Anda di halaman 1dari 2

Pencatatan perkawinan dan seluk-beluk di dalamnya.

Landasan hukum terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang
rumusannya :

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan – peraturan,
pereundang – undangan yang berlaku

Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa :
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.

Definisi pencatatan perkawinan

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam


masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk
melindungi martabat dan kesucian (misaq algalidz) perkawinan, dan lebih khusus lagi
perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatn perkawinan yang dibuktikan
dengan akta nikah, yang masing-masing suami istiri mendapat salinannya, apabila terjadi
perselisihan atau percekcokan diantara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab,
maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak-
hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami istiri memiliki bukti otentik atas
perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.

Dasar hukum pencatatan pernikahan Pencatatan perkawinan sangatlah urgent. Selain demi
terjaminnya ketertiban akta nikah bisa digunakan untuk mendapatkan hak-hak, dan terlepas
dari perasangka, keragu-raguan, kelalaian serta saksi –saksi yang cacat secara hukum.
Kendatipun pencatatan perkawinan hanya bersifat administratif tetap harus dianggap penting
karena melalui pencatatan perkawinan tersebut akan diterbitkan buku kutipan akta nikah yang
akan menjadi bukti otentik tentang dilangsungkannya sebuah perkawinan yang sah.

Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Dalam bagian pencatatan perkawinan yang ditentukan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 2 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
pencatatan perkawinan merumuskan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada
perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. Sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan
agamanya dan kepercayaan itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
undang-undang.

Urgensi Pencatatan Perkawinan

Dalam hal pencatatan perkawinan Hukum islam tidak mengatur secara jelas apakah
perkawinan itu harus di catat atau tidak. Dengan melihat tujuan dari pencatatn perkawinan
seperti yang telah dijelaskan, maka sesungguhnya pencatatan perkawinan itu banyak
kegunaannya bagi kedua belah pihak yang akan melakukan perkawinan itu baik didalam
kehidupan pribadi maupun dalam hidup masyarakat. Misalnya dengan memiliki akta
perkawinan sebagai bukti tertulis yang otentik, seorang suami tidak mungkin mengingkari
istirinya demikian juga sebaliknya seorang istiri tidak mungkin mengingkari suaminya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka berdasarkan pertimbangan masalah-masalah dalam
hukum islam, pencatatan perkawinan adalah merupakan suatu perbuatan yang harus
dilaksanakan.

Anda mungkin juga menyukai