Anda di halaman 1dari 6

Perkawinan atau pernikahan merupakan salah satu dari bidang al-Ahwal al-Syakhshiyyah.

Pernikahan
adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta
menetapkan hak-hak dan kewajiban di antara keduanya.[1]

Di Indonesia masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah pernikahan ini telah diatur di dalam UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun
1974 serta peraturan lainnya, seperti PMA No 1 tahun 1952 dan No. 4 tahun 1952 tentang wali Hakim.
Pada pasal 2 bab II Kitab I KHI disebutkan bahwa Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan
yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya adalah ibadah.

Secara fikih apabila rukun dan syarat pernikahan sudah terpenuhi maka akad pernikahan itu adalah sah.
Namun, apabila dihubungkan dengan hukum positif, selain harus memenuhi rukun dan syarat tersebut,
akad nikah harus dicatat di KUA agar memperoleh legalisasi secara hukum dan untuk menjaga agar
tercipta ketertiban administrasi pernikahan. Begitu juga halnya dengan perceraian yaitu haruslah
dilakukan di depan sidang Peradilan Agama dengan beberapa tahapan sidang yang telah diatur dalam
UU no 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU no 3 tahun 2006 dan UU no 50
tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Sesungguhnya apabila dilihat dari aspek kemaslahatan,
pencatatan perkawinan di KUA dan perceraian melalui Pengadilan Agama adalah demi menjaga ikatan
suci perkawinan tersebut agar terbina dengan baik dan tertib.

A. Prinsip Hukum Perkawinan

Landasan filosofis perkawinan atau pernikahan di Indonesia telah diatur dalam pasal 1 UU No 1 tahun
1974 yaitu “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”. Landasan filosofis tersebut dipertegas lagi dalam KHI pasal 2 dengan tata
nilai yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Ada 3 nilai yang mendasar mengenai perkawinan itu, yaitu
sebagai berikut :

Perkawinan bukan perjanjian biasa, dia melibatkan keluarga, masyarakat dan bahkan Allah SWT. Oleh
sebab itu akad nikah disebut sebagai akad yang sangat kuat. ( ‫) ميثاقا غليظا‬

Perkawinan dilaksanakan dengan niat semata-mata karena mentaati perintah Allah.

Perkawinan dan segala aktivitas yang terkait dengannya adalah ibadah.[2]

Pada surah al-Ruum ayat 21 Allah SWT berfirman :


Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.

Dari firman Allah SWT tersebut, ada 3 nilai yang dapat diambil yang seharusnya diwujudkan dalam
sebuah keluarga muslim yaitu nilai-nilai sakinah, mawaddah dan rahmah. Ketiga nilai-nilai tersebut
kemudian mengkristal lagi melalui surah al-Baqarah ayat 187, an-Nisa ayat 19 dan al-Ashr ayat 3.

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah
pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. …(QS. Al-Baqarah: 187)

Dalam surah Albaqarah ini tedapat nilai dari sebuah ikatan perkawinan itu yaitu pada kata hunna
libaasullakum wa antum libaasullahunna. Artinya suami isteri itu diibaratkan sebuah pakaian yang saling
menutupi, pakaian yang menutup aurat. Suka dan duka dalam membina rumah tangga di hadapi
bersama, segala rahasia ataupun aib yang terjadi di dalam rumah tangga ditutup rapat agar jangan
sampai diketahui orang lain seperti rapatnya sebuah pakaian dalam menutup aurat. Kemudian Alquran
memberikan petunjuk pada ayat yang lain lagi yaitu pada surah An-Nisa ayat 19. setelah suami isteri itu
diibaratkan sebuah pakaian dalam hal pergaulan dalam hidup berumah tangga, maka Alquran menyuruh
agar suami bergaul dengan isteri secara patut, begitu juga sebaliknya. Apabila terjadi sengketa maka
bersabarlah jangan cepat emosi. Petunjuk itu dapat dilihat pada ayat berikut.

B. Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah tentang Pentingnya Pencatatan Perkawinan dan Perceraian di Pengadilan


Agama

Ketentuan tentang pencatatan perkawinan dan perceraian itu diatur dalam UU No 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No 1 tahun 1974, UU no 3 tahun 2006
perubahan atas UU no 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No 32 tahun 1954 tentang
pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, Kompilasi Hukum Islam, dan peraturan-peraturan lainnya yang
mengatur tentang perkawinan itu. Peraturan-peraturan tersebut dibuat oleh pemerintah untuk menjaga
kemaslahatan rakyatnya terutama dalam bidang perkawinan yang sejalan dengan tujuannya yaitu
mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

Pada pasal 2 UU No 1 tahun 1974 berbunyi

1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu.

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Dalam pasal tersebut terlihat dengan jelas bahwa perkawinan selain harus menurut hukum agama dan
kepercayaan masing-masing agama untuk mendapat keabsahannya juga harus dicatat menurut
peraturan yang diatur oleh pemerintah supaya perkawinan itu mendapat legalisasi secara hukum
perundang-undnagan.

Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah itu sejalan dengan nilai yang terkandung dalam kaidah
fiqhiyyah :

‫التصرف االمام على الرعية منوط بالمصلحة‬

Kebijakan (pemimpin) atas rakyat bergantung pada maslahat

Selanjutnya tentang keabsahan perkawinan secara hukum positif tertuang dalam pasal 4 – 10 UU No 1
tahun 1974 sebagai berikut :

Pasal 4:

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 1
tahun 1974.

Pasal 5 :

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam maka setiap perkawinan harus dicatat.

(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana
diatur dalam UU No. 22 tahun 1966 Jo UU No. 32 tahun 1954.

Pasal 6:

(1) Untuk memenuhi ketentuan pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di
bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan
hukum.

Pasal 7 :

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah dapat diajukan itsbat nikahnya ke
Pengadilan Agama.

(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan
dengan :

adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.

Hilangnya akta nikah

Adanya keraguan sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan

Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No 1 tahun 1974

Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No 1
tahun 1974

(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali
nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Pasal 10 :

Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh Pegawai
Pencatat Nikah

Dalam ketentuan KHI pasal 4 – 10, perkawinan bukan hanya dituntut memenuhi syarat dan rukun
perkawinan tetapi juga harus memenuhi ketentuan administratif hukum yaitu tercatat dalam catatan
perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah. Alasannya adalah untuk ketertiban perkawinan (pasal
5).

Senada dengan pentingnya sebuah pencatatan dalam perkawinan yang merupakan sebuah sarana agar
terjaminnya kepastian hukum dalam masalah perkawinan tersebut, Syekh Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq
membagi ketentuan yang mengatur pernikahan kepada 2 kategori :

1. Peraturan syara’ yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah perkawinan.
Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan oleh syariat Islam seperti yang telah dirumuskan dalam
bidang-bidang fikih.

2. Peraturan yang bersifat tawsiqy yaitu peraturan tambahan yang bermaksud agar pernikahan di
kalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat dengan memakai surat Akta Nikah secara resmi yang
dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Kegunaannya adalah agar sebuah lembaga perkawinan yang
mempunyai tempat yang sangat penting dan strategi dalam masyarakat Islam bisa dilindungi dari
adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.[6]

Penutup / Kesimpulan
Perkawinan merupakan ikatan yang suci (mitsaqan ghalidhan) yang harus dipelihara eksistensinya secara
hukum Islam maupun hukum positif, agar perkawinan mendapat legalitas maka perlu adanya
pencatatan perkawinan di KUA, kemudian berkenaan dengan hal-hal yang terjadi kemudian seperti
adanya keretakan dalam rumah tangga yang mengakibatkan perceraian juga perlu dicatat dan diproses
melalui Pengadilan Agama.

Hukum apakah berdosa apabila perkawinan dan perceraian tersebut tidak dicatat itu diselaraskan
dengan situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya, tetapi penulis berpendapat bahwa pencatatan
perkawinan itu dapat menjadi wajib dilaksanakan karena kemaslahatan yang ditimbulkannya sangat
banyak manfaatnya. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Asjmuni, A. Rahman, 1976, Kaidah-Kaidah Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang.

Djazuli, Ahmad, Prof, Dr, 2006, Kaidah-Kaidah Fikih, kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang praktis, Jakarta: Kencana.

Halim, Abdul, Drs, M.A, 2005, Politik Hukum Islam di Indonesia, Ciputat Press,

Karsayuda, M, Drs, M.Ag.2006, Perkawinan Beda Agama, Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum
Islam, Yogyakarta: Total Media Yogyakarta.

Rasyid, Roihan A. Dr, 1991, Hukum Acara di Pengadilan Agama, Rajawali Pers.

Ritonga, Iskandar, 1999, Hak-Hak Wanita dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam, Jakarta: Nuansa Madani.
Sarmadi, A. Sukris, H, S.Ag, M.H,2007, Format Hukum Perkawinan dalam Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Prisma.

Soeroso, R, 1993, Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman As-, al-Asyba’ Wa an-Nadhoir, Indonesia: Syirkah Nur Asia,

Thalib, Sayuthi, 1986, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press,.

Zahrah, Abu, 1957,, al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Mesir: Dar al-Fikri al-Arabi.

Zein, Satria Effendi M., 2004, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi
dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai