Anda di halaman 1dari 64

ANALISIS YURIDIS PERKAWINAN CAMPURAN

BEDA NEGARA YANG TIDAK DI DAFTARKAN DI


KANTOR CATATAN SIPIL NEGARA REPUBLIK
INDONESIA (STUDI KASUS DI KANTOR CATATAN
SIPIL PEMERINTAH KOTA BATAM)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Guna


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Dalam Bidang Ilmu Hukum

Oleh :
AGUS TRIYANA, ST
31119048

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BATAM (UNIBA)
BATAM – 2022
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1 Alasan Pemilihan Judul.............................................................................1
2 Rumusan Masalah.....................................................................................9
3 Tujuan Penelitian......................................................................................9
4 Kegunaan Manfaat Penelitian..................................................................10
5 Keaslian Penelitian...................................................................................11
6 Metode Penelitian....................................................................................11
7 Sistematika Penulisan..............................................................................15
DAFTAR PUSTAKA

1
BAB l

PENDAHULUAN

1. Alasan Pemilihan Judul

Manusia sebagai makhluk sosial, selalu hidup bermasyarakat dan saling

berhubungan satu dengan yang lain dalam pergaulan hidup. Hidup bersama antar

manusia, dilakukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, baik yang

bersifat jasmani maupun bersifat rohani. Interaksi manusia dalam masyarakat

melahirkan hubungan yang bersifat individual dan bersifat kolektif. Salah satu

hubungan manusia yang individual adalah hubungan antara seorang pria dengan

seorang wanita dalam ikatan perkawinan.

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang menunjukkan hubungan antara

satu pribadi dengan pribadi yang lain. Sebuah ikatan perkawinan terjadi karena

adanya kecocokan pribadi, psikologis dan fisik antara seorang pria dan seorang

wanita.1 Soerojo Wignjodipoero menyatakan bahwa sistem perkawinan

merupakan urusan komunal. Mulai dari mencari pasangan, membuat

persetujuan, pertunangan, upacara perkawinan, bahkan sampai kepada akibat-

akibat perkawinan. Sesuai dengan kebersamaan sebagai ciri khas komunal, maka

rumah tangga (selain urusan yang sangat pribadi) menjadi urusan bersama pula.2

Manusia dalam menempuh pergaulan hidup dalam masyarakat ternyata

tidak dapat terlepas dari adanya saling ketergantungan antara manusia yang satu

1
Argyo Demartoto. Pemaknaan Perkawinan (Studi Kasus Pada Perempuan lajang Yang Bekerja
Di Kecamatan Bulukerto Kabupaten Wonogiri):. Jurnal Analisa Sosiologi. 2015. hal 76.
2
Hotman Siahaan, Perkawinan Antar Negara Di Indonesia Berdasarkan Hukum Perdata
Internasional. Jurnal Volume 17 Nomor 2. 2019. hal 140

1
2

dengan manusia yang lainnya. Hal ini dikarenakan sesuai dengan kedudukan

manusia sebagai mahluk sosial yang suka berkelompok atau berteman dengan

manusia lainnya.

Hidup bersama merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan

hidup manusia baik kebutuhan yang bersifat jasmani maupun yang bersifat

rohani. Demikian pula bagi seorang laki-laki ataupun seorang perempuan yang

telah mencapai usia tertentu maka ia tidak akan lepas dari permasalahan tersebut.

Ia ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dengan melaluinya bersama dengan

orang lain yang bisa dijadikan curahan hati, penyejuk jiwa, tempat berbagi suka

dan duka.

Di era globalisasi dewasa ini, ilmu pengetahuan dan teknologi

berkembang dengan sangat pesat tanpa mengindahkan lagi batas – batas Negara

dan Bangsa. Kemajuan tersebut membawa pengaruh semakin mudah terjadinya

hubungan antar sesama manusia, antar suku bangsa dan antar Negara dalam

segala aspek kehidupan. Interaksi yang terjadi antara individu yang berbeda suku

Bangsa dan Negara dalam berbagai bidang akan melahirkan hubungan –

hubungan hukum khususnya dalam hukum perdata Internasional yang salah satu

diantara nya adalah perkawinan campuran.

Jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan

melangsungkan perkawinan campuran antara lain adalah perkenalan melalui

internet, bekas teman kerja / bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman

sekolah / kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campuran juga terjadi pada

tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari Negara lain.3


3
http : // jurnalhukum.blogspot.com, 21 Januari 2022
3

Perkawinan campuran beda kewarganegaraan semakin banyak terjadi

disebabkan sikap masyarakat yang semakin terbuka terhadap kebudayaan yang

datang dari luar lingkungannya baik yang ada di daerah-daerah terpencil maupun

yang ada di kota. Disamping itu juga kemajuan teknologi di segala sektor telah

menimbulkan hubungan yang semakin akrab antar bangsa Indonesia dengan

bangsa lainnya. Hal ini sangat mempengaruhi terjadinya perkawinan campuran

beda kewarganegaraan.4 Perkawinan ini bersifat universal dan tidak dibatasi oleh

warna kulit, ras dan kewarganegaraan. Maka tidak mengherankan jika jumlah

perkawinan campuran terus bertambah, termasuk di Indonesia

Perkawinan campuran ini akan membawa konsekuensi tersendiri yaitu

berlakunya peraturan dari masing - masing stelsel hukum yang berlaku terhadap

masing - masing pihak yang terlibat. Peraturan perundang - undangan yang

mengatur mengenai perkawinan campuran terdapat dalam Undang – Undang

Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2019 tentang Perkawinan yang menyatakan sebagai berikut :

“yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang – Undang


ini adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia ”.

Tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia

dan meneruskan keturunan. Di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

tentang Perkawinan menyatakan bahwa “kewarganegaraan yang diperoleh

sebagai akibat dari perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum

yang berlaku, baik mengenai Hukum Publik maupun Hukum Perdata“. Dari
4
Novie Yulianie, Upaya Perlindungan Hukum Bagi Istri Warga Negara Indonesia Yang
Melangsungkan Perkawinan Campuran, Tesis, Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, 2012, hal 5
4

ketentuan tersebut, sangat jelas dalam pekawinan campuran akan menimbulkan

konsekuensi yuridis menyangkut kewarganegaraan para pihak.

Pasal 80 KUHPerdata menegaskan:5 “Perkawinan harus dilangsungkan di

hadapan Pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.” Selanjutnya

ketentuan dalam Pasal 81 KUHPerdata menyatakan: 6 “Perkawinan secara agama

harus dilaksanakan setelah perkawinan di hadapan Pejabat Kantor Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil.”

Perkawinan campuran yang hanya dilakukan secara agama dan tidak

dilakukan di hadapan Pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil,

maka konsekuensi hukumnya dari berlakunya Pasal 80 jo Pasal 81 KUHPerdata

di atas, yaitu antara suami dan istri dan/atau antara ibu dan ayah dengan anak-

anaknya (jika ada anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut), tidak akan

ada hubungan hubungan perdata. Hubungan perdata yang dimaksud adalah

antara lain hubungan pewarisan antara suami dan istri dan/atau ibu dan ayah

dengan anak-anak serta keluarganya, apabila di kemudian hari terdapat salah

seorang yang meninggal dunia.7

Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan menentukan:8

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

5
Pasal 80 KUHPerdata
6
Pasal 81 KUHPerdata
7
Yearlina S, Pengakuan dan Pengesahan Anak Luar Kawin Dari pasangan Suami Istri yang
Berbeda Kewarganegaraan. Tesis, Magister Hukum, Universitas Sumatra Utara, 2017, hal 28
8
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
5

Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur dan tidak menjelaskan

mengenai konsekuensi/akibat hukum, apabila perkawinan hanya dilakukan

menurut hukum agama (kepercayaan) saja, tanpa melakukan pendaftaran

perkawinan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

Orang-orang yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh

kewarganegaraan dari pasangannya dan dapat pula kehilangan

kewarganegaraannya. Berikut ini adalah contoh kasus dan permasalahan

perkawinan campuran yang ada di Indonesia :

Pertama kasus artis Maury Issak, yang menikah dengan laki-laki warga

negara Swedia, prosedur birokrasi memerlukan spesimen tanda tangan kepala

KUA di Kemenlu dan Kemenkumham. Maka dari itu pasangan tersebut tidak

jadi menikah resmi di Indonesia, keduanya menikah di Denmark. Kemudian

masalah timbul lagi dengan adanya pengurusan Kitap. Kitap adalah warga

negara asing yang sudah dua tahun menikah dengan orang Indonesia.

Kedua kasus yang dikenakan sanksi karena mempunyai kewarganegaraan

ganda disebabkan ayahnya berkewarganegaraan Perancis ibunya warga negara

indonesia sedangkan sebagai anak belum sempat mengurus atau pidah menjadi

WNI dan masih ikut WNA dari ayhanya. Kewarganegaaraan yang dialami oleh

Gloria Natapradja Hamel, paskibraka asal Jawa Barat yang sempat tidak

dikukuhkan Pada kasus Gloria, ia dianggap kehilangan kewarganegaraan karena

memiliki paspor Perancis dan mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Selanjutnya

orangtua Gloria, Ira Hartini Natapradja Hamel, menggugat Mahkamah

Konstitusi (MK) terkait pasal 41 UU Kewarganegaraan yang dinilai tidak


6

memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.

Hal ini diatur pada UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan.

Pasal 5 ayat 1 menyebut anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar

perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin

diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui

sebagai Warga Negara Indonesia.

Kota Batam merupakan salah satu kota dengan pertumbuhan terpesat di

Indonesia, yang didukung dengan adanya informasi Badan Pusat Statistik Kota

Batam mengenai laju pertumbuhan penduduk menurut jenis kelamin tahun 2020

sebesar 1.196.396 Jiwa.9 Batam juga memiliki letak yang sangat strategis dalam

jalur pelayaran internasional. Jaraknya yang sangat dekat dan berbatasan

langsung dengan Negara Singapura dan Malaysia menyebabkan cukup banyak

masyarakat Batam yang melakukan perkawinan campuran. Hal ini dibuktikan

dengan adanya laporan rekapitulasi penerbitan akta-akta sipil Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam pada 3 (tiga) tahun terakhir.

Perkawinan campuran yang dicatatkan pada Kantor Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil Kota Batam dalam 3 (tiga) tahun terakhir, yaitu 10 pada tahun

2019 sebanyak 33 (tiga puluh tiga) kasus, selanjutnya pada tahun 2020 sebanyak

65 (enam puluh lima) kasus dan tahun 2021 sebanyak 53 (lima puluh tiga) kasus.

Salah satu kasus yang ada di Kota Batam untuk dijadikan studi analisis

pada penelitian ini adalah kasus perkawinan campuran atas nama Mohammad

9
Badan Pusat Statistik Kota Batam, Penduduk WNI Kota Batam Menurut Rasio Jenis Kelamin
Tahun 2020, diakses melalui https://batamkota.bps.go.id/, pada tanggal 12 Januari 2022, pukul 15.30 WIB.
10
Yearlina S, Pengakuan dan Pengesahan Anak Luar Kawin Dari pasangan Suami Istri yang
Berbeda Kewarganegaraan. Tesis, Magister Hukum, Universitas Sumatra Utara, 2017, hal 6
7

Zamri berkewarganegaraan singapura dan Novianti kewarganegaraan Indonesia.

Dalam kasus tersebut, kedua pasangan melangsungkan pernikahan di Singapura

pada tanggal 14 September 2019, diterbitkan dengan certificate of marriage oleh

registry of muslim marriages Singapore. Kebahagiaan yang dirasakan atas

pernikahan campuran kedua pasangan tersebut hanya berlangsung setahun,

ketentraman antara rumah tangga sering terjadi percecokan dan pertengkaran

yang terus menerus, sehingga sejak bulan januai tahun 2021 kedua pasangan

tersebut telah pisah ranjang dan pisah rumah. Berdasarkan atas pertengkaran

yang terus menerus dan hubungan yang sulit untuk dibina dalam rumah tangga

yang sakinah, mawaddah, warahmah, sebagaimana dari tujuan suatu pernikahan,

sehingga lebih baik diputus dengan perceraian.

Permasalahan yang terhadi adalah ketua pengadilan agama Batam

melalui Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara ini

berkenan untuk mengabulkan permohonan cerai talak. Sedangkan dalam

pernikahan campuran tersebut tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil dan

Kantor Urusan Agama di Batam (Indonesia). Artinya dalam kasus tersebut

Majelis Hakim menganggap pernikahan campuran tersebut sah, meskipun belum

didaftarkan di Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama di Batam. Hal

tersebut tentunya bertolak belakang dari Undang-Undang Hukum di bawah ini:

“Bahwa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Republik Indoensia


Nomor 1 Tahun 1974 na diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 Tentang Perkawinan Berbunyi perkawinan yang
dilangsungkan diluar Indonesia dengan dua orang warga negara
Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara
asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di
negara dimana perkawinan itu dilangsungkan bagi warga negara
Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini dan
8

pada ayat (2) yang berbunyi bahwa dalam waktu 1 (satu) tahun setelah
suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan
mereka harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal
mereka. dan fakta hukum atas pernikahan tersebut belum didaftarkan di
Kantor Urusan Agama (KUA) tempat tinggal mereka yaitu KUA Batam
Kota. Bahwa menurut surat edaran mahkamah agung no 3 tahun 2015
point c rumusan kamar agama butir 8 berbunyi Perkawinan bagi warga
negara Indonesia diluar negeri yang tidak didaftarkan setelah kembali ke
Indonesia lebih dari satu tahun, maka dapat diajukan isbath nikah ke
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal Pemohon."

Berbagai masalah yang terjadi disini ialah bahwa Perkawinan campuran

beda kewarganegaraan yang dialami oleh pasangan tersebut terdapat kendala

diantaranya terkait persyaratan Administrasi untuk mendapatkan legaliats

pernikahan dan tidak didaftarkan di kantor catatan sipil negara republik

indonesia, sanksi terhadap perkawinan campuran berdasarkan Undang-undang

Administrasi kependudukan No. 24 Tahun 1974 Tahun 2013 dan motif dari pada

kasus terjadinya perkawinan campuran beda kewarganegaraan. Dengan banyak

terjadinya perkawinan campuran di Indonesia sudah seharusnya perlindungan

hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam

perundang – undangan di Indonesia.

Berdasarkan kasus tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

yang berjudul “Analisis Yuridis Perkawinan Campuran Beda Negara Yang

Tidak Di Daftarkan Di Kantor Catatan Sipil Negara Republik Indonesia

(Studi Kasus Di Kantor Catatan Sipil Pemerintah Kota Batam)”

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan sebelumnya,

maka peneliti dapat merumuskan masalah pada penelitian ini adalah sebagai
9

berikut :

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang perkawinan campuran beda

negara yang tidak di daftarkan di Kantor Catatan Sipil Negara

Republik Indonesia (studi kasus di Kantor Catatan Sipil Pemerintah

Kota Batam)?

2. Apa yang menjadi hambatan dalam perkawinan campuran beda

negara yang tidak di daftarkan di Kantor Catatan Sipil Negara

Republik Indonesia (studi kasus di Kantor Catatan Sipil Pemerintah

Kota Batam)?

3. Tujuan penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk menjawab dan

menganalisa berbagai pertanyaan yang tertera dalam rumusan masalah. Adapun

tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang perkawinan campuran beda

negara yang tidak di daftarkan di Kantor Catatan Sipil Negara Republik

Indonesia (studi kasus di Kantor Catatan Sipil Pemerintah Kota Batam).

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan perkawinan campuran beda

negara yang tidak di daftarkan di Kantor Catatan Sipil Negara Republik

Indonesia (studi kasus di Kantor Catatan Sipil Pemerintah Kota Batam).

4. Kegunaan/Manfaat Penelitian

Peneliti berharap bahwa dengan adanya penelitian ini dapat membawa


10

manfaat kepada beberapa pihak sebagai berikut:

1. Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan sebagai bekal

dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh di bangku kuliah, dan

dapat menjadi bahan pelajaran dan pengaplikasian ilmu pengetahuan

di bidang hukum, khususnya dalam menangani kasus perkawinan

campuran beda negara yang tidak di daftarkan di Kantor Catatan Sipil

Negara Republik Indonesia.

b. Diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi lembaga-

lembaga atau bagi para Warga Negara Indonesia khusus warha Batam

dan juga dari pihak kantor urusan agama (KUA) dalam hal tertib

administrasi perihal perkawinan campuran beda kewarganegaraan

serta Dinas Kependudukan dan Sipil (DUKCAPIL) di masing-masing

daerah terkait data kependudukan.

2. Teoritis

a. Sebagai upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya

di bidang hukum terkait dengan perkawinan campuran. Sehingga bisa

menjadi acuan dan rujukan bagi pada dosen dan mahasiswa di

Universitas Batam.

b. sebagai bahan kajian penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan

bermanfaat bagi masyarakat yang kurang memahami prosedur

perkawinan campuran beda negara.


11

5. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran dan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh

penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Batam menyatakan bahwa

skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Perkawinan Campuran Beda Negara

Yang Tidak Di Daftarkan Di Kantor Catatan Sipil Negara Republik

Indonesia” belum diteliti oleh peneliti lain dan dinyatakan asli, maka penulis

mengambil judul ini sebagai judul skripsi.

6. Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian

Pengkajian ini masuk dalam peneltian hukum yang normatif, untuk itu

pengkajian ini mempergunakan metode penelitian normatif.11 Namun

demikian tetap akan menggunakan data empiris12 sebagai pendukung.

Dengan demikian pokok permasalahan diteliti secara yuridis normatif.

1) Penelitian Hukum Normatif

Penelitian hukum jenis ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan

tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada

perpustakaan karna akan membutuhkan data-data yang bersifat

sekunder pada perpustakaan. Dalam penelitian hukum normatif yang

tertulis dikaji dari berbagai aspek seperti aspek teori, filosofi,

perbandingan, struktur/komposisi. Konsistensi, penjelasan umum dan

11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali,
Jakarta, 1990, hlm. 15. Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder belaka.
12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, ibid, Penelitian empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan cara
meneliti data-data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Pemikiran empiris ini disebut
juga pemikiran sosiologis.
12

penjelasan pada setiap pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu

undang-undang, sehingga bisa kita simpulkan pada penelitian hokum

normatif mempunyai cakupan yang luas.

2) Penelitian Hukum Empiris

Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian

hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan

meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat.

Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam hubungan

hidup di masyarakat maka metode penelitian hukum empiris dapat

dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Dapat dikatakan bahwa

penelitian hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam

suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.

3) Penelitian Hukum Normatif – Empiris

Metode penelitian hukum normatif empiris ini pada dasarnya

merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan

adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian

normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif

(undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu

yang terjadi dalam suatu masyarakat. 

b. Metode Pendekatan
13

Karena dalam penelitian ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif,

maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan

dan pendekatan konsep. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian

peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian dan

yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang di dalam ilmu hukum.

c. Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel

1) Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kantor Catatan Sipil Pemerintah Kota

Batam, Kepulauan Riau – Indonesia.

2) Populasi

Populasi penelitian terhadap permasalahan yang diangkat yaitu

masyarakat Kota Batam yang melakukan perkawinan campuran.

3) Sampel

Sampel penelitian ditujukan kepada kasus perkawinan campuran yang

idak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama di

Batam, atas nama Mohammad Zamri berkewarganegaraan singapura

dan Novianti kewarganegaraan Indonesia.

d. Alat Pengumpulan Data

Suatu penelitian membutuhkan data yang lengkap, dalam hal ini

dimasudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai validasi

dan reabilitas yang cukup tinggi. Pengumpulan data mempunyai hubungan

erat dengan sumber data, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh
14

data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang

diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini penulis

menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi bahan

hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan dan bahan-

bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer

sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai

penunjang dari bahan hukum primer, sebagai contoh buku-buku, jurnal,

majalah dan internet.

e. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Penelitian ini termasuk kategori penelitian kepustakaan (Library

Research). Oleh karena itu teknik yang digunakan adalah pengumpulan

data literer yaitu penggalian bahan-bahan pustaka yang koheren dengan

objek pembahasan yang dimaksud, atau proses penghimpunan data dari

literatureliteratur yang sesuai dengan objek pembahasan

f. Prosedur Analisis Data

Data yang diperoleh dari data primer dan data sekunder akan diolah dan

dianalisis berdasarkan rumusan masalah yang telah diterapkan sehingga

diharapkan dapat diperoleh gambaran yang jelas. Analisis data yang

digunakan adalah analisis data yang memberikan gambaran secara jelas

terhadap objek yang dibahas secara kualitatif dan selanjutnya data tersebut

disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan

menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan

penelitian ini.
15

7. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan skripsi ini disusun dalam empat bab, antara

lain sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan
Merupakan bab pendahuluan yang berisi alasan pemilihan judul,
permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode
penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Teoritis Perkawinan Campuran


Pada bab ini berisi kerangka teori mengenai tinjauan yuridis
tentang perkawinan campuran beda kewarganegaraan, yang
meliputi pengertian perkwinan beda kewarganegaraan,
ketentuan dan syarat Administrasi kependudukan, sanksi dan
motif terjadinya perkawinan campuran beda kewarganegaraan
dan juga membahas tentang pelaksanaan perkawinan campuran
beda kewarganegaraan di tinjau dari Undang-undang No 24
Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan.

BAB III Pemaparan Data dan Hasil Penelitian


Pada bab ini merupakan studi kasus perkawinan csmpuran yang
terjadi di masyarakat Indonesia, tentang gambaran pasangan
yang melangsungkan perkawinan campuran beda
kewarganegaraan yang tidak didaftarkan sebagai obyek
penelitian, hal-hal yang melatar belakangi terjadinya
pelaksanaan perkawinan campuran, dan data-data tentang proses
administrasi data kependudukan berdasarkan Undang-undang.

BAB IV Penutup
Bab ini merupakanbabyang paling akhir dari pembahasan
skripsi yang berisikan kesimpulan dari seluruh pembahasan dan
saran-saran.
16
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kerangka Teori

a. Perkawinan

Di dalam Pasal 1 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dikatakan bahwa

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha
Esa“.13

Pengertian perkawinan menurut Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan bukan hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja,

akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, sehingga oleh

karenanya sah atau tidaknya suatu perkawinan digantungkan sepenuhnya pada

hukum masing - masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh rakyat

Indonesia.14

Menurut Pasal 26 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata dikatakan

Undang - Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan Perdata

dan dalam Pasal 81 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa

tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak

membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan dihadapan

pegawai pencatatan sipil telah berlangsung Pasal 81 Kitab Undang - Undang

Hukum Perdata ini diperkuat pula oleh Pasal 530 ayat (1) Kitab Undang -
13
K.wantjik saleh, Hukum Perkawinan Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm 14
14
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum Perkawinan, Alumni, Bandung, 1978, hlm 9

17
18

Undang Hukum Pidana yang menyatakan seorang petugas agama yang

melakukan upacara perkawinan yang hanya dapat dilangsungakan dihadapan

pejabat catatan sipil, sebelum dinyatakan kepadanya bahwa pelangsungan

dihadapan pejabat itu sudah dilakukan, diancam dengan pidana denda paling

banyak Rp. 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah) . Kalimat yang hanya dapat

dilangsungkan dihadapan pejabat catatan sipil tersebut menunjukkan bahwa

peraturan ini tidak berlaku bagi mereka yang berlaku hukum Islam, hukum

Buddha-Hindu, dan Hukum Adat, yaitu orang - orang yang dahulu disebut

pribumi (Inlander) dan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) tertentu di luar

orang Cina.15

Selain kesimpang siuran perkawinan yang berlaku di zaman Hindia

Belanda itu, jelas bahwa menurut perUndang - Undangan yang tegas dinyatakan

dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata, perkawinan itu hanya dilihat dari

segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan. Hal mana jelas bertentangan

dengan falsafah Negara Pancasila yang menempatkan ajaran ke Tuhanan Yang

Maha Esa di atas segala - galanya. Apalagi menyangkut masalah perkawinan

yang merupakan perbuatan suci (sakramen) yang mempunyai hubungan erat

sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja

mempunyai unsur lahir dan jasmani, tetapi juga unsur rohani dan batin

mempunyai peranan yang penting.

