Anda di halaman 1dari 14

PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM: OPTIMALISASI

PENCATATAN PERKAWINAN DAN PEMBATASAN LEMBAGA ISBAT


NIKAH DI PENGADILAN AGAMA

Oleh : Itsnaatul Lathifah

I. ABSTRAK
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui urgensi pencatatan
perkawinan dan menganalisis permasalahan pencatatan perkawinan. Selain itu,
Penulisan ini juga membahas solusi terkait permasalahan pencatatan
perkawinan.
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode
normatif yang didukung dengan studi kepustakaan berupa peraturan
perundang-undangan dan literatur terkait. Penarikan kesimpulan dengan
metode deskriptif dilakukan setelah menganalisis data.
Hasil penulisan ini menunjukan bahwa (1) Ketentuan pencatatan
perkawinan yang dirumuskan oleh Negara jika ditinjau dari sudut pandang
Hukum Islam telah sejalan dengan maqasid syariah yakni untuk menjamin,
memberikan perlindungan dan melestarikan kemaslahatan bagi manusia secara
umum, khusunya umat Islam. Akibat dari praktek pernikahan yang tidak
tercatat, masyarakat mengalami kerugian diantaranya data kependudukan yang
tidak sesuai, pernikahan yang dilakukan tidak memiliki jaminan hukum,
pernikahan dibawah umur tanpa adanya dispensasi kawin, dan lain
sebagainya. (2) Penyebab permasalahan pencatatan perkawinan yaitu
kurangnya pemahaman hukum perkawinan di masyarakat, pengabaian aturan
dispensasi dan penyalahgunaan Lembaga isbat nikah. (3) Solusi permasalahan
pencatatan perkawinan yaitu edukasi hukum keluarga kepada masyarakat,
optimalisasi lembaga KUA, penghapusan praktek pernikahan sirri, dan
pembaharuan hukum isbat nikah.
kata kunci : Perkawinan, Pencatatan Perkawinan dan isbat nikah.

This writing aims to understand the urgency of marriage registration


and analyzing the problem of marriage registration. Moreover, this writing
also discussed a solution related to the problem of marriage registration.
The writing method used in this writing is normative supported by
library research in the form of laws and literatures. The conclusion with
descriptive method conducted after analyzing data.
The result of this writing shows that (1) Marriage registration
provisions formulated by the state if considered from the point of view of
islamic law has been in line with maqasid syariah namely to ensure, provide
protection and preserve for mankind in general side, especially muslims. A
result of the practice of marriage which are not registered, loss of the society
are citizens data that were not in accordance, marriage performed not having
a bail law, under age marriage without any marriage dispensation, and else.
(2) The cause of marriage registration problem are lack of understanding
matrimonial law in society, neglect the dispensation rule and abuse of “isbat

1
nikah” institution, the number of people who were married without
registration, and weak law enforcement. (3) Solution of marriage registration
problem are education of family law to the community, optimalize KUA
institution, practice removal of “nikah sirri” or unregistered marriage, and
renewal of “isbat nikah” law.
Key Words : Marriage, Marriage Registration and isbat nikah.

II. LATAR BELAKANG


Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang kini telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16
tahun 2019, sebuah perkawinan dianggap sah apabila perkawinan
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan dicatatkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap warga negara
yang melakukan perkawinan berkewajiban untuk mencatatkan perkawinan
di lembaga yang berwenang, dalam hal ini Kantor Urusan Agama bagi
warga yang beragama Islam dan Dinas Pencatatan Sipil bagi warga yang
beragama non Islam. hal ini dimaksudkan agar perkawinan yang dilakukan
oleh masyarakat mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum, tujuan
pokok hukum dalam menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,
menciptakan ketertiban dan keseimbangan dapat terwujud1.
Negara memiliki kewajiban untuk hadir secara aktif mengatur
warga negaranya salah satunya yang berkaitan dengan pencatatan
perkawinan. Pernikahan memang ranah privat yang negara seharusnya
tidak ikut campur, tetapi dalam era dewasa ini, setiap individu (warga)
tidak bisa memisahkan diri dari negara. Ada hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan, ada kontrak sosial yang terbentuk dan harus diajalankan, ada
kehendak politik yang diinginkan secara bersama-sama oleh warga dan
negara, untuk itu dalam konteks penegakan hukum perkawinan, baik
warga maupun negara memiliki tujuan penegakan hukum yang sama,
mewujudkan kepastian, kemanfaatan dan keadilan2.
Negara tidak boleh mengabaikan urusan pencatatan perkawinan
sebab negara memiliki kewajiban memenuhi (to fulfill) hak asasi warga
negaranya. Pengaturan pencatatan perkawinan merupakan salah satu
wujud hadirnya negara dalam memberikan perlindungan dan kepastian
hukum bagi warga negaranya. Sebab dengan adanya peristiwa hukum
(perkawinan) akan melahirkan peristiwa hukum lainnya dan identititas
baru bagi yang bersangkutan.
Guna menfasilitasi pencatatan perkawinan di Indonesia, Negara
telah berupaya melengkapi segara keperluan pencatatan perkawinan
seperti telah menyediakan sarana dan prasarana. Aturan sudah terbentuk
1
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta:Cahaya Atma
Pustaka, edisi revisi , 2010), hal. 99.
2
Kontrak adalah perjanjian untuk membentuk satu masyarakat politik. Masyarakat politik
adalah pembuat dan sekaligus pewaris keputusan ini. Sebagai pembuat, ia menetapkan
batas-batas kekuasaan, sebagai pewaris, ia adalah penerima manfaat yang berasal dari
pelaksanaan kekuasaan tersebut. Lihat http://ilmutuhan.blogspot.com/2011/01/john-
locke-dan-pemikirannya.html

2
sejak diundangkannya Undang-Undang Perkawinan, lembaga yang
ditunjuk sudah tersedia di setiap daerah bahkan di setiap kecamatan sudah
berdiri Kantor Urusan Agama, sosialisasi pencatatan perkawinan sudah
gencar dilakukan oleh Pemerintah di mana-mana. Usaha pemerintah dalam
memberikan pelayanan pencatatan perkawinan telah memadai, prosedur
dan biaya yang ditetapkan mudah dipahami dan dapat dijangkau oleh
halayak. Salah satu contohnya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 59
Tahun 2018 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama, Pemerintah dalam hal ini
Kemerintan Agama telah melakukan sosialiasasi bagi warga yang menikah
di KUA tidak dipungut biaya sedangkan bagi warga yang menikah tidak di
KUA, dalam hal ini meminta petugas untuk datang di rumah akan
dikenakan biaya sebesar Rp600.000,- (enam ratus ribu rupiah) dan
dibayarkan di Bank yang telah ditunjuk. Demikian menunjukkan
pencatatan perkawinan bukanlah hal yang sulit dijangkau oleh masyarakat,
pemerintah berusaha untuk memudahkan urusan agar maksud dan tujuan
dibuatnya aturan dapat dicapai.
Bilamana pernikahan telah dilaksanakan akan tetapi tidak
tercatatkan seperti pernikahan yang dilaksanakan sebelum tahun 1974,
terdapat solusi yang ditawarkan yakni melalui isbat nikah atau pengesahan
nikah di Pengadilan Agama. Aturan tidak secara tegas melarang adanya
pengesahkan nikah untuk pernikahan yang dilakukan setelah tahun 1974,
sebagaimana Pasal 7 huruf e Komiplasi Hukum Islam isbat nikah tetap
dapat diajukan selama pernikahan yang dilangsungkan telah memenuhi
rukun dan syarat serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.
Seiring dengan berjalannya waktu, amanat undang-undang perihal
pencatatan perkawinan harusnya telah diapahami dan dilaksanakan dengan
baik, mengingat undang-undang perkawinan telah ada sejak empat puluh
delapan tahun yang lalu, begitu pula dengan adanya peraturan teknis yang
berkaitan hal tersebut seperti Peraturan Menteri Agama Nomor 20 tahun
2019 tentang Pencatatan Perkawinan. Akan tetapi agaknya terasa berbeda,
jika melihat realitas di lapangan khususnya wilayah Indonesia yang jauh
dari akes pelayanan dan tingkat pengetahuan masyarakatnya rendah. Sebut
saja Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan, masyarakat
Jeneponto banyak yang belum tahu adanya aturan tersebut. Hal ini dapat
dilihat dari tingginya praktek pernikahan yang tidak tercatat dan tingginya
pemohonan pengesahan nikah/isbat nikah di Pengadilan Agama meski
pernikahan yang disahkan adalah pernikahan yang baru baru dilakukan di
tahun 2020-an, salah satu alasan yang sering dikemukaan oleh masyarakat
adalah ketidaktahuan mereka akan prosedur pencatatan pernikahan di
KUA dan memasrahkan semua kepengurusan kepada Imam Desa atau
Imam Lurah setempat sedangkan imam-imam tersebut tidak meneruskan
kepada PPN KUA dimana pernikahan dilakukan3.
3
Informasi diambil penulis dari hasil pemeriksaan perkara dan pelaksanaan sidang luar
gedung yang dilaksanakan di Desa-Desa yang ada di Kabupaten Jeneponto dalam

3
Data menunjukkan pada tahun 2019 Pengadilan Agama Jeneponto
telah memeriksa dan memutus perkara permohonan yang didominasi
permohonan pengesahan perkawinan sebanyak 448 perkara dan pada
tahun 2020 sebanyak 541 perkara 4. Artinya dalam dua tahun terakhir
terdapat kenaikan jumlah perkara yang cukup signifikan. Hal ini adalah
sebuah ironi, dimana data yang ada adalah sebatas permasalahan yang
nampak dipermukaan sehingga banyak pasangan suami istri yang tidak
memiliki akta nikah, mengingat permohonan pengesahan nikah
membutuhkan biaya yang tidak sedikit sedangkan masyarakat merasa telah
mengeluarkan biaya kepengurusan akta nikah sejak pernikahan
dilangsungkan bahkan lebih besar dari ketentuan biaya yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah.
Praktek pernikahan di hadapan imam tidak di hadapan penghulu
KUA sehingga tidak mempunyai buku nikah dan bercerai di hadapan
imam tidak di persidangan Pengadilan Agama sehingga tidak mempunyai
akta cerai adalah praktek yang sangat lazim dilakukan oleh masyarakat
Jeneponto, dari kebiasaan inilah kemudian menimbulkan masalah yang
beruntun dan sangat merugikan, mulai dari tingginya pernikahan dibawah
umur yang tidak terkontrol, administrasi kependudukan yang tidak tertib
dan tertipunya salah satu pihak atas status calon pengantin.
Akibat dari praktek pernikahan yang tidak tercatat, masyarakat
mengalami kerugian pertama banyak terjadi kesemrawutan data
kependudukan seperti tidak-singkronnya data di KTP, KK, dan akta
kelahiran. Kedua pernikahan yang dilakukan tidak memiliki status dan
jaminan hukum (lemah di mata hukum). Ketiga pernikahan yang tidak
tercatat menimbulkan perceraian yang tidak tercatat dan banyak
pelanggaran hukum seperti pernikahan di bawah umur tanpa adanya
dispensasi kawin dari Pengadilan Agama, poligami liar dan poliandri.
Keempat praktek pernikahan yang tidak tercatat menimbulkan sengketa
seperti sengketa mahar, sengketa harta bersama dan sengketa waris
diantara pelaku atau anak turunnya5. hal-hal tersebutlah yang
melatarbelakangi pentingnya adanya aturan pencatatan perkawinan,
sebagaimana apa yang disebutkan Taufiqurrahman Syahuri dalam
bukunya Salah satu tujuan dibuatkan undang undang perkawinan adalah
untuk mengadakan perubahan sosial dan pembinaan perilaku perkawinan
dalam masyarakat, yang pada waktu itu cenderung merugikan wanita dan
anak-anak, karena banyak perkawinan di bawah umur, seringnya lembaga
perceraian dan polgiami disalahgunakan6.

rentang waktu tahun 2020-2022.


4
Data diambil dari aplikasi SIPP (sistem Informasi Penelusuran Perkara) Pengadilan
Agama Jeneponto.
5
Informasi diambil penulis dari hasil observasi persidangan di Pengadilan Agama
Jeneponto dalam rentang waktu tahun 2020-2022.
6
Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2013) hal. 208.

4
Dampak buruk inilah yang tidak disadari oleh masyarakat, selama
ini masyarakat tidak memiliki kesadaran akan pentingnya memiliki akta
nikah. Bila saatnya ada keperluan seperti kepentingan penerbitan akta
kelahiran anak, pendaftaran sekolah anak, pendaftaran ibadah haji atau
umrah, pengajuan kredit usaha di Bank, pencairan dana pensiun, pencairan
asuransi, pendaftaran anak di POLRI dan TNI, pendaftaran kerja dan lain
sebagainya, barulah masyarakat mengurus pengesahan nikah di
Pengadilan, hal ini tentunya membutuhkan waktu dan biaya berlebih
dibanding langsung mencatatkan pernikahan di Kantor Urusan Agama,
celakanya masyarakat tidak paham bahwa tidak semua pengesahan
perkawinan di Pengadian Agama akan dikabulkan, selama pernikahan
yang dilakukan ada halangan menurut undang-undang seperti masih
berstatus istri atau suami orang lain, atau ada syarat dan rukun yang tidak
terpenuhi maka isbat nikah yang diajukan tidak dapat dikabulkan.
Disadari atau tidak, fenomena ini sebenarnya berpengaruh pada
tingkat kesejahteraan hidup masyarakat. Mudahnya praktek menikah di
bawah umur dan pernikahan yang tidak tercatat berdampak pada maraknya
pernikahan yang sebenarnya tidak benar-benar diinginkan oleh pihak yang
bersangkutan, akhirnya perceraianpun tidak dapat dihindari, sehingga
muncul fenomena menikah muda dan menjadi duda/janda diusia belia.
Akhirnya masalah sosial ini bermuara pada kerugian yang besar
bagi masyarakat terkhusus bagi perempuan dan anak-anak yang dilahirkan
dari pernikahan tersebut. Di saat banyak orang di usia 20 tahun-an sedang
berusaha untuk menata masa depan serta memperbaiki kualitas hidupnya,
di Jeneponto banyak anak yang putus sekolah dan menjadi duda/janda di
usia 20 tahunan terbelenggu dengan masalah rumah tangga dan beratnya
tanggung jawab pernikahan yang tidak jarang diwarnai dengan kekerasan
dalam rumah tangga.
Data menunjukan perkara cerai gugat yang diajukan di Pengadilan
Agama Jeneponto pada tahun 2021 sejumlah 311 perkara dengan
didominasi usia Penggugat dibawah dua puluh lima tahun sebanyak 252
orang, dengan demikian dapat disimpulkan lebih dari 81 % perkara cerai
gugat diajukan oleh mereka yang tergolong masih sangat muda untuk
mengakhiri sebuah perkawinan7. Hal inilah yang menyebabkan banyak
janda dan duda usia muda, dan anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan
tersebut menjadi korban kegagalan pernikahan orang tuanya yang tidak
jarang mereka terlantar disebabkan orang tuanya menjadi orang tua
tunggal yang sibuk mencari nafkah setiap hari. Lagi-lagi anak yang
dilahirkan tidak sempat tumbuh kembang dengan baik, baik secara fisik
maupun psikisnya. Pernikahan yang tidak dipersiapkan matang-matang
akan membentuk satu komunitas kecil bernama keluarga yang rentan
dengan berbagai masalah, sehingga cara tidak langsung generasi Islam
yang dibangun tidak memiliki kekuatan dan misi Islam menjadi rahmat
bagi semsta mustahil dijalankan. Mata rantai masalah sosial ini harus
7
Lihat statistik Pengadilan Agama Jeneponto https://site.pa-
perkara
jeneponto.go.id/index.php diakses pada Jumat, 07 Februari 2023 Pukul:11.00 Wita.

5
dihentikan, mulai dari pemberantasan praktek pernikahan dibawah tangan
dan perceraian liar di luar pengadilan.
Berangkat dari hal hal yang telah diuraikan di atas, penulis
bermaksud untuk mengurai masalah-masalah yang berkaitan dengan
pencatatan perkawinan dan dapat memberikan kontribusi dalam
penyelesaian masalah pencatatan perkawinan di Indonesia, baik berkaitan
dengan struktur hukum, subtansi hukum maupun budaya hukum. Dengan
memberikan saran dan masukan bagi pihak pihak terkait terkhusus
pemerintah untuk mendorong menciptakan suatu kebijakan strategis, dan
mendorong adanya pelayanan yang lebih efektif dan efisien, serta
kolaborasi dan kerja sama yang saling menguatkan antar instansi yang
berkaitan dengan penyelesaian masalah tersebut.
A. Rumusan Masalah
Dari berbagai uraian latar belakang sebagaimana telah disebutkan di atas,
penulis telah menentukan rumusan masalah sebagaimana berikut :
1. Apakah urgensi dari pencatatan perkawinan ?
2. Apakah faktor penyebab permasalahan pencatatan perkawinan?
3. Bagaimana solusi yang tepat atas permasalahan pencatatan
perkawinan?
III.PEMBAHASAN
A. URGENSI PENCATATAN PERKAWINAN
Pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting bagi manusia,
melahirkan hak dan kewajiban serta menurunkan peristiwa peristiwa
hukum lainya. Pernikahan di Indonesia tidak terlepas dari hukum agama
dan negara. Keduanya mengatur secara koheren, namun tidak dengan
pemahaman hukum masyarakatnya.
Salah satu contoh, banyak masyarakat yang memPraktekkan
pernikahan sirri (bahwa tangan) dengan alasan bahwa pencatatan
pernikahan tidak menentukan keabsahan pernikahan. Pendapat tersebut
bermuara pada pemahama fiqh dimana syarat dan rukun nikah tidak
menentukan adanya pencatatan perkawinan. sayangnya praktek pernikahan
demikian lebih sering dilakukan oleh kelompok-kelompok yang dianggap
memiliki tingkat pemahaman agama yang lebih baik dari pada masyarakat
pada umunya bahkan tidak jarang dilakukan oleh para pemuka pemuka
agama.
Negara berusaha hadir untuk memberikan perlindungan dan
jaminan hukum bagi warganya yang melaksanakan perkawinan. Negara
telah berupaya melengkapi segara keperluan pencatatan perkawinan seperti
telah menyediakan sarana dan prasarana. Aturan sudah terbentuk sejak
diundangkannya Undang-Undang Perkawinan, lembaga yang ditunjuk
sudah tersedia di setiap daerah bahkan di setiap kecamatan sudah berdiri
Kantor Urusan Agama, sosialisasi pencatatan perkawinan sudah dilakukan
oleh Pemerintah di mana-mana. Disadari atau tidak usaha pemerintah
untuk melayani masyarakatnya dapat dikatakan kurang maksimal, hal ini
dapat dibuktikan dengan tingginya perkara permohonan isbat nikah di
Pengadilan Agama. Jika memang lembaga isbat nikah ada untuk

6
kepentingan pencatatan pernikahan yang dilaksanakan sebelum tahun
1974, maka semestinya jumlah perkara isbat nikah dari tahun ke tahun
mengalami penurunan8.
Ketentuan pencatatan perkawinan yang dirumuskan oleh Negara
jika ditinjau dari sudut pandang Hukum Islam telah sejalan dengan
maqasid syariah yakni untuk menjamin, memberikan perlindungan dan
melestarikan kemaslahatan bagi manusia secara umum, khusunya umat
Islam9. disisi lain praktek-praktek pernikahan yang tidak tercatat jelas
nampak mudaranya dan menimbulkan masalah masalah baru seperti
penyalagunaan lembaga cerai talak, pernikahan di bawah umur, poligami
dan poliandri yang bertentangan dengan hukum Islam. Sudah menjadi
sebuah keharusan bahwa umat Islam harus sebisa mungkin menghilangkan
atau setidak-tidaknya meminimalisir berbagai kerusakan atau persoalan
yang membahayakan sebagaimana kaidah ushul fiiqh
‫الضرريزال‬
“kemudaratan itu harus dihilangkan”
Akibat dari praktek pernikahan yang tidak tercatat, masyarakat
mengalami kerugian pertama banyak terjadi kesemrawutan data
kependudukan seperti tidak-singkronnya data di KTP, KK, dan akta
kelahiran, sedangkan kecenderungan sekarang administrasi kependudukan
lebih diperketat. Kedua pernikahan yang dilakukan tidak memiliki status
dan jaminan hukum (lemah di mata hukum). Ketiga pernikahan yang tidak
tercatat menimbulkan perceraian yang tidak tercatat dan banyak
pelanggaran hukum lainnya seperti pernikahan di bawah umur tanpa
adanya dispensasi kawin dari Pengadilan Agama, poligami liar dan
poliandri. Keempat praktek pernikahan yang tidak tercatat menimbulkan
sengketa di masa yang akan datang seperti sengketa mahar, sengketa harta
bersama dan sengketa waris diantara pelaku atau anak turunnya, kelima
bilamana dalam suatu pernikahan terjadi tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga, maka pelaku tidak dapat dijerat dengan Pasal KDRT
sehingga pelaku hanya dijerat pasal penganiayaan yang tentunya hukuman
lebih ringan, ini artinya masyarakat telah kehilangan perlindungan dari
negara dengan tidak dicatatkannya pernikahan dan keadilan tidak dapat
ditegakkan dengan baik10. hal-hal tersebutlah yang melatarbelakangi
pentingnya adanya aturan pencatatan perkawinan, sebagaimana apa yang
disebutkan Taufiqurrahman Syahuri dalam bukunya Salah satu tujuan
dibuatkan undang undang perkawinan adalah untuk mengadakan
perubahan sosial dan pembinaan perilaku perkawinan dalam masyarakat,

8
Lihat statistik perkara Pengadilan Agama Jeneponto
https://site.pa-jeneponto.go.id/index.php diakses pada Jumat, 07 Februari 2023
Pukul:11.00 Wita.
9
Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia,
(Yogyakarta:Beranda, 2012) Hal. 169.
10
Informasi diambil penulis dari hasil observasi persidangan di Pengadilan Agama
Jeneponto dalam rentang waktu tahun 2020-2022.

7
yang pada waktu itu cenderung merugikan wanita dan anak-anak, karena
banyak perkawinan di bawah umur, seringnya lembaga perceraian dan
polgiami disalahgunakan11.
Dampak buruk inilah yang tidak disadari oleh masyarakat, selama
ini masyarakat tidak memiliki kesadaran akan pentingnya memiliki akta
nikah. Bila saatnya ada keperluan seperti kepentingan penerbitan akta
kelahiran anak, pendaftaran sekolah anak, pendaftaran ibadah haji atau
umrah, pengajuan kredit usaha di Bank, pencairan dana pensiun, pencairan
asuransi, pendaftaran anak di POLRI dan TNI, pendaftaran kerja dan lain
sebagainya, barulah masyarakat mengurus pengesahan nikah di
Pengadilan, hal ini tentunya membutuhkan waktu dan biaya berlebih
dibanding langsung mencatatkan pernikahan di Kantor Urusan Agama,
celakanya masyarakat tidak paham bahwa tidak semua pengesahan
perkawinan di Pengadian Agama akan dikabulkan, selama pernikahan
yang dilakukan ada halangan menurut undang-undang seperti masih
berstatus istri atau suami orang lain, atau ada syarat dan rukun yang tidak
terpenuhi maka isbat nikah yang diajukan tidak dapat dikabulkan.
Disadari atau tidak, fenomena ini sebenarnya berpengaruh pada
tingkat kesejahteraan hidup masyarakat khususnya umat Islam. Dari
sinilah dapat dilihat bertapa generasi Islam rapuh dalam membangun
keluarga yang dicita-citakan oleh Islam. Mudahnya praktek menikah di
bawah umur dan pernikahan yang tidak tercatat berdampak pada maraknya
pernikahan yang sebenarnya tidak benar-benar diinginkan oleh pihak yang
bersangkutan, akhirnya perceraianpun tidak dapat dihindari, sehingga
muncul fenomena menikah muda dan menjadi duda/janda diusia belia.
Akhirnya masalah sosial ini bermuara pada kerugian yang besar
bagi masyarakat terkhusus bagi perempuan dan anak-anak yang dilahirkan
dari pernikahan tersebut. Di saat banyak orang di usia 20 tahun-an sedang
menjalankan kewajiban belajar, berusaha untuk menata masa depan serta
memperbaiki kualitas hidupnya, banyak anak yang putus sekolah dan
menjadi duda/janda di usia 20 tahunan terbelenggu dengan masalah rumah
tangga dan beratnya tanggung jawab pernikahan yang tidak jarang
diwarnai dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Sebagaimana yang telah teruarai di atas, jika kita mengingat Nabi
Muhammad SAW mempunyai sebuah harapan pribadi bahwa ummatnya
akan berjumlah banyak pada akhir zaman nanti.12 dengan mewarisi akhlak
yang baik pula seperti akhlakul karimah yang telah diajarkan Nabi SAW.
Agaknya sulit diwujudkan bilamana dalam suatu negara umat Islam hanya
menjadi beban masalah sosial dan tidak memiliki kontribusi yang positif
bagi masyarakat sehingga tidak dapat mewujudkan misi Islam yang
rahmatallila’lamin.

11
Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2013) hal. 208.
12
Muhammad at-atihami, Merawat Cinta Kasih Menurut Syari’at Islam, (Surabaya: Ampel Mulia,
2004), hlm. 31

8
B. FAKTOR PENYEBAB PERMASALAHAN PENCATATAN
PERKAWINAN
B.I Kurangnya pemahaman hukum perkawinan di masyarakat
Berdasarkan hasil observasi penulis, salah satu hal yang menjadi
hambatan pernikahan tidak tercatat adalah ketidaktahuan masyarakat
tentang prosedur pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama.
Persoalan demikian akan terasa asing di masyarakat yang memiliki
tingkat peradaban yang lebih maju, namun untuk daerah-daerah yang
terpencil atau tingkat pendidikan rendah alasan demikian akan sangat
lazim dijumpai.
Hal ini tidak terlepas dari anggapan masyarakat bahwa pelayanan
di pemerintahan sulit dijangkau dan sulit dipahami. Sehingga ketidak-
tahuan masyarakat dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu. Mulai dari
tingkat desa bahkan sampai pada Kantor Urusan Agama13. contoh kasus
di Jeneponto banyak masyarakat yang merasa enggan datang langsung
ke Kantor Urusan Agama karena tidak mengerti baca tulis dan tidak
mengerti prosedur pendaftaran pernikahan, karenanya mereka lebih
memilih meminta bantuan Imam Desa/Lurah (pemuka agama) untuk
mengurus segala keperluannya, namun oleh pihak Imam data
administrasi tidak diteruskan ke KUA setempat terlebih jika ditemukan
ada penolakan atau kekurangan syarat seperti masih di bawah umur atau
salah satu calon pengantin masih terikat perkawinan yang lain dan tidak
ada akta cerainya, meksi calon pengantin telah memberikan uang
kepengurusan kepada Imam bahkan nominalnya melebihi apa yang telah
ditentukan.
Salah satu alasan kenapa Imam tidak mau meneruskan adminitrasi
ke KUA adalah melihat latar belakang masyarakat yang dilayaninya.
Diskriminasi masih lazim terjadi, bilamana warga dari keluarga yang
memiliki derajat sosial yang tinggi seperti berasal dari keluarga
pegawai/Polisi/TNI atau memiliki tingkat pendidikan yang tinggi maka
administrasi pernikahan akan segera teruskan ke KUA, jika masyarakat
yang mengajukan tergolong orang biasa atau bahkan dari orang yang
tidak mampu dan tidak sekolah maka data tidak diteruskan, dan ketika
ada keperluan dengan kata nikah, mereka disarankan ke Pengadilan
Agama untuk mengajukan isbat nikah. Tentu cara demikian sangat
merugikan masyarakat, baik dari segi uang, tenaga dan waktu.
Pemerintah dalam hal ini adalah Kantor Urusan Agama merasa
kecolongan dengan tindakan tindakan Imam yang memotong prosedur
dengan langsung menikahkan dan menyelesaikan permasalahan dengan
isbat nikah di Pengadilan, seolah langkah pencegahan praktek demikian
tidak dapat dilakukan. Padahal dengan sinergi antar lembaga
pemerintahan persoalan demikian dapat diselesaikan, seperti KUA
meperluas jangkauan dengan melakukan pembinaan dan kerja sama
dengan Imam-Imam (pemuka agama) dan gencar melakukan sosialisasi
13
Data diambil penulis dari hasil pemeriksaan perkara selama bertugas di Pengadilan Agama
Jeneponto dalam kurun waktu tahun 2020 sampai dengan tahun 2023.

9
pencatatan perkawinan, Pemerintah Daerah dapat mengambil kebijakan
strategis seperti menghapus dan menghentikan praktek nikah (tanpa
melibatkan KUA)/ nikah sirri dengan instrumen yang ada misal dengan
surat edaran atau dengan dibuat perda penanganan pernikahan di bawah
tangan. Menjalin kerja sama dengan Pengadilan Agama untuk
melaksanakan sidang isbat terpadu, dan lain sebagainya.
B.II Pengabaian aturan dispensasi kawin dan penyalahgunaan
lembaga isbat nikah
Salah satu faktor penyebab pernikahan tidak tercatat adalah
polapikir yang salah dalam memahami ketentuan tentang isbat nikah di
Pengadilan Agama. Kasus yang sering terjadi adalah jika salah satu
calon penganti masih di bawah umur atau tidak memiliki akta cerai atau
terdapat administrasi di KUA yang tidak lengkap, maka Imam akan
memotong prosedur dan berani bertindak menikahkan calon pengantin
dengan dalih kedua mempelai telah saling suka dan takut terjadi
perzinahan. Jika suatu saat halangann nikah sudah tidak ada misalkan
telah terbit akta cerai atau pihak sudah mencapai usia minimal
perkawinan, pihak akan diarahkan mendaftar isbat nikah di Pengadilan
Agama. Tentu tindakan demikian adalah penyelundupan hukum yang
disengaja. Padahal tidak semua perkara isbat nikah yang diajukan
dikabulkan, terlebih jika ditemukan bukti yang nyata adanya halangan
perkawinan.
Jika kita pahami ketentuan isbat nikah maka kita akan merujuk
pada Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, Itsbat nikah yang dapat
diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan :
a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b) Hilangnya Akta Nikah;
c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawian;
d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-
undang No.1 Tahun 1974 dan;
e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974;
Menurut hemat penulis, adanya lembaga isbat nikah sebenarnya
adalah upaya antisipasi terhadap pernikahan yang dilakukan sebelum
adanya Undang-Undang Pekawinan dan tidak tercatat, akan tetapi
ketentuan pada huruf e seolah olah memberikan celah untuk pengabaian
ketentuan pencatatan perkawinan. Aturan memang tidak secara tegas
melarang adanya pengesahkan nikah untuk pernikahan yang dilakukan
setelah tahun 1974 selama pernikahan yang dilangsungkan telah
memenuhi rukun dan syarat serta tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Namun ketentuan ini menjadikan penegakan
hukum yang dilakukan menjadi tidak efektif dan efisien.
Praktek pernikahan yang dilakukan oleh Imam/kiai/pemuka agama
secara tidak langsung melemahkan adanya lembaga dispensasi kawin

10
dan pencatatan perkawinan yang telah diatur oleh negara. Pengadilan
berpendapat dalam kondisi tertentu menolak dispensasi kawin adalah hal
yang terbaik bagi anak, namun disisi lain masyarakat tidak memiliki
kepatuhan dan memilih menikahkan anak di bawah umur dengan atau
tanpa adanya izin dari Pengadilan dan mengajukan isbat nikah di
kemudian hari.
C. JALAN KELUAR PERMASALAHAN PENCATATAN
PERKAWINAN
C.I EDUKASI HUKUM KELUARGA KEPADA MASYARAKAT
Pemerintah dalam hal ini Kantor Urusan Agama dan pihak lain
yang berkaitan harus memiliki political will untuk serius menangani
persoalan yang merugikan masyarakat dan membawanya pada
kemelaratan. Tanpa adanya kemauan dan keseriusan persoalan
pencatatan perkawinan dan masalah yang timbul setelahnya tidak akan
selesai dari waktu ke waktu.
Semua pihak baik dari Pemerintah, akademisi, organisasi non
pemerintah/masyarakat sipil berkewajiban untuk mengedukasi
masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan dengan
kewenangan yang dimiliki. Seperti Pemerintah dapat melakukan
sosialisasi aturan pencatatan perkawinan, akademisi dapat membuka
ruang ruang diskusi dan kelas kelas pra nikah, tokoh masyarakat lewat
lembaga yang dimpimpin atau majelis taklim dapat menyampaikan
kepada jamaah terkait pentingnya urusan pencatatan perkawinan dengan
kepentingan dan kebaikan bersama.
C.II OPTIMALISASI LEMBAGA KANTOR URUSAN AGAMA
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan mempunyai tugas
diantaranya : melaksanakan tugas poko dan fungsi Kantor Kementrian
agama dalam wilayah kecamatan berdasarkan kebijakan Kepala Kantor
Wilayah Kementrian Agama Provinsi dan kebijakan Kantor Kementrian
Agama Kabupaten dan perundang-undangan14.
Berdasarkan PMA Nomor: 39 Tahun 2012 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kantor Urusan Agama, maka selain tugas pokok tersebut di
atas, Kantor Urusan Agama Kecamatan Wajib melaksanakan tugas
untuk menyeenggarakan fungsi sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pelayanan, pengawasan, pencatatan dan pelaporan nikah
dan rujuk.
2. Penyususnan statistik, dokumentasi dan pengelolaan sistem informasi
manajemen KUA.
3. Pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga KUA.
4. Pelayanan bimbingan keluarga sakinah.

14
Lihat website Kementrian Agama Kabupaten Semarang
https://semarang.kemenag.go.id/kua/tugas-dan-fungsi-kua-kecamatan/
#:~:text=1.Pelaksanaan%20pelayanan%2C%20pengawasan%2C,4.Pelayanan
%20bimbingan%20keluarga%20sakinah. diakses pada 07 Februari 2023 pukul 15.40
WITA.

11
5. Pelayanan bimbingan kemasjidan.
6. Pelayanan bimbingan syari’ah, dan
7. Penyelenggaraan fungsi lain di bidang agama Islam yang ditugaskan
oleh Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota.
Jika kita melihat ketentuan di atas, tupoksi dari KUA sudah sangat
jelas, akan tetapi kenyataan di lapangan jauh dari yang diharapkan.
Andaikan tupoksi di atas dijalankan dengan maksimal, pengawasan dan
bimbingan ditingkatkan, isbat nikah pernikahan setelah tahun 1974 tidak
banyak terjadi dan tidak ada penyelewengan hukum lainnya. Kementrian
Agama harus melakukan evaluasi dan pembenahan secara internal untuk
meningkatkan kinerja dan pelayanan yang prima kepada masyarakat.
Selama ini KUA seperti menara gading, bersikap masa bodoh dan selalu
menunggu masyarakat datang ke kantor. Di era teknologi, sekadar
informasi yang tersedia di website pun minim untuk diakses publik.
Meski di sisi yang lain, KUA sudah menjalankan tugas dengan baik.
Penegakan hukum pencatatan pernikahan salah satunya ada di
pihak KUA, dengan posedur yang mudah dipahami, pengawasan yang
ketat, pembinaan yang baik kepada para pemuka agama, persoalan
pencatatan perkawinan dapat diselesaikan dengan baik. Sehingga tujuan
hukum menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan
ketertiban dan keseimbangan dapat terwujud. Kelayakan calon pengantin
dapat dilihat jika semua pernikahan melalui prosedur yang benar terlebih
KUA juga memiliki bimbingan calon pengantin yang sangat bermanfaat
bagi masyarakat dan menjadi bekal dalam membangun rumah tangga.
Jika prosedur demikian dipangkas maka akan berujung pada pernikahan
yang tidak dipahami maksud dan tujuannya dengan baik.
C.III MENGHENTIKAN PRAKTEK PERNIKAHAN SIRRI
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, awal mula problem hukum
keluarga Islam di Indonesia disebabkan praktek pernikahan sirri yang
melahirkan persoalan-persoalan hukum dan administrasi lainnya.
Selama praktek pernikahan siri tidak dianggap masalah serius dan
tidak ditangani dengan baik, selama itu pula masyarakat selalu
dirugikan, terabaikan kepentingan hukumnya dan tidak terjamin segala
hak-hak dasarnya, terlebih bagi kaum perempuan dan anak-anak.
Pemerintah harus tegas dalam menegakkan aturan, Negara tidak
boleh mengabaikan urusan pencatatan perkawinan sebab negara
memiliki kewajiban memenuhi (to fulfill) hak asasi warga negaranya.
Pengaturan pencatatan perkawinan merupakan salah satu wujud hadirnya
negara dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi
warga negaranya, sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang
Dasar 1945.
Praktek pernikahan sirri harus ditertibkan, pemerintah dapat
membuat aturan untuk menghapuskan praktek tersebut, sebab
mudaratnya nyata bagi masyarakat, penulis berpendapat selama praktek
pernikahan siri terus terjadi hal aturan pencatatan perkawinan, ketentuan

12
dispensasi kawain dan lembaga isbat nikah akan selalu disalahgunakan
oleh oknum-oknum yang tidak bertanggug jawab.
C.IV PEMBAHARUAN KETENTUAN ISBAT NIKAH
Ketentuan Isbat Nikah dapat ditemukan di Pasal 7 ayat 3 Kompilsi
Hukum Islam, aturan tidak secara tegas melarang adanya pengesahkan
nikah untuk pernikahan yang dilakukan setelah tahun 1974, sebagaimana
Pasal 7 huruf e Komiplasi Hukum Islam isbat nikah tetap dapat diajukan
selama pernikahan yang dilangsungkan telah memenuhi rukun dan syarat
serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7 huruf e harus dihapuskan, mengingat sudah tidak relevan
dan cenderung disalahgunakan. Meskipun secara internal Mahkamah
Agung memiliki Surat Edaran yang mengatur lebih rinci dan dipedomani
oleh Hakim, hal tersebut bukan langkah pencegahan yang tepat bagi
persoalan pencatatan perkawinan, karena Pegadilan adalah penyelesaian
akhir dari masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan tidak jarang hasil
akhirnya tidak sesuai harapan para pihak karena ketidaktahuannya.
Mata rantai persoalan yang dimulai dari pernikahan siri
(pemotongan prosedur dari KUA) kemudian mengajukan isbat adalah
tindakan yang tidak tepat, merupakan penyelundupan hukum yang
ujunganya merugikan banyak pihak. Seiring berkembangnya zaman, akses
terhadap KUA dan adanya teknologi memudahkan masyarakat dalam
mencatatkan perkawinan, sehingga tidak ada lagi kasus pengesahan
perkawinan untuk tahun tahun setelah 1974 atau bahkan di tahun 2020an.
IV. PENUTUP
A) KESIMPULAN
Hasil penulisan ini menunjukan bahwa Ketentuan pencatatan
perkawinan yang dirumuskan oleh Negara jika ditinjau dari sudut pandang
Hukum Islam telah sejalan dengan maqasid syariah yakni untuk menjamin,
memberikan perlindungan dan melestarikan kemaslahatan bagi manusia
secara umum, khusunya umat Islam. Akibat dari praktek pernikahan yang
tidak tercatat, masyarakat mengalami kerugian diantaranya data
kependudukan yang tidak sesuai, pernikahan yang dilakukan tidak
memiliki jaminan hukum, pernikahan dibawah umur tanpa adanya
dispensasi kawin, dan lain sebagainya. Penyebab permasalahan pencatatan
perkawinan yaitu kurangnya pemahaman hukum perkawinan di
masyarakat, pengabaian aturan dispensasi dan penyalahgunaan Lembaga
isbat nikah.
B) RREKOMENDASI
Dari persoalan yang telah dipaparkan Penulis merekomendasikan
solusi permasalahan pencatatan perkawinan yaitu edukasi hukum keluarga
kepada masyarakat, optimalisasi lembaga KUA, penghapusan praktek
pernikahan sirri, dan pembaharuan hukum isbat nikah.

V. DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

13
1. Mertokusumo,Sudikno. (2010). Mengenal Hukum Suatu Pengantar.
Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka.
2. Syahuri, Taufiqurrahman. (2013). Legislasi Hukum Perkawinan di
Indonesia. Jakarta: Kencana.
3. Sodiqin, Ali. (2012) Fiqh Ushul Fiqh Sejarah, Metodologi dan
Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta:Beranda.
4. At-atihami, Muhammad. (2004) Merawat Cinta Kasih Menurut
Syari’at Islam. Surabaya: Ampel Mulia.
B. Website :
1. http://ilmutuhan.blogspot.com/2011/01/john-locke-dan-
pemikirannya.html
2. https://site.pa-jeneponto.go.id/index.php
3. https://semarang.kemenag.go.id/kua/tugas-dan-fungsi-kua-
kecamatan/#:~:text=1.Pelaksanaan%20pelayanan%2C
%20pengawasan%2C,4.Pelayanan%20bimbingan%20keluarga
%20sakinah.

14

Anda mungkin juga menyukai