0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
119 tayangan14 halaman
Maraknya nikah siri menyebabkan terlantarnya beberapa status anak menurut negara. hal ini disebabkan karena kebanyakan dari mereka tidak mengerti pentinnya pencatatan nikah di KUA
Maraknya nikah siri menyebabkan terlantarnya beberapa status anak menurut negara. hal ini disebabkan karena kebanyakan dari mereka tidak mengerti pentinnya pencatatan nikah di KUA
Maraknya nikah siri menyebabkan terlantarnya beberapa status anak menurut negara. hal ini disebabkan karena kebanyakan dari mereka tidak mengerti pentinnya pencatatan nikah di KUA
URGENSI PENCATATAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM
Oleh : Drs. H. Abd. Rasyid Asad, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Mojokerto)
A. Latar Belakang Perkawinan bagi manusia bukan hanya sebagai pernyataan (statemen) yang mengandung keizinan untuk melakukan hubungan seksual sebagai suami isteri 1, tetapi juga merupakan tempat berputarnya hidup kemasyarakatan2. Dengan demikian, perkawinan mempunyai arti yang amat penting dalam kehidupan manusia dan merupakan pola kebudayaan untuk mengendalikan serta membentuk pondasi yang kuat dalam kehidupan rumah tangga 3. Berdasar pada statemen tersebut di atas dapat kita pahami bahwa perkawinan bagi manusia bukan saja untuk memenuhi kebutuhan biologis - dan ini bukan merupakan fungsi primer - tetapi ia merupakan fungsi sekunder. Sehubungan dengan itu, Ashley Montago mengemukakan bahwa terdapat tendensi yang kuat mengenai pikiran akan kodrat pertama (primary nature) yang merupakan sifat-sifat biologis manusia yang diperoleh dari keturunan dan kodrat kedua (scondary nature) yang merupakan sifat-sifat kultural manusia 4. Prof. Koentjaraningrat lebih tegas mengemukakan, bahwa perkawinan bukan hanya berhubungan dengan masalah-masalah seksual, akan tetapi mempunyai beberapa fungsi di dalam kehidupan kebudayaan, seperti memberi Ketenrtuan hak dan kewajiban serta perlindungan terhadap hasil persetubuhan, ______________________ 1 Al-Syarbaini Khatib, Mughni Muhtaj, Mesir: Mushtofa al-Bab al-Halabi wa ailaduhu, 1957, Juz III, hal.122 2 Sidi Ghazalba, Masyarakat I slam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hal. 184. 3 Ibid, hal 187 4 Ashley Montago dalam Harsojo, Pengantar Anropologi, Bandung : Bina Cipta, 1982, hal.118
memenuhi kebutuhan akan teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta, gensi dan status sosial, serta memelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat 5. Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa perkawinan mempunyai fungsi dan makna yang kompleks. Dari kompleksitas fungsi dan makna itulah, maka perkawinan sering dianggap sebagai peristiwa yang sakral (suci). Dan oleh karena itu pula, perkawinan tidak boleh dilakukan secara sembarangan, tetapi harus memenuhi ketentuan yang berlaku, yakni ketentuan agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kompleksitas makna dan fungsi yang terkandung di dalam perkawinan itu pula sehingga pemerintah atau negara perlu untuk ikut terlibat dalam pengaturannya. Salah satu bentuk keterlibatan pemerintah atau negara dalam masalah perkawinan adalah dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu ketentuan yang diatur di dalam undang-undang tersebut yang menarik untuk dikaji adalah ketentuan di dalam Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan berlaku efektif sejak dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pada tanggal 1 April 1975, namun sampai saat ini ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) tentang perncatatan perkawinan, ______________________ 5 Koenjtaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta : PT. Dian Rakyat, 1957, Cet. III, hal. 89. masih menimbulkan banyak persoalan, karena masih banyak orang yang telah melangsungkan perkawinan namun ia tidak mencatatkan perkawinannya pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil, baik karena faktor ketidaktahuan dan ketidaksadaran akan pentingnya dokumen perkawinan maupun karena adanya maksud untuk memanfaatkan celah hukum bagi mereka yang akan melangsungkan poligami, menjaga kelangsungan tunjangan suami bagi wanita yang telah bercerai, atau karena masalah biaya pencatatan perkawinan bagi mereka yang tidak mampu. Di samping faktor tersebut di atas, di kalangan umat Islam masih ada yang berpegang teguh pada pemahaman bahwa perkawinan sudah sah apabila dilaksanakan menurut ketentuan hukum Islam, tidak perlu ada pencatatan dan tidak perlu ada surat atau akta nikah, sehingga perkawinan di bawah tangan atau kawin sirri pun tumbuh subur, seiring dengan tidak adanya sikap proakrif Pegawai Pencatan Nikah untuk mengawasi setiap peristiwa nikah yang ada di wilayahnya. Dalam