Anda di halaman 1dari 15

KAWIN KONTRAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

DISUSUN OLEH

RIFAA’ ADELYA HERDIAWAN

110110180077

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT syukur atas kehadirat-Nya, karena atas berkat dan karunia-Nya
akhirnya tugas pemenuh Ujian Tengah Semester mata kuliah Hukum Perkawinan dan Islam
telah selesai.

Adapun makalah ini berisi tentang Kawin Kontrak Dalam Perspektif Hukum Islam .Layaknya
segala sesuatu yang ada di bumi ini, tidaklah ada yang sempurna. Begitu juga kiranya dengan
makalah ini, masih banyak memiliki kekurangan. Untuk itu,segala saran dan kritik yang
membangun sangat saya harapkan. Agar dimasa yangakan datang saya bisa
mempersembahkan yang lebih baik dan lebih berguna untukkita semua. Akan tetapi mudah-
mudahan makalah in memberikan manfaat untukkita semua.
DAFTAR ISI
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manusia adalah makhluk social yang berhubungan dengan manusia lain secara timbal
balik. Manusia dikatakan makhluk social, juga karena manusia ada dorongan dan kebutuhan
untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain. Sebagai makhluk social manusia
membutuhkan orang lain untuk menjalani kehidupannya sehari-hari, karena pada dasar sifatnya
manusia saling membutuhkan. Secara biologis pun manusia membutuhkan pasangan untuk
memberikan keturunan dan berkeluarga. Memberikan keturunan ini dengan cara menikah,
secara agama dan hukum Indonesia pun menikah/perkawinan ini sudah diatur.
Perkawinan diatur didalam hukum Islam dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Namun
yang akan dibahas lebih lanjut disini mengenai perkawinan dalam hukum islam. Hukum islam
atau syariat islam adalah sistem kaidah-kaidah yang di dasarkan pada wahyu Allah SWT dan
Sunnah rasul mengenai tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban)
yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua pemeluknya. 1 Hukum islam adalah
ketentuan perintah dari Allah baik yang wajib,haram, maupun mubah. Hukum islam ini
bersumber dari ayat Al-Qur’an dan hadits.
Melihat sumber hukum islam sendiri yaitu Al-Quran telah tertera pada surat Ar-Rum ayat
21 “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup
dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih sayang mawaddah warahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu
menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir.”
Allah menetepkan aturan mengenai perkawinan bagi manusia, agar manusia tidak berbuat
semena-mena layaknya hewan. Allah telah memberikan batas dengan peraturan-peraturan yang
termuat dalam syariat islam yaitu Al-Quran dan Hadist rasulnya dengan hukum-hukum
perkawinan. Jika melihat kembali pada syariat islam tujuan perkawinan ialah sebagai
penyempurna ibadah kita. Maka dengan itu bila pernikahan terjadi dengan tidak sesuai dengan
tujuan perkawinan itu sendiri tidaklah sesaui dengan tujuan ajaran islam. Maka dengan itu
kawin kontrak bertentangan dengan syariat Islam.

1
Diakses dari http://repo.iain-tulungagung.ac.id/9907/5/BAB%20II.pdf , pada tanggal 10 Oktober 2019
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kawin kontrak?
2. Bagaimana perspektif kawin kontrak dalam hukum islam?
1.3.Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian mengenai kawin kontrak
2. Untuk mengetahui sudut pandang mengenai kawin kontrak berdasarkan hukum islam
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa (Walgito, 2000: 11-12)2. Tujuan pernikahan yang sama harus dilakukan oleh
pasangan dan harus disadari bahwa tujuan itu akan dicapai secara bersama.

Menurut kompliasi hukum islam (KHI) pasal 2 pengertian perkawinan menurt hukum
islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqa ghaliizhan untuk menaati
perintah Allah dan melakukannya merupaka ibadah. Perkawinan merupakan sunnatullah.
Islam sangat menganjurkan perkawinan dan segala akibat baik yang bertalian dengan
perkawinan, bagi individu, masyarakat, maupun kemanusiaan.

Dilihat dari tinjauan hukum, perkawinan merupakan perbuatan hukum dimana seorang
laki-laki mengikatkan diri “dengan perempuan untuk hidup bersama” oleh karena itu harus
diperhatikan yang ditentukan dalam berbagai ketentuan hukum yang berlaku. Pada tahun 1974
menjadi awal terbentuknya unifikasi mengenai perkawinan ditandai dengan diundangkannya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan atau yang selanjutnya disebut dengan
(UU Perkawinan).

Perkawinan menurut UU Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluara (rumah tagga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika dilihat dalam Burgerlijk
Wetbook atau yang lebih dikenal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak menjelaskan
mengenai arti perkawinan itu sendiri, namun menyatakan bahwa perkawinan adalah suatau
“perikatan”.3

Dalam UU Perkawinan memiliki 4 (empat) unsur, yakni: 1) ikatan lahir batin 2) antara
seorang pria dengan seorang wanita 3) membentuk keluarga bahagia dan kekal 4) berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa.4 Namun pada pasal 2 UU Perkawinan menyatakan bahwa sah atau

2
Diakses dari http://eprints.walisongo.ac.id/3464/2/101111049_Bab1.pdf , pada tanggal 9 Oktober 2019
3
Hj. Wati Rahmi Ria, S.H., M.H., Hukum Keluarga Islam. Dikutip dari
http://repository.lppm.unila.ac.id/9159/1/3.%20BUKU%20HUKUM%20KELUARGA%20ISLAM.pdf. Hlm. 29
4
Prof. Dr. Jamaluddin, S.H., M.Hum, Buku Ajar Hukum Perkawinan (Lhokseumawe: UNIMAL PRESS, 2016) hlm
17
tidaknya perkawinan ditentukan oleh hukum agama masing-masing calon kedua belah pihak.
Sedangkan untuk pencatatan tiaptiap paerkawinan itu merupakan persyaratan formil
administrative.

2.2 Syarat Perkawinan

Suatu perkawinan dikatakan sah ketika perkawinan tersebut telah memenuhi syarat-
syarat yang telah ditentukan. Di dalam UU Perkawinan syarat perkawinan diatur di dalam Pasal
6 sampai Pasal 12. Syarat yang sifatnya materiil dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai


2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah
meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari
pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi
kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya.
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. 5
Sedangkan syarat secaara formal diuraikan dalam pasal 12 UU No. 1 tahun 1974. Secara
singkat syarat formal ini dapat diuraikan.

• Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan


kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana
perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum
perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon
mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur,
agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5)

5
Wibowo T. Tunardy, Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perkawinan, Dikutip dari
https://www.jurnalhukum.com/syarat-syarat-sahnya-suatu-perkawinan/ , pada Sabtu, 19 oktober 2019 pukul
23.38
• Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah
memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut
(Pasal 6-7).
• Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat
pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat
antara lain:

1. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.


2. hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9)

• Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut


hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai
menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua
orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat
rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera
Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan
(pasal 10-13).6

2.3. Dasar Hukum Perkawinan

a. Dalil Al-Quran Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 3 dan Al A’raaf ayat
189 yang artinya secara urut sebagai berikut:
“Dan jika kamu tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah
perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat dan jika kamu
takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang”.
“Dialah yang menciptakan kamu dari suatu zat dan dari padanya dia menciptakan isterinya
agar dia merasa senang”.
b. Dalil As-Sunnah
Pada dasarnya hukum menikah itu adalah jaiz (boleh) namun karena berbagai situasi
dan kondisi hukum menikah terbagi menjadi 4 macam, yaitu:
a. Wajib bagi yang sudah mampu, nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus pada
perzinahan, serta sudah punya calon untuk dinikahi.
b. Sunnah bagi orang yang nafsunya sudah mendesak dan mampu menikah tetapi masih
mampu menahan dirinya dari berbuat zina, hukum menikah baginya adalah sunnah.

6
Diakses dari http://pkbh.uad.ac.id/syarat-syarat-perkawinan/ pada 19 Oktober 2019
c. Haram bagi seseorang yang yakin tidak akan mampu memenuhi nafkah lahir dan
batin pasangannya, atau kalau menikah akan membahayakan pasangannya, dan
nafsunya pun masih bisa dikendalikan, maka hukumnya haram untuk menikah.
d. Makruh bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan lahir batin, namun
isterinya mau menerima kenyataan tersebut, maka hukum perkawinannya adalah
makruh.7

7
Diakses dari http://eprints.ums.ac.id/38776/6/BAB%20II.pdf pada tanggal 17 Oktober 2019
BAB 3
PEMBAHASAN
KAWIN KONTRAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

3.1. Pengertian Kawin Kontrak

Hukum islam memandang pernikahan atau menikah itu pada hakikatnya berupa aqad
anatara calon suami dan pihak calon istri (wali nikah) untuk memperbolehkan keduanya
bergaul sebagai suami istri. Aqad memiliki arti sebagai ikatan atau perjanjian. Dapat
disimpulkan bahwa aqad merupakan perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan
antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang diwakili oleh wali nikahnya.

Kawin kontrak atau disebut juga dengan Nikah Mut’ah, nikah mut’ah adalah kata
majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu nikah dan mut’ah. Nikah Mut’ah adalah seseorang
yang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian
kepadanaya berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika habis masa berlakunya
atau selesai kontrak dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan. 8
Dikalangan para ahli fikih (fuquha’) disebut juga nikah muaqqat (kawin sementara waktu).
Disebutkan sebagai nikah mut’ah karena laki-laki bermaksud untuk bersenang-senang dengan
wanita untuk sementara waktu sampai waktu batas yang ditentukan.

Secara terminologi, nikah mut’ah ialah: Nikah itu ditetapkan dalam waktu-waktu yang
diketahui atau tidak diketahui. Beberapa indikasi nikah mut’ah:

1. Sigat ijab dengan lafaz yang berarti nikah atau dengan lafaz mut’ah, serta
kemestian, menyebut mahar dalam akad
2. Tanpa wali dan tanpa saksi,
3. Didalam akad, terdapat pembatasan waktu (yang menurut syi‟ah Imamiah,
tidak lebih dari 45 hari),
4. Anak dari nikah mut’ah mempunyai fungsi seperti dalam nikah biasa,
5. Antara suami dan istri tidak saling mewarisi jika tidak disyaratkan dalam akad
6. Tidak ada talaq sebelum masa berakhir,
7. ‘Iddah dua kali haid,

8
Yusril Fachrizal, “Perspektif Kawin Kontrak dalam Hukum Islam dan Hukum Nasioanl Beserta Akibat Hukum
yang Ditimbulkannya” diakses dari
https://www.academia.edu/35186862/PERSPEKTIF_KAWIN_KONTRAK_DALAM_HUKUM_ISLAM_DAN_HUKU
M_NASIONAL_BERSERTA_AKIBAT_HUKUM_YANG_DITIMBULKANNYA pada tanggal 16 Oktober 2019
8. Tidak ada nafkah ‘iddah.9

Kawin kontrak atau nikah mut’ah ini memiliki syarat yang harus dipenuhi:

• Mahar: mahar dalam perkawinan kontrak berupa harta benda yang akan diberikan pada
pihak perempuan dan hanya sebatas dalam isi perjanjian.
• Waktu: Dalam kawin kontrak tidak ada batas minimal mengenai kesepakatan waktu
berlangsungnya mut’ah. Dalam kawin kontrak boleh saja dalam jangka waktu satu hari,
seminggu, satu bulan.
• Perjanjian pernikahan: perjanjian dalam kawin kontrak ini sangat dibutuhkan karena
mengenai kesepakatan tentang jangka waktu tertentu dalam pernikahan tersebut, serta
mengenai jumlah mahar yang harus diberikan kepada pihak perempuan.

Adapun ciri kontrak dalam kawin kontrak yaitu: tidak ada talak, karena kawin kontrak
bukan pernikahan yang lazim dikenal di dalam Islam. Jangka waktu, dalam kawin kontrak tidak
mengenal minimal mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya. Berkali-kali tanpa batas,
diperbolehkan melaksanakan kawin kontrak dengan wanaita tanpa ada batasan. Wanita mut’ah
diberi mahar sesuai jumlah hari yang disepakati.

3.2. Perspektif Kawin Kontrak dalam Hukum Islam


Dalam prinsip sebuah pernikahan, nikah mut’ah tidak sesuai dengan nikah yang telah
disyariatkan oleh Allah SWT. Kawin kontrak masa berlakunya hanya dibataskan pada
waktunya, kawin kontrak ini juga tidak membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi. Namun,
dalam pernikahan ini tidak memerlukan saksi, pengumuman, perceraian, pewasiran dan
pemberian nafkah setelah selesainya waktu yang telah ditentukan.
Nikah Mut’ah ini merupakan warissan dari masyrakat pra Islam yang dimaksudkan untuk
melindungi wanita di lingkungan sukunya. Pada masa Rasulullah SAW, nikah mut’ah
mengalami beberapa kali perubahan hukum, dua kali dibolehkan dan dua kali dilarang,
akhirnya diharamkan untuk selamanya.
Pakar hukum islam, Al-Hazimi pada awal permulaan Islam nikah kontrak memang
diperbolehkan. Pembolehan nikah kontrak pada waktu itu, sebagaimana yang terdapat dalam
hadis Ibn Mas’ud, yaitu pada saat para sahabat sedang berperang. Menurutnya, tidak ditemukan
riwayat (hadis) yang membolehkan para sahabat yang tinggal di rumah atau tidak sedang
berperang, melakukan nikah kontrak. Oleh karena itu, Rasul SAW melarangnya berkali-kali.

9
Asmal May,”Kontroversi Status Nikah Mut’ah (Analisis terhadap Pendapat Para Ulama), Vol.46 No. 1, 2012
Kemudian membolehkan lagi pada waktu-waktu tertentu, sampai akhirnya diharamkan untuk
selama-lamanya. Pengharaman yang terakhir ini berlangsung pada waktu Rasul SAW
mengerjakan haji Wada’.10
Imam Syafi’i mengatakan, semua nikah yang ditentukan berlangsungnya sampai waktu
yang diketahui ataupun yang tidak diketahui (temporer), maka nikah tersebut tidak sah, dan
tidak ada hak waris ataupun talak antara kedua pasangan suami istri.11 Mahdzab Maliki, Syafi’I
dan Hambali menyepakati bahwa nikah muaqqat dan mut’ah hukumnya batal atau tidak sah.
Melihat dari dampak negatifnya, nikah mut’ah merupakan bentuk pelecahan terhadap
kaum perempuan, merusak keharmonisan keluarga, menelantarkan generasi yang dihasilkan
dari pernikahan tersebut, menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin, meresahkan
masyarakat. Pernikahan ini dapata berdampak kepada agama, masyarakat maupun akhlak,
maka dari itu Rasulullah SAW mengharamkannya.
Telah datang dalil yang amat jelas tentang haramnya nikah mut’ah, diantaranya: Hadits
Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu: “Dari Ali bin abi Thalib berkata: Sesungguhnya
Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar
jinak pada perang khaibar” (HR. Bukhari 5115, Muslim 1407). Hadits Sabrah bin Ma’bad Al-
Juhani Radiyallahu ‘anhu: “berkata: :Rasululloh Shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan
kami untuk nikah mut’ah pada waktu fathu makkah saat kami masuk Makkah kemudian beliau
melarang kami sebelum kami keluar dari makkah. Dan dalam riwayat lain: Rasululloh bersabda:
Wahai sekalian manusia, sesunggunya dahulu saya telah mengizinkan kalian nikah mut’ah
dengan wanita. Sekarang Alloh telah mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barangsiapa
yang memiliki istri dari mut’ah maka hendaklah diceraikan” (HR. Muslim 1406, Ahmad
3/404).12
Demikian pula Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa tentang haramnya
nikah mut’ah atau kawin kontrak dengan sejumlah argumentasi. MUI melihat bahwa kawin
kontrak banyak menimbulkan masalah dan keresahan bagi masyarakat secara umum. Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Keputusan Fatwa MUI tentang Nikah Mut’ah Nomor Kep-
B- 679/MUI/XI/1997, yang menyatakan bahwa nikah Mut’ah haram hukumnya, sebagai
berikut :

10
Shafra, “Nikah Kontrak menurut Hukum Islam dan Realitas di Indonesia”, Vol.9 N0. 1, 2010
11
Dikutip dari https://islam.nu.or.id/post/read/10910/bagaimana-hukum-nikah-mutamp8217ah pada 20
Oktober 2019
12
Dr. Marzuki, M.Ag., “Memahami Hukum Islam”, dikutip dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/lain-
lain/dr-marzuki-mag/Dr.%20Marzuki,%20M.Ag_.%20Memahami%20Hukum%20Nikah%20Mut'ah.pdf pada 20
Oktober 2019
1. Nikah mut`ah hukumnya adalah HARAM.
2. Pelaku nikah mut`ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bila
dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan pembetulan
sebagaimana mestinya.
Syaikh Husain Muhammad Mahluf ketika ditanya mengenai pernikahan dengan akad dan
saksi untuk masa tertentu mengatakan bahwa seandainya ada laki-laki yang mengawini
perempuan untuk diceraikan lagi pada waktu yang telah ditentukan, maka perkawinannya tidak
sah karena adanya syarat tersebut telah mengalangi kelanggengan perkawinan, dan itulah yang
disebut dengan nikah mut’ah. (Fatawi Syar’iyyah II/7) para ulama bersepakat, bahwa nikah
mut’ah tidak sah. Perkawinan seperti ini tidak sah dan telah dihapus kebolehannya oleh
kesepakatan para ulama sejak dulu. Apalagi praktik nikah mut’ah sekarang ini hanya
dimaksudkan untuk menghalalkan prostitusi.13

13
Ibid
BAB 4

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Kawin kontrak atau yang disebut dengan Nikah Mut’ah jika dilihat lebih banyak
mudharatnya apalagi untuk kaum perempuan. Akibat perkawinan yang tidak tercatat dalam
negara dan tidak sah juga secara islam. Perkawinan kontrak ini tidak memberi banyak
keuntungan, dan tidak sesuai dengan syariat islam. Kawin kontrak adalah batal/tidak sah dan
hubungan (suami-istri) yang dilakukan atas dasar akad kontrak dihukumi haram oleh mayoritas
ulama/jumhur.

Para ulama bersepakat, bahwa nikah mut’ah tidak sah, dan hampir tidak ada perselisihan
pendapat. Meskipun dalam sejarahnya islam pernah memperbolehkan adanya pernikahan
kontrak ini, namun pada akhirnya diharamkan sampai sekarang, karena tidak sesuai dengan
syari’at islam.

4.2. Saran

Dalam menangani kasus kawin kontrak atau nikah mut’ah ini diharapkan pemerintah bisa
lebih mengajarkan dan mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai makna pernikahan dan
sex-education yang dimana bermaksud untuk memahami bahayanya bertukar-tukar pasangan.
Selain itu juga pemahaman agama harus lebih didekatkan lagi dan dijabarkan lagi mengenai
syariat islam terutama mengenai syarat dan rukunnya perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Utama
1. Al-Quran:
surat Ar-Rum ayat 21
Surat An-Nisa ayat 3
Surat Al A’raaf ayat 189
2. Hadits:
HR. Bukhari 5115, Muslim 1407
Hadits Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani RA
HR. Muslim 1406, Ahmad 3/404
B. Buku

Judiasih, Sonny Dewi. 2015. Buku Ajar Hukum Keluarga dan Waris, Bandung: Kalam Media.

Syahuri, Taufiqurrohman. 2013. LEGISLASI HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA:


Pro-Kontra Pembentukannya hingga Putusan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Kencana.

Jamaluddin. 2016. Buku Ajar Hukum Perkawinan. Lhokseumawe: UNIMAL PRESS.

C. Perundang-Undangan

Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Kompliasi Hukum Islam

Keputusan Fatwa MUI

D. Sumber Lain

May, Asmal. ”Kontroversi Status Nikah Mut’ah (Analisis terhadap Pendapat Para Ulama).
Vol.46 No. 1. 2012.

Shafra. “Nikah Kontrak menurut Hukum Islam dan Realitas di Indonesia”. Vol.9 N0. 1. 2010.

Anda mungkin juga menyukai