Anda di halaman 1dari 7

Bank Tanah sebagai Alternatif Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum*

Sudah menjadi suatu keniscayaan bahwa pembangunan memerlukan ketersediaan tanah dalam skala
yang luas. Namun semakin hari semakin sulit memperoleh tanah. Akibatnya, harga tanah melonjak
tinggi dan pemerintah mengalami kesulitan dalam memperoleh tanah bagi keperluan pembangunan
untuk kepentingan umum. Kondisi ini menimbulkan gagasan pendirian bank tanah di Indonesia pada
awal tahun 1980-an. Ide ini kemudian bergulir namun belum pernah secara serius dilaksanakan.
Barulah pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019,
pemerintah secara tegas menetapkan perlunya pendirian bank tanah di Indonesia. Bahkan
pemerintah telah menetapkan salah satu quick wins pada tahun 2015 berupa penerbitan Keputusan
Presiden tentang Bank Tanah

Landasan Filosofis Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

Pengalokasian sumberdaya tidak dapat sepenuhnya mengandalkan sistem ekonomi pasar, terutama
jika menyangkut barang publik. Pemerintah diharapkan menangani 3 (tiga) cabang fungsi terkait
penggunaan anggaran belanja pemerintah (Musgrave dan Peackok, 1958, Stiglitz, 1999 dalam Kajian
Alternatif Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Direktorat Perkotaan, Tata Ruang dan Pertanahan
Bappenas, 2007), yaitu (i) fungsi stabilisasi ekonomi makro menyangkut tingkat kesempatan kerja dan
stabilitas harga; (ii) fungsi redistribusi pendapatan, menyangkut pemerataan kesejahteraan berupa
penyediaan subsidi; (iii) fungsi alokasi sumberdaya, menyangkut pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya terkait hajat hidup orang banyak oleh pemerintah. Fungsi redistribusi pendapatan dan
alokasi sumberdaya menjadi landasan penyediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum.

Ko stitusi telah e ga a atka ah a u i, air da kekayaa ala ya g terka dung di dalamnya


dikuasai oleh negara untuk dipergunakan sebesar- esar ya ke ak ura rakyat . Arti ya,
kepentingan bersama lebih utama dibanding kepentingan perseorangan. Selanjutnya, amanat ini
diterjemahkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA Tahun 1960)
khususnya pada pasal 2 ayat (1) kewenangan negara menyangkut tanah meliputi (a) mengatur
persediaan, penggunaan, peruntukan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; (b) menentukan
dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang mengenai bumi, air dan ruang angkasa; (c)
menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai
bumi, air dan ruang angkasa. Terkait aspek penguasaan dan pemilikan tanah, kegiatannya meliputi (i)
perlindungan dan pemberian peluang yang sama bagi setiap warga negara Indonesia untuk memiliki
tanah sebagai sumber kehidupan secara wajar; (ii) pencegahan penguasaan tanah secara berlebihan;
(iii) mewujudkan terselenggaranya pemerataan peningkatan taraf hidup masyarakat golongan
ekonomi lemah; (iv) mewujudkan terselenggaranya pemerataan penguasaan pemilikan dan
pemanfaatan tanah.

Pemahaman Bank Tanah

Saat ini istilah Bank Tanah sudah lazim didengar, walaupun ditengarai belum dipahami dengan baik.
Pemahaman yang baik terhadap istilah Bank Tanah menjadi suatu keniscayaan mempertimbangkan
salah satu program prioritas pemerintah yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019 adalah Bank Tanah.
Pentingnya Bank Tanah didasarkan pada fenomena terkendalanya pelaksanaan pembangunan
infrastruktur untuk kepentingan umum. Sudah menjadi keseharian kita mendengar berita terhambat
atau bahkan terhentinya proyek pembangunan untuk kepentingan umum disebabkan oleh sulitnya
proses pembebasan tanah. Bank Tanah adalah suatu lembaga yang menyediakan tanah untuk
keperluan pembangunan, sekaligus bertindak selaku pengendali harga tanah. Bank Tanah adalah
Badan Usaha yang tidak semata-mata mencari untung tetapi lebih bersifat pengelola pertanahan dari
segi pengendalian harga tanah dan mendukung pelaksanaan Rencana Tata Ruang.

Dengan demikian, Bank Tanah mendukung tugas pemerintah dalam pengelolaan, penyediaan dan
pengendalian harga tanah. Limbong (2013) menegaskan Bank Tanah merupakan sarana manejemen
tanah dalam rangka pemanfaatan dan penggunaan tanah menjadi lebih produktif. Sebagaimana
iasa ya, defi isi suatu istilah selalu eraga . De ikia pula hal ya de ga Ba k Ta ah. Pe ahaman
lain oleh UNESCAP (1993) bahwa Bank Tanah memungkinkan pemerintah memiliki tanah jauh hari
sebelum dibutuhkan. Manfaatnya adalah harga tanah yang murah dan memungkinkan sebagai alat
mempengaruhi pola pengembangan suatu daerah.

Lebih jauh, dikenali Bank Tanah setidaknya mempunyai beberapa kegiatan utama yaitu (i) membeli
ta ah, ii e ata gka ta ah aik se ara fisik aupu ad i istrasi; iii e jual kapli g ta ah siap
bangun kepada yang membutuhkan; (iv) mengadministrasikan jual beli tanah sesuai dengan
ketentuan. Van Dijk (2006) menjelaskan kegiatan bank tanah dapat berupa pengambilalihan tanah
secara sistematis yang biasanya dalam skala luas, dan tanah tersebut akan dimanfaatkan di masa
datang untuk melaksanakan kebijakan pertanahan.

Dalam konteks Indonesia, tujuan umum Bank Tanah setidaknya mencakup (i) menjamin terwujudnya
rumusan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yaitu bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat ; (ii) sebagai instrumen
pelaksanaan berbagai kebijakan pertanahan dan mendukung pengembangan wilayah; (iii)
mengendalikan pengadaan, penguasaan dan pemanfaatan tanah secara adil dan wajar dalam
melaksanakan pembangunan. Fungsi Bank Tanah meliputi (i) penghimpun tanah (land keeper) berupa
inventarisasi dan pengembangan basis data tanah, administrasi dan sistem informasi pertanahan; (ii)
pengaman tanah (land warrantee) berupa mengamankan penyediaan, peruntukan, pemanfaatan
ta ah sesuai re a a tata rua g da e ja i efisiensi pasar tanah; (iii) pengendali tanah (land
purchaser) berupa pengendalian penguasaan dan penggunaan tanah sesuai aturan yang berlaku; (iv)
penilai tanah (land valuer) berupa menunjang penetapan nilai tanah yang baku, adil dan wajib untuk
berbagai keperluan; (v) penyalur tanah (land distributor) berupa menjamin distribusi tanah yang wajar
dan adil berdasarkan kesatuan nilai tanah, mengamankan perencanaan, penyediaan dan distribusi
tanah; (vi) pengelola tanah (land manager) berupa melakukan manajemen pertanahan, melakukan
analisis, penetapan strategi dan pengelolaan implementasi berkaitan pertanahan.

Thurston (2004) menegaskan bahwa tujuan Bank Tanah mencakup (i) mengelola pertumbuhan
perkotaan; (ii) memastikan ketersediaan tanah untuk keperluan tertentu; (iii) mengambil keuntungan
modal akibat peningkatan nilai tanah. Ditambahkan oleh Flechner (1974), jika terkait pemerintah,
tujuan Bank Tanah dapat mencakup (i) membentuk pertumbuhan wilayah; (ii) menata perkembangan
kota; (iii) memperoleh manfaat dari peningkatan nilai investasi tanah; (iv) menyempurnakan pasar
tanah sehingga dapat mengurangi spekulasi tanah; (v) memperoleh tanah untuk kepentingan umum;
(vi) mengurangi biaya pelayanan publik sebagai akibat pembangunan yang terencana; (vii)
memungkinkan menyediakan subsidi rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah; (viii) menjaga
kualitas lingkungan (Limbong, 2013). Sementara GTZ (1998) menyatakan tujuan Bank Tanah adalah (i)
memperbaiki akses masyarakat miskin terhadap tanah; (ii) mendukung pelaksanaan kegiatan
pembangunan perkotaan; (iii) mengurangi kenaikan harga tanah dan mengurangi spekulasi tanah; (iv)
mendorong kemitraan publik dan swasta; (v) memperbaiki struktur kepemilikan tanah.
Prinsip Dasar Pembentukan Bank Tanah

Mendasari pada tujuan dan manfaat dari Bank Tanah, Rusdianto (2014) mengemukakan terdapat
setidaknya 4 (empat) prinsip dasar pembentukan Bank Tanah, yaitu (i) kegiatan Bank Tanah diarahkan
sebagai upaya memberdayakan tanah untuk pencapaian kesejahteraan rakyat; (ii) pemerintah
berperan penting dalam mewujudkan BankTanah sesuai dengan kewenangannya untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan serta pemeliharaan tanah; (iii) Bank Tanah
dapat memberikan jaminan ketersediaan tanah melalui upaya peningkatan daya guna dan hasil guna
dalam pemanfaatan tanah dengan mempertimbangkan keselarasan kepentingan berbagai pihak serta
tanpa mengabaikan fungsi social dari tanah; (iv) melibatkan secara aktif masyarakat khususnya pemilik
tanah dalam manajemen Bank Tanah

Jenis Bank Tanah

Terdapat 3 (tiga) jenis Bank Tanah yang dikenal selama ini, yaitu (i) Bank Tanah Publik, yang merupakan
Bank Tanah yang penyelenggaraannya melibatkan lembaga publik, bersifat independen dan memberi
layanan publik yang sepenuhnya berada dibawah kendali pemerintah. Flechner (1974, dalam
Li o g, e gklasifikasika Ba k Ta ah pu lik e jadi a Ba k Ta ah U u , ya g elaya i
perolehan tanah yang belum dikembangkan dan terlantar, memegang tanah dan membagi tanah
u tuk se ua je is pe ggu aa ta ah ta pa spesifikasi pe ggu aa se elu ya u tuk daerah
tertentu. Bank Tanah ini dijalankan suatu badan publik dengan tujuan mengendalikan pola
pertumbuhan kota, mengatur harga tanah, dan penggunaan tanah; (b) Bank Tanah Khusus, terfokus
pada area tertentu diantaranya pembangunan perkotaan, perumahan bagai masyarakat miskin,
fasilitas umum, ruang terbuka hijau, dan pengembangan industri; (ii) Bank Tanah Swasta, yang
penyelenggaraannya melibatkan swasta. Motif utamanya adalah keuntungan dari pendapatan
kontrak sewa jangka panjang dan peningkatan nilai tanah. Bank Tanah swasta dapat berupa Bank
Tanah investasi, perusahaan pengembang, kawasan industri, perkebunan, dan lainnya; (iii) Bank
Tanah Campuran, yang penyelenggaraannya dilaksanakan bersama antara pemerintah dan swasta.
Bank Tanah jenis ini terbentuk untuk menyiasati keterbatasan dana namun dengan tetap
mengedepankan kepentingan publik.

Sumber Tanah

Sumber ketersediaan tanah bagi Bank Tanah diantaranya dapat mencakup (i) membeli dari
masyarakat dengan harga pasar; (ii) memanfaatkan tanah pemerintah pusat/daerah; (iii)
memanfaatkan tanah BUMN/D yang dapat berupa pola kemitraan; (iv) mendayagunakan tanah
terlantar dan HGU yang tidak diperpanjang dan HGU yang tidak produktif. Tanah terlantar sendiri
diartikan sebagai tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai,
dan Hak Pengelolaan, yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Faktor Penentu Keberhasilan Bank Tanah

Menurut Limbong (2013), terdapat setidaknya 4 (empat) faktor yang menjadi penentu keberhasilan
praktek Bank Tanah yaitu (i) political will. Pembentukan Bank Tanah perlu diwujudkan melalui inisiasi
pemerintah yang dapat berupa peluncuran regulasi sebagai acuan awal pembentukan Bank Tanah.
Bentuk regulasi dapat beragam sesuai kebutuhan; (ii) tata ruang. Alokasi ruang yang dituangkan dalam
Rencana Tata Ruang merupakan kondisi optimal dari pemanfaatan suatu ruang. Hal ini dapat terwujud
jika pengaturan dan penguasaan tanah dapat dilaksanakan secara tertib. Keberadaan Bank Tanah
dapat menjadi alat yang dapat memastikan pemanfaatan tanah sesuai dengan alokasi ruang yang
telah ditetapkan dalam RTRW. Selain itu, penyediaan tanah melalui Bank Tanah bersifat antisipatif
terhadap kemungkinan terjadinya penguasaan tanah untuk tujuan spekulasi; (iii) terti sertifikasi
perta aha . Pelaksa aa pe daftara da sertifikasi ta ah dapat e erika kepastia dala
penguasaan tanah yang akan menunjang keberhasilan penerapan Bank Tanah. Ketika terjadi tumpang
tindih penguasaan tanah, Bank Tanah akan terhambat dalam mendapatkan tanah. Ketersediaan peta
bersama yang menjadi rujukan penataan ruang, dan perijinan akan sangat membantu praktek Bank
Tanah; (iv) ketersediaan sumberdaya manusia dan sistem pendukung yang mumpuni. Keberadaan
Bank Tanah akan melibatkan aset tanah dalam jumlah besar baik luasan maupun nilainya. Untuk itu,
ketersediaan tenaga professional yang dilengkapi sistem pendukung menjadi suatu keniscayaan.; (v)
partisipasi aktif masyarakat. Bank Tanah membutuhkan kemitraan strategis dengan organisasi nirlaba,
organisasi masyarakat, pemerintah daerah termasuk masyarakat dalam upaya memanfaatkan
sumberdaya pertanahan yang tersedia.

Sebagai pembanding, kajian yang dilakukan oleh Cleveland State University (2005) menunjukkan
terdapat 8 (delapan) faktor yang menunjang keberhasilan praktek Bank Tanah di Amerika Serikat,
yaitu (i) tujuan dan sasaran Bank Tanah sebaiknya jelas dan rinci; (ii) koordinasi Bank Tanah dan
pemerintah daerah termasuk pemangku kepentingan lainnya menjadi suatu keniscayaan agar tercipta
efisiensi dalam praktek Bank Tanah; (iii) percepatan proses hukum dalam pembelian tanah sangat
diperlukan; (iv) independensi Bank Tanah dibutuhkan dalam proses distribusi tanah; (v) ketersediaan
sistem informasi manajemen terpadu menjadi suatu keharusan; (vi) tujuan Bank Tanah sebaiknya
teri ter alisasi dala re a a strategis pe eri tah; ii prosedur se aik ya efisie ; iii pe da aan
juga seyogya ya efisie .

Sejarah dan Pembelajaran Bank Tanah: Mancanegara dan Indonesia

Bank Tanah bukanlah konsep baru. Merujuk pada beberapa literatur, konsep Bank Tanah telah
dipraktekkan di Eropa dan Amerika sejak puluhan tahun lalu. Perencana kota menggunakan konsep
Bank Tanah untuk mengamankan tanah di pinggiran kota bagi kepentingan pembangunan kota jangka
panjang. Bank Tanah menjamin kestabilan harga bagi pengembangan kota masa depan (Silva, 2011
dalam Limbong, 2013).

Praktek di Amerika Serikat

Pada masa awal kemerdekaannya, kepenti ga u u didefi isika se ara luas yaitu kegiata ya g
berdampak perluasan lapangan kerja, peningkatan aktivitas perdagangan/industri, pengem-bangan
sumberdaya alam. Kemudian berkembang kekhawatiran terganggunya kepentingan individu sehingga
muncul penafsiran sempit yaitu kepentingan umum dikaitkan dengan pelayanan publik seperti
kesehatan, keamanan, kesejahteraan masyarakat sebagaimana ditetapkan oleh legislatif. Pemaknaan
kepentingan umum ditetapkan oleh legislatif, dilaksanakan oleh eksekutif, dan putusan atas keberatan
atau sengketa terkait hal ini ditetapkan oleh pengadilan (Soemardjono, 2011).

Bank Tanah di Amerika Serikat dilaksanakan oleh pemerintah daerah, yang meliputi proses pembelian
dan penguasaan tanah oleh pemerintah daerah. Alasan pemerintah daerah dalam pembentukan Bank
Tanah untuk melindungi kawasan terbuka hijau dan kawasan pertanian. Pemerintah daerah menutup
biaya pembentukan Bank Tanah dengan menyewakan tanah yang dimilikinya atau dengan menjualnya
kembali disertai persyaratan yang sangat ketat yang menjamin tidak terjadinya alih fungsi lahan.

Praktek Negara Lainnya

Di Belanda, Bank Tanah mulai diterapkan pada tahun 1896 di kota Amsterdam untuk mengimbangi
pertumbuhan kota yang pesat. Pada tahun 1971, sekitar 83 persen yang ditawarkan untuk
pengembangan kota diperoleh dari Bank Tanah. Sekitar 31 persen disewakan untuk kepentingan
swasta. Bank Tanah sepenuhnya bertanggungjawab pada hampir seluruh kota dalam penyediaan
tanah (Thurston, 2004 dalam Limbong, 2013). Praktek bank tanah di negara Belanda lebih condong
pada kegiatan bank tanah yang bersifat khusus, yaitu bahwa pemerintah melakukan kegiatan-kegiatan
menyelenggarakan penyediaan, pematangan dan penyaluran tanah publik dan tanah privat dengan
ditentukan lebih dahulu penggunaannya (Mutia, 2004). Sementara di Stockholm (Swedia), Bank Tanah
baru dimulai pada tahun 1904 melalui pendirian perusahaan properti yang mengelola pembelian
tanah. Pada tahun 1979, sekitar 70 persen tanah di Swedia telah menjadi milik publik. Perancis sedikit
terlambat menerapkan Bank Tanah, baru pada tahun 1958 melalui pendirian Bank Tanah tingkat
nasional untuk pembangunan perumahan. Namun Bank Tanah kurang berhasil karena kurangnya
komitmen politik dan keuangan (Strong, 1979 dalam Limbong, 2013).

Di Asia, Cina merupakan negara yang paling bersemangat mempraktekkan Bank Tanah dan dimulai
pada era 1990an. Pemerintah membentuk Land Use Right (LUR), dan praktek Bank Tanah kini telah
berkembang menjangkau lebih dari 1.600 kota. Negara Asia lainnya, Pemerintah Jepang menentukan
suatu kebijakan bahwa orang yang membeli tanah dan kemudian menjual kembali tanah itu dalam
waktu kurang dari 10 tahun sejak tanah tersebut dibeli, maka dikategorikan sebagai kegiatan spekulasi
tanah, sehingga dikenakan pajak yang sangat tinggi (Mutia, 2004) Pengelolaan bank tanah di
Guatemala dilakukan dengan cara negara atau pemerintah memberikan keringanan pajak kepada
setiap pemilik tanah yang menjual tanahnya kepada negara, sedangkan apabila tidak menjual kepada
negara maka akan dikenakan pajak yang tinggi. Selanjutnya pemerintah mengatur mengenai
pengelolaan tanah tersebut.

Praktek Bank Tanah di mancanegara telah menjadi alat pengendali pertumbuhan perkotaan berupa
(i) pengendalian pola pertumbuhan perkotaan, dan (ii) pengaturan harga tanah. Pemerintah kota di
Belanda membebaskan tanah di pinggiran kota besar untuk mengantisipasi pelaksanaan rencana tata
ruang di masa depan. Luasan tanah yang dibebaskan dapat mencapai 5.000 hektar. Di Perancis,
pembebasan tanah selain dilakukan langsung oleh pemerintah daerah, juga dilakukan oleh Bank
Tanah yang melakukan pembelian sesuai permintaan pemerintah dan lembaga publik untuk
kepetingan umum. Lebih menarik lagi, beberapa kota mengintegrasikan otoritas perencanaan kota
kedalam mekanisme Bank Tanah dengan menyusun rencana kerja bersama-sama.

Praktek di Indonesia

Pada awal tahun 1960-an di Jakarta pernah terbentuk semacam lembaga bank tanah yang disebut
Badan Perusahaan Tanah dan Bangunan, yang merupakan lembaga pemerintah berfungsi membeli
tanah, mematangkan tanah, dan menjual tanah. Sementara di Surabaya pada 1960-1970
dikembangkan lembaga sejenis yaitu Yayasan Kas Pembangunan Surabaya (YKPS) yang fungsinya
menyediakan ka li g siap a gu da sudah ersertifikat dile gkapi de ga a gu a i frastruktur
sarana dan prasarana, dan menjualnya kepada yang memerlukan.

Dalam konteks pengembangan kawasan industri, pada dasarnya para pengusaha kawasan industri
juga bertindak sebagai lembaga bank tanah dengan membeli tanah, mematangkannya untuk
kebutuhan industri. Namun praktek tersebut tidak menjamin berfungsinya pengendalian harga tanah
karena dilaksanakan oleh pihak swasta.

Sumber Pembiayaan

Tantangan utama dalam pengembangan Bank Tanah adalah terkait pembiayaan operasional meliputi
ketersediaan dana selama fase awal pembentukan, penyeimbangan tujuan pembentukan dan
su erdaya keua ga , da ke utuha su erdaya pe da aa skala esar. Efektifitas
operasionalisasi Bank Tanah bergantung pada sumber dana yang stabil dan berkelanjutan. Salah satu
sumber pembiayaan Bank Tanah adalah dana pemerintah dalam bentuk hibah atau pinjaman.
Pemerintah Perancis menerapkan pemungutan pajak lokal sebagai sumber pembelian tanah.
Sementara di Belanda, pemerintah daerah melalui Bank Tanah membeli tanah untuk mengantisipasi
pertumbuhan wilayah perkotaan pada masa depan. Pemerintah daerah kemudian menjual atau
menyewakan tanah dengan nilai yang terjangkau. Pemerintah kota memperoleh pinjaman dari bank
untuk membiayai pembelian atau subsidi perumahan dari pemerintah nasional. Secara umum,
sumber pembiayaan Bank Tanah dapat bersumber dari dana (i) pemerintah pusat/daerah; (ii)
lembaga nonpemerintah/swasta/ yayasan. Pembiayaan ini dapat mencakup pembiayaan sebagai
bagian dari bisnis perusahaan atau bagian dari CSR perusahaan. Dana yang diberikan dapat berupa
penyertaan modal atau hibah; (iii) lembaga keuangan berupa pinjaman; (iv) lembaga keuangan
internasional berupa pinjaman untuk pembiayaan pembangunan maupun hibah; (v) kerjasama
bilateral berupa pinjaman maupun investasi; (vi) lembaga donor internasional berupa hibah.

Bank Tanah dalam RPJMN 2015-2019

Dalam RPJMN 2015-2019, dijabarkan 4 (empat) isu strategis terkait pertanahan, salah satu
diantaranya adalah ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Menyadari
terkendalanya pembangunan untuk kepentingan umum oleh relatif sulitnya melakukan pembebasan
tanah, pemerintah kemudian menetapkan sasaran pembangunan terkait hal ini berupa pencadangan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Selanjutnya, strategi yang dikembangkan adalah (i) penyiapan regulasi pembentukan lembaga bank
tanah berupa peraturan presiden; (ii) bank tanah mewakili negara melaksanakan pembelian bidang
tanah pada kawasan prioritas. Peraturan presiden tentang bank tanah mengatur kelembagaan bank
tanah, kewenangan, sumber pendanaannya serta pemanfaatan tanah yang berasal dari bank tanah.

Dalam upaya mewujudkan institusi/lembaga pencadangan tanah (bank tanah), diperlukan peran dan
kerjasama dari beberapa instansi pemerintah, sebagai berikut (i) kementerian PPN/Bappenas,
melakukan kajian pengembangan konsep bank tanah; (ii) Kementerian Hukum dan HAM, menyusun
peraturan perundang-undangan terkait bank tanah; (iii) Kementerian Keuangan, mengalokasikan
anggaran untuk pembentukan institusi/lembaga bank tanah, dan untuk pembelian bidang-bidang
tanah pada kawasan yang diprioritaskan pembangunannya; (iv) Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/BPN, membentuk Badan Layanan Umum (BLU) penyediaan tanah/Bank Tanah dan menyiapkan
SDM dan mekanisme praktek pencadangan tanah.

Terkait percepatan pembangunan perumahan, strategi menyangkut pertanahan adalah berupa


peni gkata efektifitas da efisie si a aje e aha da hu ia di perkotaa elalui
pengembangan instrumen pengelolaan lahan untuk perumahan diantaranya seperti konsolidasi lahan,
dan bank tanah.

Rencana Aksi

Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah dengan jelas mencantumkan dalam dokumen RPJMN
2015-2019 bahwa mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis
ekonomi domestik, terkait pertanahan melalui pembentukan lembaga pencadangan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum (bank tanah) untuk menjamin kepastian ketersediaan tanah
untuk keperluan pembangunan di berbagai sektor. Tentu saja kebijakan pembentukan Bank Tanah
perlu ditindaklanjuti dengan langkah nyata. Setidaknya regulasi awal berupa Keputusan Presiden
tentang Bank Tanah sebagai acuan pembentukan Bank Tanah agar segera diterbitkan. Hal ini juga
sebagai upaya memenuhi target pencapaian quick wins tahun 2015. Keberadaan Kepres tersebut
kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Pedoman Umum dan Petunjuk Teknis Pengelolaan Bank
Tanah. Berbagai pihak telah menanti terbitnya Keputusan Presiden terkait Bank Tanah sebagai wujud
keseriusan Pemerintah mengatasi kendala ketersediaan tanah bagi kepentingan umum. Sementara
tahun 2015 tersisa 3 bulan lagi. Jadi tunggu apa lagi?.

*ditulis oleh Oswar Mungkasa (DIrektur Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas) dan dimuat pada
Majalah Agraria Edisi 2 Tahun 2015.

Anda mungkin juga menyukai