tulisan ini Penulis akan membahas persoalan yang berakitan dengan masalah pencatatan perklawinan dan urgensinya dalam kehidupan masyarakat. B. Pencatatan Perkawinan Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa tidak ada perkawinan di luar masing-masing agama dan kepercayaan itui. Kemudian dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Peraturan yang dimaksud adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-Undang No. 34 Tahun 1954, sedangkan kewajiban Pegawai Pencatat Nikah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1954 dan No. 2 tahun 1955. Menurut ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 bahwa pencatatan Perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pecatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama, sedangkan pecatatan perkawinan bagi selain Islam dilakukan oleh Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil. Proses pencatatan perkawinan itu diawali dengan pemberitahuan kehendak untuk melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat di mana perkawinan itu akan dilangsungkan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan baik secara lisan maupun tulisan oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975). Apabila syarat-syarat formiil telah terpenuhi dan tidak ada halangan hukum baik hukum agama maupun undang-undang bagi calon mempelai untuk melangsukan perkawinan, maka sesaat sesudah akad nikah dilangsungkan, kedua belah pihak (suami-isteri) menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Peagawai Pencatat. Dengan menandatangan tersebut, maka perkawinan telah tercatat secara resmi dan masing-masing pasangan suami isteri akan mendapatkan kutipan Akta Nikah atau Buku Nikah sebagai bukti autenktik tentang terjadinya perkawinan (Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam). Dengan diterbitkannya Akta Nikah dan masing-masing pasangan suami isteri telah mendapatkan buku nikah, maka perkawinan itu telah mendapatkan legalitas dan perlindungan serta ada jaminan kepastian hukum, termasuk memberikan perlindungan hukum terhadap akibat yang timbul kemudian dari perkawinan itu, seperti hak dan kewajiban antara suami dan isteri secara timbal balik, harta bersama (gono-gini), status anak, dan sebagainya. C. Urgensi Pecatatan Perkawinan Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa dengan dicacatkannya perkawinan pada Pegawai Pencacat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan pada Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam, maka perkawinan itu telah mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum, termasuk terhadap akibat-akibat yang timbul kemudian dari perkawinan itu. Pasangan suami isteri yang tercatat perkawinannya ibarat pengendara sepeda motor atau mobil telah memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi), sehingga ia tidak perlu khawatir dikena tilang oleh Polantas. Tetapi bagi pasangan suami isteri yang tidak tercatat perkawinannya, kemudian hidup satu rumah atau menginap di hotel atau penginapan, boleh jadi akan dianggap sebagai pasangan kumpul kebo, yang sewaktu-waktu dapat dirazia oleh Sat Pol PP atau digerbeg oleh massa karena ia tidak dapat menunjukkan bukti perkawinanya. Ancaman razia dan penggerebegan pasti membuat pasangan suami isteri itu tidak nyaman dan tenteram dalam rumah tangganya, sehingga dengan demikian, tujuan perkawinan yang diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun tentang Perkawinan dan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, yaitu terwujudnya sebuah rumah tangga (keluarga) yang bahagia, sakinah, rahmah, dan mawaddah tidak akan terujud sepenuhnya . Seorang wanita yang menikah dengan seorang laki-laki dan perkawinannya tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan Kantor Catatan Sipilil, apabila suaminya lalai atau mengabaikan kewajibannya, jika ia akan menuntut suaminya untuk memenuhi kewajibannya di pengadilan seperti yang diatur dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau akan menggugat suaminya di pengadilan karena telah melakukan penelantaran sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), maka ia akan mengalami kesulitan karena tidak adanya bukti autentik tentang adanya hubungan hukum berupa perkawinan antara dia dan suaminya. Dari sini jelas, bahwa yang menjadi korban atau pihak yang dirugikan akibat perkawinan yang tidak tercatat adalah pihak wanita. Pasangan suami isteri yang mempunyai anak, sedangkan perakwinannya tidak tercatat dan akan membuatkan akta kelahiran anaknya pada Kantor Catatan Sipil akan mengalami kesulitan karena salah satu kelengkapann administrasi yang harus dipenuhi adalah foto kopi Kutipan Akta Nikah orang tuanya. Bagi pasangan suami isteri yang tidak mempunuai Buku Nikah, Kantor Catatan Sipil akan menerbitkan Akta Kelahiran anak tanpa mencantumkan nama bapaknya dalam akta tersebut. Penerbitan akta kelahiran secaman itu, sama dengan akta kelahiran seorang anak yang tidak mempunyai ayah atau anak di luar nikah karena hanya dinisbahkan kepada ibunya. Berbeda halnya dengan akta kelahiran anak yang perkawinan orang tuanya tercatat, maka nama kedua orang tuanya akan tercantum di dalam akta kelahirannya. Pasangan suami isteri yang tidak memiliki Buku Nikah karena perkawinan mereka tidak dicacatkan, yang akan melakukan perceraian di pengadilan, maka memerlukan proses yang lebih lama daripada orang yang meiliki Buku Nikah. Sebab sebelum pemeriksaan dalil-dalil yang menjadi alasan untuk bercerai, pengadilan terlebih dahulu akan mengumumkan melalui media mssa sebanyak 3 (tiga) kali dalam tenggat waktu 3 (tiga) bulan, minimal satu bulan setelah pengumuman terakhir pengadilan baru akan memeriksa status perkawinannya, apakah sah atau tidak. Apabila dalam proses pemeriksaan ternyata perkawinan mereka telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan, maka perkawinan mereka akan diitsbatkan (Pasal 7 ayat (3) huruf a Kompilasi Hukum Islam). Apabila tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan, maka gugatan atau permohonan mereka untuk bercerai tidak diterima oleh pengadilan. Dari pemaparan tersebut di atas, penulis memandang bahwa ketentuan pencatatan perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan hal yang sangat urgen karena dapat memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum terhadap perkawinan dan memberikan jaminan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 2 ayat (2) tersebut, mempunyai fungsi mengatur dan merekayasa interaksi sosial masyarakat. D. Pandangan Ulama dan Ahli Hukum Suatu kenyataan yang masih sering kita jumpai dalam realitas kehidupan kita adalah masih banyak orang yang melangsungkan perkawinan tanpa dicatatkan di kantor percatatan perkawinan (Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi bagi selain Islam) dengan berbagai alasan. Terhadap perkawinan semacam ini, sebagian ulama dan ahli hukum berpendapat bahwa perkawinan seperti itu sah apabila dilakukan sesuai ketentuian Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Sedangkan pencatatan perkawinan merupakan tindakan adminstrasi saja, apabila tidak dilakukan tidak mempengaruhi sahnya perkawinan yang telah dilaksanakan itu Tetapi di pihak lain menganggap perkawinan yang tidak dicatatkan tidak sah dan dikategorikan sebagai nikah fasid (rusak), sehingga bagi pihak yang merasa dirugikan akibat dari perkawinan tersebut dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan Agama karena keetentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan tersebut, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan harus dilaksanakan secara kumulatif, bukan anternatif, secara terpisah dan berdiri sendiri 6. Sedangkan menurut Soerjono Soekamto dan Purnadi Purbacaraka
_________________________ 6 Abdul Mannan, Aneka Masalah Hukum Materiel dalam Praktek Pengadilan Agama, Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2002, hal. 50.
bahwa ketentuan tersebut bersifat imperatif. Artinya, ketentuan tersebut bersifat memaksa 7. Akibat terjadinya penafsiran terhadap ketentuan tersebut, maka berbeda pula putusan yang diberikan oleh para hakim dalam menyelesaikan perkara pembatalan nikah yang diajukan ke pengadilan. Bagi hakim yang berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan satu kestuan yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, maka perkawinan baru dianggap sah apabila dilaksanakan menurut ketentuan agama dan kepercayaannya itu serta dicatat sesuai ketentuan yang berlaku. Pecatatan perkawinan merupakan hal yang wajib dilaksanakan karena hal ini erat hubungannya dengan kemashlahatan manusia yang dalam konsep syariah harus dilindungi. Oleh karena itu, perkawinan yang tidak tercatat merupakan nikah fasid karena belum memenuhi syarat yang ditentukan dan belum dianggap sah secara yuridis formal dan permohonan pembatalan perkawinan dapat dikabulkan. Bagi hakim yang berpendapat Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan hal yang berdiri sendiri, tidak saling berhubungan, maka perkawinan sudah dianggap sah apabila telah dilakukan menurut ketentuan agama dan kepercayaannya, pencatatan hanya merupakan pekerjaan administrasi, bukan sesuatu yang harus dipenuhi. Perkawinan tersebut bukan nikah fasid , dan bila ada pihak yang mengajukan permohonan pembatalan kepada pengadilan, perkawinan tersebut tidak perlu _________________________ 7 Soerjono Soekamto dan Purnadi Purbacaraka, Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya, 1989, hal. 21.
dibatalkan, permohonan pembatalan harus ditolak 8. Mahkamah Agung RI nampaknya lebih condong kepada pendapat yang pertama tersebut di atas. Dalam putusan kasasi No. 1948/K/PID/1991 tentang perkara poligami liar, kawin di bawah tangan dan tidak dicatat pada instansi yang berwenang mengemukakan bahwa yang dimaksud perkawinan yang sah adalah perakwinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu perkawinan yang dilaksanakan menurut ketentuan agama dan kepercayaannya, dan dicatat menurut ketentuan yang berlaku. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang telah terpenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 secara kumulatif 9. Mahkamah Agung RI nampaknya hanya mengakui sahnya suatu perkawinan jika telah terpenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh agama yang dianutnya, dilakukan di hadapan pejabat pencatat nikah yang berwenang dan dicatat oleh pejabat tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Sejalan dengan hal tersebut, dapat dipahami bahwa pencatatan perkawinan merupakan syarat yang harus dipenuhi agar pernikahan sah menurut agama dan menurut hukum positif. Di samping itu, kita tidak perlu mendikotomikan perkawinan antara sah menurut agama dan sah menurut negara, tetapi kedua ketentuan tersebut harus dilaksanakan secara seimbang dan paralel. ________________________ 8 Abdul Mannan, Aneka Masalah Hukum Materiel .... hal. 51 9 Ibid.
E. Tinjauan Filsafat Hukum
Tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Al-Quran Surat
Surat Ar-Rum ayat 21 dan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan serta Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (HKI) adalah terwujudnya sebuah keluarga (rumah tangga) yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, serta bahagia dan kekal. Untuk mewujudkan tujuan yang mulia tersebut, banyak faktor yang harus dipenuhi, salah satu di antaranya adalah adanya legalitas dari negara. Untuk mendapatkan legalitas dari negara, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa tiap- tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan khusus bagi yang beragama Islam, Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam mengharuskan agar setiap perkawinan yang dilakukan dicatatkan agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat. Bukti autentik bahwa perkawinan telah tercatat adalah dikeluarkannya Buku Nikah oleh instansi yang bewenang (Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain islam). Akta Nikah itu diibaratkan Surat Izin Mengemudi (SIM) bagi pengenndara sepeda motor atau mobil. Bagi pengendara yang memiliki SIM akan merasa aman berkendaraan di jalan tanpa ada rasa khawatir dikena tilang oleh Polantas. Demikian halnya bagi pasangan suami isteri yang memiliki Buku Nikah akan merasa aman dan tenteram dalam kehidupan rumah tangganya tanpa ada rasa khawatir akan dirazia oleh Sat Pol PP apabila mnginap di hotel atau digerbeg oleh massa karena dicurai kumpul kebo dan sebagainya. Oleh itu, pencatatan perkawinan pada hakikatnya berujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak (suami isteri), termasuk kepastian dan perlindungan hukum terhadap akibat yang ditimbulkan dari perkawinan itu sendiri, yaitu tentang hak dan kewajiban masing-masing secara timbal balik, tentang anak-anak yang dilahirkan, dan hak-hak anak berupa warisan dari orang tuanya kelak. Menurut DR. Theo Huijbers, bahwa politik hukum bertujuan tidak hanya menjamin keadilan, melainkan juga menciptakan ketenteraman hidup dengan memelihara kepastian hukum dan untuk menangani kepentingan-kepentingan yang nyata dalam kehidupan bersama secara konkret 10. Pemerintah mengatur tentang mencatatan perkawinan adalah sesuai dengan epistemologi hukum Islam dengan metode istishlah atau maslahat. Lebih lanjut beliau mengatakan, meskipun secara formal tidak ada ketentuan ayat atau sunnah yang memerintahkan pencatatan (perkawinan), namun karena kandungan mashlahatnya sejalan dengan tindakan syara yang ingin mewujudkan kemashlahatan manusia. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pencatatan perkawinan merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak karena memiliki landasan yang kokoh yaitu mashlahat mursalah (suatu metode berpikir yang dibangun atas dasar kejadian induktif). Di samping hal tersebut di atas, juga perlu diperhatikan tentang Maqashidus Syariah (tujuan hukum) dalam Islam. Dalam konsep Maqashidus Syariah diharapkan segala sesuatu yang dikerjakan manusia tidak lepas dari kemashalahatan (kebaikan) manuisia itu sendiri dan manusia di sekitarntya. Oleh karena itu, segala __________________________ 10Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta, Kanisius, 1995, hal. 118.
sesuatu yang dapat menimbulkan kemudharatan dari perkawinan itu harus dihindari sebagaimana Rasulullah melarang sesuatu yang menimbulkan kemudharatan (keburukan) bagi diri sendiri maupun terhadap orang lain. Perkawinan yang tidak tercatat akan menimbulkan banyak mudharat (keburukan) bagi pasangan suami isteri maupun bagi pihak lain yang terkait dengan perkawinan tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka persyaratan yuridis formal seperti kewajiban mencatatkan perkawinan adalah perbuatan yang sesuai dengan prinsip etika hukum, bahkan sangat dianjurkan karena membawa manfaat kepada semua pihak, terutama bagi kedua mempelai dan keturunannya kelak. Berkaitan dengan hal tersebut, diharapkan setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan agar tidak hanya mementingkan aspek agama saja, tetapi juga perlu diperhatikan aspek-aspek keperdataannya secara seimbang. Pencatatan perkawinan merupakan usaha pemerintah untuk mengayomi masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan. Apabila perkawinan sudah tercatat, maka pegawai pencatat nikah (PPN) akan mengeluarkan Akta Nikah sebagai bukti jaminan hukum pasangan suami isteri. Terlepas dari pandangan pro-kotra dalam menilai masalah pencatatan perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, penulis memandang pencatatan perkawinan merupakan hal yang sangat baik dan bermanfaat karena dapat menjamin ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. Di samping itu, karena hukum positif kita telah menentukan bahwa satu-satunya bukti adanya perkawinan adalah Akta Nikah, maka percatatan perwakawinan sangat perlu dilakukan. F. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pencatatan Perkawinan merupakan perbuatan administrasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaklu yang dilakukan oleh instasi yang berwewenang (Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain islam) yang ditandai dengan penerbitan Akta Nikah dan Buku Nikah untuk kedua mempelai. 2. Pencatatan Perkawinan sangat urgen karena memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum serta sangat bermanfaat bagi pasangan suami isteri dan terhadap akibat yang ditimbulkan kemudian, seperti terhadap harta, status anak, dan sebagainya, serta menjadi faktor penunjang untuk mewujudkan tujuan perkawinan yaitu terwujudnya rumah tangga (keluarga) yang bahagia, sakinan, mawaddah, dan rahmah. 3. Terdapat pandangan pro kotra di kalangan ulama dan ahli hukum dalam menilai ketentuan pencatatan perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Satu pihak menilai bahwa pencatatan perkawinan merupakan pekerjaan administrasi yang tidak terkait dengan keabsahan suatu perkawinan. Tapi di pihak lain memandang bahwa pencatatan perkawinan menjadi faktor penentu sahnya perkawinan, sehingga perkawinan yang tidak tercatat dikategorikan sebagai nikah fasid yang dapat dimintakan pembatalan di pengadilan. G. Saran-Saran a. Oleh karena pencatatan perkawinan itu sangat penting dan sangat bermanfaat bagi pasangan suami isteri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu, maka disarankan kepada setiap orang yang melangsungkan perkawinan untuk mencatakan perkawinan mereka pada PPN Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil untuk mendapatkan legalitsas.. b. Pencatatan perkawinan itu sebagai upaya pemerintah untuk mengayomi masyarakat demi ketertiban dan keadilan serta untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pasangan suami isteri, maka disarankan kepada Pemerintah (PPN dan Kantor Catatan Sipil) untuk melakukan sosialisasi melalui ceramah-ceramah dan penyuluhan kepada setiap kelompok masyarakat tentang pentingnya mencatatkan perkawinan. c. Disarankan kepada Pegawai Pencatatan Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil untuk proktif melakukan pengawasan terhadap setiap peristiwa perkawinan yang terjadi di wilayah hukumnya agar di masyarakat tidak terjadi perkawinan di bawah tangan, tetapi tercatat secara resmi.