Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu merupakan


suatu perbuatan yang sangat sakral, sehingga diistilahkan dalam agama dengan
“mitsaaqan ghalizha” yaitu suatu perjanjian yang sangat kokoh dan luhur yang
yang ditandai dengan pelaksanaan sighat ijab dan qabul dengan tujuan
membentuk suatu rumah tangga yang sakinah mawaddata warahma.
Didalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan dijelaskan bahwa
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.1
Pencatatan perkawinan merupakan suatu proses yang dilakukan oleh
kedua calon mempelai dalam rangka memperoleh pengakuan yang sah terhadap
pernikahannya. Di Indonesia, pencatatan perkawinan merupakan sebuah
keharusan dalam rangka mendapatkan legalitas di mata hukum.
Kementerian Agama sebagai Institusi Pemerintah yang mengurus bidang
keagamaan yang salah satu tugasnya adalah pelayanan pencatatan perkawinan
bagi umat Islam sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU No.22 Tahun
1946 Tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk serta UU No 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, bahwa dalam melaksanakan tugas pencatatan perkawinan,
diangkatlah Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau lebih dikenal dengan sebutan
Penghulu sebagai pejabat terdepan dan ujung tombak Kementerian Agama di
Kecamatan dengan tugas Pelayanan, pengawasan dan pembinaan perkawinan.
Menurut kaidah Ushul Fiqhi pernikahan dianggap sah apabila sudah
terpenuhi syarat dan rukunnya diantaranya adalah wali dan keberadaan dua orang
saksi namun apabila dihubungkan dengan hukum positif maka selain harus
terpenuhi syarat dan rukunnya, pernikahan harus dicatatkan di Kantor Urusan
Agama (KUA) agar memperoleh legalitas demi terciptanya ketertiban pernikahan.

1
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (citra Media Wacana), 8
Pencatatan perkawinan dianggap penting sebagai upaya dalam
memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang melakukan perkawinan.
Disamping itu perkawinan yang tidak memenuhi syarat yuridis sering pula disebut
dengan perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri, kawin kontrak, atau istri
simpanan hal ini tidak direstui oleh agama dan tidak dibenarkan oleh Undang-
Undang perkawinan yang sah.2
Pencatatan perkawinan di Indonesia belum sepenuhnya berjalan sesuai
dengan apa yang telah diamanatkan oleh Undang- Undang yang berlaku karena
masih ada sebahagian masyarakat yang beranggapan bahwa pencatatan
perkawinan hanyalah sekedar pelengkap administrasi belaka.
Didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa tujuan
pencatatan yang dilakukan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan dan perkawinan
yang dilakukan diluar Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum,
karena perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang di buat oleh
Pegawai Pencatat Nikah (PPN).3
Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di
dunia, mengakibatkan pelayanan administratif khususnya akta nikah di Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan menjadi sesuatu yang sangat urgen. Bagi
seorang muslim pencatatan pernikahan harus dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 32 Thn 1954 Tentang
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
Tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk kepentingan administrasi
negara, agar hak-hak yang timbul dari perkawinan itu misalnya pembuatan akta
kelahiran, kartu keluarga, dan lain sebagainya yang memerlukan akta nikah
sebagai bukti adanya suatu perkawinan dapat terjamin. Secara teknis proses
pencatatan perkawinan bagi kedua mempelai harus dilaksanakan dihadapan
pejabat agama yang ditunjuk untuk keperluan tersebut. Pejabat ini disamping
bertugas mengawasi acara akad nikah juga berkewajiban mencatat peristiwa nikah
tersebut dalam sebuah akta otentik.
2
Yahya Harahap, Informasi Materi KHI, Momfositifkan Abstarksi Hukum Islam, dalam buku KHI dan PA
dalam sistem Hukum Nasional (Jakarta, Logos, 1999), h. 53
3
Khairudin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di
Dunia Muslim (Yogyakarta. Academia & Tazzafa, 2009), h. 336
Dewasa ini, dengan semakin majunya era globalisasi dan informasi yang
ditandai dengan era digitalisasi maka untuk mejawab tantangan tersebut
pencatatan perkawinan mengalami metamorfosis dari pencatatan sistem manual
menjadi pencatatan nikah berbasis aplikasi SIMKAH (Sistem Informasi
Manajemen Nikah)
PMA Nomor. 20 Tahun 2019 pasal 1 ayat 15 menyebutkan bahwa Sistem
Informasi Manajemen Nikah yang selanjutnya disebut SIMKAH adalah aplikasi
pengelolaan administrasi nikah berbasis elektronik.4
Dengan diterapkannya aplikasi SIMKAH (Sistem Informasi Manajemen
Nikah) pada setiap pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan diseluruh Indonesia mengakibatkan semakin kompleksnya
administrasi dalam mengurus pencatatan perkawinan. Karena calon mempelai pria
dan wanita yang ingin mencatatkan pernikahannya agar memperoleh buku nikah
(Model NA) sebagai bukti otentik dari pernikahan, mereka harus melengkapi
persyaratan yang telah diatur oleh Undang-Undang ditambah lagi sebagian
persyaratan utamanya Kartu Tanda Penduduk (KTP) harus lulus validasi sistem
dengan kata lain KTP tersebut harus elektronik dan terintegrasi dengan data SIAK
Nasional.
Pencatatan perkawinan menggunakan SIMKAH menjadikan tugas
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama Kecamatan menjadi
agak ringan namun berbanding terbalik dengan animo masyarakat yang ingin
mencatatkan pernikahannya guna mendapatkan Akta Nikah atau Buku Nikah
menjadi berkurang diakibatkan terlalu sulitnya mengurus segala persyaratan yag
berhubungan dengan pencatatan perkawinan.
Keadaan inilah yang terjadi pada masyarakat Kecamatan Bokan
Kepulauan Kepulauan. Perlu diketahui gambaran umum Kecamatan Bokan
Kepulauan Kabupaten Banggai Laut Provinsi Sulawesi Tengah terdiri dari 16 desa
yang tersebar di 31 gugusan pulau, dalam hal pencatatan perkawinan Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan hanya dibantu oleh satu orang staf sehingga
sangat mengalami kesulitan kerena terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM).
Dan luasnya wilayah yang harus dilayani.

4
Peraturan Menteri Agama (PMA) No.11 Tahun 2019 Tentang Pencatatan Nikah pasal 1 ayat 15
Prosedur pernikahan harus didahului dengan pendaftaran calon mempelai
yang akan menikah dengan terlebih dahulu memenuhi kelengkapan administrasi
yang telah ditetapkan yaitu : (1) Surat pengantar dari desa; (2) Photo copy Kartu
Tanda Penduduk baik calon pengantin maupun orang tua calon pengantin; (3)
Photo copy kartu keluarga; (4) Pas photo ukuran 2x3 masing-masing 2 lembar,
dan 4x6 masing-masing 1 lembar; (5) Akta Cerai/Akta Kematian bagi yang
berstatus duda atau janda; (6) Surat izin menikah bagi anggota TNI/Polri; (7) Foto
copy Akte kelahiran; (8) Foto copy Ijazah; (9) Surat keterangan Vaksin TT dari
PUSKESMAS; ditambah syarat-sayarat lain seperti surat dispensasi Camat bagi
pengantin yng meminta menikah dibawah 10 hari kerja, surat dispensasi
Pengadilan Agama bagi calon pengantin yang melum mencapai usia perkawinan
semua syarat ini harus terpenuhi guna mendapatkan NA atau Buku Nikah .
Bagi masyarakat yang bermukim di pedesaan apalagi di kepulauan, Proses
pencatatan nikah sedikit rumit bagi orang yang tidak memiliki banyak waktu
untuk mengurus semua kelengkapan administrasi. Sehingga sebagian mereka
banyak yang mengambil jalan pintas dengan melangsungkan pernikahan tanpa
melibatkan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) hanya dinikahkan oleh tokoh agama
dan pengurusan berkas-berkas diserahkan kepada orang lain sehingga biaya yang
dikeluarkan jauh lebih besar dari yang telah ditetapkan pemerintah.
Hal ini mengakibatakan tidak adannya kepastian hukum tentang
pencatatan nikah baik masyarakat maupun PPN yang menikahkan diluar wilayah
kerjanya, masyarakat tidak patuh pada peraturan dan hukum yang berlaku tentang
pernikahan masyarakat hanya mencari sahnya saja tanpa mematuhi aturan yang
telah ditetapakan pemerintah. Dan bagi calon pengantin yang ingin
melangsungkan pernikahan namun berbeda Kecamatan, maka harus memiliki
surat Rekomendasi Nikah dari Kantor Urusan Agama kecamatan dimana ia
berdomisili sebagaimana yang diatur dalam surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan
Haji Departemen Agama No. D/Z.01/706/1995.
Secara teoritis kepatuhan masyarakat terhadap hukum sangat erat
kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Timbulnya kesadaran
hukum bagi masyarakat karena keinginan masyarakat itu sendiri untuk taat
hukum. Satu hal yang menjadi perhatian bahwa UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan tidak memuat dan mencantumkan ketentuan pasal pidana (sanksi),
kecuali masalah perkawinan campuran yang dimuat dalam PP Nomor 9 Tahun
1975 yang statusnya masih dibawah Undang-Undang tersebut.
Kepatuahan masyarakat terhadap hukum sangat tergantung kepada
pengetahuan mereka terhadap ketentuan-ketentuan kaedah hukum, kemudian
timbul kesadaran hukum, sehingga hukum dapat dilaksanakan sesuai dengan yang
dicitakan.5

5
Nur A Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Kerangka teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia (Medan:
Widiyasarana, 1995), h. 126

Anda mungkin juga menyukai