Anda di halaman 1dari 11

PROPOSAL SKRIPSI

PROBLEMATIKA NIKAH SIRIH TANPA PERSETUJUAN ISTRI PERTAMA


PERSPEKTIF KHI DAN UU

Disusun Oleh:
Shella Rahayu (210202017)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1. Isi Proposal
Pasal 1 undang-undang nomor 1 tahun 1974, perkawinan merupakan ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang Wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagiadan kekal berdasarkan
ketuhanan yang maha esa. Pertimbangan nya adalah Pancasila sila pertama yaitu
ketuhanan yang maha esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir/jasmani, tetpi juga unsur batin/rohani yang mempunya peranan yang penting.1

Perkawinan merupakan suatu perbuatan yang diperintahkan oleh allah dan


Rasulnya. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah surah An-Nur ayat 32

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamau dan


orang-orang yang layak (untuk kawin) diantara hamba-hamba sahayamu yang laki-
laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin allah akan
memberikan kemampuan kepada mereka dengna karunia-nya.” (QS. An-Nur : 32)

Dengan demikian bahwa anjuran untuk melaksanakan perkawinan merupakan


perbuatan yang lebiih disenangi Allah dan Rasulluah untuk dilaksanakan. Akan tetapi
anjuran Allah dan Rasulullah untuk melaksanakan perkawinan itu tidaklah berlaku
secara mutlak tanpa adanya persyaratan.2

Dapat dilihat dari pasal 1 undang-undang No.1 tahun 1947, bahwa perkawinan
berkaitan erat dengan agama/spiritual, sehingga perkawinan tidak hanya memiliki
unsur jasmani, tetapi juga unsur batin/rohani memegang peran penting.3

Namun dalam prakteknya, hubungan perkawiinan seringkali diwarnai dengan


berbagai macam konflik, seperti pertengkaran, kekerasan, perselingkuhan,
penelantaran rumah tangga, sengketa waris, kurangnya pertanggungjawaban, untuk
biaya hudup sehingga pada akhirnya perkawinan menjadi tidak harmonis dan penjara
bagi keluarga. Kemudian ada pernikahan sirri/rahasia
1
Kumedi Ja’far, “Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia”, arjasa pratama suka bumi: bandar lampung,
2021, hlm,65.
2
Ibid., hlm, 25
3
Hilman Hadi Kusuma, op., cit, hlm, 21.
Nikah siri secara Bahasa adalah sembunyi atau rahasia, sebab jenis
perkawinan ini pada dasarnya diaksanakan dengan dihadiri oleh kalangan yang
terbatas, secara diam-diam dan tanpa adanya pegawai pencatat nikah. Kontroversi sah
dan tidaknya perkawinan ini seakan mempertegas adanya ambiguitas hukum di tengah
masyarakat muslim Indonesia antara hukum formal dan agama. Di satu sisi
pernikahan siri dikatakan sah dalam perspektif fiqh (jika telah terpenuhinya syarat dan
rukun), tanpa menghiraukan pencatatn perkawinan, semantara pada dimensi hukum
formal, pernikahan ini tidak diakui oleh hukum perdata nasional (illegal) yang
berimplikasi pada konsekuensi administrasi dan legal standing dari perkawiinan.
Dalam hal ini yang paling menderita dan menanggung kerugian dalam kasus
pernikahan siri kebanyakan adalah pihak Wanita.

Pernikahan siri ini dikenal secara semmbunyi-sembunyi agar istri dan anak-
anak nya tidak mengetahuinya. Karena seorang pria seringkali menyembunyikan
prnikahan siri dari istri sahnya dan menempatkan budak di tempat lain. Perkawinan
ini jelas bertentangan dengan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
yang mewajibkan seorang suami jika ingin beristri lebih dari satu.

Pada umumnya perkawinan siri hanya boleh berdasarkan hukum agam


dan/atau adat, tetapi tidak boleh dilakukan secara terbuka dan juga tidak resmi di
Kantoe Urusan Agama (KUA) bagi umat islam dan kantor catatan sipil (KCS) untuk
non-muslim.

Nikah siri biasanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang ingin


berpoligami atau ingin beristri lebih dari satu. 4 Menurut hukum islam, poligami itu
sendiri tatapi tidak menepatkan syarat apapun, kecuali peringatan. Apakah bisa
berprilaku adil, karerna keadilan iitu sangatlah sulit, sedangkan dalam hukum positif
Indonesia izin poligami diberikan oleh pengadilan agama apabila alasan suami telah
dipenuhi dengan alasan lain sesuai dengan ketentuan pasal 4 ayat 2, dan syarat
kumulatif ayat 1 pasal 5 UU No. 1 tahun 1974.

Dalam perkawinan yang tidak dicatatkan, ada beberapa kasusu yang yang
berdampak terhadap anak, pertama, anak dari perkawiinan yang tidak di catatkan
dapat dianggap sebagai anak diluar nikah menurut undang-undang karena tidk
terdaftar pada negara. Buktinya, nama ayahnya tidak ada di akta kelahiran, hanya
4
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan), Yogyakarta: Liberty, 2007, Hlm, 8.
nama ibunya. Kedua, nikah siri dapat danggap sah dari segi agam, namun terkadang
hal ini di manfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertangguang jawab karerna
ketidaktahuan pihak peremuan, sehingga suami sering lepas dari tanggung jawab
menjajdi suami karena perkawinan tidak sahh secara hukum.5

Fokus penelitian ini adalah “Bagaimana pandangan kompilasi hukum islam


dan undang-undang tentang nikah nikah siri yang tidak dicatat di Kantor Urusan
Agama (KUA)”.

Berdasarkan permasalahan yang dibahas di atas, penulis tertarik untuk


meneliti dampak dari perkawinan siri atau perkawinan secara sembunyi-sembunyi,
dan tidak tercatat. Dalam hal ini peneliti ingin mengkaji dampak dari nikah siri
menurut kompilasi hukum islam dan Undang-Undang No 1 tahun 1974. Oleh karena
itu peneliti ingin meneliti sebuah proposal yang di tulis dengan judul
“PROBLEMATIKA NIKAH SIRIH TANPA PERSETUJUAN ISTRI PERTAMA
PERSPEKTIF KHI DAN UU”

2. Rumsan Masalah
1. Aapa dampak dari nikah siri ditinjau dari kompilasi hukum islam?

2. Apa akibat hukum dari pernikahan siri bagi para pihak?

3. Tujuan Masalah
1. Mengetahui perspektif kompilasi hukum islam dan Undang-Undang tentang nikah
siri.
2. Untuk mengetahu akibat nikah siri bagi istri, anak dan harta benda menurut
perspektif kompilasi hukum islam dan Undang-Undang.

4. Kerangnka Teori
A. Pengertian Perkawinan

5
Ibid, hlm, 10.
Perkawina yang diambil, dari Bahasa Arab yang terdiri dari 2 kta yaitu
Zawwaja dan Nakaha. Nakaha yang artinya menghimpun dan Zawwaja artinya
pasangan. Dari segi Bahasa perkawiinan diartikan sebagai menghimpun dua orang
menjadi satu, melalui berstunya 2 insan manusia yang awalnya hidup sendiri,
dengan adanya perkawinan dua insan manusia di pertemukan ole Allah STW
untuk bejodoh menjadi satu sebagai pasangan suami istri yang saling melengkapi
kekurangan masing-masing. Yang bisa disebut sebagai pasangan Zauj dan
Zaujah.6 Dalam konteks sekarang sering di sebut pasangan hidup, suami istri atau
belahan jiwa dalam kehidupan rumah tangga.

kekurangan masing-masing. Yang bisa disebut sebagai pasangan Zauj dan


Zaujah.7 Dalam konteks sekarang sering di sebut pasangan hidup, suami istri atau
belahan jiwa dalam kehidupan rumah tangga.

Perkawinan adalah sebuah janji suci seorang laki-laki dan perempuan


untuk menciptakan keluarga yang Bahagia. 8 Pernikahan tidak hanya hubungan
biologis antara laki-laki dan perempuan, namun pernikahan merupakan perjanjian
suci. Perkawinan merupakan sesuatu yang sakral, serta memili akibat hukum dari
ikatan perkawinan tersebut. Yang dimana mengakibatkan timbulnya hak dan
kewajiban bagi kedua nya.

B. Perkawinan menurut kompilasi hukum islam dan Undang-Undang


Dalam Kompilasi Hukum Islm pada pasal 2, perkawinan adalah perniikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan Ghalidzan untuk mentaati perintah
allah dan melaksanakan merupakan ibadah.
Kompilasi Hukum Islam kemudian dibandingkan dengan uraian hukum islam,
sebelum ditemukan perbedaan mengenai pencatatn perkawinan. Hukum
perkawinan islam tidak mewajibkan suatu perkawinan dicatatkan pada suatu
instansi emerintah, sedangkan hukum perkawinan Indonesia mewajibkan
perkawinan tersebut dicatatkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA), jika suatu
perkawinan tidak di catatkan maka perkawinan tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum.

6
Khoiruddin Nasution, “Draf UU Perkawinan Indonesia: Basis Filosofis dan Implikasi dalam Butir-
Butir UU”, Jurnal Unisia No.48/XXVI/II/2003, Hlm, 129.
7
Khoiruddin Nasution, “Draf UU Perkawinan Indonesia: Basis Filosofis dan Implikasi dalam Butir-
Butir UU”, Jurnal Unisia No.48/XXVI/II/2003, Hlm, 129.
8
Riduan S, Seluk beluk Asas-asas Hukum Perdata, (Banjarmasin: PT, Alumni, 2006), hlm, 42.
Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tetang perkawinan menetapkan;

a. Perkawinan sah apabila dilalukan menurut hukum masing-masing


agama dan kepercayaan.
b. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perunndang-undang yang
berlaku.

C. Nikah Siri
1. Pengertian nikah siri

Nikah siri dalam Bahasa arab yaitu “sirun” yang artinya rahasia, jadi nikah siri
di artikan sebagai pernikahan yang dirahasiakan, berbeda dengan pernikahan pada
umumnya yang dilakukan secara terang-terangngan. Oleh karena itu nikah siri dapat
didefinisikan sebagai “bentuk pernikahan yang dilakukan secara hukum agama atau
secara istiadat, dan juga tidak diumumkan pada halayak yang ramai serta tidak
dicatatkan secara resmi di Kantor Pegawai Pencatat Nikah.9

Nikah siri disebut juga sebagai nikah di bawah tangan, Nikah siri cukup
dengan adanya wali dari mempelai Wanita, ijab Kabul, mahar, dan dua orang saksi
laki-laki serta tidak perlu melibatkan petugas dari Kantor Urusan Agama (KUA)
setempat. Nikah siri biasanya dilaksanakan karena kedua belah pihak belum siap
untuk meresmikan atau meramaikan pernikahannya. Dan juga untuk menjaga agar
tidak terjerumus kepada hal-hal yang dilarang agama.10

Nikh siri menurut ulama Hanafi dan syafi’iah, bahwa nikah siriadalah nikah
yang berlangsung tanpa adanya saksi, jika hadir dua orang saksi, hal ini tidak
termasuk dalam pengertian nikah siri. Ibnu Rusy mengatakan bahwa para ulama dari
mazhab Hanafi dan Syafi’iah berbicara dengan hadits Nabi SAW yang mengatakan:
“pernikahan ini idak sah tanpa wali dan dua orang saksi yang saleh.”

Nikah siri menurut fiqh adalah nikah yang berlangsung tenpa penyeraha wali
atau dua orang saksi. Hukum nikah siri jelas tidak dapat dibenarkan dari sudut
pandang fiqh, karena bertentangan dengan hadits Nabi SAW yang mensyaratkan
adanya wali dan dua oran saksi dalam akad nikah. Oleh karena itu nikah siri dalam
mmasyarakat Indonesia sangan berbeda dengan konsep nikah siri dalam perspektif

9
Hppy Susanto, nikah siri apa untungnya?, Jakarta: Visi Media, 2007 hlm, 22.
10
Lukman A. Irfan, nikah, Yogyakarta: PT. Pustaka Insani Madani, 2007, hlm, 84.
fiqh. Hal ini karena dalam pandangan masyarakat nikah siri itu adalah nikah yang
tidak tercatat di KUA.11

Sedangkan nikah siri menurut ulama Maliki adalah nikah yang tidak
diumumkan, meskipun telah disaksikan. Namun dalam hal ini jga diminta kehadiran
saksi agara tidak memperpanjang nikah siri kepada masyarakat umum.12

Istilah nikah siri yang berkembang saat ini dikenal juga dengan istilag nikah
sembunyi-sembunyi, yaitu pernikahan yang telah memenuhi rukun dan syarat yang
ditetapkan syariat meskipun tanpa pencatatan resmi dari KUA. Meskipun nikah siri
diperbolehkan oleh syariat islam, namun pernikahan tersebut belum diakui secara
administrative oleh pemerintah. Oleh karena itu tidak semua akibat dari pernikahan
siri dapat diselesaikan secara hukum. Dari segi hukum positif, pernikahan siri tampak
sesuai dengan perkawinan syirik dilihat dari pengertian masyarakat umum, yaitu
perkawinan yang dilakukan secara alisan tetapi tida dicatatkan di Kantor Urusan
Agama (KUA).

2. Nikah Siri Menurut Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi hukum islam sebagai hukum positif negara bagi umat islamdi
Indonesia tidak mengenal istilah nilah siri, Kompilasi Hukum Islam hanya mengenal
nikah yang dicatat dan tidak di catat, seperti yang dinyatakan dalam pasal 2 ayat 2
Undang-Undang.

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang perkawinan bahwa “tiap-tiap


perawinan dicatat menurut peraturan Undang-Undang yang berlaku”. KHI mengatur
keharusan pencatatan nikah dalam pasal 5 sebagai: 1. Agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat islam, setiap perkawinan harus dicatat. 2. Pencatat
perkawinan tersebut pada ayat 1 dilakukan oleh pegawai pencatat Nikah sebagai mana
di atur dalam Undang-Undang.13

Dan Adapun cara pelaksanaannya yang diatur dalam pasal berikutnya yaitu
pasal 6 KHI, 1. Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan haru
dilangnsungkandi depan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah.

11
Abdul Al Adzim Ma’ani dari ahmad al Gundur, Hukum Islam Dari Al-Quran dan Hadits Secara
Etimologi Sosial dan Syariat, Kairo, 1967, hlm, 18.
12
Ibid, hlm,19.
13
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Perkawina yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak
mempunya kekuatan hukum.14

Maka dari itu nikah siri tidak dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah atau di
KUA. Hukum nikah siri bisa jadi sah menurut fiqh, akan tatapi menurut hukum
negara tetap tidak sah. KUA selama ini tidak menerima pengurusan nikah siri,
sehingga padasaat terjadi permasalahan yang merupakan resiko nikah siri, maka
resiko tersebut di tanggung oleh yang bersangketa.

3. Nikah Siri Menurut Undang-Undang Perkawinan

Di dalam hukum perkawinan tidak dijelaskan larangan nikah siri, di dalam


pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 di jelaskan, “perkawinan adalah
sah apabila dlakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya”. Ketentuan tentang pencatatan perkawinan secara umum di atur
pada pasal 2 ayat 2 Unfang-Unndang bahwa, “tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undang yang berlaku”.

Di dalam Undang-Undang perkawinan masalah pencatatan perkawinan


hanya di atur pada satu ayat, akan tetapi masalah pencatatan perkawinan ini
sangatlah dominan. Dalam PP No.9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan Undang-
Undang perkawinan pada pasal 3 ayat 1 di jelaskan, “setiap orangn yang akan
melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai
pencatat nikah di tempat perkawinan yang akan dilangsungkan”.

Dalam hukum mislam jika suatu perkawinan telah dilakukan sesuai syarat
dan rukun nya, atau ijab Kabul telah diucapkan maka perkawinan tersebut sah
dalam islam dan kepercayaan masyarakat adat. Akan tetapi sahnya perkawinan
dalam pandangan dan kepercayaan masyarakat ini juga harus disahkan lagi oleh
Negara, seperti yang terdapat dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang perkawinan,
bagi yang melaksanakan perkawinan menurut agama islam pencatatan dilakukan
di Kantor Urusan Agama (KUA) untuk memperoleh akta nikah sebagai bukti dari
adanya perkawinan. Dalam pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan lagi
bahwa, “perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh
pegawai pencatat nikah”.

14
Indonesia, Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2.
Nikah siri sangan merugikan kaum perempuan jika terjadi perceraian,
perempuan yang menjadi istri tidak dapat menutut hak nya dipengadilan agama,
begitupula dengan anak yang dilahirkannya tidak dapat dilindungi hukum serta
tidak memiliki akta sebagai syarat administrative dalam kepengurusan untuk
menunjang Pendidikan sang anak.

1. Metode Penelitian
a. Pendekatan penelitian
Pendekatan ini menggunakan penedekatan penelitian normatif – empiris.
Menurut Abdulkadir Muhamad “penelitian normatif empiris (terapan) mengkaji
pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum secara factual pada setiap
peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalama masyarakat guna mencapai tujuan
yang telah ditentukan, pendekatan ini adalah mengkaji dan memastikan
penerapan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat, bertujuan untuk mengetahui
sesuai atau tidaknya dengan ketentuan-ketentuan hukum.

Penelitian ini bersifat deskriptif, suatu metode dalam mencari fakta satatus
sekelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu systempemikiran ataupun
suatu peristiwa pada masa sekarang dengan interprestasi yang teat. Peneliti
deskriptif ini bertujuan unruk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan
saat ini dan melihat kaitan anatar variable-variabel yag ada.

Sementara itu tekhnik analisi dalam penelitian ini menggunakan Teknik


analisis kualitatif, yang dilakukan pada kondisi objek yang dialami, penelitian
sebagai instrument kunci, Teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan,
data yang dihasilkan bersifat deskriptif dengan metode berfikir secara induktif.
Dalam penulisan ini ditunjuk untuk memaparkan pernikahan siri yang tidak di
catatkan karena tidak ada persetujuan Dari istri pertama.

b. Sumber data
1. Sumber data primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan, dan
primer dapat dikumpulkan melalui observasi, maupun wawancara dan di
peroleh langasung dari sumber pertama yakni dari hasil observasi dan
wawancara.
2. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber dari bahan bacaan. Sumber data
sekunder adalaj data kedua yaitu data yang diambil dari seumber kedua, data
sekunder ini mencangkup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, jurnal, hasil-
hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.

Sumber data sekunder berasal dari buku data yang berkaitan dengan
nikah siri sesuai atau tidak sesuai menurut Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-Undang.

3. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data adalah Teknik yang digunakan untuk
memperoleh data yang valid. Menurut soerjonio sukanto, dalam penelitian
lazimnya dikenal tiga jenis alat penelitian data, yaitu pengamatan atau
obsevasi, studi dokumen (bahan Pustaka), dan wawancara (interview).

4. Teknik Anlisis Data


Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa
tehapan yang ditentukan yakni identifikasi, klasifikasi dan selanjutnya
diinterprestasikan dengan cara menjelaskan sacra deskriptif. Penelitian akan
mengumpulkan data dari lokasi penelitian, kemudian menelolanya dan
selanjutnya akan menjelaskan dengan kesimpulan yang telah di peroleh.
Maka dalam hal ini penulis menggunakan cara berfikir induktif yaitu
bertolak belakang dari fakta khusus, peristiwa tersebut ditarik generalisasi
yang mempunya sifat umum.
5. Pendekatan penelitian
Pendekatan ini menggunakan penedekatan penelitian normatif –
empiris. Menurut Abdulkadir Muhamad “penelitian normatif empiris (terapan)
mengkaji pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum secara factual pada
setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalama masyarakat guna
mencapai tujuan yang telah ditentukan, pendekatan ini adalah mengkaji dan
memastikan penerapan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat, bertujuan
untuk mengetahui sesuai atau tidaknya dengan ketentuan-ketentuan hukum.

Anda mungkin juga menyukai