu walaupun sudah ditandatangani sejak 1 tahun yang lalu, tapi kalau
diterimanya baru hari ini, maka hari ini waktu untuk memulai menghitung 90 hari, supaya
adanya kepastian hukum. Kalau sejak ditandatangani itu pura-pura lupa akhirnya lewat 90 hari.
Akhirnya kepentingan kita tidak bisa dilindungi. Oleh karena itu kepstian hukumnya sejak
diterimanya.
Jadi daya mengikatnya itu bukan semenjak dikeluarkannya KTUN tetapi semenjak
diterimanya atau diumumkannya. Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 harus memperhatikan Pasal
57-62 UU No. 30 Tahun 2014 untuk memahami berlakunya atau mengikatnya suatu keputusan.
Kalau hanya memahami Pasal 55 ada 2 tolak ukur yang digunakan unuk menghitung 90
hari yaitu sejak diterima dan sejak diumumkannya. Contoh: seseorang mengajukan pembentukan
badan hukum, maka izin badan hukum itu dari menteri hukum dan HAM yang diumumkan
dalam tambahan lembaran negara. Maka pengumuman tambahan lembaran negara menjadi tolak
ukur untuk menghitung 90 hari.
Pihak ke-Tiga yang tidak dikenai KTUN itu dapat dilihat dalam surat edaran Mahkamah
Agung No. 1 Tahun 1991, mengatur ada tambahan lagi yaitu terhadap pihak ke-Tiga yang
dikenai oleh KTUN, itu menghitungnya sejak diketahuinya kerugian itu. Sehingga apabila kita
dirugikan akibat dikeluarkannya KTUN. Misalnya Tanah si A disertifikatkan Oleh si B, sejak
kapan si A mengetahui bahwa tanahnya telah disertifikatkan oleh si B, maka sejak itulah
menghitung 90 hari.
KTUN baru mengikat sejak diterimanya, oleh karena itu harus ada tanda terima atau
pembuktiannya. Sehingga apabila menerima KTUN itu ditandatangani tanda terimanya
sedangkan kalau memberi KTUN (sebagai pegawai) memberikan tanda terimanya.
Karena dengan tanda terima itulah bisa mulai menghitung daluwarsanya.
sejak diumumkannya, KTUN yang merupakan pengumuman, misalnya mendirikan suatu
PT, itu harus diumumkan dalam tambahan lembaran Negara. Maka pengumuman
Tmabahan Lembaran Negara itu menjadi tolak ukur untuk menghitung berlakunya 90
hari, sebagaimana dimaksud dalam pasal 55.
sejak diketahuinya (perhatikan SEMA No. 1 Tahun 1991 dari Mahkamah Agung).
Dikurangi (-)
Pasal 75-79 UU No. 30 Tahun 2014, Yaitu upaya administratif ada 2 yaitu keberatan
dan banding. Sebenarnya ini sudah KTUN, tetapi kalau peraturan perundang-undangannya
mengatur bahwa ada meyediakan upaya administratif, maka harus dilalui dulu upaya
administratif itu. Upaya administratif adalah keberatan dan banding.
Bila dibandingkan dengan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986, Upaya administratif itu ialah
yang sebut dalam Pasal 75 UU No. 30 Tahun 2014.
Yang membedakan Pasal 48 dengan pasal 75 yaitu kalau dipasal 75 tetap menjadi
kompetensi TUN tingkat pertama (Baca pasal 1 angka 18 UU No. 30 Tahun 2014). Jadi
melaksanakan pasal 75 itu untuk yang keberatan pasal 76 ayat 3 untuk menjelaskannya.
Jadi gugatannya kepengadilan (pasal 1 angka 18 UU No. 30 Tahun 2014). Kalau pasal 48
UU No. 5 Tahun 1986 tadi harus dibaca (pasal 51 UU No. 5 Tahun 1986). Jadi kalau UU No. 5
Tahun 1986 kewenangan nya menjadi setelah ditempuh upaya keberatan dan banding, maka
perlindungan selanjutnya itu diajukan ke Pengadilan Tinggi TUN. Kalau UU No. 30
penyelesaiannya ke pengadilan TUN Tingkat Pertama.
Dengan keluarnya UU No. 1 tentang pengadilan hubungan industrial yang lahir dari UU
Ketenagakerjaan maka semula itu menjadi kompetensi peradilan TUN. Tetapi dengan keluarnya
UU tentang pengadilan hubungan industrial maka itu sudah menjadi kompetensi peradilan
umum. Sehingga terjadi pengurangan kompetensi Peradilan TUN dengan keluarnya UU pajak
atau keluarnya pengadilan pajak (keluar dari Pengadilan TUN).
UU Peradilan Pajak UU No. 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak, UU No. 2 Tahun
2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yang semula menjadi kompetensi
PTUN maka itu tidak lagi menjadi kopetensi PTUN tetapi menjadi kompetensi peradilan umum
kamar pengadilan industrial.