Anda di halaman 1dari 8

Nama : Putu Satria Satwika Anantha

NIM : 2082411020
Nomor Absen : 20
Nomor WA : 082144122338

SOAL :

1. Perkuliahan Hukum Keluarga dan Harta Perkawian meliputi pokok bahasan apa saja?
Sebutkan secara singkat.
Ruang lingkup atau pokok bahasan perlkuliahan Hukum Keluarga dan Harta
Perkawinan, yaitu:
1. Hukum Keluarga
Menurut Prof Sudiman Kartohadiprodjo, Hukum keluarga adalah kesemuanya
kaidah-kaidah hukum yang menentukan syarat-syarat dan caranya mengadakan hubungan
abadi serta seluruh akibatnya. 1 Hukum Keluarga di Bali lebih dikenal dengan sistem
kepurusa sama dengan sistem kekeluargaan yang dianut dalam kitab Manawa
Dharmasastra, yang dikenal sebagai salah satu kitab Hukum Hindu. 2 Dari beberapa definisi
di atas terlihat bahwa hukum keluarga mengatur hubungan hukum atau peraturan-
peraturan baik tertulis maupun tidak yang berkaitan dengan keluarga yang sedarah dan
keluarga karena perkawinan. Hal ini meliputi perkawinan, perceraian, harta benda dalam
perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, perwalian, dan lainnya yang berhubungan
dengan keluarga.
2. Hukum Perkawinan
Dalam pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera berdasarkan
KeTuhanan Yang Maha Esa. Menurut Hukum Adat pada umumnya di Indonesia
perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga perikatan adat dan
sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. 3
Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat
terhadap hubunganhubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-istri, harta
bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut
hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan dan ketetanggaan serta
menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Oleh karenanya Ter Haar menyatakan
sebagaimana dikutip oleh Hadikusuma bahwa perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan
keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi dan begitu pula menyangkut
urusan keagamaan. 4
3. Hukum Harta Perkawinan
Dalam hal kekayaan perkawinan ini diatur dalam hukum kekayaan perkawinan
(huwelijks vermogensrecht). Dalam dasarnya yang berarti, kedua belah pihak tidak
mengadakan perjanjian antara satu sama lain mengenai kekayaan itu dapat percampuran

1
Sudiman Kartohadiprodjo, 1981, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia Cet. Kesembilan, PT. Pembangunan
Ghalia Indonesia, Bandung, hal. 82.
2
Wayan P. Windya, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas
Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 25.
3
H. Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 3.
4
Laurensius Mamahit, Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Akibat Perkawinan Campuran Ditinjau DariHukum
Positif Indonesia, Lex Privatum, Vol. 1, No. 1, hal. 16, diakses pada tanggal 4 November 2020 Pukul 21.40
kekayaan dari suami dan istri, segera setelah perkawinan dilangsungkan. Kekayaan calon
suami dan calon istri setelah perkawinan terjadi menjadi harta perkawinan. 5
Harta perkawinan dapat dikatakan modal yang dapat dipergunakan suami dan istri
untuk membiayai kehidupan rumah tangganya ataupun dalam kehidupan sosial dan
keagamaannya. Mengikuti penggolongan UU Perkawinan dijelaskan pada Pasal 35 ayat (1)
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan ayat (2) Harta
bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain. Kemudian pada Pasal 36 ayat (1) Mengenai harta bersama, suami atau
isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak dan (2) Mengenai harta bawaan
masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta bendanya.
4. Hukum Waris
Menurut Prof Windia kata waris berasal dari warih = air kencing = keturunan. Adapun
unsur-unsur pewarisan yaitu : 1. Pewaris adalah orang yang meninggalkan warisan, 2. Waris
adalah keturunan, 3. Ahli waris adalah keturunan yang memiliki hak atas warisan, dan 4.
Warisan adalah swadharma (tanggung jawab) dan swadikara (hak) terhadap peninggalan
pewaris dalam berbagai wujud dan sifatnya. Adapun warisan dalam berbagai wujud dan
sifatnya yaitu : 6
1) Warisan parhyangan (berhubungan dengan keyakinan sebagai umat Hindu).
2) Warisan pawongan (berhubungan dengan aktivitas sosial sebagai umat Hindu).
3) Warisan palemahan (berhubungan dengan tata kelola lingkungan alam sesuai dengan
keyakinan Hindu).
Hukum waris adat menurut R. Soepomo adalah memuat peraturan-peraturan yang
mengatur proses meneruskan dan mengoperkan harta benda dan barang-barang tidak berwujud
benda dari suatu angkatan manusia pada turunannya. 7 Hukum waris adat memuat ketentuan-
ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud ataupun tidak
berwujud) dari pewaris kepada ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu
dapat berlangsung sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Sedangkan
pengertian hukum waris adat Bali menurut Ayu Putu Nantri adalah suatu proses penerusan dari
pewaris kepada ahli waris tentang barangbarang materiil maupun barang-barang immateriil
yang mana hal ini berarti bahwa penerusan ini menyangkut penerusan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban.
Masyarakat Indonesia juga mengenal tiga macam sistem kewarisan dalam Hukum
Adat yaitu :8
1) Sistem Kewarisan Individu yaitu semua ahli waris berhak mendapatkan bagiannya
untuk bisa dikuasai atau dimiliki untuk diusahakan, dinikmati atau dialihkan
kepemilikannya.
2) Sistem Kewarisan Kolektif yaitu semua ahli waris yang diberikan harta warisan
oleh pewaris namun harta warisan tersebut tidak dapat dibagi-bagi. tetapi, setiap
ahli waris berhak mengusahakan, menggunakan atau mendapat hasil dari harta
warisan tersebut.

5
Sudiman Kartohadiprodjo, op.cit, hal. 86.
6
Wayan P. Windya, 2017, Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat Bali, Kuliah Umum di Fakultas Hukum
Unipas, Jakarta, hal. 2, diakses pada tanggal 4 November 2020 Pukul 21.00
7
R. Soepomo, 1986, Bab Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 35.
8
Dewa Ayu Herlina Dewi, 2020, Kedudukan Ahli Waris yang Berpindah Agama terhadap Harta Waris
Menurut Hukum Waris Adat Bali, Jurnal Preferensi Hukum Universitas Warmadewa, Vol. 1, No, 2, hal. 80,
diakses pada tanggal 3 November 2020 Pukul 20.00.
3) Sistem Kewarisan Mayorat memiliki fitur dengan sistem kewarisan kolektif, yaitu
harta warisan diwariskan selurulınya atau hanya sebagian besar saja kepada satu
orang anak saja.

2. Apakah berkeluarga/melangsungkan perkawinan itu adalah hak atau kewajiban?


Menurut saya berkeluarga/melangsungkan perkawinan adalah hak setiap Warga Negara
Indonesia. Dalam ketentuan Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, menjelaskan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah serta Negara menjamin hak anak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari kekerasan
dan diskriminasi. Dilihat juga dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia yang termuat dalam Bagian Kedua Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan pada
Pasal 10 ayat (1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah. Penjelasan dalam Pasal 10 ayat (1) ini yang dimaksud dengan
“perkawinan yang sah” adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

3. ”Sebaiknya masalah itu diselesaikan secara kekeluargaan”. Jelaskan apa maksud ungkapan
ini?
Pengertian Kekeluargaan
Keluarga adalah sekelompok manusia yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.
Dilihat dari sudut umur maka terdapat perbedaan antara ibu ayah disatu pihak dan anak-anak
dilain pihak; ada perbedaan, yaitu yang satu tua dan yang lain muda. Dilihat dari sudut
kelamin, maka seorang ayah itu adalah scorang pria sedang ibu adalah seorang wanita. Begitu
pula anak-anak itu dapat terdiri dari bagian dari pria dan sebagian lagi dari wanita. Belum lagi
dilihat kepribadiannya; ibu berbeda dari bapak, begitu pula anak yang satu dari lainnya; bahkan
anak yang kembar tidak sama kepribadiannya. Demikianlah, dengan mempergunakan istilah
“kekeluargaan” dalam pergaulan hidup manusia itu maka ditentukan bahwa dalam pergaulan
hidup manusia itu oleh Bangsa Indonesia kepribadian masing-masing individu yang diakui dan
dilindungi. Dalam keluarga itu tadi, yang anggota-anggotanya berbeda satu dari lainnya;
berbeda dalam umur, jenis kelamin dan pula dalam kepribadiannya, masing-masing dari
anggotanya merasa satu dengan yang lain; merasa kurang enak kalau ditanggapi oleh salah satu
di antara mereka.9
Kepribadian baru dapat berkembang dengan sempurna dalam kesatuannya, keluarga.
Satu kesatuan ini, keluarga, hanya dapat berkembang dengan sempurna kepribadian masing-
masing anggotanya yang dilindungi dan dilindungi. Dengan demikian, dengan istilah
“kekeluargaan” itu, dinyatakan pula, bahwa dengan adanya perbedaan itu untuk ada kesatuan.
Dan ini adalah timbal balik; artinya bahwa dalam pernyataan adanya kesatuan keluarga itu ada
juga perbedaan. Sehingga “kekeluargaan” itu dapat diartikan : “Perbedaan dalam Kesatuan;
Kesatuan dalam Perbedaan”, Seperti dinyatakan di atas, maka baik dengan “kekeluargaan”,
maupun dengan “Bhinneka Tunggal Ika” itu Bangsa Indonesia yang dikemukakan
penglihatannya tentang tempat individu dalam pergaulan hidup manusia. 10
Sebaiknya masalah diselesaikan secara kekeluargaan artinya sebaiknya pihak-pihak
yang mengalami masalah ini menyelesaikannya dengan saling menghargai dan saling
menghormati perbedaan satu dengan yang lainnya. Sehingga tercipta penyelesaian masalah dan
bisa mengakrabkan diri dengan orang disekitarnya karena dengan adanya perbedaan dapat
menciptakan suatu kesatuan.

9
Sudiman Kartohadiprodjo, op.cit, hal. 27.
10
Ibid
4. Bandingkan pelaksanaan perkawinan menurut KUH Perdata, U.U. Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, dan pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat Bali
Pelaksanaan perkawinan menurut KUH Perdata dilihat dari Pasal 71 KUH Perdata,
sebelum melangsungkan perkawinan, Pegawai Catatan Sipil harus meminta supaya
diperlihatkan kepadanya :
1. Akta kelahiran calon suami-isteri masing-masing.
2. Akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil tentang adanya izin kawin dari mereka
yang harus memberi izin, izin mana juga dapat diberikan dalam surat perkawinan
sendiri.
3. Akta yang memperlihatkan adanya perantaraan Pengadilan Negeri.
4. Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus diperlihatkan akta perceraian, akta
kematian suami atau di dalam hal ketidakhadiran suami atau isteri yang dahulu, turunan
izin Hakimk untuk kawin.
5. Akta kematian segala mereka yang sedianya harus memberikan izin kawin.
6. Bukti, bahwa pengumuman kawin tanpa pencegahan telah berlangsung di tempat, di
mana pengumuman itu diperlukan, ataupun bukti bahwa pencegahan yang dilakukan
telah digugurkan.
7. Dispensasi kawin yang telah diberikan.
8. Izin bagi para perwira dan militer rendahan yang diperlukan untuk kawin.
Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu :
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah
meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari
pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi
kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya.
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat Bali, adanya pelaksanaan upacara
agama dalam perkawinan akan berjalan sesuai dengan rangkaian pelaksanaan perkawinan yang
terdiri atas :11
Upacara Sebelum Perkawinan
Sesudah acara mapadik selesai dilaksanakan, pada umumnya hari dan saat itu juga,
menampilkan acara pengambilan (calon mempelai perempuan diajak ke rumah calon mempelai
laki-laki). Upacara pertama sebelum perkawinan yang dilaksanakan, berupa upacara
pasegehan agung yang dilaksanakan di depan pintu gerbang rumah calon mempelai laki-laki
(tempat upacara perkawinan akan dilangsungkan). Sesuai namanya, sarana pokok upacara ini
adalah segehan agung dengan segala kelengkapannya, kapuput (dipimpin) oleh seorang
pinandita (rohaniawan Hindu yang disebut pemangku) oleh seorang yang dituakan dalam
keluarga calon pengantin laki-laki.
Upacara Perkawinan

11
Wayan P. Windya, 2015, MAPADIK Orang Biasa Kawin Biasa Cara Biasa di Bali, Udayana University
Press, Denpasar, hal. 104.
Proses pelaksanaannya, juga telah sesuai dengan norma agama Hindu dan Hukum Adat
Bali, yaitu dengan rangkaian upacara pokok berupa abhayakala atau byakaonan dilengkapi tri
upasaksi (tiga jenis sanksi) yang terdiri atas bhuta saksi (upacara byakaonan), dewa saksi
(upacara pada sanggar surya), dan manusa sakti (dihadiri oleh prajuru desa pakraman atau
prajuru banjar pakraman) pada waktu upacara perkawinan dilaksanakan. Sekali lagi perlu
ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan prajuru desa pakraman atau prajuru banjar pakraman
dalam hal ini adalah prajuru di tempat orang tua pengantin laki-laki terdaftar (mipil) sebagai
krama desa.Sebagaimana dikemukakan di atas, selain upacara pokok, upacara perkawinan juga
upacara yang dikenal pula dengan sebutan upacara pasakapan duwur (di atas) atau pasakapan
gede (sebutan lainnya upacara natab banten duwur atau natab banten ayaban atau natab banten
ajuman). Sesuai namanya, upacara ini dilaksanakan duwur (bukan di natah atau halaman
rumah melainkan di atas atau duwur, tepatnya di bale dangin). Pada umumnya, upacara ini
dilaksanakan pada hari yang sama dengan upacara pesakapan beten (cuma waktunya sore hari)
dan ada pula yang dilaksanakan pada hari yang berbeda (beberapa hari atau beberapa minggu
sesudah upacara pasakapan beten), tergantung dewasa ayu (hari baik) dan kesepakatan diantara
keluarga pengantin.
Upacara Sesudah Perkawinan
Sesudah upacara perkawinan dilaksanakan, dengan rangkaian upacara sesudah upacara
perkawinan, berupa upacara mapajati atau disebut pula upacara majauman atau upacara
magapgapan katipat bantal yang dilaksanakan di rumah mempelai perempuan (dalam
perkawinan biasa) atau di rumah mempelai laki-laki (dalam perkawinan nyentana, dan dirumah
mempelai laki-laki dan perempuan (pada perkawinan pada gelahang). Makna upacara mapajati
atau magapgapan dalam konteks upacara perkawinan. Pada umumnya orang berpendapat
upacara mapajati mengandung makna "mapamit" (meninggalkan rumah orang tua) untuk
menetap di rumah.
Apabila dalam perkawinan tidak demikian adanya, keabsahan pelaksanaan perkawinan
tersebut patut dipertanyakan dan dipersoalkan secara hukun (yuridis). Selain itu, bisa
berpotensi memberikan konsekwensi dan implikasi yuridis, bagi pasangan yang
melangsungkan perkawinan atau bagi pihak penyelenggara dan / atau pinandita / pandita yang
muput (memimpin) pelaksanaan upacara perkawinan tersebut. Konsekwensi yuridis bagi
pasangan yang melakukan perkawinan, antara lain : (1) Perkawinan dapat dibatalkan, (2)
Perkawinan batal demi hukum, (3) Pasangan pengantin dapat dihukum, apabila perkawinan
dilaksanakan adalah perkawinan kedua, tanpa ijin pengadilan atau tanpa ijin istri pertama.
Konsekwesni bagi penyelenggara (yang muput), antara lain : (1) Dapat dimintai keterangan
sebagai saksi. (2) Tidak tertutup pula kemungkinan dapat dihukum, apabila terbukti dengan
meyakinkan telah memberikan keterangan palsu pada waktu memberikan kesaksian.
Dapat dilihat perbandingan perkawinan menurut KUH Perdata kemudian Undang-
Undang Perkawinan dengan Hukum Adat Bali, masyarakat Bali harus melaksanakan uparaca
perkawinan dengan adatnya masing-masing. Pentingnya hubungan sekala dan niskala dalam
kehidupan di Bali ini yang menjadikannya sahnya perkawinan di Bali tidak hanya berlandaskan
suka sama suka begitupun surat atau persyaratan yang harus dipenuhi, akan tetapi rentetan
upacara beserta bantennya harus menjadi sarana utama dalam perkawinan ini. Apabila dalam
perkawinan tidak demikian adanya, keabsahan pelaksanaan perkawinan tersebut patut
dipertanyakan dan dipersoalkan secara hukun (yuridis) maka perkawinan menurut Hukum
Adat Bali berpotensi memberikan konsekwensi dan implikasi yuridis bagi pasangan
perkawinan tersebut.

5. Apa yang dimaksud sistem kekeluargaan/kekerabatan dan jelaskan dengan contoh


pentingnya seorang notaris memahami sistem kekeluargaan?
Pengertian Sistem Kekeluargaan
Sistem kekeluargaan atau kekerabatan artinya cara keturunan garis keturunan. Garis
keturunan penting untuk melihat kepada siapa seseorang yang memiliki hubungan darah dalam
garis ke atas dan ke bawah. Hubungan darah perlu diketahui, karena ada hubungan dengan
pelaksanaan tanggung jawab (swadharma) seseorang terhadap keluarga dan masyarakat (desa
pakraman), serta hak (swadikara) bagi orang yang terlibat dalam keluarga dan masyarakat.
Sistem kekeluargaan yang tepat dalam masyarakat di Indonesia sangat beragam dengan
beragamnya etnis etnis, agama, dan budaya masyarakat Indonesia. Secara umum dalam
masyarakat Indonesia dikenal adanya tiga sistem kekeluargaan, yaitu :12
(1) Sistem kekeluargaan patrilineal. Dalam sistem kekeluargaan ini, keturunan atau
anak yang lahir akan dilacak atau mengikuti garis atau darah sang bapak / ayah.
Contohnya antara lain pada etnis Bali yang beragama Hindu. Sistem ini di Bali lebih
dikenal dengan istilah sistem kapurusa atau purusa.
(2) Sistem kekeluargaan matrilineal. Dalam sistem kekeluargaan ini, keturunan atau
anak yang lahir akan dilacak atau mengikuti garis atau darah ibu. Contohnya di
Minangkabau.
(3) Sistem kekeluargaan parental. Dalam sistem kekeluargaan ini, keturunan atau anak
yang lahir akan dilacak atau mengikuti garis atau darah bapak atau ibu, sehingga
sistem kekeluargaan ini juga disebut sistem kekeluargaan kebapak-ibuan. Seperti
sampel pada etnis Jawa.
Dianutnya sistem kekeluargaan kapurusa atau patrilineal dalam masyarakat hukum adat
di Bali, berpengaruh terhadap hukum kekeluargaan bagi umat Hindu, termasuk perkawinan,
perceraian, pengangkatan anak, kematian, dan pewarisan. Dalam hubungan dengan
perkawinan, dikenal sebagai tiga bentuk perkawinan di Bali, yaitu (1) perkawinan biasa; (2)
perkawinan nyentana; dan (3) perkawinan pada gelahang. Bentuk perkawinan pada gelahang
baru diperkenalkan pada tahun 2008, oleh Perhimpunan Dosen Hukum Adat (Pershada) Bali,
sebagai bentuk perkawinan anternatif, apabila tidak mungkin melangsungkan perkawinan biasa
dan perkawinan nyentana. 13
Sistem kekeluargaan/kekerabatan adalah suatu cara untuk melacak garis keturunan,
agar mengetahui kepada siapa seseorang memiliki hubungan darah dan keluarga sehingga
mudah mengetahui pewarisannya. Seorang Notaris penting untuk mengetahui sistem
kekeluargaan dikarenakan dalam urusan peralihan hak waris atas tanah seperti salah satunya
peralihan hak waris atas tanah dikarenakan pemilik sertifikat hak atas tanah sudah meninggal
dunia maka Notaris akan membuat sertifikat turun waris oleh penerus dari orang yang sudah
meninggal ini. Maka dari itu Notaris tidak boleh sembarangan menentukan ataupun
mengabulkan keinginan para pihak yang akan menjadi pemilik sertifkat selanjutnya dalam
sertifikat hak atas tanah. Notaris harus meminta silsilah keluarga besar dari pihak yang ingin
membuat serifikat tanah tersebut untuk menjadi bukti bahwa siapa yang berhak menjadi ahli
waris sebenarnya pada sertifikat hak atas tanah tersebut. Disinilah pentingnya Notaris
mengetahui sistem kekeluargaan agar tidak terjadinya kesalahan dalam pembuatan sertifikat
dalam melakukan turun waris.

6. Apa yang dimaksud ”sentana” mengapa orang Bali Hindu perlu memiliki sentana?
Sentana = anak = pelanjut keturunan. Prati sentana = anak gelah (anak kandung).
Sentana paperasan (anak angkat). Sentana paperasan berasal dari kata ”sentana” = anak dan
”peras” = salah satu bentuk upakara sesuai ajaran agama Hindu. Proses pengangkatan anak
menurut hukum adat Bali, baru dapat dikatakan/disebut sah setelah dilaksanakannya upacara
paperasan sesuai dengan Hukum Adat Bali dan agama Hindu. Itu sebabnya anak angkat itu

12
Ibid, hal. 10.
13
Ibid, hal. 11.
dikenal pula dengan sebutan sentana paperasan. Dalam hubungan dengan pewarisan, sentana
paperanan (anak angkat) memiliki kedudukan yang sama dengan anak gelahang (anak
kandung).14
Pengangkatan Anak Wanita sebagai Sentana ada di Kabupaten Tabanan, terdapat
peraturan pengangkatan anak-anak wanita hanya bagi golongan sudra (kaula jaba), mula-mula
diangkatlah dulu si anak wanita itu dan setelah perkawinannya si menantu lelaki juga
dinamakan anak sentana, akan tetapi hukumnya benar-benar sama sebagai anak sentana
selidihi. Di Kabupaten Tabanan, seorang ayah yang hanya mempunyai anak-anak wanita, lalu
mengangkat dan menetapkan semua anak wanitanya itu menjadi sentana; dalam surat sentana
yang bersangkutan. Ditentukan, bahwa lelaki yang paling dulu kawin dengan salah seorang
dari anak-anak wanita itu, maka ia (si lelaki) harus menjadi sentana di rumah mertuanya.
Beberapa desa di Kabupaten Karangasem antara lain di desa Nyuh Tebel, seorang mertua tidak
diperbolehkan mengajak (menetapkan sebagai anak sentana) anak-anak menantu lelaki di
rumah adatnya. Pada akhirnya, dijumpai pula bahwa seorang lelaki yang tidak mempunyai
anak, tidak dapat memperoleh seorang calon sentana lelaki dari lingkungan anggota-anggota
keluarga besarnya, seperti yang ada di atas, akan tetapi hanya mendapatkan seorang calon
sentana perempuan dari lingkungannya, maka ia akan mengambil juga anak perempuan itu
untuk dijadikan sentananya. Anak perempuan yang diangkat itu menjadi anak kandung
tunggalnya yang selanjutnya dinyatakan sebagai sentana "Luh" atau "Rajeg", artinya sentana
perempuan.15
Pengangkatan anak-anak wanita, bukan anak kandung, terdapat di seluruh Bali Selatan,
kecuali di Kabupaten Karangasem dan dulu juga ada di Kabupaten Jembrana. Di desa Ngis,
Kabupaten Karangasem wanita-wanita hanya dapat dipinjam sebagai sentana. Apabila seorang
lelaki kawin selarian dengan seorang anak perempuan yang telah ditunjuk dan ditetapkan
sebagai sentana, maka di Kabupaten Tabanan sesuai peraturan, bahwa si menantu lelaki itu
harus berdiam di rumah mertuanya, di Kabupaten Jembrana kiranya tidak ada peraturan yang
seperti itu. Di Kabupaten Gianyar, kiranya si menantu lelaki itu masih harus disahkan (diperas)
sebagai anak dan lanjut dipelajari. Hal yang demikian itu dinamakan “dudukan mantu”,
sedangkan di Kabupaten Klungkung si anak angkat wanita yang melakukan perkawinan
nyeburin karena itu suami juga turut menjadi sentana. Dalam hal anak-anak menantu lelaki
yang melakukan perkawinan nyeburin, kadang-kadang timbul keberatan, bahwa si anak
perempuan itu memilih seorang lelaki yang bagi keluarganya, tidak cocok dan tidak patut. 16
Dari penjelasan diatas bahwa pengangkatan anak dalam kehidupan masyarakat Bali
adalah suatu hal yang sangat penting. Bagi keluarga yang mengangkat anak, perbuatan itu
berarti bahwa seorang anggota baru dalam lingkungannya, dan yang akan menjalankan, serta
memenuhi kewajiban-kewajiban berkenaan dengan keagamaan yang dilakukan oleh keluarga,
yang bertugas, sedangkan anak angkat mangambil kewajiban-kewajiban itu, sepanjang
kewajiban-kewajiban tersebut dijalankan di tempat pemujaan dari keluarga itu, yang karena
tidak ada keturunan anak terancam akan lenyap dari kehidupan ini. Bagi krama desa
pengangkatan anak begitu penting, karena datangnya seorang warga desa baru atau calon warga
desa. Lierinck lebih dulu sudah menyatakan bahwa pangangkatan anak dilakukan dengan
dibuatkan surat, dan dalam hal ini mengatur kewenangan desa selama lima hari, dengan disertat
formalitas-formalitas, penyuguhan dan sajen-sajen yang cukup banyak di desa yang
bersangkutan, upacara pengesahan (pemerasan). 17

14
V.E Korn, 2013, Bentuk -Bentuk Sentana Menurut Hukum Adat Bali Pada Masa Kolonial , Udayana
University Press, Denpasar, hal. 10.
15
Ibid, hal. 24.
16
Ibid, hal. 25.
17
Ibid, hal. 26.
7. Untuk menjamin validitas sebuah silsilah, sebenarnya belum cukup hanya diketahui oleh
Kepala Lingkungan/Dusun dan Kepala Desa/Lurah, tetapi sebaiknya diketahui Kelihan
Banjar Adat dan Bendesa Adat. Akan lebih baik lagi apabila diketahui oleh Kelihan Dadya.
Jelaskan mengapa demikian.
Pengertian dadia disini adalah sekelompok kekerabatan yang terdiri atas segabungan
rumah tangga yang berasal dari satu nenek moyang dan satu sama lain terikat melalui garis
keturunan laki-laki. Dapat disimpulkan dadia ini merupakan suatu keluarga besar dalam ruang
lingkup keturunan dari garis laki-laki. Sistem kekerabatan di Bali Sistem kekerabatan
patrilineal. Dalam sistem kekeluargaan ini, keturunan atau anak yang lahir akan dilacak atau
mengikuti garis atau darah sang bapak / ayah. Contohnya antara lain pada etnis Bali yang
beragama Hindu. Sistem ini di Bali lebih dikenal dengan istilah sistem kapurusa atau purusa
Maka dari itu silsilah dalam keluarga ini sangat penting diketahui khususnya oleh
Kelihan Dadya. Kelihan merupakan pemimpin dalam keluarga, jadi kelihan harus mengetahui
siapakah penerus atau keturunan dalam keluarganya, karena dalam hak waris haruslah
berdasarkan silsilah keluarga yang ada contohnya dalam urusan hak waris atas tanah seperti
salah satunya peralihan hak waris atas tanah dikarenakan pemilik sertifikat hak atas tanah yang
sudah meninggal dunia, jadi yang berhak menjadi ahli waris sebenarnya pada sertifikat hak
atas tanah tersebut dilihat dari silsilah yang ada agar nantinya tidak terjadinya kesalahan dalam
penurunan hak waris. Disini pentingnya juga sebuah silsilah keluarga diketahui oleh Kelihan
Banjar Adat dan Bendesa Adat karena dalam Hukum Adat Bali ada istilah mebraya / saling
membantu sesama dalam lingkungan adatnya masing-masing, karena setelah dewasa nanti kita
akan mendapatkan warisan parhyangan, warisan pawongan, dan warisan palemahan dari
keturunan yang sebelumnya. Selain itu kita wajib mengambil ayah-ayahan / kerja fisik secara
penuh, baik dalam bidang parhyangan, pawongan, dan palemahan.

DAFTAR PUSTAKA :

BUKU :
H. Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung
Sudiman Kartohadiprodjo, 1981, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia Cet. Kesembilan, PT.
Pembangunan Ghalia Indonesia, Bandung
R. Soepomo, 1986, Bab Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta
V.E Korn, 2013, Bentuk-Bentuk Sentana Menurut Hukum Adat Bali Pada Masa Kolonial,
Udayana University Press, Denpasar
Wayan P. Windya, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar
Wayan P. Windya, 2015, MAPADIK Orang Biasa Kawin Biasa Cara Biasa di Bali, Udayana
University Press, Denpasar

JURNAL / KARYA ILMIAH :


Dewa Ayu Herlina Dewi, 2020, Kedudukan Ahli Waris yang Berpindah Agama terhadap Harta
Waris Menurut Hukum Waris Adat Bali, Jurnal Preferensi Hukum Universitas
Warmadewa, Vol. 1, No, 2
Laurensius Mamahit, Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Akibat Perkawinan Campuran Ditinjau
Dari Hukum Positif Indonesia, Lex Privatum, Vol. 1, No. 1
Wayan P. Windya, 2017, Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat Bali, Kuliah Umum di
Fakultas Hukum Unipas, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai