Anda di halaman 1dari 3

Nama : Lestya Wati

NIM : 043005773

Tugas 1 Hukum Adat

1. Secara umum definisi perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Tuhan YME (UU No. 1 Tahun 1974).

Definisi Perkawinan Menurut Hukum Adat : Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai, tetapi
juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dalam
hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup
saja. Tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat
perhatina dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.

Untuk dapat melangsungkan ikatan perkawinan guna membentuk keluarga/rumah tangga bahagia,
harus dilakukan dengan sistem pelamaran, yaitu adanya pelamaran dari pihak yang satu kepada pihak
yang lain. Bagaimana pelamaran itu mesti di lakukan tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan
Nasional ataupun di dalam hukum agama. Jika pria dan wanita sudah sepakat dapat langsung
memeritahukan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan sebagamana diatur dalam Bab II Pasal 2-9 PP
Nomor 9 Tahun 1975 tanpa melibatkan orang tua atau keluarga. Akan Tetapi menurut pandangan
masyarakat adat hal tersebut tercela, karena perkawinan adalah perbuatan suci dalam ajaran agama,
juga menyangkut nilai-nilai kehidupan keluarga dan masyarakat.

Perkawinan Adat di Indonesia memiliki keberagaman dan perbedaan dengan konsep perkawinan yang
berbeda-beda. Perkawinan secara adat sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat adat, misalnya
saja lamaran (peminangan) di dalamnya terdapat simbol dan makna rasa tanggung jawab yang kuat dan
kerja keras dari seorang pria yang akan menikah, yaitu apabila nanti ia telah menikah maka ia tidak akan
kesulitan untuk memberi makan keluarganya karena sebelumnya ia telah mempersiapkannya. Jadi,
perkawinan yang diartikan bagi mereka adalah sesuatu kehidupan yang baru dan harus dipersiapkan
matang-matang sebelum datang waktunya, walaupun pernikahan mereka berbeda dengan konsep yang
ada di dalam Undang-undang tetapi mereka tetap menjalankan setiap peraturan dan ritual perkawinan
dengan benar dan baik menurut ajaran mereka.

Tata-tertib cara melamar di berbagai daerah berbeda-beda, pada umumnya pelamaran di lakukan oleh
pihak keluarga pria kepada pihak keluarga wanita. Tetapi dapat juga terjadi sebaliknya, sebagaimana
dilingkungan masyarakat adat Minangkabau atau Rejang Bengkulu, pelamaran dilakukan oleh pihak
keluarga wanita kepada pihak keluarga pria.

Perkawinan meminang biasanya dimulai dari pertemuan perkenalan muda mudi, pertemuan perkenalan
tersebut dapat meningkat ke kasih cinta dengan pemberian tanda mau atau tanda Bahagia dari si
pemuda kepada si pemudi. Dengan tanda tersebut siwanita terikat pada si pria. Adanya pergaulan yang
lebih akrab dilanjutkan dengan pelamaran dari orang tua si pria kepada orang tua si Wanita. Apabila
lamaran diterima dapat dilanjutkan dengan pertunangan. Pertunangan adalah hubungan hukum yang
dilakukan antara orang tua pihak pria dan orang tua pihak Wanita untuk mengikat tali perkawinan anak-
anak mereka dengan jalan pertunangan. Peminangan baru mengikat sejak diterimanya tanda
pertunangan atau tanda pengikat yang berbentuk uang, barang, perhiasan dll. Adanya pertunangan
memberikan akibat hukum secara langsung bahwa kedua pihak terikat untuk melakukan perkawinan,
tidak dengan paksaan dan timbul sikap pergaulan atau hubungan khusus antara calon mertua dan calon
menantu dan antara calon besan. Tatacara melakukan pelamaran berbeda-beda disetiap daerah, namun
pada umumnya pelamaran dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.

Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan
tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
Sehingga, peminangan tidak memengaruhi keabsahan suatu perkawinan dalam bentuk apapun, pun
tidak menimbulkan akibat hukum. Menurut hemat kami, perkawinan dapat dilangsungkan dengan atau
tanpa peminangan. Putusnya pinangan untuk pria sendiri, karena adanya pernyataan tentang putusnya
hubungan pinangan atau secara diam-diam, di mana pria yang meminang telah menjauhi dan
meninggalkan wanita yang dipinang Sumber : Modul Hukum Adat Universitas terbuka , UU No 1 Tahun
1974 dan lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum
Islam

2. Sebagaimana diketahui bersama di dalam Negara Republik Indonesia ini, adat-adat yang dimiliki oleh
daerah-daerah suku bangsa adalah berbeda- beda, meskipun dasar serta sifatnya adalah satu yaitu ke
Indonesiaannya. Prof.Dr. Soepomo, SH, memberi pengertian hukum adat sebagai hukum tidak tertulis di
dalam peraturan-peraturan legislative meliputi peraturan- peraturan hidup yang meskipun tidak di
tetapkan oleh yang berwajib, ditaati dan diikuti, dan di dukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan
bahwasannya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Dalam hukum Adat, antara
perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan yang erat sekali, bahkan dapat
dikatakan bahwa suatu peraturan hukum perkawinan sukar untuk dapat dipahami tanpa dibarengi
dengan peninjauan hukum kekeluargaan yang bersangkutan. Di Indonesia terdapat tiga macam sifat
kekeluargaan yaitu, patrinial, matrinial dan parental, dan corak-corak perkawinan dalam masing- masing
sifat susunan kekeluargaan adalah berbeda.

Mengenai Prinsip perkawinan Orang Batak adalah perkawinan dengan orang di luar marganya, sehingga
perkawinan dengan satu marga dilarang. Dari beberapa sumber dan buku-buku tentang Hukum Adat
pada umumnya maupun buku-buku yang berjudul tentang Perkawinan Adat Batak tidak ada yang secara
tegas yang membahas larangan perkawinan satu marga.
Sebagai ilmu pengetahuan tentang Hukum Adat, pada kenyataannya masih ada marga yang secara tegas
melarang perkawinan satu marga, perkawinan orang yang tidak dapat diijinkan adalah sebagai berikut:

a. Satu marga tidak bisa melakukan perkawinan.


b. Namarpadan dilarang menikah dalam Adat Batak.
c. Pariban yang tidak boleh di kawini.
d. Pariban yang tidak boleh dikawini, misalnya 5 (lima) orang kakak beradik, hanya 1 (satu) orang yang
dapat kawin ke wanita anak paman (tulang), artinya jika anak pertaman laki-laki kawin dengan anak
wanita paman (tulang), maka adik kandung laki-laki yang telah kawin dengan wanita paman (tulang)
tidak boleh kawin lagi dengan adik kandung wanita tersebut, demikian sebaliknya.
e. Anak Perempuan Namboru (bibi) dari Laki-Laki.
f. Anak perempuan dari namboru (bibi) laki-laki adalah merupakan kebalikan anak perempuan dari
Paman (Tulang), dalam Adat Batak Toba dilarang laki-laki kawin dengan Anak perempuan Namboru
(bibi).

Sumber Referensi :

• Buku Bahan Ajar, Hukum Adat Indonesia Oleh Aprilianti, S.H., M.H. dan Kasmawati, S.H., M.H

• http://www.lutfichakim.com/2012/01/perkawinan-menurut-hukum-adat-dan.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai