NPM : B1A019059
Kelas : I
Hukum Adat
Dosen Pengampu:
Fakultas Hukum
Universitas Bengkulu
2021
1
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami sampaikan kehadirat Allah SWT. Atas rahmatnya tugas
Pancasila dapat kami selesaikan tepat pada waktunya. Shalawat dan salam tak lupa pula
kami sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang telah membawa umat manusia dari
zaman Jahiliyah ke alam yang terang- benerang seperti saat ini.
Dalam kesempatan yang baik ini kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada guru pembimbing mata kuliah Hukum Adat yaitu Bapak dan Ibu, Andry Harijanto,
S.H., M.Si. dan Kiki Amaliah, S.H., M.H., dengan adanya tugas ini kami terasa lebih terbuka
wawasan terhadap ilmu pengetahuan khususnya mengenai Hukum Waris Adat, tentu saja
tugas ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnan untuk itu kepada segenap
pembaca kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun
untuk perbaikan tugas di masa-masa yang akan datang. Mudah-mudahan tugas ini ada
manfaatnya bagi semua pihak .
Penulis
2
DAFTAR ISI
COVER ........................................................................................................................... 1
Kesimpulan ........................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 15
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum adat merupakan salah satu aturan hukum yang masih digunakan
keluarga. Pewarisan mempunyai arti dan pemahaman sebagai salah satu proses
waris, seperti jandapun harus dipenuhi haknya sebagai ahli waris dalam
hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada
orang lain yang masih hidup. 1 Secara umum dalam setiap pewarisan disyaratkan
memenuhi unsur-unsur yang terdiri atas: (a) pewaris, (b) harta warisan, dan (c)
ahli waris.2 Pengertian pewaris sendiri dapat diartikan sebagai seorang peninggal
warisan yang pada waktu wafatnya meninggalkan harta kekayaan pada orang
yang masih hidup. 3 Ahli waris adalah anggota keluarga orang yang meninggal
4
Ibid.
4
hukum adat adalah harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh semasa masa
dilakukan sesuai ketentuan aturan hukum yang berlaku, dengan tetap menjadikan
keberadaan hukum waris adat tersebut dapat dijadikan dasar dalam tatanan
pembagian harta warisan dalam keluarga. Pengertian hukum waris adat sendiri
adalah aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana dari abad ke abad
penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud
dari generasi pada generasi berikut.6 Keberadaan harta warisan dalam hukum adat
dapat materiil benda seperti tanah, dan perhiasan, serta dapat pula imateriil benda,
melainkan suatu nilai atau prestise, misalnya dalam hal ini adalah status jabatan,
B. Perumusan Masalah
5
Satrio Wicaksono, Hukum Waris: Cara Mudah dan Tepat Membagi Harta Warisan, Jakarta: Transmedia
Pustaka. 2011, hal. 10.
6
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Cipta Aditya Bhakti, 1993, hal. 23.
5
1. Apa yang dimaksud dengan hukum adat waris?
6
BAB 2
PEMBAHASAN
Proses pengoperan itu, sesungguhnya sudah dapat dimulai semasa pemilik harta
kekayaan itu sendiri masih hidup serta proses itu selanjutnya berjalan terus hingga
keturunannya itu masing-masing menjadi keluarga baru yang berdiri sendiri, mentas dan
mencar (Jawa). Memang meninggalnya orang tua adalah merupakan suatu peristiwa yang
penting bagi proses pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut. Hukum adat
waris sangat erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan masyarakat hukum yang
bersangkutan serta pengaruhnya pada harta kekayaan yang ditinggalkan dan berada dalam
masyarakat tersebut.
Hukum Waris Adat adalah Hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang
sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasa dan pemiliknya dari pewaris kepada waris.
harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih
a. Mati haqiqi (mati sejati), yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula
nyawa itu sudah berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh
7
pancaindra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
adanya putusan hakim, baik orang yang bersangkutan masih hidup maupun
c. Mati taqdiry (mati menurut dugaan), yaitu suatu kematian yang bukan
haqiqi dan bukan hukmy, tetapi semata-mata berdasarkan dugaan yang kuat.
Pada sistem ini harta peninggalan dapat dibagi-bagikan diantara para ahli waris
(umumnya masyarakat Jawa).
Pada sistem ini harta peninggalan diwarisi oleh ahli waris bersama, tidak dapat
dibagi-bagi kecuali hanya pemakaiannya saja (umumnya di Minangkabau).
Pada sistem ini harta peninggalan seluruhnya/sebagian besar/haria yang pokok pokok
saja dikuasai oleh anak tertentu saja (di Bali anak laki-laki tertua, di Sumsel/Semendo
anak tertua).
Masing-masing sistem tersebut tidak mutlak berlaku pada suatu sistem kekerabatan
tertentu tetapi bisa saja berlaku dua atau tiga sistem sekaligus, karena tergantung harta
peninggalannya keadaan ahli perang dan sebagainya.
8
Hukum kewarisan adat masyarakat Indonesia dianalisis, maka ditemukan
lima asas hukum kewarisan adat. Hal dimaksud, diuraikan sebagai berikut.
para ahli waris bahwa rezeki berupa harta kekayaan manusia yang dapat
keberadaan harta kekayaan. Oleh karena itu, terbagi atau tidak terbaginya harta
warisan bukan tujuan tetapi yang penting adalah menjaga kerukunan hidup
Asas ini maksudnya yaitu setiap ahli waris mempunyai kedudukan yang sama
antara hak dan kewajiban tanggung jawab bagi. setiap ahli waris untuk
kewajiban tanggung jawab setiap ahli waris bukanlah berarti pembagian harta
untuk memelihara hubungan kekerabatan yang tentram dan damai, baik dalam
Asas musyawarah dan mufakat, yaitu para ahli waris membagi harta
9
warisannya melalui musyawarah yang dipimpin oleh ahli waris yang dituakan
dan bila terjadi kesepakatan dalam pembagian harta warisan, kesepakatan itu
bersifat tulus ikhlas yang dikemukankan dengan perkataan yang baik yang
e. Asas Keadilan
Asas keadilan, yaitu keadilan berdasarkan status, kedudukan, dan jasa,
sebagai ahli waris maupun bagian sebagai bukan ahli waris, melainkan sebagai
5. Harta Peninggalan
1. Pada masyarakat parental, pembagian warisan telah dimulai sejak orang tuanya masih
hidup. Anak-anak yang telah kawin diberi tanah, rumah sebagai pemberian agar anak
yang bersangkutan mentas, pemberian ini dalam hukum adat disebut hibah atau
penghibalan. Ketika harta warisan masih cukup mungkin masih memperoleh
tambahan warisan. Penghibahan tidak dapat dicabut, namun jika orang tua jatuh
miskin dapat menuntut nafkah (pemeliharaan) kepada anak yang bersangkutan.
2. Pada masyarakat matrilineal harta yang dibagi-bagikan ini adalah harta pencaharian
orang tuanya. Di Minangkabau harta pencaharian suami akan diwarisi oleh
keponakannya, karena itu sebelum meninggal telah menghibahkan sebagian besar
harta pencahariankepada anak-anaknya sendiri.
10
3. Pada masyarakat patrilineal, karena yang berhak mewarisi hanya anak laki laki, maka
sebelum orang tuanya meninggal, telah membagikar. (menghibahkan) sebagian
hartanya kepada anak perempuan/ cucunya.
4. Di samping cara-cara di atas, juga dikenal adanya wasiat/hibah wasiat, yaitu
pernyataan kehendak yang terakhir dari pewaris tentang pembagian harta warisan
kepada ahli waris, yang baru akan berlaku setelah pewaris meninggal. Maksud wasiat
adalah mewajibkan para ahli waris membagi harta warisan sesuai pewaris, dan untuk
membagikan harta warisan di kemudian hari di antara ahli waris.
1) Harta gono gini, yaitu barang-barang yang dibawa oleh suami/istri masing masing
pada saat perkawinan, yamg dapat berupa barang-barang warisan maupun barang-
barang yang diperoleh sendiri sebelum perkawinan.
2) Harta berupa barang-barang pusaka (keris, tombak dan sebagainya)
3) Harta perkawinan, yaitu harta yang diperoleh suami/iari setems deta perkawinan
4) Harta yang tidak terbagi (harta pusaka Minangkabau, tanah basikepen Cirebon) yang
hanya diwarisi anak anak yang tetap tinggal di desa terasa 5) Hutang-hutang dan
biaya-biaya penguburan pewaris pembagian harta peninggalan dikelola dengan
permutasaten den sta kehendak bersama para ahli waris, secara rukun dengan
mempertanian koefi keadaan istimewa setiap tiap-tiap ahli waris Jika tidak terjadi
kesepakatan, biasany diselesaikan oleh pihak yang berwibawa (salah satu anli waris
yang dianggap bijaksana, pemuka adat, kepala desa atau hakim).
6. Ahli Waris
a. Anak-anak kandung merupakan ahli waris yang pokok yang menutup ahli waris yang
lain. Di masyarakat parental anak laki-laki dan perempuan bersama-sama menjadi ahli
waris atas harta peninggalan orang tuanya. Masyarakat Minangkabau Anak tidak
harta harta warisan bapaknya, tetapi diwarisi oleh keponakannya, sehingga anak harta
harta warisan ibunya dan pemakaian harta warisan ibunya ahli perang adalah anak
laki-laki. Untuk sistem mayorat ahli waris yang menguasai harta peninggalan adalah
anak tertentu saja
b. Dalam hukum adat juga mengenal penggantian ahli waris, yaitu cucu-cucu ata
keturunannya jika anak-anak sebagai ahli waris telah meninggal, orang sta saudara-
saudaranya, jika pewaris belum/tidak anak
11
c. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya menghargai harta peninggalan dan kerabat
dari ibu.
d. Anak angkat, kedudukannya cukup bervariasi. Dalam alasan tertentu anak angkat
disamakan dengan anak Kandung, ada yang hanya mewarin har nafkah orang tua
angkat, ada yang hanya memperoich nafkah hidup menun kçiklasan anak kandung
atau ahli waris.
e. Anak tiri bukanlah ahli waris, namun karena eratnya hubungan antara anak dengan
orang tua tirinya kadang-kadang memperoleh hibah (pemberian) dari orang tua
tirinya, dan bahkan bisa ikut menikmati peninggalan bapak tirinya bersama ibu
kandung sendiri.
f. Janda dan duda bukan merupakan ahli waris dari suami/istrinya yang telah meninggal.
Namun menurut hukum adat umumnya di Indonesia, janda atau duda selalu mendapat
bagian-bagian warisan bersama-sama ahli waris yang lain. Orang tua yang hidup
berhak atas nafkah yang diambilkan dari harta peninggalan suami/istrinya.
7. Contoh Kasus:
Menurut Andry Harijanto Hartiman (2002) hukum waris adat Enggano, yaitu sebagai berikut:
a. Harta Perkawinan
Suami dan isteri dapat membawa harta bawaan ke dalam perkawinannya. Harta
bawaan suami dikuasai oleh suami dan harta bawaan dikuasai oleh isteri, sedangkan harta
bawaan yang diperoleh selama perkawinan dan harta yang diperoleh isteri selama perkawinan
dikuasai oleh suami dan isteri bersama sama.
Suami dan isteri meninggal dunia dan tidak memiliki anak, maka harta bersama
dibagi dua yaitu 1/2 bagian untuk pihak suami atau isteri yang masih hidup dan 1/2 bagian
lagi untuk keluaga pihak suami atau isteri yang meninggal dunia, sedangkan harta bawaan
pihak suami atau isteri yang meninggal dunia dikembalikan ke kerabat suku bangsanya.
Suami atau isteri meninggal dunia dan memiliki anak, maka harta bersama dibagi dua,
yaitu 2/3 bagian diberikan kepada anak dan 1/3 bagian lagi dibagi dua: 1/6 bagian untuk
pihak suami atau isteri yang masih hidup dan 1/6 bagian lagi untuk keluaga pihak suami atau
12
isteri yang meninggal dunia. Harta bawaan pihak suami atau isteri yang meninggal dunia
dikembalikan ke kerabat suku bangsanya.
Perceraian disebabkan karena kesalahan pihak suami dan memiliki anak, maka harta
bersama jatuh kepada pihak isteri dan anak, sedangkan harta bawaannya tetap dikuasai pihak
suami. Demikian pula sebaliknya, perceraian yang disebabkan karena kesalahan pihak isteri
dan memiliki anak, maka harta bersama jatuh kepada pihak suami dan anak, sedangkan harta
bawaannya dimiliki oleh pihak isteri.
Harta warisan baru dibagikan kepada ahli waris apabila salah seorang atau kedua
orang tuanya meninggal dunia atau anak-anaknya sebagai ahli waris sudah berkeluarga. Anak
laki-laki menerima harta warisan 1/3 bagian, sedangkan anak perempuan menerima warisan
2/3 bagian.
Suami atau isteri meninggal dunia dan tidak memiliki anak, maka haria warisan
dibagi dua yaitu 1/2 bagian diberikan kepada pihak suami atau isteri yang masih hidup dan
1/2 bagian lagi untuk keluarga pihak suami atau isteri yang meninggal dunia.
Suami atau istri meninggal dunia dan memiliki anak, maka harta waris dibagi dua
yaitu 2/3 bagian diberikan kepada anak, dan 1/3 bagian lagi dibagi dua: 1/6 bagian untuk
pihak suami atau pihak isteri yang masih hidup dan 1/6 bagian lagi untuk keluarga pihak
suami atau isteri yang meninggal dunia.
13
BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukum Waris Adat adalah Hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang
sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasa dan pemiliknya dari pewaris kepada waris.
yang mewariskan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut.Mati haqiqi (mati
sejati), Mati hukmy (mati menurut putusan hakim), dan Mati taqdiry (mati menurut
Sistem Kewarisan Individu, Sistem Kewarisan Kolektif dan Sistem Kewarisan mayorat.
Kemudian Asas-Asas Hukum Waris adat terbagi menjadi Asas Ketuhanan dan
Kekeluargaan, Asas Musyawarah dan Mufakat, dan Asas Keadilan. Selain itu, Bentuk-
bentuk harta peninggalan, Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi Dan Harta
peninggalan yang dapat dibagi. Dan selanjutnya ada Ahli waris dalam uraian diatas Ahli
waris terdiri atas Anak-anak kandung ,penggantian ahli waris, yaitu cucu-cucu ata
keturunannya,Anak yang lahir di luar perkawinan hanya menghargai harta peninggalan dan
kerabat dari ibu,Anak angkat, kedudukannya cukup bervariasi. Dan yang terakhir ada
contoh kasus dari Hukum Waris adat yang mana yang diambil adalah hukum waris adat
Enggano.
Daftar Pustaka
14
1. Andry Harijanto, S.H., M.Si. Bahan Ajar, Hukum Adat, Bengkulu : Penerbit KBMJ FH
UNIB PRESS Agustus 2019, hal 104-108.
2. Muslich Maruci, Ilmu Waris, Semarang: Penerbit Mujahidin, 1990, hal. 1.
3. Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal.
2.
4. Mg. Sri Wiyarti, Hukum Adat dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bagian B,
Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2000, hal. 4.
5. Satrio Wicaksono, Hukum Waris: Cara Mudah dan Tepat Membagi Harta Warisan,
Jakarta: Transmedia Pustaka. 2011, hal. 10.
6. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Cipta Aditya Bhakti, 1993, hal. 23.
7. Tolib Steady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Bandung:
Alfabeta, 2008, hal.285.
8. Dan, Jurnal Hukum Nasional.
15