Anda di halaman 1dari 6

PROPOSAL

PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT UNDANG-UNDANG


NOMOR 1 PERKAWINAN 1974 MENYIMPANG DARI PRINSIP-
PRINSIP PEWARISAN

(Legal Issue : Status Hukum Pembagian Warisan Perkawinan Beda Agama


Pascaputusan Surat Edaran Mahkamah Agung)

Disusun Oleh:

Fidayati

NIM:

231090200

PROGRAM STUDI

MAGISTER HUKUM

PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALU

2024
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara hukum yang ditempati oleh bermacam golongan etnik,
sosial, agama serta adat yang masing-masing memiliki tanggung jawab akhlak untuk
menjaga norma serta pemikiran hidup mereka. Keberagaman budaya tersebut terlihat
dengan banyaknya suku atau marga, sistemsosial, serta system budaya yang terdapat di
Indonesia. Dengan adanya keberagaman budaya tersebut maka timbul suatu pertanyaan
bagaimana cara menyelaraskan hubungan antara suku bangsa, yang menimbulkan aturan
hukum dan kebudayaan yang berbeda. Beraneka ragam suku bangsa yang terdapat di
Indonesia sehingga beraneka ragam pula adat- istiadat ataupun hukum yang ada di
kehidupan bermasyarakat, semacam perihalnya mengenai pewarisan.
Manusia sebagai individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun
sebagai mahkluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat karena manusia sejak
lahir, hidup berkembang danmeninggal dunia selalu di dalam lingkungan masyarakat dan
menjadikodrat manusia untuk hidup berdampingan dengan sesama manusiadan
berusaha untuk meneruskan keturunan dengan cara melangsungkan perkawinan.
Dalam lembaga perkawinan masyarakat kita sejak dahulu mengenal adanya pencampuran
harta perkawinan. Para mempelai tidak pernah meributkan mengenai harta masing-
masing pihak. Asas saling percaya dan memahami pasangan menjadi landasan dalam
penyatuan harta perkawinan. Perlahan budaya asing yang dikenal bersifat
individualistis dan materialistis masuk ke Indonesia melalui para penjajah. Setelah
berabad-abad pola hidup mereka menurun pada generasi bangsa Indonesia. Dalam
pandangan masyarakat, perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga
sebagai dasar kehidupan masyarakat dan negara. Guna mewujudkan kesejahteraan
dan kebahagian masyarakat, perlu adanya landasan yang kokoh dan kuat sebagai titik
tolak pada masyarakat yang adil dan makmur, hal ini dituangkan dalam suatu
Undang-undang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara di wilayah negara
Kesatuan Republik Indonesia.Sebagai mana tercantum dalam Pasal 1 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan dan agama memiliki hubungan yang erat dan tidak terpisahkan sehingga
semua agama mengatur masalah perkawinan dan pada dasarnya setiap agama selalu
menginginkan perkawinan antara seorang lakilaki dengan perempuan yang satu agama.
Hal ini dapat dipahami karena agama merupakan dasar atau pondasi yang utama dan
sangat penting dalam kehidupan rumah tangga, dengan memiliki pondasi agama yang
kuat diharapkan kehidupan rumah tangga pun menjadi kuat sehingga tidak akan roboh
kendati hanya dengan sedikit goncangan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak dengan tegas memuat
ketentuan yang menyebutkan bahwa perbedaan agama antara calon suami isteri adalah
dilarang atau merupakan halangan perkawinan. Sejalan dengan itu dari Pasal 27 Ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa “setiap
warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”. Di sini berarti
setiap warga Negara, memiliki hak yang sama kedudukannya dalam hukum sekalipun
agamanya berbeda. Hal ini kemudian dapat dijelaskan bahwa Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan yang calon suami
atau calon isterinya memeluk agama yang berbeda.
Akibat dari suatu perkawinan memiliki dimensi yang cukup luas antara lain sosial dan
hukum, mulai pada saat perkawinan, selama perkawinan maupun setelah
perkawinan, karena dalam suatu perkawinan banyak hal yang akan terjadi maupun
yang akan didapatkan seperti; masalah harta, keturunan, dimana apabila tidak ada
ketentuan yang jelas khususnya masalah pembagian harta peninggalan dari yang
meninggal maupun yang melakukan perceraian, termasuk juga masalah harta
bawaan masing-masingakan menimbulkan suatu persoalan. Perjanjian Kawin juga banyak
dipilih calon pasangan yang salahsatu atau keduanya punya usaha berisiko tinggi.
Misalnya, sebuah usaha yang dikelola di tengah kondisi perekonomian Indonesia
yangmemungkinkan banyak terjadinya hal yang tak terduga. Akibat perkawinan
terhadap harta benda suami isteri menurut KUHPerdata adalah harta campuran bulat
dalam pasal 119 KUHPerdata harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan menjadi
harta bersama meliputi seluruh harta perkawinan yaitu : harta yang sudah ada pada waktu
perkawinan, harta yang diperolehsepanjang perkawinan.Perjanjian kawin harus dibuat
dalam bentuk tertulis, dan di buat sebelum perkawinan berlangsung, serta mulai berlaku
sejak perkawinan dilangsungkan. Perjanjian itu dilekatkan pada pada akta nikah dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan surat nikah, dan perjanjian perkawinan
dibuat atas persetujuan atau kehendak bersama, dibuat secara tertulis, disahkan oleh
pegawai catatan sipil, serta tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan
kesusilaan.
Dalam UU Nomor I Tahun 1974, perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 ayat 4 dimana
perjanjian perkawinan yang telah dibuat dimungkinkan untuk diubah sepanjang tidak
merugikan pihak ketiga. Berdasarkan Pasal 29 tersebut di atas, perjanjian kawin
yang diadakan antara suami isteri adalah perjanjian tertulis kecuali ta’lik talak yang
disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, apapun yang diperjanjikan asalkan tidak
melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan, serta jika terjadi perjanjian
perkawinan itu disahkan bukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan maka perjanjian itu
tidak dapat dikatakan perjanjian perkawinan melainkan.
Warisan adalah semua peninggalan pewaris yang berupa hak dan kewajiban atau semua
harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia setelah dikurangi
semua utangnya. Menurut pakar hukum Indonesia, Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro (1976),
hukum waris diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan
seseorang setelah ia meninggal dunia (pewaris), dan cara-cara berpindahnya harta
kekayaan itu kepada orang lain (ahli waris). Meskipun pengertian hukum waris tidak
tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata, namun tata cara
pengaturan hukum waris tersebut diatur oleh KUH Perdata. Sedangkan berdasarkan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, pengertian hukum waris adalah hukum yang
mengatur pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan pewaris, lalu menentukan
siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagian masing-masing.
Ketika telah ada ikatan perkawinan, maka pasangan suami istri memiliki harta
kekayaan gono gini (harta bersama) dan akan mengakibatkan adanya pembagian
harta warisan bagi anggota keluarga apabila ada yang meninggal dunia. Waris
menunjukkan orang yang menerima atau mempusakai dari orang yang telah
meninggal dunia. Dalam hukum adat istilah waris lebih luas artinya dari arti asalnya,
sebab terjadinya warisan tidak saja setelah adanya yang meninggal dunia tetapi
selagi masih hidupnya orang yang akan meninggalkan hartanya dapat mewariskan
kepada warisnya (Nurkhadijah, tt: 14). Hukum waris adat sangat erat hubungannya
dengan sifat-sifat kekeluargaan masyarakat hukum yang bersangkutan serta
pengaruhnya pada harta kekayaan yang ditinggalkan dan berada dalam masyarakat
tersebut (Harijanto Hartiman, 2007: 104).
Menurut Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pegawai
pencatat untuk perkawinan menurut agama Islam adalah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk,
sedangkan bagi mereka yang tidak beragama Islam adalah pegawai pencatat perkawinan
pada Kantor Catatan Sipil. Dengan demikian bagi pemohon yang beragama Islam dan
yang akan melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita beragama Non Islam tidak
mungkin melangsungkan perkawinan di hadapan pegawai pencatat perkawinan pada
Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya kemungkinan, sebab di luar itu tidak ada
kemungkinan lagi untuk melangsungkan perkawinan. Kecuali dengan mengajukan
permohonan penetapan pada Pengadilan Negeri guna mendapatkan izin untuk
melangsungkan pernikahan beda agama. Pengadilan Negeri memerintahkan Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil untuk mencatatkan perkawinan pasangan beda agama.
Pada hakekatnya sekarang ini masih ada keluarga yang telah melaksanakan perkawinan
beda agama antara pemeluk agama Islam dengan NonIslam. Perkawinan tersebut
terlaksana dengan cara memohon penetapan dari Pengadilan. Undang-Undang
Perkawinan sendiri penafsiran resminya hanya mengakui perkawinan yang dilangsungkan
berdasarkan agama dan kepercayaan yang sama dari dua orang yang berlainan jenis yang
hendak melangsungkan perkawinan. Dalam masyarakat yang pluralistik seperti di
Indonesia, sangat mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang
berlainan.
Hakim merupakan pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman.Sebagai pejabat
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman maka hakim adalah penegak hukum dan
keadilan.Dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, hakim wajib memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.Hakim harus mempunyai pengetahuan
pengetahuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.Oleh karena itu, ada larangan bagi
hakim untuk menolak, memeriksa mengadili dan memutus perkara yang sudah diajukan
kepadanya.Hakim dalam memutuskan perkara harus memiliki moralitas dan tanggung
jawab yang tinggi, salah satunya dengan prinsip kebebasan.Seorang hakim harus
menegakkan dan memberi contoh mengenai kebebasan peradilan baik dalam aspek
perorangan maupun aspek kelembagaan.
Adanya perkawinan antar agama akan terjadi suatu perbedaan prinsipil dalam
perkawinan sehingga dikhawatirkan akan timbul masalah-masalah yang sulit diselesaikan
di kemudian hari, misalnya mengenai hak dan kewajiban suami istri, kewarisan dan
pemeliharaan anak. Namun jika orang tuanya saja memiliki prinsip dan keyakinan yang
berbeda, bagaimana cara orang tua tersebut mendidik dasar keagamaan kepada si anak
tersebut. Selain itu, masalah yang akan timbul yaitu jika pasangan beda agama tersebut
bercerai pengadilan mana yang akan menangani kasus perceraian tersebut selain itu jika
salah satu dari pasangan beda agama tersebut ada yang meninggal dunia bagaimana
dengan masalah kewarisan. Dari masalah kewarisan tersebut akan timbul apakah seorang
anak yang lahir dari perkawinan beda agama berhak mewaris dari ayah atau ibu yang
berbeda agama dengan si anak tersebut. Oleh karena perkawinan beda agama hanya akan
menimbulkan masalah-masalah, maka banyak pihak yang menentang perkawinan beda
agama.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas terdapat rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam pemberian legalitas izin perkawinan
pembagian warisan perkawinan beda agama sebelum SEMA?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim
dalam pemberian legalitas izin perkawinan pembagian warisan perkawinan beda agama
sebelum SEMA

1.4 Manfaat Penelitian


1. Secara teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan untuk
perkembangan dan menjadi referensi di bidang Hukum Perkawinan, serta peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah perkawinan.
2. Bagi Masyarakat
Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk menambah ilmu
pengetahuan pembaca atau masyarakat serta dapat membantu memecahkan masalah
mungkin atau sedang dihadapi oleh masyarakat terutama menyangkut masalah
meneganai Pernikahan Beda Agama.

Anda mungkin juga menyukai