Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MAKALAH KELOMPOK 2

MATA KULIAH: HUKUM ADAT


DOSEN PENGAMPU: NINGRUM AMBARSARI,SH.MH
NAMA KELOMPOK: Sonia 2108010355
Rizki chairunnisa 2108010383
Karta Jaya 2108010393
Dhiva cikal kirana 2108010417
M. Adrian Ridho P. 2108010465
Rizka Agustina 2108010474
Maimunah 218010408
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia
di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia
sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan
manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Di dalam bentuknya
yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah
keluarga, karena keluarga merupakan gejala kehidupan manusia yang
pada mulanya dibentuk paling tidak oleh seorang laki-laki dan seorang
perempuan. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan inilah yang disebut dengan perkawinan, sehingga nantinya
ditambah dengan kehadiran seorang anak di dalam perkawinannya.
Manusia tidak akan berkembang tanpa adanya perkawinan, karena
perkawinan menyebabkan adanya keturunan, dan keturunan
menimbulkan keluarga yang berkembang menjadi kerabat dan
masyarakat.Jadi perkawinan merupakan merupakan unsur tali temali
yang merupakan kehidupan manusia dan masyarakat. 1 Di Indonesia
telah dibentuk peraturan mengenai perkawinan yang mengikat dan
berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia yakni: Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Definisi
perkawinan diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 yaitu: Ikatan lahir batin antara seoranglaki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Perkawinan baru dianggap sah apabila dilakukan menurut
hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta
dicatatkan oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia. Pada dasarnya pelaksanaan
perkawinan masyarakat Indonesia telah dipengaruhi oleh Hukum
Adat. Dikarenakan masyarakat beraneka ragam suku bangsanya,
sudah pasti beraneka ragam pula Hukum Adat yang hidup di
Indonesia. Hukum Adat mempunyai peran yang sangat penting dalam
mengatur segala hubungan manusia satu dengan manusia lain pada
kehidupan sehari-hari termasuk dalam mengatur mengenai
perkawinan. Hukum adat menurut Van Vollenhoven adalah
Seperangkat aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi golongan
pribumi dan golongan timur asing yang pada satu sisi memiliki sanksi.
Lazimnya orang mengatakan bahwa Hukum Adat adalah sebuah
perundang-undangan yang tidak dikodifikasikan dan yang
diperuntukan bagi golongan pribumi. Dengan adanya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, belum berarti bahwa di
dalam pelaksanaan perkawinan di kalangan masyarakat sudah terlepas
dari pengaruh Hukum Adat, ia masih diliput Hukum Adat sebagai
hukum asli rakyat Indonesia yang hidup dan tidak tertulis dalam
bentuk peraturan perundang-undangan negara.2 Dan juga telah diatur
di dalam penjelasan angka 1 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengatur mengenai Hukum
adat yakni:

Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku


hukum Agama yang telah diresipiir dalam Hukum Adat, dan bagi
orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat. Maka, dapat
diartikan bahwa hukum adat mempunyai pengaruh penting dalam
kelangsungan perkawinan yang ada di Indonesia. Dikarenakan
perbedaan-perbedaan Hukum Adat yang berlaku setempat, seringkali
menimbulkan perselisihan antara para pihak yang bersangkutan. Jika
terjadi perselisihan maka dalam mencari jalan penyelesaian bukanlah
ditangani oleh pengadilan agama atau pengadilan negeri, tetapi
ditangani oleh peradilan keluarga atau kerabat yang bersendikan
kerukunan, keselarasan dan kedamaian. Oleh karenanya di samping
perlu memahami perkawinan menurut perundang-undangan,
diperlukan pula memahami Hukum Perkawinan Adat. Perkawinan
adat adalah suatu bentuk hidup bersama yang langgeng lestari antara
seorang laki-laki dan perempuan yang diakui oleh persekutuan Adat
dan yang diarahkan pada pembentukan sebuah keluarga. 3 Salah satu
daerah di Indonesia yang terkenal akan keunikan adat khususnya
dalam pelaksanaan perkawinan adatnya ialah Bali. Bali merupakan
salah satu pulau atau provinsi yang ada di Indonesia, banyak
wisatawan dari dalam maupun luar negeri datang ke Bali tidak hanya
untuk menikmati pemandangannya saja tetapi ada juga yang datang ke
Bali untuk mempelajari kebudayaan yang ada di Bali. Kehidupan
orang bali sangat religius,dengan pengaruh agama Hindu yang sangat
kuat. Kuatnya pengaruh agama terhadap kehidupan orang Bali
menyebabkan sulitnya membedakan bagian mana dari aspek-aspek
kehidupan orang Bali yang bersumber dari kebudayaan, tradisi atau
adat kebiasaan di Bali dan bagian-bagian mana yang dipengaruhi atau
bersumber dari agama.4 Maka tidak heran dalam melaksanakan
upacara-upacara yang dilakukan oleh masyarakat Bali berpedoman
pada ajaran agama Hindu salah satunya adalah upacara dalam
pelaksanaan suatu perkawinan. Perkawinan menurut agama Hindu
sangat dimuliakan,karena salah satu tujuan dalam melakukan
perkawinanialah untuk memenuhi tujuan niskala (keyakinan), yaitu
suatu jalan untuk membebaskan dosa (nyupat) orangtua dan luhurnya
dengan jalan membayar tiga hutang, dan ketiga hutang itu patut
dibayar melalui upkara (ritual) yang dilaksanakan sesuai dengan
tatwa (filsafat) dan susila (etika) Hindu. 5 Karena itu perkawinan dan
dilahirkannya anak merupakan perintah agama yang dimuliakan. Bagi
masyarakat yang beragama Hindu percaya bahwa hakekat perkawinan
itu adalah sama dari waktu ke waktu, dan dari masa ke masa. Agama
Hindu menggambarkan hakekat perkawinan itu dengan bermacam-
macam cara. Hakekat perkawinan dapat menterjemahkan perkawinan
itu melalui kasta yang berlainan. Di dalam setiap pelaksanaan upacara
perkawinan di Bali, tidak mengabaikan adat yang telah ada dalam
masyarakat, karena umat Hindu selain berpedoman pada Kitab Weda,
juga berpedoman pada Śmrti dan hukum Hindu yang berdasarkan
pada kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun disuatu
tempat yang disebut Acara. Dengan melakukan upacara yang dilandasi
kitab suci Weda dan mengikuti tata cara adat yang telah berlaku turun
temurun,maka akan mendapatkan kebahagiaan di dunia
ini (jagaditha) dan kebahagiaan yang abadi (Moksa) Hukum adat Bali
dewasa ini mengenal dua cara melangsungkan perkawinan, yaitu:
(1) kawin dengan cara memadik (meminang) dan
(2) kawin dengan cara ngerorod (lari bersama). Apabila dalam masa
pertunangan mendapat restu orangtua dan keluarga kedua belah pihak,
maka akan dipilih dengan cara memadik. Sebaliknya apabila masa
pertunangan dirasa kurang mendapatkan restu dari orangtua dan
keluarga salah satu atau keduabelah pihak, sedangkan pasangan ini
terlanjur jatuh cinta dan tidak mungkin lagi dipisahkan lagi, maka
ngerorod menjadi satu-satunya cara melangsungkan perkawinan.
Restu dari keluarga wanita sulit didapat, bisa karena calon pengantin
wanita akan dijodohkan dengan laki-laki pilihan orangtuanya atau bisa
juga karena perbedaan kasta dan atau karena perbedaan status sosial
ekonomi. Dalam kasus ngerorod, umumnya calon pengantin wanita
merasa berasal dari kasta yang lebih tinggi, sedangkan calon pengantin
laki-laki dianggap berasal dari kasta yang lebih rendah. Atau calon
pengantin wanita merasa berkasta lebih tinggi, tetapi secara sosial
ekonomi calon pengantin laki-laki merasa kastanya lebih tinggi. 6
Menurut agama hindu perkawinan ngerorod tetap diakui sah, dan
keberadaan lembaga perkawinan ngerorod telah diakui oleh
pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.
43/PN.Dps/Pdt/1976. Perkawinan ngerorod membawa akibat hukum
