Disusun Oleh :
B1A019189
Dosen Pengampu :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BENGKULU
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum adat merupakan salah satu aturan hukum yang masih
digunakan dalam proses pewarisan. Proses pewarisan yang mengedepankan
musyawarah sebagai landasannya merupakan hal terpenting, agar keselarasan
dan kerukunan dalam keluarga tetap terjaga. Pewarisan merupakan salah satu
proses yang dilalui dalam kehidupan keluarga. Pewarisan mempunyai arti dan
pemahaman sebagai salah satu proses beralihnya harta peninggalan pewaris
kepada ahli warisnya. Keberadaan ahli waris mempunyai kedudukan penting
dalam proses pewarisan.
Secara umum dalam setiap pewarisan disyaratkan memenuhi unsur-unsur
yang terdiri atas: (a) pewaris, (b) harta warisan, dan (c) ahli waris. Pengertian pewaris
sendiri dapat diartikan sebagai seorang peninggal warisan yang pada waktu wafatnya
meninggalkan harta kekayaan pada orang yang masih hidup. Ahli waris
adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia yang menggantikan kedudukan
pewaris. Sedangkan harta warisan menurut hukum adat adalah
harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh semasa masa perkawinan dan
harta bawaan. Proses beralihnya harta peninggalan pewaris kepada ahli warisnya
harus dilakukan sesuai ketentuan aturan hukum yang berlaku, dengan tetap
menjadikan musyawarah dan kesepakatan sebagai landasan dalam
pembagiannya. Keberadaan hukum waris adat sangat penting dalam proses
pewarisan, keberadaan hukum waris adat tersebut dapat dijadikan dasar
dalam tatanan pembagian harta warisan dalam keluarga. Pengertian hukum
waris adat sendiri adalah aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana
dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud
dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut. Keberadaan harta
warisan dalam hukum adat dapat materiil benda seperti tanah, dan perhiasan,
serta dapat pula imateriil benda, melainkan suatu nilai atau prestise, misalnya
dalam hal ini adalah status jabatan, seperti status raja maupun kepala adat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pewarisan menurut hukum adat yang ada di Indonesia?
2. Bagaimana pengaturan pewarisan dalam keluarga menurut hukum adat?
3. Bagaimana perlindungan hak waris terhadap perempuan di dalam hukum waris adat?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui proses pewarisan berdasarkan hukum adat yang ada di Indonesia;
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tanggung jawab pewarisan dalam keluarga
menurut hukum adat;
3. Untuk melihat pengaturan dan perlindungan system pewarisan menurut hukum adat..
BAB II
PEMBAHASAN
3
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia,
Tarsito, Bandung, 1982, hal 120.
4
Soerojo Wignjodipuro, Op-cit, hal 161.
bagian harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati, atau dialihkan (dijual)
kepada orang lain. Sistem pewarisan individual ini diberlakukan pada masyarakat
yang bersistem kekerabatan parental atau bilateral, dimana kedudukan laki-laki
dan perempuan sama atau sederajat., sebagaimana dianut pada masyarakat Jawa
atau pada masyarakat adat Batak yang berlaku adat manjae (istilah Jawa : mentas
dan mencar) atau juga pada masyarakat adat yang sangat kuat dipengaruhi hukum
islamnya : seperti Aceh, Lampung, dan Kalimantan. Ciri dari sistem pewarisan
individual, adalah harta waris akan terbagi-bagi hak kepemilikannya kepada ahli
waris, hal ini sebagaimana yang berlaku menurut KUH Perdata dan hukum Islam,
begitu pula hanya berlaku bagi masyarakat di lingkungan masyarakat hukum adat,
seperti pada keluarga-keluarga Batak yang bersistem kekerabatan patrilinial dan
keluarga-keluarga Jawa yang bersistem kekerabatan parental atau bilateral.
Kelebihan dari sistem pewarisan individual, yaitu setelah harta peninggalan atau
harta warisan dibagi secara individual atau perseoarngan, maka para ahli waris
dapat bebas menguasai dan memiliki harta warisan berdasarkan bagiannya untuk
digunakan sebagai modal atau dasar materiel kehidupannya lebih lanjut tanpa
digunakan anggota-anggota keluarga lain. Para ahli waris dapat mentransaksikan
bagian warisannya kepada orang lain untuk digunakan menurut kebutuhannya
sendiri atau menurut kebutuhan keluarga tanggungannya. Bagi keluarga-keluarga
yang telah maju, dimana rasa kekerabatannya sudah mengecil, dimana
tempat kediaman anggota kerabat sudah terpencar-pencar jauh dan tidak begitu
terikat bagi untuk bertempat kediaman di daerah asal, apalagi jika telah
melakukan perkawinan campuran, maka sistem individual ini tampak besar
pengaruhnya. Kelemahan dari sistem pewarisan individual, yaitu terpecahnya
harta warisan dan meregangnya tali kekerabatan, hal ini dapat berakibat
timbulnya hasrat ingin memiliki kebendaan secara pribadi dan mementingkan diri
sendiri. Sistem pewarisan secara individual ini berlaku di lingkungan masyarakat
adat Lampung, Jawa, Kalimantan, dan Aceh.
b) Sistem Pewarisan Kolektif
Sistem pewarisan kolektif yakni di mana harta peninggalan diteruskan
dan dialihkan pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang
tidak terbagi-bagi penguasaannya dan pemilikannya. Oleh sebab itu, ahli waris
berhak untuk mengusahakan menggunakan atau mendapat hasil dari harta
peninggalan tersebut. Cara pemakaian harta peninggalannya untuk kepentingan
dan kebutuhan masing-masing ahli waris diatur bersama-sama atas dasar
musyawarah mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta
peninggalan di bawah bimbingan kerabatnya. Pada sistem pewarisan kolektif ini
terdapat, misalnya, di masyarakat Minangkabau. Di Minangkabau, harta yang
dikuasai oleh kaum secara kolektif, sedangkan ahli waris adalah anggota kaum
secara kolektif juga, maka kematian seseorang dalam kaum tidak banyak
menimbulkan masalah. Harta tetap tinggal pada rumah yang ditempati oleh kaum
untuk dimanfaatkan bersama oleh seluruh anggota kaum itu. Di Minangkabau
sistem kolektif berlaku atas tanah pusaka yang diurus bersama di bawah pimpinan
atau pengurusan mamak kepala waris,di mana para anggota family hanya
mempunyai hak pakai. Di Minahasa berlaku sistem pewarisan kolektif atas barang
(tanah kalakeran) yang merupakan tanah sekerabat yang tidak dibagi-bagi, akan
tetapi boleh dipakai untuk para anggota famili.8 Status hak pakai anggota famili
dibatasi dengan tidak boleh menanam tanaman keras. Oleh karena itu,yang
mengatur dan mengatasi tanah kalakeran adalah tua-tua kerabat yang Tua
Untaranak, Haka Umbana, atau Paki Itenan tanah-tanah dan jika tua-tua dari
kerabat lain disebut Mapontol. Di masa sekarang sudah ada tanah kalakeran yang
dibagi-bagi. Di daerah Lampung apa yang disebut tanah menyanak atau tanah
repong merupakan bidang tanah milik sekerabat bersama yang tidak dibagi-bagi
pemiliknya. Biasanya tanah menyanak ini telah berisi tanaman
tumbuhan keras seperti durian, duku, pohon aren, dan bamboo yang boleh
dinikmati para anggota kerabat kerabat bersangkutan secara bersama-sama. Ada
kalanya di antara para anggota kerabat yang menggunakan dan mengolah tanah
itu menanaminya dengan tanaman keras baru, maka dengan demikian ia
mempunyai hak atas pohon saja.10 Ciri dari sistem pewarisan kolektif ini
adalah, harta warisan itu diwarisi dan tempatnya dikuasai oleh sekelompok ahli
waris dalam keadaan tidak terbagi-bagi, yang seolah-olah merupakan suatu badan
hukum keluarga atau kerabat. Harta peninggalan seperti ini disebut harta
pusaka di Minangkabau dan harta menyanak di Lampung. Kelebihan dari sistem
pewarisan kolektif tersebut yang masih tampak apabila fungsi harta kekayaan itu
di peruntukkan buata kelangsungan hidup keluarga besar tersebut, untuk di masa
sekarang dan masa seterusnya masih tetap berperan tolong menolong antara yang
satu dan yang lain di bawah pimpinan kepala kerabat yang penuh tanggung jawab
masih tetap dapat dipelihara, dibina dan dikembangkan. Pada beberapa kerabat
yang masih punya pimpinan yang berpengaruh, system pewarisan kolektif atas
harta pusaka (tanah kerabat dan rumah kerabat) yang terletak pada daerah yang
produktif masih dapat meningkatkannya ke dalam bentuk usaha-usaha kolektif
yang terbentuk usaha bersama koperasi pertanian kerabat dan koperasi peternakan
kerabat. Oleh sebab itu, rumah kerabat difungsikan sebagai pusat tempat
berkumpul bagi semua anggota kerabat yang bersangkutan. Namun pada
kenyataannya, keadaan demikian di Lampung tidak ada yang dapat
bertahan lama. Kelemahan dari sistem pewarisan kolektif, yaitu menumbuhkan
cara berpikir yang terlalu sempit dan kurang terbuka bagi orang luar. Oleh karena
itu, tidak selamanya suatu kerabat mempunyai kepemimpinan yang dapat
diandalkan dan aktivitas hidup yang kian luas bagi anggota
kerabat, maka rasa setia kerabat bertambah luntur. Sistem pewarisan
kolektif ini berlaku di lingkungan masyarakat adat Minangkabau, di Lampung, di
Minahasa, dan Ambon (tanah dati).
c) Sistem Pewarisan Mayorat
Sistem pewarisan mayorat ini sebenarnya juga merupakan sistem
pewarisan kolektif, hanya saja pengalihan dan penguasaan atas yang tidak terbagi-
bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua (dari sistem mayorat laki-laki atau sistem
mayorat perempuan) yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala
keluarga menggantikan kedudukanya sebagai orangtua (ayah atau
ibu) sebagai kepala keluarga. Anak tertua dalam kedudukanya sebagai
penerus tanggung jawab orang tua yang meninggal dunia berkewajiban mengurus
dan memelihara saudara-saudara yang lain, terutama bertanggung jawab atas harta
KESIMPULAN
Sifat dari hukum waris adat menunjukkan corak yang memang khas tersendiri yang
mencerminkan cara berpikir maupun semangat dan jiwa dari pikiran tradisional
yang didasarkan atas pikiran komunal atau kolektif, kebersamaan dan konkret bangsa
Indonesia. Sistem pewarisan dalam hukum adat. Sistem pewarisan dalam hukum adat
dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu Sistem Pewarisan Individual, Sistem
Pewarisan Kolektif dan Sistem Pewarisan Mayorat. Masing-masing sistem kewarisan
mempunyai kelemahan dan keuntungan.Penyelesaian sengketa hukum waris adat dalam sistem
kekerabatan sejatinya harus dilaksanakan secara musyawarah dan mufakat
karena menyangkut harga diri dan martabat masyarakat adat bersangkutan, sebelum
perkara tersebut dibawa ke pengadilan, terutama pada masyarakat dengan sistem
kekerabatan parental (Jawa) dimana kedudukan janda dan duda bukan sebagai ahli
waris sehingga sewajarnya untuk memenuhi rasa keadilan, hakim dalam menyelesaikan
sengketa hukum waris menggunakan penemuan hukum untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012,
Hlm 259
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1982, hal 120.