Anda di halaman 1dari 10

TINJAUAN HUKUM TENTANG NIKAH SIRIH

MATA KULIAH : HUKUM PERKAWINAN


KELAS : A
KELOMPOK 3 :
1. Siti Nurhalisa HL H1A121253
2. Muh Fauzan liambo H1A121214
3. Rezky Apriliansyah H1A121244
4.Jamaslin Nadeak H1A121181
5.Dimas Ainul Fikri H1A121150
6. Mesran lawajo H1A121193
7. Yuliana H1A121105
8. Agus pryanto unge H1A121272
9. Anwar H1A121288
10. Muhammad Alfajry H1A121367
11. muhammad naufal erlangga H1A121220
12. Muh.Fikrah H1A121215
13. Andi muhammad galib kangkon H1A121284
14.Muhammad anugerah dirgantara H1A121369
A. Pengertian perkawinan siri
Perkawinan siri merupakan bentuk ajaran hukum islam dan jika dipandang
dari hukum perkawinan yaitu Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974,
perkawinan siri merupakan bentuk perkawinan yang dilarang oleh hukum
perkawinan. Namun hal ini jika dikaitkan dengan adanya hak asasi manusia,
dimana perkawinan merupakan hak dasar yang dijamin oleh konstitusi maupun
undang-undang maka perkawinan siri sah-sah saja. Oleh Karena itu masalah
perkawinan sirri merupakan konflik norma yaitu norma hukum islam, hukum
perkawinan dan hak asasi manusia. Sehingga keberadaan kawin sirri yang
berkembang di masyarakat terdapat pro dan kontra.
Perkawinan sirri termasuk kategori perkawinan yang dilakukan dibawah
tangan, yang mana menurut ketentuan Hukum Islam adalah sah, sedangkan
secara hukum dapat dikatakan tidak sah (batal) atau dapat dibatalkan. Untuk
mendapatkan status Hukum perkawinan sirri dengan jalan mengisbatkan
dahulu (mengesahkan) akan perkawinannya di Pengadilan Agama. Bagi orang-
orang yang melaksanakan perkawinan sirri dapat dikenakan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 45, yang dikenakan aturan ini bukan
karena pelaksanan dari perkawinan itu tetapi karena pelanggarannya.
Perkawinan sirri apabila dilihat dari perspektif hak asasi manusia tidak
bertentangan dengan hukum karena masalah perkawinan merupakan hak dasar
bagi manusia yang merupakan anugerah dari Tuhan dan itu telah diatur dalam
konstitusi (UUD 1945) maupun dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang hak asasi manusia. Namun demikian masalah perkawinan sirri saat ini
masih diperbincangkan atau diperdebatkan oleh ulama’, praktisi hukum
maupun para pemegang kekuasaan negara yang kaitannya dengan sanksi
hukum perkawinan sirri. Dalam perkawinan sirri akan berakibat hukum
terhadap staus anak/staus social maupun terhadap harta kekayaan perkawinan
dan disamping itu perkawinan siri tersebut tidak menjamin adanya kepastian
hukum baik bagi suami isteri maupun bagi anak-anaknya serta dapat
menimbulkan anggapan-anggapan negatif dalam lingkungan masyarakat.
B. Aspek Hukum Mengenai Perkawinan Siri
Perkawinan siri merupakan perkawinan yang dilakukan secara rahasia.
Secara etimologi kata “sirri” berasal dari bahasa Arab, yaitu “sirrun” yang
artinya rahasia, sunyi, diam, tersembunyi sebagai lawan kata dari ‘alaniyyah,
yaitu terang-terangan. Kata sirri ini kemudian dengan kata nikah sehingga
menjadi nikah sirri untuk menyebutkan bahwa nikah yang dilakukan secara
diam-diam atau tersembunyi.
Makna diam-diam dan tersembunyi ini memunculkan dua pemahaman,
yaitu pernikahan yang diam-diam tidak diumumkan kepada khalayak ramai
atau pernikahan yang tidak diketahui atau tidak tercatat di lembaga
negara.Sedangkan Pengertian Nikah Siri istilah yang berkembangdi masyarakat
sama dengan istilah nikah dibawah tangan; yaitu sebuah prosespernikahan
sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku dalam islam (seperti adanya
wali, saksi dan ijab qabul)(Sobari, 2013). Jika ditinjau dari Undang-Undang
perkawinan maka pekawinan siri dianggap tidak sah karena, pada pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memang
mengatur bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.(Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, n.d.)
Namun dalam ayat selanjutnya Undang-Undang Perkawinan mewajibkan
pencatatan perkawinan untuk mendapatkan akta perkawinan.Jadi,akta
perkawinan adalah bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan, bukan
hanya yang menentukan sah tidaknya perkawinan.Hanya saja, ketiadaan bukti
inilah yang menyebabkan anak maupun isteri dari perkawinan siri tidak
memiliki legalitas di hadapan negara.Jadi perkawinan siri memang sah secara
agama.Tetapi, tidak memliki kekuatan hukum dan karenanya dianggap tidak
pernah ada dalam catatan negara. Dengan kata lain, perkawinan siri tidak
diakui oleh negara. Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
mengatur tatacara perkawinan. Dalam Pasal 10 ayat (2) menyebutkan:
“Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya.” Dalam Pasal 10 ayat (3) menyebutkan: “Dengan
mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya itu, perkawinan dilangsungkan dihadapan pegawai pencatat
dan dihadiri oleh kedua orang saksi.”
Dari ketentuan perundang-undangan diatas dapat diketahui bahwa peraturan
perundang-undangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan
dilandaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu. Peraturan perundang-undangan hanya
mengatur perkawinan dari formalitasnya, yaitu perkawinan sebagai sebuah
peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan hukumnya. Suatu
akad nikah dapat terjadi dalam dua bentuk, pertama akad nikah yang dilakukan
itu hanya semata-mata memenuhi ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yakni telah dilaksanakan dan telah
memenuhi ketentuan agama yang dianut.
Kedua akad nikah dilakukan menurut ketentuan ayat (1) dan ayat (2), yakni
telah dilaksanakan sesuai aturan agama dan telah dicatatkan pada pegawai
pencatat nikah. Apabila bentuk akad nikah yang pertama yang dipilih, maka
perkawinan tersebut telah diakui sebagai perkawinan yang sah menurut ajaran
agama, tetapi tidak diakui sebagai perbuatan hukum yang mempunyai akibat
hukum oleh negara.
Oleh sebab itu, perkawinan semacam ini tidak dapat pengakuan dan tidak
dilindungi secara hukum.Seharusnya, karena pencatatan disini merupakan
perintah Allah SWT, maka umat Islam dalam melangsungkan perkawinan
memlilih bentuk kedua diatas.Yakni memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2) sekaligus.Kedua unsur dari ayat tersebut berfugsi secara kumulatif.
Unsur yang pertama berperan memberi label sah pada perkawinan itu,
sedangkan yang unsur kedua memberi label bahwa perkawinan tersebut
merupakan perbuatan hukum. Oleh karena itu, pernbuatan itu mendapat
pengakuan dan dilindungi ▪ Edisi 08 Nomor 2 September (2015) ▪ ISSN:2086 -
1702 oleh hukum. Dengan demikian, memenuhi unsur pencatatan dalam suatu
menjadi perkawinan menjadi sangat penting, karena walaupun keberadaannya
hanya bersifat administratif, tetapi peran dari pencatatan tersebut merupakan
bukti otentik tentang dilangsungkannya perkawinan yang sah. Dengan
demikian, melangsungkan perkawinan hanya dengan memenuhi unsur agama
saja sebagaimana ketentuan Pasal 2 Ayat (1) diatas itu belum cukup walaupun
perkawinan tersebut dinyatakan sah menurut agama, karena unsur yang
pertama menyangkut yuridis, dan unsur yang kedua menyangkut masalah
administatif. Jadi untuk dapat membuktikan bahwa suatu perkawinan telah
dilangsungkan seseuai dengan Undang-Undang Perkawinan adalah melauli
akta nikah, karena akta nikah merupakan bukti otentik.
Hukum Perkawinan siri secara agama Islam adalah sah atau legal dan
dihalalkan atau diperbolehkan jika syarat dan rukun perkawinannya terpenuhi
pada saat perkawinan siri digelar. Rukun perkawinan yaitu :
1. Adanya kedua mempelai
2. Adanya wali
3. Adanya saksi nikah
4. Adanya mahar atau maskawin
5. Adanya ijab qabul atau akad Menurut hukum Islam nikah siri sah apabila
(ada wali, saksi, ijab qabul, dan mahar(Farid, 2009).
Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 ayat (1) ini, dijelaskan bahwa:
“Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”.(Kompilasi Hukum Islam, n.d.)
Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun
nikah atau ijab qabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam), maka perkawinan
tersebut sah terutama di mata agama Islam dan kepercayaan masyarakat. Tetapi
sahnya perkawinan ini perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini
ketentuannya terdapat pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan,
tentang pencatatan perkawinan.Bagi mereka yang melakukan perkawinan
menurut agama Islam pencatatan dilakukan di KUA untuk meperoleh Akta
Nikah sebagai bukti dari adanya perkawinan tersebut. Dalam Pasal 7 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan: “Perkawinan hanya dapat dibuktikan
dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan
dilakukan lagi di KUA. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya kepada
pegawai pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan, selambat-
lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian
pegawai pencatat akan memeriksa syarat-syarat perkawinan apakah telah
dipenuhi atau terdapat halangan. Lalu setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-
syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan untuk perkawinan,
pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempel
surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca
oleh umum
C. Akibat Hukum Bagi Isteri dan Anak Hasil Perkawinan Siri
Perkawinan siri yang terjadi di Indonesia tetap dipandang sah dalam
perspektif agama apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya, tetapi akad
nikah ini dapat menimbulkan dampak dan akibat hukum yang merugikan isteri
dan anak-anaknya. Kedudukan isteri dalam perkawinan siri menurut hukum
positif atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
juga dalam Kompilasi Hukum Islam.Bahwa karnea perkawinan siri tidak
dikenal dan tidak diakui dalam negara, maka perkawinan tersebut tidak
mempunyai hak perlindungan hukum.
Hak isteri maupun suami dapat dilindungi oleh Undang-Undang setelah
memiliki alat bukti otentik tentang perkawinannya. Dalam Pasal 6 Kompilasi
Hukum Islam menyatakam bahwa: “Setiap perkawinan harus dilangsungkan
dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.” Sehingga
perkawinan siri tidak memiliki kekuatan hukum karena perkawinannya tidak
dicatat atau tidak dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat
Nikah.Perkawinan siri bahkan dianggap sebagai suatu pelanggaran,
sebagaimana terdapat dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975.
Persoalan akan muncul ketika perkawinan yang telah sah (memenuhi rukun
dan syarat perkawinan menurut agama Islam), akan tetapi tidak dicatatkan pada
lembaga pencatatan negara, biasanya akan timbul banyak masalah setelah
perkawinan. Tidak dapat dipungkiri perkawinan siri menjadi kesenangan di
depan, membawa petaka di belakang dan berdampak negatif karena hukumnya
tidak terpenuhi(Haem, 2011). Perkawinan siri berdampak sangat merugikan
bagi isteri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial.▪ Edisi
08 Nomor 2 September (2015) ▪ ISSN:2086 - 1702
1. Secara hukum:
a. Isteri tidak dianggap sebagai isteri sah;
b. Isteri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia
meninggal dunia;
c. Isteri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian, karena
secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah
terjadi(Jayadi, 2012).
2. Secara Sosial Isteri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang
melakukan perkawinan siri atau perkawinan dibawah tangan ini sering
dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan
atau isteri tersebut dianggap menjadi isteri simpanan. Tidak semua anak
yang lahir diluar suatu ikatan perkawinan yang sah, boleh diakui.Jadi ada
anak luar kawin yang tertentu yang tidak boleh diakui.
Didalam KUHPerdata ada dua macam anak luar kawin yaitu :
1. Anak luar kawin yang dapat diakui,
2. Anak luar kawin yang tidak dapat diakui.
Anak luar kawin yang tidak diakui tidak akan menimbulkan akibat
hukum dalam pewarisan, karena anak luar kawin yang tidak diakui baik
oleh ibunya maupun bapaknya tidak dapat mewarisi harta peninggalan
orang tuanya. Sedangkan anak luar kawin yang diakui sah baik oleh
ibunya maupun oleh bapaknya atau kedua-duanya akan menimbulkan
akibat hukum oleh pewarisan. Dengan adanya pengakuan tersebut akan
mengakibatkan timbulnya hubungan perdata antara anak luar kawin yang
diakui dengan orang tua yang mengakuinya. Menurut Undang-Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, meskipun anak tersebut
lahir dari perkawinan wanita hamil yang usia kandungannya kurang dari 6
bulan lamanya sejak ia menikah resmi.
Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 42
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974: “Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”. Pasal 43 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 :
1 Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
2 Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur
dalam peraturan pemerintah.
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974:
1 Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan
oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya
telah berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut.
2 Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan pihak yang berkepentingan.
Nomor 2 September (2015) ▪ ISSN:2086 - 1702 Berkenaan dengan
pembuktian asal-usul anak, Undang-Undang Perkawinan didalam Pasal 55
menyebutkan :
1 Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta
kelahiran yang otentik, yang dikelurkan oleh pejabat yang
berwenang
2 Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada,
maka pengadilan dapat, mengeluarkan penetapan tentang asal-usul
seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan
bukti-bukti yang memenuhi syarat.
3 Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka
instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah kerja hukum
pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi
anak yang bersangkutan.
Akibat hukum yang lain dari perkawinan siri terhadap anak adalah
anak tidak dapat mengurus akta kelahiran, hal itu bisa dilihat dari
permohonan akta kelahiran yang diajukan kepada kantor catatan sipil. Bila
tidak dapat menunjukan akta nikah orangtua si anak tersebut, Dalam Pasal
5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
menyebutkan: “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri
dan status kewarganegaraan”.
Maka didalam akta kelahiran anak itu statusnya dianggap sebagai anak
luar nikah, tidak tertulis nama ayah kandungnya dan hanya tertulis ibu
kandungnya saja. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan
tidak tercatatnya nama si ayah akan berdampak sangat dalam secara social
dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Sebagai anak yang dianggap lahir
diluar perkawinan yang sah dari kedua orang tuanya, bisa saja
mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran. Hanya saja,
didalam akta kelahiran tersebut hanya tercantum nama ibunya. Jika ingin
mencantumkan nama ayahnya juga dalam akta kelahiran, diperlukan
penetapan pengadilan sebagai bentuk pengakuan anak tersebut oleh
ayahnya. Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan
hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja suatu waktu
ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
DAFTAR PUSTAKA
Prihatin, F (2009).” Dampak nikah siri terhadap istri dan anak . Jurnal
hukum dan pembanguna edisi khusus dies natalis” 85 tahun
FHUI, 157.
Sobari, A. (2003). “Nikah siri dalam perspektif islam” Mizan : Jurnal ilmu
syariah, 1, 51.
Enik Isnayni, (2014) “Perkawinan siri dalam perspektif hukum islam,
hukum positif dan hak asasi manusia” Vo;ume 2 nomor 1
Addin Daniar Syamdan & Djumadi Purwoatmodjo (2019). “ Aspek hukum
perkawinan siri dan akibat hukmnya” Volume 12 nomor 1

Anda mungkin juga menyukai