dalam perikatan adat baik menurut agama, tata administratif menjamin
kepastian hukum.7 Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan tidak mengatur mengenai perkawinan kawin lari,
hanya saja diatur di dalamketentuan pasal 3 ayat (2) Peraturan
Pemerintah No 9 tahun 1975, yang merupakan peraturan peraturan
pelaksana dari Undang-Undang Nomor l tahun 1974. Ketentuan pasal
3 ayat (2) tersebut mengatur tentang kewajiban bagi setiap orang yang
akan melangsungkan perkawinan untuk memberitahukan kehendak itu
kepada Pegawai Pencatat dalam jangka waktu sekurang-kurangnya
sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Perkawinan
tersebut nantinya akan dicatatkan oleh Pegawai Pencatat sebagai
syarat formil sahnya untuk melakukan suatu perkawinan. Dalam
kaitannya dengan sahnya perkawinan ini, masyarakat Bali sebenarnya
tidak mengenal istilah demikian (sah). Yang dikenal untuk mengakui
perkawinan adalah istilah puput (selesai). Dalam hal ini Moh 18
Koesnce menyatakan bahwa sahnya perkawinan menurut hukum adat
Bali sukar ditunjukkan dengan suatu kejadian (peristiwa) saja karena
untuk sahnya perkawinan tersebut perlu dilalui rangkaian kejadian
yang makin lama makin tumbuh untuk menyempurnakan kedudukan
suami istri yang bersangkutan.8 Segala bentuk perkawinan yang ada di
dunia ini, walaupun berbeda dalam sistem, pelaksanaan dan ketentuan
dalam perkawinannya, tetapi salah satu tujuan diadakannya
perkawinan adalah sama yakni untuk meneruskan keturunan baik dari
mempelai laki-laki maupun mempelai perempuan. Anak yang lahir
dari suatu perkawinan akan mempunyai suatu kedudukan hukum di
dalam keluarganya, hal ini diatur dalam pasal 42-44 Undang-Undang
nomor 1 Tahun 1974. Dalam pasal tersebut mengatur bahwa
kedudukan anak dibagi menjadi 2 kelompok yakni:
1. Anak yang sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat dari perkawinan yang sah.
2. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Dengan dasar pikiran
melindungi perkawinan sebagai lembaga yang suci dan sakral, maka
dibuatlah aturan-aturan formalitas yang ketat, yang mendahului dan
menyertai suatu perkawinan. Penjagaan kesucian lembaga
perkawinan, telah dilakukan dengan memberikan status yang berbeda
antara anak sah dan anak luar kawin, yang dari ketentuan-
ketentuannya yang ada, bisa kita simpulkan, bahwa pembuat undang-
undang lebih mendahulukan anak sah daripada anak luar kawin.
9Perbedaan antara anak sah dengan anak luar kawin adalah apa yang
disebut dalam pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
mengatakan, bahwa: Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap
seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan
bapak atau ibunya. Hal itu berarti, bahwa antara anak luar kawin
dengan ayah (biologisnya) maupun ibunya pada asasnya tidak ada
hubungan hukum. Hubungan hukum itu baru ada, kalau ayah dan/atau
ibunya memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya.
Dengan demikian, tanpa pengakuan dari ayah dan/atau ibunya, pada
asasnya anak itu bukan anak siapa-siapa, ia tidak mempunyai
hubungan hukum dengan siapapun.10 Berbeda sekali dengan anak sah,
yang walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam undang-undang,
tetapi dari ketentuan-ketentuan yang ada ditafsirkan “demi hukum
mempunyai hubungan hukum dengan orangtuanya, Hubungan hukum
antara orangtua dengan anaknya yang sah, didasarkan atas adanya
hubungan darah antara keduanya. Tetapi, kalau dihubungkan dengan
anak luar kawin dengan ayah yang mengakuinya, didasarkan atas
hubungan darah melalui melalui suatu pengakuan. Dengan demikian
hubungan darah ini merupakan hubungan darah dalam arti yuridis
bukan dalam arti biologis. 11Selain mempunyai status dalam keluarga,
anak yang lahir didalam suatu perkawinan juga mempunyai hak dalam
mewaris.Pewarisan dalam perkawinan ngerorod mempunyai kesamaan
dengan pewarisan dalam perkawinan di Bali pada umumnya. Di Bali
menerapkan sistem kekerabatan patrilineal, yakni ketika terjadi suatu
perkawinan maka istri ikut kekeluarga suaminya, dan sistem
pewarisannya anak laki-laki lah yang berhak sebagai ahli waris orang
tuanya, karena anak perempuan kelak ketika menikah akan ikut ke
keluarga orang lain (suaminya). Perkawinan ngerorod pada zaman
sekarang ini sudah sedikit ditemui, karena berbagai faktor salah
satunya ialah karena modernisasi sudah masuk ke wilayah Bali,
walaupun sudah jarang dijumpai tetapi tidak mengurangi
ketertarikan penulis untuk meneliti tentang “ Kedudukan Anak Dalam
Perkawinan Adar Ngerorod (Kawin Lari) Di Desa Padang Sambian Kaja,
KecamatanDenpasarBarat,Denpasar”
TINDAK PIDANA ADAT DI BALI
DAN SANKSI ADATNYA

Menurut hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan


hukum adat merupakan perbuatan illegal sehingga hukum adat mengenal
ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum (Rechsherstel) jika hukum itu
dilanggar. Perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat ini,
sering disebut dengan “delik adat” atau “tindak pidana adat”. Tindak pidana
adat adalah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan
kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan, dan kesadaran masyarakat yang
bersangkutan, baik hal itu sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang, sekelompok orang maupun perbuatan yang dilakukan oleh pengurus
adat itu sendiri. Perbuatan yang demikian itu dipandang dapat menimbulkan
kegoncangan karena mengganggu keseimbangan kosmos serta menimbulkan
reaksi dari masyarakat berupa sanksi adat. Dalam tindak pidana adat itu, pada
pokoknya terdapat empat unsur penting yaitu ada perbuatan yang dilakukan
oleh perseorangan, kelompok atau pengurus adat sendiri, perbuatan itu
bertentangan dengan norma-norma hukum adat, Perbuatan itu dipandang dapat
menimbulkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan dalam
masyarakat, dan atas perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat yang berupa
sanksi/kewajiban adat. Di Bali masih dikenal empat jenis tindak pidana
adat/pelanggaran adat/delik adat yaitu tindak pidana adat yang menyangkut
kesusilaan, tindak pidana adat yang menyangkut harta benda, tindak pidana
yang berhubungan dengan kepentingan pribadi dan pelanggaran adat karena
kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban terhadap desa adat. Begitu pula
mengenai sanksi adat, di Bali terdapat tiga jenis sanksi adat yang dikenal
dengan sebutan tri danda yang terdiri dari artha danda, yaitu tindakan hukum
berupa penjatuhan denda (berupa uang atau barang), jiwa danda, tindakan
hukum berupa pengenaan penderitaan jasmani maupun rohani bagi pelaku
pelanggaran (hukuman fisik dan psikis) dan sangaskara danda, berupa tindakan
hukum untuk mengembalikan keseimbangan magis (hukuman dalam bentuk
melakukan upacara agama).

I.Pendahuluan
Desa Adat di Bali adalah merupakan suatu persekutuan hukum yang
keberadaannya dilandasi oleh adanya kehendak bersama dari masyarakatnya
yang karena tuntutan kodratnya harus hidup bersama-sama dalam suatu wadah
yang dapat mempermudah dalam rnewujudkan kepentingannya. Desa Adat
menampakkan dirinya sebagai suatu organisasasi kemasyarakatan yang
memiliki struktur kepengurusan yang disebut Prajuru Desa Adat dan berfungsi
untuk membantu tercapainya kepentingan para anggotanya secara maksimal,
terutama sekali yang menyangkut kebutuhan dasar sebagai manusia untuk hidup
harmonis dan rasa aman. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman, sebagaimana diadakan perubahan dengan Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2003. Pasal 1 angka 4 Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat
hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata
krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam
ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu
dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di
Bali. Pasal 1 angka 8 menyebutkan : Desa Adat adalah kesatuan masyarakat
hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak
tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup
masyarakat secara turun-temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau
kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus
rumahtangganyasendiri. Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001, pada
pasal 6 menyebutkan Desa Pakraman mempunyai wewenang sebagai berikut:

a. menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya


dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai
dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat;
b. turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan
yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana;
c. melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman.
Bentuk konkrit kekuasaan desa adat dapat dilihat pada:
a.Kepala Desa Adat Dalam struktur organisasi desa adat, Kepala Desa Adat
memiliki posisi yang utama sebagai orang yang dituakan oleh masyarakat
(primus interpares). Dengan demikan Kepala Desa Adat (Pemuka Desa Adat)
memiliki wibawa tersendiri dalam lingkungan desanya
b.Sangkepan desa Adat Ini merupakan forum perwujudan demokrasi dalam
desa. Dalamforumini dibahas masalah-masalah tertentu yang sedang dihadapi
oleh desa secara musyawarah.
c.Awig-Awig desa adat Awig-awig adalah aturan-aturan yang dibuat oleh desa
yangAdapadaumumnya menyangkut patokan yang bertujuan memelihara
ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan desa, sehingga di dalamnya dapat
dijumpai pula adanya sanksi-sanksi bagi warga desa yang melakukan
pelanggaran atas awig-awig desa yang telah ditetapkan. Di dalam awig-awig
desa inilah akan dapat dilihat perbuatan-perbuatan apa yang dilarang berikut
sanksi adatnya. Sanksi adat ini dapat dijatuhkan kepada seseorang, keluarga
atau dibebankan kepada masyarakat desa sendiri namun, hal ini tergantung dari
kualitas perbuatan tersebut.
1 Pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 pada pasal 1 angka
29 menyebutkan : Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh Desa Adat
dan/atau Banjar Adat yang berlaku bagi krama desa adat, krama tamiu dan
tamiu.
2 Pasal 1 angka 30 menyebutkan: Pararem adalah aturan/keputusan Paruman
Desa Adat sebagai pelaksanaan awig-awig atau mengatur hal-hal baru dan/atau
menyelesaikan perkara adat/wicara di desa adat. Dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya sebab masing-
masing orang saling mempunyai kepentingan. Tetapi ada kalanya kepentingan-
kepentinganmasyarakatituberjalanbersama yang pada akhirnya memerlukan
suatu kerja sama namun,kadang-kadang kepentingan itu saling bertentangan
sehingga diperlukan peraturan-peraturan yang membatasi hak dan kewajiban
masing-masing anggota masyarakat supaya jangan saling berbenturan. Konflik-
konflik adat terjadi karena adanya benturan-benturan dengan apa yang telah
disepakati bersama serta tertuang dalam awig-awig maupun dalam aturan-aturan
adat lain.Konflik-konflik adat ini ada yang bersifat kriminal dan ada pula
konflik yang bersifat adat murni(non kriminal). Konflik adat yang bersifat
kriminal yang lazim disebut delik/tindak pidana adat pun oleh masyarakat
diselesaikan/diserahkanmelaluisangkepan (rapat/musyawarah) desa yang
dipimpin oleh Kepala Desa Adat sehingga tidak ditempuh proses pengadilan
formal,seperti delik adat penghinaan (wakparusya), beberapa delik adat
kesusilaan(lokika sanggraha ,amandel sanggama,gamia gamana, drati krama)
dan pencurian benda-benda suci keagamaan.Namun demikian, delik adat yang
bersifat kriminal ini juga diselesaikan melalui proses
peradilan formal bilamana tidak bisa diselesaikan secara musyawarah.
Terhadap konflik-konflik adat yang bersifat non kriminal, penyelesaiannya
dalam usaha untuk mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu tidak
melalui proses pengadilan sehingga bukan pidana yang dikenakan, melainkan
diselesaikan oleh sangkepan (rapat/musyawarah) desa dan ada kemungkinan
untuk dijatuhkan sanksi adat pada si pelaku. Penanganan konflik-konflik adat
oleh Kepala Desa Adat selaku pemimpin sangkepan (rapat) desa dan juga
sebagai hakim perdamaian desa.

2II.Pengertian Tindak Pidana (Delik) Adat

Istilah hukum pidana adat adalah terjemahan dari istilah Belanda “adat
delicten recht” atau “hukum pelanggaran adat”. Istilah-istilah ini tidak dikenal
dikalangan masyarakat adat, Masyarakat adat misalnya memakai kata-kata
“salah” (Lampung), atau “sumbang” (Sumatera Selatan), untuk menyatakan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat. Misalnya suatu perbuatan
dikatakan “sumbang kecil” apabila ia merupakan pelanggaran yang berakibat
merugikan seseorang atau beberapa orang (sekeluarga, sekerabat), dan
dikatakan “sumbang besar” apabila peristiwa atau perbuatan itu merupakan
kejahatan yang berakibat merugikan dan mengganggu keseimbangan
masyarakat seluruhnya. Dalam masyarakat Bali, istilah-istilah tersebut bukanlah
istilah yang umum digunakan di kalangan masyarakat. Istilah-istilah yang lazim
digunakan adalah istilah-istilah seperti : salah, sisip, dosa dan lain-lain. Dalam
awig-awig, dikenal suatu istilah teknis untuk menyebut hal itu, yaitu istilah
“wicara” yang mengandung makna sebagai persoalan hukum yang harus
mendapat penyelesaian, baik persoalan hukum yang berupa pelanggaran hukum
adat (awig-awig) ataupun persoalan hukum yang berupa sengketa.

3.Menurut Bushar Muhammad, delik adat adalah suatu perbuatan sepihak


dari seseorang atau kumpulan perseorangan, mangancam atau menyinggung
atau mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan bersifat material
atau immaterial, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa
kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian akan mengakibatkan suatu
reaksi adat.

4. Menurut Hilman Hadikusuma mengatakan, yang dimaksud delik adat


adalah peristiwa atau perbuatan yang mengganggu keseimbangan masyarakat
dan dikarenakan adanya reaksi dari masyarakat maka keseimbangan itu harus
dipulihkan kembali. Peristiwa atau perbuatan itu apakah berwujud atau tidak
berwujud, apakah ditujukan terhadap manusia atau yang ghaib, yang telah
menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat harus dipulihkan dengan
hukuman denda atau dengan upacara adat.

5.Menurut hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan


hukum adat merupakan perbuatan illegal sehingga hukum adat mengenal
ikhtiar- ikhtiar untuk memperbaiki hukum (Rechsherstel) jika hukum itu
dilanggar. Perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat ini,
sering disebut dengan “delik adat” atau “tindak pidana adat”. Dari beberapa
pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa tindak pidana adat adalah semua
perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kerukunan, ketertiban,
keamanan, rasa keadilan, dan kesadaran masyarakat yang bersangkutan, baik
hal itu sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang,
sekelompok orang maupun perbuatan yang dilakukan oleh pengurus adat itu
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai