Anda di halaman 1dari 10

HUKUM PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN

UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974

JUL KURNIADY

NIM A1012221152

Kelas : C ( Program PPAPK )

Fakultas Hukum, Universitas Tanjungpura

Abstrak

Perkawinan merupakan momentum yang sangat penting bagi perjalanan hidup manusia.
Disamping membawa kedua mempelai kepada kedupan baru yang berbeda dengan
sebelumnya, perkawinan juga secara otomatis akan mengubah status keduanya. Setelah
perkawinan, kedua belah pihak akan menerima beban yang berat dan tanggung jawab sesuai
kodrat maing-masing. Tanggung jawab dan beban itu bukanlah sesuatu yang mudah
dilaksanakan, sehingga mereka harus memikul tanggung jawab tersebut dan
melaksanakannya. Seorang pria dengan seorang wanita setelah melakukan perkawinan akan
menimbulkan akibat-akibat hukum yaitu antara lain mengenai hubungan hukum antara
suami istri dan mengenai harta benda perkawinan serta penghasilan mereka.

Manusia secara kodrati merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Ikatan
Perkawinan merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
untuk waktu yang lama. Oleh sebab itu, manusia selalu hidup dengan sesamanya. Keluarga
merupakan kelompok sosial terkecil dari suatu masyarakat, yang diharapkan dapat menjaga
kesinambungan kehidupan manusia di dunia. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk
mengetahui dan memahami Perkawinan berdasarkan Persfektif Fiqh, UU. No. 1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam.

Abstract
Marriage is a very important momentum for the journey of human life. In addition to
bringing the two brides to other different realms, marriage also automatically changes the
status of both. After the marriage, both parties will receive a heavy burden and responsibility
according to their natural mood. Those responsibilities and burdens are not something that
is easy to implement, so they should assume the responsibility and carry it out. A man with a
woman after marriage will have legal consequences, among others, concerning the legal
relationship between husband and wife and of their marital possessions and incomes.

Man is naturally a social being who can not live alone. The Marriage Association is a
legitimate link between a man and a woman for a long time. Therefore, people always live
with each other. The family is the smallest social group of a society, which is expected to
maintain the continuity of human life in the world. The purpose of this paper is to know and
understand Marriage based on Persfective Fiqh, Act. No. 1 of 1974 and the Compilation of
Islamic Law, the principles of marriage according to Islamic civil law in Indonesia,
harmonious and marital terms of the civil law perspectives of Islam in Indonesia.

PENDAHULUAN

Perkawinan dianjurkan dan diatur dalam Islam karena ia memiliki tujuan yang mulia.
Secara umum, Perkawinan antara pria dan wanita dimaksudkan sebagai upaya memelihara
kehormatan diri (hifzh al ‘irdh) agar mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan terlarang,
memelihara kelangsungan kehidupan manusia/ keturunan (hifzh an nasl) yang sehat
mendirikan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi kasih sayang antara suami dan isteri
serta saling membantu antara keduanya untuk kemashlahatan bersama.

Syari’at Islam telah sungguh-sungguh memperhatikan segala permasalahan keluarga,


karena keluarga merupakan pondasi pertama utama dalam membangun sebuah bahtera
dalam berumah tangga di tengah-tengah masyarakat. Ketika bahtera rumah sudah terbangun
kuat dan didirikan dengan dasar yang sehat dan pondasi yang sangat kuat pula, maka produk
masyarakatnya pun menjadi kuat, mereka akan dapat hidup berbahagia dan sejahtera.

Perkawinan sebagai perbuatan hukum yang mana merupakan suatu perbuatan yang
mengandung hak dan kewajiban bagi individu-individu yang melakukannya. Seorang pria
dengan seorang wanita setelah melakukan perkawinan akan menimbulkan akibat-akibat
hukum yaitu antara lain mengenai hubungan hukum antara suami istri dan mengenai harta
benda perkawinan serta penghasilan mereka. Perkawinan menurut hukum Islam adalah
yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghalidzan. Dalam ungkapan ini menuntut untuk
adanya pemeliharaan, kasih sayang dan kecintaan. Dengan demikian perkawinan adalah
sebuah ikatan perjanjian yang mulia dan ikatan yang kuat, mengikat qalbu dan menyatukan
kemaslahatan demi terbentuknya keluarga yang harmonis, sakinah mawaddah warahmah
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Untuk menjadi bahtera rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah kita dalam
mencari pasangan harus terlebih dahulu atau pasangan yang akan dinikahi baik dari segi
agama, akhlak, maupun asal usul kehidupannya. Perkawinan adalah ikatan perjanjian yang
merupakan sarana terpercaya dalam memelihara kontinuitas keturunan dan hubungan,
menjadi sebab terjaminnya ketenangan, cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, syariat
Islam menghendaki pelaksanaan pranikah berupa peminangan untuk menyikap kecintaan
kedua pasangan yang akan melangsungkan pernikahan.

PERMASALAHAN
Pembahasan mengenai perceraian yang dititik beratkan pada ada tidaknya kebenaran
dalam proses pemeriksaan perkara maupun proses penyelesaian perkara perceraian di
Pengadilan Agama daerah di Kalimantan Barat. Melihat fenomena angka perceraian yang
terjadi di Kalimantan Barat yang setiap tahunnya meningkat, mengakibatkan jumlah perkara
yang diajukan ke pengadilan juga otomatis bertambah, dari jumlah perceraian yang
diselesaikan dari hampir setiap pengajuan perceraian tidak menemukan penyelesaian
sehingga kasus perceraian di Kalimantan Barat harus diselesaikan dan akhirnya berakhir
dengan putusan perceraian. Saat ini perceraian banyak menimbulkan permasalah bukan saja
bagi para pihak yaitu, suami dan istri yang bercerai namun juga membawa dampak bagi
anak-anak yang dilahirkan, keluarga para pihak, harta kekayaan, masyarakat dan lingkungan.
Dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, Kalimantan Barat termasuk daerah
dengan angka perceraian tinggi jika dilihat dari jumlah penduduk yang tergolong suami istri.

PEMBAHASAN
Perkawinan, ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang

perempuan untuk waktu yang lama. Menurut pasal 26 Burgerlijk wetboek, undang-

undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan yang berarti pasal

tersebut hendak menyatakan bahwa suatu perkawinan yang sah harus memenuhi syarat-
syarat yang ditetapkan dalam KUHPerdata dan syarat-syarat serta peraturan agama

dikesampingkan.

Syarat- syarat untuk dapat sahnya perkawinan, ialah:

1. Kedua pihak harus mencapai umur yang telah ditetapkan UU, yaitu untuk

seorang lelaki 18 tahun dan untuk seorang perempuan 15 tahun.

2. Harus ada persetujuan bebas antara kedua belah pihak.

3. Untuk seorang wanita yang sudah kawin harus menunggu 300 hari setelah

putusan perkawinan pertama

4. Untuk pihak yang masih dibawah umur harus mendapatkan persetujuan dari

orangtua atau walinya

Tentang hal larangan untuk kawin dapat diterangkan bahwa seseorang tidak

diperbolehkan kawin dengan saudaranya maupun saudara tiri. Tentang hal izin dapat

diterangkan bahwa kedua orangtuanya atau walinya harus memberikan izin atau ada

kata sepakat dari orangtua masing-masing pihak. Jika wali ingin kawin dengan anak

dibawah pengawasannya harus mendapat izin dari wali pengawas. Untuk anak-anak yang

lahir diluar perkawinan tetapi diakui oleh kedua orangtua berlaku pokok aturang yang

sama dengan pembeian izin. Untuk anak yang sudah dewasa tetapi belum berumur 30

tahun masih diperlukan izin orangtua.

Sebelum perkawinan dilangsungkan, harus dilakukan terlebih dahulu:

a. Pemberitahuan (aangifte) tentang kehendak akan kawin kepada pegawai

pencatatan sipil

b. Pengumuman (afkondiging) oleh pegawai tersebut, tentang akan dilangsungkan

perkawinan

Seorang istri dapat menghalang-halangi pernikahan kedua dari suaminya dan

sebaliknya juga berlaku. Orangtua dan anak pun dapat mencegah pernikahan kedua dari

anaknya ataupun ayah dan ibunya. Jaksajuga dapaat mencegah pernikahan yang

sekiranya akan melanggar ketertiban umum.


Surat- surat yang harus diberikan kepada pegawai pencatatan sipil agar dapat

melangsungkan pernikahan ialah:

1. Surat kelahiran masing-masing pihak

2. Surat pernyataan dari pegawai pencatatan sipil tentang adanya izin orangtua

3. Surat kematian istri atau putusan perceraian perkawinan lama

4. Proses verbal darimana ternyata perantaraan hakim dalam hal perantaraan ini

dibutuhkan

5. Surat keterang dari pegawai pencatatan sipil telah dilangsungkan pengumuman

dengan tiada perlawanan dari sesuatu pihak.

Jika suatu pernikahan telah dilangsungkan padahal ada syarat-syarat yang tidak

dipenuhi/ ada larangan, maka pernikahan tersebut dapat dibatalkan oleh hakim atas

tuntutan orang yang berkepentingan. Dari itu, dalam hal suatu perkawinan dibatalkan,

undang-undang telah menetapkan sebagai berikut :

1. Jika sudah dilahirkan anak-anak dari perkawinan; anak-anak ini tetap memiliki

kedudukan yang sah

2. Pihak yang berlaku jujur tetap memperoleh hak-hak sebagai suami atau isteri

dalam perkawinan tsb

3. Juga pihak ketiga yang berlaku jujur tidak boleh dirugikan karena pembatalan

pernikahan itu.

2.2 Hak dan kewajiban suami-isteri

Perkawinan oleh undang-undang dipandang sebagai suatu “perkumpulan”. Dalam

ketentuan hukum perdata Eropa bahwa seorang perempuan yang telah kawin tidak

cakap untuk bertindak sendiri di dalam hukum dan dipersamakan dengan seseorang yang

berada dibawah curatele atau seseorang yang belum dewasa, yang berarti suami

mengurus kekayaan mereka bersama di samping berhak juga mengurus kekayaan isteri.

Pengurusan kekayaan si isteri itu, oleh suami harus dilakukan sebaik-baiknya dan si istri

dapat minta pertanggungjawaban. Didalam pasal 105 ayat 5 B.W menyatakan bahwa
suami tak diperbolehkan menjual atau menggadaikan benda-benda yang tak bergerak

kepunyaan isteri tanpa izin. Pasal 104 membuka kemungkinan bagi si isteri untuk

(sebelum melangsungkan pernikahan) mengadakan perjanjian bahwa ia berhak untuk

mengurus kekayaannya sendiri. Akibat- akibat lain dari perkawinan:

1) Anak-anak yang lahir dari perkawinan, adalah anak sah (wettig)

2) Suami menjadi waris dari si isteri dan begitu sebaliknya apabila salah

satu meninggal

3) Dilarang jual beli antara suami dan isteri

4) Perjanjian perburuan antara suami dan isteri tak diperbolehkan

5) Suami tak diperbolehkan menjadi saksi di dalam suatu perkara isterinya

dan sebaliknya

6) Suami tak dapat dituntut tentang beberapa kejahatan terhadap isterinya

dan begitu sebaliknya

2.3 Percampuran kekayaan

Percampuran kekayaan, adalah mengenai seluruh activa dan passiva baik yang

dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam perkawinan maupun yang akan diperoleh di

kemudian hari selama masa perkawinan. Undang-undang perkawinan memberikan

peraturan tentang harta benda dalam perkawinan yang didasarkan pada pola hukum

adat. Yang menjadi harta bersama ialah harta-benda yang diperoleh selama perkawinan,

sedangkan harta bawaan dan harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan

tetap diperoleh masing-masing pihak. Hutang gemeenschap yang diperbuat oleh si isteri,

misalnya membeli keperluan rumah tanga. Sedangkan, hutang pribadi, misalnya biaya

perbaikan rumah pribadi si isteri.

Untuk menetapkan tanggung jawab mengenai sesuatu hutang harus ditetapkan

lebih dahulu, apakah hutang itu bersifat prive ataukah suatu hutang untuk keperluan

bersama. Untung suatu hutang prive yang dituntut harus orang yang membuat hutang

tersebut, sedangkan yang disita pertama-tama adalah benda prive apabila benda yang

disita tidak mecukupi biaya hutang maka dapatlah benda bersama disita pula. Tetapi jika
suami yang membuat hutang maka benda prive si isteri tak dapat disita, dan begitu pula

sebaliknya. Jika ada hutang gemeenschap maka yang pertama-tama disita benda

bersama. Jika tidak mencukupi maka benda prive dari suami atau isteri yang membuat

hutang itu dapat disita pula.

Pemecahan gemeenschap dan hak isteri unuk melepaskan gemeenschap dengan

berakhirnya perkawinan, yaitu:

a) Dengan matinya satu pihak

b) Perceraian

c) Dengan perkawinan baru sang istri apabila suami berpergian sampai 10 tahun

lamanya tanpa tahu alamatnya

Diadakan “pemisahan kekayaan dan perpisahan meja dan tempat tidur

Jika gemeenschap dihapuskan maka pertanggung jawaban terhadap hutang-hutang

gemeenschap dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Masing-masing tetap bertanggung jawab terhadap hutang-hutang yang

dibuatnya

2) Disamping itu suami masih dapat dituntut pula tentang hutang-hutang yang

diperbuat oleh si isteri

3) Si isteri dapat dituntut untuk separoh tentang hutang-hutang yang telah dibuat

oleh si suami

4) Sehabis diadakan pembagian, tak dapat dibagi lagi ditntut tentang hutang yang

dibuat oleh yang lainnya sebelum perkawinan

2.4 Perjanjian perkawinan

Jika seorang yang hendak kawin mempunyai benda-benda yang berharga atau

mengharapkan akan memperoleh kekayaan, misalnya suatu warisan makanya ada

kalanya diadakan perjanjian perkawinan. Mengenai bentuk dan isi perjanjian, kepada

kedua belah pihak diberikan kemerdekaan seluas-luasnya, kecuali satu dua larangan

yang termuat dalam UU dan asal saja mereka tidak melanggar ketertiban umun dan

kesusilaan. Terdapat dua perjanjian yang banyak terpakai, yaitu perjanjian “percampuran

laba rugi” (“gemeenschap van winst en erlies”) dan perjanjian “percampuran penghasilan”

(“gemeenschap van vruchten en inkomsten”)


Seseorang yang berumur dibawah 21 tahun dan ingin membuat perjanjian

perkawinan haruslah “dibantu” orangtua atau wali. Selanjutnya diperingatkan apabila

dalam di dalam waktu antara pembuatan perjanjian dan penutupan pernikahan orangtua

atau wali yang membantu terjadinya perjanjian itu meninggal, maka perjanjian batal dn

harus diulangi. Jikalau salah satu pihak terlebih dahulu kawin dengan orang lain, dan

baru kemudian menikah dengan tunangannya yang lama, perjanjajian batal.

Pertama-tama ada larangan untuk membuat suatu perjanjian yang

menghapuskan kekuasaan suami atau kekuasaanya sebagai ayah. Maksud larangan ini

agar jangan sampai suami istri itu menguntungkan diri. Bagi seorang yang kawin ada

empat macam kemungkinan untuk memperoleh kekayaan dari perkawinannya yaitu,:

a) Karena kekayaannya sendiri yang tidak begitu besar tercampur dengan

kekayaan suami atau isteri yang lebih besar sebagai akibat kawin dengan

percampuran kekayaan. Cara perolehan ini dinamakan “boedelmenging”

b) Karena ia menerima pemberian suami atau isteri dalam perjanjian perkawinan

c) Karena ia mendapat warisan menurut UU dari kekayaan suami atau isterinya

d) Karena ia menerima pemberian dalam suatu wasiat dari suami atau isterinya

Bagi seorang suami atau istri kedua oleh UU diadakan pembatasan jikalau ada

anak-anak yang berasal dari perkawinan pertama maka suami atau istri kedua itu tidak

boleh mendapat keuntungan yang melebihi bagian seorang anak, dengan ketentuan

bagian itu tak dapat melebihi seperempat dari orang yang telah kawin lagi itu.

PENUTUP

Kesimpulan
Perkawinan yang sah menurut perspektif Hukum Islam adalah pernikahan yang
dilakukan menurut tata cara yang sesuai dengan ketentuan agama mereka yang
melangsungkan pernikahan, yang dalam hal ini yaitu agama Islam, sebagaimana yang
dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam yang tidak dapat dipisahkan, disini Kompilasi
Hukum Islam hadir untuk mempertegas atau menjadi dasar bagi keperdataan Islam di
Indonesia, sedangkan fiqh merupakan suatu sumber hukum dimana Kompilasi Hukum Islam
terbentuk.
Syari’at Islam telah sungguh-sungguh memperhatikan segala permasalahan keluarga, karena
keluarga merupakan pondasi pertama dalam membangun sebuah bahtera dalam berumah
tangga di masyarakat. Ketika bahtera rumah sudah terbangun kuat dan didirikan dengan dasar
yang sehat dan fondasi yang kuat pula, maka produk masyarakatnya pun menjadi kuat,
mereka akan dapat hidup berbahagia dan sejahtera dunia akhirat.

Ucapan Terima Kasih

Dalam pembuatan makalah ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan arahan
dari berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan dalam pembuatan paper ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan paper ini masih belum sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Penulis mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata
kami ucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir, Muhammad. 2000. Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad, Prof. Dr. Dan Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas,
penerjemah: Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag. 2009. Fiqh Munakahat: Khitbah,
Nikah dan Talak. Jakarta: Amzah.
Ghozali, Abdul Rahman Prof. Dr., M.A. 2008. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana.
Ghozali, Abdul Rohman. 2008. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nuruddin, H. Amiur Dr., MA. Dan Drs. Azhari Tarigan, M.Ag. 2006. Hukum Perdata Islam
di Indonesia. Cet. 3. Jakarta: Kencana.
Soemiyati. 1999. Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974).
Yogyakarta: Liberty.
Summa, Muhammad Amin. 2005. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Syarifudin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
UU Perkawinan. Jakarta: Kencana.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawina. Jakarta: Kencana.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975.
UURI No. 1 Tahun 1974. 2007. Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung:
Citra Umbara.
Wahyono, Darmabrata. 2009. Hukum Perkawinan Perdata (Syarat Sahnya Perkawinan, Hak
dan Kewajiban Suami Istri, Harta Benda Perkawinan). Jakarta: Rizkita.

Anda mungkin juga menyukai