Anda di halaman 1dari 4

Tugas Hukum Adat

Ujian Harian

D
I
S
U
S
U
N

Dosen
Imawan Susanto SH., MH.

Oleh
Rashif Agby Zharfan Saudin
20211021
STIH PROF. GAYUS LUMBUUN JAKARTA
1. Definisi Perkawinan Menurut Hukum Adat
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat
adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai, tetapi juga orang tua
kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing.
Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penteng bagi mereka
yang masih hidup saja.
Tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya
mendapat perhatina dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.
Berikut ini akan dikemukakan definisi perkawinan menurut hukum adat yang dikemukakan
oleh para ahli:
1. Hazairin
Menurut Hazairin perkawinan merupakan rentetan perbuatan-perbuatan magis, yang
bertujuan untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan.

2. A. Van Gennep
Perkawinan sebagai suatu rites de passage (upacara peralihan) peralihan status kedua
mempelai. Peralihan terdiri dari tiga tahap:
• Rites de separation
• Rites de merge
• Rites de aggregation
3. Djojodegoeno
Perkawinan merupakan suatu paguyupan atau somah (jawa: keluarga), dan bukan
merupakan suatu hubungan perikatan atas dasar perjanjian. Hubungan suami-istri sebegitu
eratnya sebagai suatu ketunggalan.
Definisi Perkawinan Menurut Hukum Iisla
Menurut hukum islam perkawinan adalah perjanjian suci (sakral) berdasarkan agama antara
suami dengan istri berdasarkan hukum agama untuk mencapai satu niat, satu tujuan, satu
usaha, satu hak, satu kewajiban, satu perasaan: sehidup semati.
Perkawinan adalah percampuran dari semua yang telah menyatu tadi. Nikah adalah akad
yang menghalalkan setiap suami istri untuk bersenag-senang satu dengan yang lainnya.
(Jaza’iri, A.B.J,

2. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (2) menjelaskan


adannya kewajiban untuk melaksanakan Pencatatan perkawinan disetiap
perkawinan di Indonesia
3. Dalam pernikahan perihal uang, kekayaan atau harta benda adalah salah satu hal
yang sangat sensitif. Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
pasal 35 disebutkan bahwa terdapat dua jenis harta benda dalam perkawinan yaitu
harta bersama dan harta bawaan.
Pasal 35 ayat (1) menjelaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan
mejadi harta bersama.
Harta bersama ini yang kita kenal dengan istilah harta gono-gini. Yang termasuk dalam
harta gono-gini adalah semua harta yang terbentuk atau terkumpul sejak tanggal terjadinya
perkawinan.
Sedangkan pasal 35 ayat (2) menjelaskan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami
dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan,
adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan hal
lain.
4. Kenyataannya, selama ini, harta kekayaan selama masa perkawinan selalu
tercampur antara milik suami dan milik isteri, sehingga tidak diketahui dengan jelas
batas kepemilikannya antara keduanya.
Selama perkawinan masih berlangsung hal-hal seperti itu tidak menjadi masalah.
Akan tetapi permasalahan akan muncul ketika perkawinan itu berakhir atau terjadinya
perceraian.
Apakah harta tersebut kembali kepada pihak pemilik atas nama, atau kepada pihak
yang membiayai pembelian tersebut.
Sering terjadi seluruh harta kekayaan yang mereka miliki hingga masa terjadi
perceraian, termasuk didalamnya harta bawaan ikut disengketakan.
Dalam hal ini, proses pembagian harta bersama akibat perceraian di Kecamatan Tanah
Kampung berdasarkan musyawarah dengan menggunakan Hukum Adat.
Harta yang diperoleh secara bersama selama masa perkawinan bila terjadi perceraian
harta tersebut dibagi sama rata.
Pembagian tersebut dengan menghadirkan wali dari kedua belah pihak suami dan isteri.
Kemudian didengar pendapat masing-masing, dan setelah ditemukan kata sepakat,
kemudian harta tersebut di bagi berdasarkan kesepakatan dan berdasarkan
musyawarah

5. Di Indonesia, hukum adat adalah hukum positif yang tidak tertulis. Hukum ini sudah
dikenal lama di Nusantara, namun penyebutannya berbeda-beda di setiap wilayah.
Misalnya, “hadat” di Sulawesi Tengah, “ngadat” di Jawa, atau “odot” di Gayo.
Kata “hukum adat” berasal dari bahasa Belanda, yaitu adatretch. Istilah ini pertama kali
digunakan oleh seorang ahli sastra ketimuran berkebangsaan Belanda yang bernama
Snouck Hurgronje. Sedangkan “adat” berasal dari bahasa Arab yang artinya kebiasaan.
Mengutip buku Hukum Adat : Perkembangan dan Pembaruannya tulisan Teuku Muttaqin
Mansur (2018), adat menurut Abdullah Siddik merupakan pedoman hidup masyarakat yang
tertuang dalam peraturan, petunjuk, perumpaan, gurindam, hingga pepatah.
Sementara itu hukum adat menurut Ter Haar (2005) adalah keseluruhan aturan yang
menjelma dari keputusan fungsionaris hukum serta mempunyai pengaruh dan yang dalam
pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan ditaati sepenuh hati oleh masyarakat.
Menurut Soekanto (2005), hukum adat merupakan kompleks adat-adat yang kebanyakan
tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan, namun bersifat paksaan, mempunyai saksi, telah ada
sejak lama dan masih berkembang serta ditaati oleh masyarakat.
Sejatinya, ada dua manfaat yang bisa didapatkan dengan mempelajari hukum adat, di
antaranya:
1. Memahami Budaya Hukum Indonesia
Hukum adat dapat dipelajari untuk memahami budaya hukum di Nusantara. Dengan
mempelajari hukum adat, kita dapat mengetahui hukum adat mana yang tidak relevan
lagi dengan perubahan zaman dan hukum adat mana yang dapat mendekati
keseragaman yang bisa diberlakukan sebagai hukum nasional.
2. Tolak Ukur Mempelajari Hukum
Hukum adat sebagai hukum yang lahir dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri harus
dipertahankan sebagai hukum positif. Dengan begitu, hukum adat mampu dijadikan tolak
ukur dalam mempelajari hukum yang digunakan masyarakat penganutnya.
Ciri-ciri Hukum Adat
Menurut Prof. Koesno dalam buku Ilmu Hukum Adat yang ditulis oleh Sri Warjiyati (2020),
hukum adat dapat dikenali dengan beberapa ciri tertentu, antara lain adalah:

 Hukum adat umumnya hukum yang tidak tertulis.


 Norma-norma hukum adat tertuang dalam petuah-petuah yang memuat asas-asas
peri kehidupan dalam masyarakat.
 Asas-asas itu dirumuskan dalam bentuk pepatah-pepatah, petitih-petitih, seloka-
seloka, cerita-cerita, dan perumpamaan.
 Kepala adat selalu dimungkinkan ikut campur tangan dalam segala urusan.
 Faktor-faktor dari segala kepercayaan atau agama sering kali tidak bisa dipisahkan
lantaran erat terjalin dengan segi hukum dalam arti sempit.
 Faktor pamrih sulit dilepaskan dari faktor bukan pamrih.
 Ketaatan dalam melaksanakannya lebih didasarkan pada rasa harga diri setiap
anggota masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai