Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN

A. Prinsip Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan.

Suatu perkawinan atau pernikahan dapat dikatakan "sah" apabila dilaksanakan menurut berbagai
cara misalnya menurut hukum adat, menurut hukum agama, dan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku, sehingga suatu perkawinan atau pernikahan tersebut diakui dan "sah".

Penulis akan membahas dan menyampaikan prinsip perkawinan atau pernikahan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan, dengan kata lain menurut peraturan
perundang-undangan.1

1. Syarat Perkawinan:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 6 dikemukakan : syarat-syarat


perkawinan sebagai berikut:

 Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.


 Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat
izin kedua orang.
 Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
 Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
keluarga yang mempunyai hubungan keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup. dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.2

1
Al-anshary, Abu Yahya Zakariya, Fath al-Wahhab, juz 1, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

2
Al-Mawardy, Abu Al-Hasan, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Beirut: Dar al-Fikr, tt

1
 Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan
(4) pasal ini, atau salah seorang lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
pengadilan dalam daerah. hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut. dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. 3
 Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain."
2. Pencatatan Perkawinan

Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa: Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturanperundang- undangan yang berlaku. Ini adalah satu-satunya ayat yang mengatur
tentang pencatatan perkawinan. Di dalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci kecuali yang
dimuat di dalam PP No. 9 Tahun 1975. Ini berbeda dengan ayat 1 yang di dalam penjelasannya
dikatakan (i) tidak ada perkawinan di luar hukum agama dan (ii) maksud hukum agama termasuk
ketentuan Perundang-undangan yang berlaku.

Di dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan Pasal 3 ada
dinyatakan:

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada
Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.

(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1)dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan.

(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang
penting, diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.

Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam Undang-Undang Perkawinan


hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan
tampak dengan jelas menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan
dengan pencatatan. Tidaklah berlebihan jika adasementara pakar hukum yang menempatkannya
sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan.4

3
Abu Bakr, Taqi al-Din, Kifayat al-Akhyar, juz 2, Bandung: al-Ma’arif, tt
4
Al-anshary, Abu Yahya Zakariya, Fath al-Wahhab, juz 1, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

2
Asas perkawinan menurut UU No. 1/1974 adalah: (1) Tujuan perkawinan adalah membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal; (2) Sahnya perkawinan sangant tergantung pada ketentuan hukum
agama dan kepercayaan masing-masing: (3) Asas monogami; (4) Calon suami dan istri harus telah
dewasa jiwa dan raganya; (5) Mempersulit terjadinya perceraian; (5) Hak dan kedudukan suami istri
adalah seimbang.

Menarik untuk dianalisis, asas-asas perkawinan ini memiliki landasan yang tegas seperti yang
termuat dalam al-Qur'an dan Hadits. Seperti yang diurai oleh M. Rafiq. asas yang pertama dan
keempat dapat dilihat rujukannya pada firman Allah:

"Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa
kasih saying. Sesugguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya
bagi kaum yang berfikir" (QS. AI Rum: 21).

Berkenaan dengan prinsip kedua, sesuatu yang telah jelas dimana hukum yang ingin ditegakkan
harus bersumber pada al-Quran dan al-Hadits. Prinsip ketiga dapat dilihat pada firman Allah:

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinlah dengan wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua,
tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka kawinlah seorang saja atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".
(QS. an-Nisa: 3)

Asas kelima sesuai dengan Hadits Rasul yang berbunyi: "Perbuatan halal yang paling dibenci
Allah adalah perceraian". (HR. Abu Daud dan at- Tirmidzi)5

Asas keenam sejalan dengan firman Allah:"(karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa
yang mereka usahakan dan bagi para wanitapun ada bagian dari apa yang mereka usahakan"

Dari sisi ini bisa dipahami, perkawinan sebagai langkah awal untuk membentuk keluarga yang
selanjutnya kumpulan keluarga inilah yang akan membentuk warga masyarakat yang pada akompilasi
hukum islamrnya membentuk sebuah negara. Dapatlah dikatakan jika perkawinan itu dilangsungkan

5
Bakti. Azzam, Abdul Aziz Muhammad, Prof. Dr. dan Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas,
penerjemah: Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag. 2009. Figh Munakahat:

3
sesuai dengan peraturan agama dan perundang-undangan maka bisa dipastikan akan terbentuk
keluarga-keluarga yang baik.6

B. Prinsip Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Pengertian perkawinan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah: "Perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqaan ghaaliizhan
untuk menaati perintah Allah Swt. dan melaksanakannya merupakan ibadah."

Pengertian perkawinan menurut KHI pada dasarnya tidak mengurangi arti perkawinan menurut
UU No. 1 Tahun 1974. Ungkapan kata akad yang sangat kuat atau miitsagan ghalizhan yang
merupakan penjelasan dari ungkapan "ikatan lahir batin" yang terdapat dalam rumusan UU
Perkawinan yang mengandung arti bahwa akad pernikahan itu bukanlah semata perjanjian yang
bersifat keperdataan. Ungkapan untuk menaati perintah Allah dan pelaksanaannya merupakan ibadah
merupakan penjelasan dari ungkapan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam UU Perkawinan. Hal ini
lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa agama. Oleh karena itu,
orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah." Menurut pandangan Islam
perkawinan mengandung tiga aspek

1. Aspek hukum. Perkawinan merupakan suatu perjanjian atau akad yang dalam bahasa Al-
Qur'an perkawinan adalah akad yang sangat kuat disebut dengan kata-kata mitsagaan
ghaliizaan (kukuh dan kuat).
2. Dari aspek sosial. Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui adanya suatu penilaian umum
bahwa orang yang berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka
yang tidak kawin.7
3. Dari aspek agama. Perkawinan itu dianggap suatu lembaga suci dalam agama Islam
Upacara perkawinan adalah upacara suci, yang mana kedua belah pihak dihubungkan
menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan
menggunakan nama Allah. Menurut Hukum Islam asal perkawinan itu adalah mubah
(boleh), namun hukum tersebut dapat berubah dengan beberapa keadaan yaitu sebagai
berikut.

6
Khitbah, Nikah dan Talak. Jakarta: Amzah.
7
Ghozali, Abdul Rahman Prof. Dr., M.A. 2008. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana.

4
 Wajib, yaitu bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk
kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin karena takut akan terjerumus berbuat
zina jika tidak kawin.8
 Sunnah, yaitu apabila seseorang dilihat dari segi jasmaninya, udah memungkinkan
untuk kawin dan dari segi materi telah mempunyai, maka bagi orang yang demikian
itu sunnah baginya untuk kawin. Kalau dia kawin akan mendapat pahala sedang tidak
kawin dia tidak berdosa atau tidak mendapat apa-apa.
 Makruh, yaitu bagi orang yang pada dasarnya mampu melakukan perkawinan, namun
merasa ia akan berbuat curang dalam perkawinan itu.

Defini perkawinan juga sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 yang
berbunyi: Perkawinan menurut hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mitsaqon gholidhon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kata
miitsaaqan ghaliidhan ini ditarik dari firman Allah"Dan bagaimana kamu akan mengambil mahar
yang telah kamu berikan pada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang
lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat
(miitsaaqan ghaliizhan)".

Berkenaan dengan tujuan perkawinan tersebut dimuat dalam pasal berikutnya yaitu pasal 3 yang
berbunyi:

"Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
dan rahmah (tenteram, cinta dan kasih sayang)".9

Tujuan ini juga dirumuskan melalui firman Allah SWT:

"Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya
diantaramu rasa kasih saying. Sesugguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berfikir”.

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan pengembangan dari Hukum Perkawinan yang
tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Karena itu, ia tidak dapat lepas dari misi

8
Soemiyati. 1999. Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974).
Yogyakarta: Liberty.
9
Summa, Muhammad Amin. 2005. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

5
yang diemban oleh Undang- undang Perkawinan tersebut, kendatipun cakupannya hanya terbatas bagi
kepentingan umat Islam. Antara lain, kompilasi mutlak harus mampu mem- berikan landasan hukum
perkawinan yang dapat dipegangi oleh umat Islam. Misi tersebut sebagai perkembangan sejarah
bangsa Indonesia, yang pernah memberlakukan berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan
warga negara Indonesia dan berbagai daerah, yaitu:

A. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah
diresipir dalam hukum adat
B. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat.
C. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie
Cristen Indonesia (Stbl. 1933 No. 74).
D. Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia ke- turunan Cina
berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit
perubahan.
E. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warga negara Indonesia keturunan Timur
Asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka.
F.Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang
disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.10
Oleh karena itu pula, sesuai dengan landasan falsafah Pancasila da Undang-Undang Dasar 1945,
sebagaimana Undang-undang Perkawinan-selas kompilasi harus mewujudkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Pancasi dan Undang-Undang Dasar 1945 juga ia dituntut mampu menampung
segala kenyataan yang hidup di dalam masyarakat dewasa ini.
Atas dasar pemikiran di atas itulah, perkawinan yang diatur dalan Kompilasi Hukum Islam
menentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenal perkawinan meliputi segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan, yang antisipatif terhadap perkembangan dan tuntutan zaman.
Kompilasi Hukum Islam dalam banyak hal merupakan penjelasan Undang- undang Perkawinan,
maka prinsip-prinsip atau asas-asasnya dikemukakan dengan mengacu kepada undang-undang
tersebut.11
Ada enam asas yang bersifat prinsipil di dalam Undang-undang Perkawinan sebagai berikut:

10

11
Abdul Kadir, Muhammad. 2000. Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya

6
A. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal Untuk itu suami istri
perlu saling membantu dan melengkapi agar masing- masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapal kesejahteraan spiritual dan material.
B. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap
perkawinan "harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.12
C. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami
dapat beristri lebih dari seorang
D. Undang-undang Perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak
jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan
secara baik tanpa berpikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
E. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera,
maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian.
F. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian
segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri. 13

Apabila coba diperhatikan asas-asas perkawinan di atas, mengacu kepada ketentuan atau
informasi yang terdapat dalam nash, baik Al-Qur'an maupun al-Sunnah. Tentu hal ini, tidak
dimaksudkan sebagai suatu klaim apologetik, tetapi dimaksudkan untuk lebih mengakrabi hukum
positif tersebut.

Pencatatan perkawinan merupakan salah satu asas dalam Undang-undang Perkawinan, yang
diatur pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan diikuti perumusan yang
lebihrinci dalam Kompilasi Hukum Islam. Di bawah ini akan dikutip pasal-pasal yang mengatur
pencatatan perkawinan.

12
Abdul Kadir, Muhammad. 2000. Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya
13
Ghozali, Abdul Rohman. 2008. Figh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nuruddin, H. Amiur Dr., MA. dan Drs. Azhari Tarigan, M.Ag. 2006. Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Cet. 3. Jakarta: Kencana. Syarifudin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia
antara Figh Munakahat dan UU Perkawinan. Jakarta: Kencana. Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawina. Jakarta:
Kencana. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975. UURI No. 1 Tahun 1974. 2007. Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam.

7
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dalam Pasal 2
diatur tentang keabsahan perkawinan, yaitu ayat (1), "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu Ayat (2) menyatakan Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku Dalam versi Kompilasi
Hukum Islam pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 5 dan 6. Namun karena pencatatan
perkawinan adalah merupakan syarat administratif, di bawah ini dikutip ketentuan keabsahan
perkawinan.

Pasal 2, Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau
mitsaqan galidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3, Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah (tenteram, cinta dan kasih sayang, pen.).

Jika dalam UU No. 1 Tahun 1974 menggunakan istilah-istilah yang umum, maka kompilasi lebih
spesifik lagi dengan menggunakan term-term Qur'ani seperti mitsäqän ghalidhän, ibadah, sakinah,
mawaddah, dan rahmah.Selanjutnya Pasal 4 menyebutkan, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Di sini kompilasi menguatkan apa yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan.

8
PENUTUP

A. Kesimpulan

Masyarakat memandang suatu peristiwa yang sakral adalah suatu perkawinan. Perkawinan
sebagai langkah awal untuk membentuk keluarga yang selanjutnya kumpulan keluarga inilah yang
akan membentuk warga masyarakat yang pada akhirnya menjadi sebuah negara. Dapatlah
dilangsungkan sesuai dengan peraturan agama dan perundang-undangan maka bisa dipastikan akan
terbentuk keluarga- keluarga yang baik. Pada gilirannya negara pun akan menjadi baik. Prinsip
perkawinan yang hidup dan tumbuh di masyarakat menurut UU No. 1 Tahun 1974 disyaratkan adanya
persetujuan dari kedua belah pihak (calon mempelai). Sebagai dikatakan jika perkawinan itu
syarat/peminangan, pemberian mahar, dalam akad nikah, disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, wali dari
pihak, calon mempelai perempuan dan setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

9
NU ONLINE

Buku Ajar HUKUM PERKAWINAN - JDIH KABUPATEN SITUBONDO


https://jdih.situbondokab.go.id/barang/buku/Buku%20Ajar%20Hukum%20Perkawinan%20by
%20Nanda%20Amalia%20(z-lib.org).pdf

hukum perkawinan islam - FH UII https://law.uii.ac.id/wp-content/uploads/2017/05/Umar-Haris-


Sanjaya-dan-Aunur-Rahim-Faqih-Hukum-Perkawinan-Islam-di-Indonesia.pdf

Hukum Perkawinan Islam Indonesia_14 x 20,5 Cm_FINALe


http://repository.uinsa.ac.id/2449/1/Nabiela%20Naily%20book_Hukum%20Perkawinan%20Islam
%20indonesia.pdf

10

Anda mungkin juga menyukai