Dengan demikian jelas nampak perbedaan pengertian tentang perkawinan

menurut Kitab Undang - Undang Hukum Perdata dan menurut Undang - Undang

15
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum adat, Hukum
agama, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm 7
19

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut Kitab Undang -

Undang Hukum Perdata hanya sebagai “hubungan keperdataan” sedangkan

perkawinan menurut undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan “perikatan

keagamaan”.16 Hal mana dilihat dari tujuan perkawinan yang dikemukakan

dalam Pasal 1 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Kalimat

demikian itu tidak ada sama sekali dalam Kitab Undang - Undang Hukum

Perdata.

Pengertian perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan perlu dipahami benar oleh

masyarakat. Oleh karena itu merupakan landasan pokok dari aturan Hukum

Perkawinan lebih lanjut, baik yang terdapat dalam Undang - Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam peraturan lainnya yang

mengatur tentang perkawinan.

b. Syarat – Syarat Perkawinan Menurut Undang – Undang Nomor 1

Tahun 1974 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2019 tentang Perkawinan

Seseorang yang akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi

syarat-syarat yang ditentukan Undang - undang. Berhubung syarat - syarat

perkawinan telah diatur dalam Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974

16
Log. Cit
20

sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perkawinan dan Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975, maka syarat - syarat

perkawinan yang diatur dalam ketentuan perundang - undangan lama dinyatakan

tidak berlaku.17

Perkawinan yang akan dilangsungkan harus didasarkan atas persetujuan

kedua calon mempelai (Pasal 6 Undang - Undang Perkawinan). Sebagaimana

dijelaskan dalam penjelasannya maksud dari ketentuan tersebut, agar suami dan

isteri yang akan kawin itu kelak dapat membentuk keluarga yang kekal dan

bahagia, dan sesuai pula dengan Hak Asasi Manusia, maka perkawinan harus

disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut,

tanpa ada paksaan dari pihak manapun. 18 Adapun syarat - syarat yang diatur di

dalam Pasal 6 Undang – Undang Perkawinan sebagai berikut :

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.


2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksud ayat (2) cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup
atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup
dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat - pendapat antara orang yang
disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan
dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
izin setelah lebih dahulu mendengar orang - orang tersebut dalam ayat
(2), (3) , dan (4).

17
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,
2008, hlm 11
18
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm 42
21

6. ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan (5), berlaku sepanjang


hukum masing - masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.19

Disamping itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana

diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan

juga mengatur tentang persyaratan umur minimal bagi calon suami dan calon

isteri serta beberapa alternatif lain untuk mendapatkan jalan keluar apabila

ketentuan umur minimal tersebut belum terpenuhi. Dalam hal ini Pasal 7 Undang

– Undang Perkawinan mengatur sebagai berikut :

1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19


(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam
belas) tahun.
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) Pasal ini dapat meminta
3. dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain untuk ditunjuk oleh
kedua orang tua pria maupun pihak wanita ;
4. Ketentuan – ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua
orang tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang – Undang ini,
berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal
ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).2

Menurut Ko Tjay Sing, syarat – syarat untuk melangsungkan perkawinan

ada 2 , yaitu :20

2. Syarat materiil

Yaitu syarat mengenai orang – orang yang hendak kawin dan izin -

izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal yang

ditentukan oleh Undang - Undang. Selanjutnya syarat materiil dibagi

2 yaitu:

3. Syarat - syarat mutlak yaitu, syarat yang harus

dipenuhi oleh setiap orang yang hendak kawin,


19
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm 40 – 41
20
Ibid, hlm 41 – 42
22

dengan tidak memandang dengan siapa ia hendak

kawin.

4. Syarat relatif yaitu, syarat - syarat bagi pihak yang

hendak dikawin. Seorang yang telah memenuhi

syarat materiil multlak diperbolehkan kawin, tetapi

ia tidak boleh kawin dengan setiap orang. Dengan

siapa hendak kawin, harus memenuhi syarat

materiil relatif. Syarat - syarat tersebut adalah :

i. Perkawinan dilarang antara dua orang yang :

1. Berhubungan darah dalam garais keturunan ke bawah atau

ke atas;

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping,

yaitu antara saudara, antara seorang saudara dengan

saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara

neneknya

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu,

dan ibu – bapak tiri;

4. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan

dan bibi susuan;

5. Berhubungan saudara dengan isteri, atau sebagai bibi atau

kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri

lebih dari seorang;

6. Yang mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan


23

lain yang berlaku sekarang (Pasal 8 Undang - Undang

Perkawinan).

ii. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain

tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam

Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang - Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan (Pasal 9 Undang - Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan).

iii. Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu

dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka

diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,

sepanjang bahwa masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan

lain (Pasal 10 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan).

5. Syarat formil

Syarat formil terdiri dari formalitas yang mendahului perkawinannya.

Syarat - syarat formil diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9

Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975, yaitu terdiri dari 3 tahap,

yaitu :

a. Pemberitahuan kepada pegawai pencatat perkawinan;

b. Penelitian syarat – syarat perkawinan;

c. Pengumuman tentang pemberitahuan untuk melangsungkan

perkawinan.21
21
Ibid, hlm 24
24

Adapun maksud dari pengumuman ini ialah untuk memberitahukan

kepada siapa saja yang berkepentingan untuk mencegah maksud dari

perkawinan itu, karena alasan – alasan tertentu. Sebab dapat saja

terjadi bahwa suatu hal yang menghalangi suatu perkawinan lolos

dari perhatian pegawai catatan sipil dan pengumuman tadi

mempunyai maksud untuk berfungsi sebagai pengawas yang

dilakukan oleh khalayak ramai.22

c. Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran terdiri dari dua kata yaitu perkawinan dan

campuran, perkawinan secara bahasa yaitu menghimpun atau mengumpulkan. 23

Campuran menurut bahasa adalah sesuatu yang tercampur, gabungan atau

kombinasi, peranakan (Bukan keturunan asli).24 Menurut istilah perkawinan

campuran yaitu sebagaimana yang disebutkan dalamUndang- undang No. 1

Tahun 1974 pasal 57 perkawinan campuran adalah Perkawinan antara dua orang

yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan

kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Menurut pasal 58 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa

Bagi orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan

campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami atau isterinya dan

dapat pula kehilangan kewarganegaraan, menurut cara-cara yang telah

22
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, PT. Rineka Cipta, Jakarta,
2000, hlm 110
23
Dahlan Abdul Azis, Esiklopedi Hukum Islam.., hlm. 1329
24
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramediaa Pustaka Utama, 2011,
hlm. 239
25

ditentukan dalam UU kewarganegaraan RI yang berlak.15 Pasal 57 hanya

membatasi makna perkawinan campuran pada perkawinan antara seorang warga

negara RI dengan seorang yang bukan warga negara RI. Ketentuan lebih lanjut

mengenai perkawinan campuran ini terdapat dalam pasal 59 sampai pasal 62

Undang-undang Perkawinan. Jadi Perkawinan campuran yang dijelaskan di

dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah perkawinan karena

perbedaan kewarganegaraan atau berbeda paham hukumnya, bukanlah campuran

yang disebabkan perbedaan agama. Mengenai perkawinan campuran terdapat

beberapa pengertian. khusus didalam perundangan terdapat perbedaan pengertian

antara yang dinyatakan dalam Peraturan tentang Perkawinan Campuranatau

“Regeling Op de Gemengde Huwelijken‟ (RGH) KB. 29 Mei 1896 nr.23 S. 1898

nr. 158 dan yang dinyatakan dalam Undang-undang no. 1 tahun 1974 yang

sekarang berlaku. Perkawinan yang dimaksud dalam Undang-undang no. 1 tahun

1974 ialah:

“Perkawinan campuran antar warga Negara yang berbeda, misalnya


antara warga Negara Indonesia keturunan Cina dengan orang Cina
berkewarganegaraan Republik Rakyat Cina,atau perkawinan antara
warga Negara Indonesia dengan warga Negara Belanda’”

Jadi ada tiga pengertian perkawinan campuran, yaitu perkawinan antara

kewarganegaraan, perkawinan antar adat, dan perkawinan antar agama”.

Menurut G.H.R. pasal 1, arti perkawinan campuran adalah perkawinan antara

orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan.

Definisi ini sangat luas jangkauannya, tidak membatasi arti perkawinan

campuran pada perkawinan-perkawinan antar warga negara Indonesia atau antar

penduduk Indonesia dan dilaksanakan di Indonesia, asalkan pihak yang


26

melaksanakan perkawinan di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan

adalah perkawinan campuran.

d. Syarat Perkawinan Campuran

Seorang yang akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat-

syarat yang ditentukan Undang-undang. Syarat perkawinan telah diatur dalam

Undang-undang Nomor Perkawinan dan Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun

1975, maka syarat-syarat perkawinan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku.25

Perkawinan yang akan dilangsungkan harus didasarkan atas persetujuan

kedua calon mempelai.26 Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasannya maksud

dari ketentuan tersebut, agar suami dan isteri yang akan kawin itu kelak dapat

membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan Hak Asasi

Manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang

melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.27

e. Status Kewarganegaraan

Apatride merupakan istilah untuk orang-orang yang tidak mempunyai

status kewarganegaraan. Sedangkan, bipatride merupakan istilah yang

digunakan untuk orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap

atau dengan istilah lain dikenal dengan dwi kewarganegaraan. Sedangkan yang

dimaksud dengan multipatride adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan

status kewarganegaraan seseorang yang memiliki dua atau lebih status


25
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Badan Penerbit Universitas diponegoro, Semarang,
2008, hlm. 11
26
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Lembaran Negara tahun 1974 No. 1,
Tambahan Lembaran Negara No.27
27
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm.42
27

kewarganegaraan.

Kasus orang-orang yang tidak memiliki status kewarganegaraan,

merupakan sesuatu yang mempersulit orang tersebut dalam konteks menjadi

penduduk pada suatu negara. Mereka akan dianggap sebagai orang asing, yang

tentunya akan berlaku ketentuan-ketentuan peraturan atau perundang-undangan

bagi orang asing, yang selain segala sesuatu kegiatannya akan terbatasi, juga

setiap tahunnya diharuskan membayar sejumlah uang pendaftaran sebagai orang

asing.

Kasus kewarganegaraan dengan kelompok bipatride, dalam realitas

empiriknya, merupakan kelompok status hukum yang tidak baik, karena dapat

mengacaukan keadaan kependudukan di antara dua negara tersebut, karena itulah

tiap negara dalam menghadapi masalah bipatride dengan tegas mengharuskan

orang-orang yang terlibat untuk secara tegas memilih salah satu di antara kedua

kewarganegaraannya.

Kondisi seseorang dengan status berdwi kewarganegaraan, sering terjadi

pada penduduk yang tinggal di daerah perbatasan di antara dua negara. Dalam

hal ini, diperlukan peraturan atau ketentuan-ketentuan yang pasti tentang

perbatasan serta wilayal territorial, sehingga penduduk di daerah itu dapat

meyakinkan dirinya termasuk kedalam kewarganegaran mana di antara dua

negara tersebut.28

Warga negara merupakan anggota sebuah negara yang mempunyai

tanggung jawab dan hubungan timbal balik terhadap negaranya. Seseorang yang

diakui oleh suatu negara haruslah ditentukan berdasarkan ketentuan yang telah
28
Ibid., 78.
28

disepakati dalam negara tersebut. ketentuan tersebut menjadi asas atau pedoman

untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang. Setiap negara mempunyai

kebebasan dan kewenangaan untuk menentukan asas kewarganegaraan

seseorang.

Dalam menerapak asas kewarganegaraan ini dikenal dengan 2 pedoman

yaitu, asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewarganegaraan

berdasarkan perkawinan.

1. Dari Sisi Kelahiran Pada umumnya, penentuan kewarganegaraan

berdasarkan pada sisi kelahiran seseorang dikenal dengan dua asa

kewarganegaraan, yaitu ius soli dan ius sanguinis. Ius soli berarti

pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan tempat atau daerah

kelahiran, sedangkan ius sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan

berdasarkan darah atau keturunan.

Sebagai contoh, jika sebuah negara menganut asas ius soli, maka

seseorang yang dilahirkan di negara tersebut mendapat hak sebagai

warganegara. Sedangkan apabila sebuah negara menganut asas ius

sanguinis, maka seseorang yang lahir dari orang tua yang memiliki

kewarganegaraan suatu negara maka anaknya juga akan memiliki

kewarganegaraan yang sama dengan orang tuanya. Pada awalnya asas

kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini hanya satu ius soli saja. Hal

ini didasarkan pada anggapan bahwa karena seseorang lahir di suatu

wilayah negara, maka otomatis dan logis ia menjadi warga negara

tersebut. akan tetapi dengan semakin tingginya mobilitas manusia,


29

diperlukan suatu asas lain yang tidak hanya berpatokan terhadap tempat

kelahiran saja. Selain itu, kebutuhan terhadap asas lain berdasarkan

realitas empirik bahwa ada orang tua yang memiliki status

kewarganegaraan berbeda. Jika tetap menganut assa ius soli, maka sia

anak hanya akan mendapatkan status kewarganegaraan ibunya saja,

sementara ia tidak mempunyai hak atas status kewarganegaraan

bapaknya. Atas dasar itulah maka asasius sanguinis dimunculkan.

2. Dari sisi perkawinan Kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat

melalui asas perwakinan yang mencangkup asas kesatuan hukum dan

asas persamaan derajat. Asas kesatuan hukum berdasarkan pada

paradigma bahwa suami- istri ataupun iktan keluarga merupakan inti

masyarakat yang meniscayakan suatu sejahtera, sehat dan tidak terpecah.

Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, suami-istri ataupun

keluarga yang baik perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan bulat.

Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam keluarga atau suami-

istri maka semuanya harus tunduk pada hukum yang sama. Dengan

adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan

atas dasar hukum yang sama tersebut, meniscayakan adanya

kewarganegaraan yang sama, sehingga masing-masing tidk terdapat

perbedaan yang dapat menganggu keutuhan dan kesejahteraan keluarga.29

f. Status Kewarganegaraan

Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa


29
Azyumardi Azra, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hoidayatullah Jakarta, 2003),74-76.
30

syarat-syarat yang ditentukan menurut hukum yang berlaku bagi masing-masing

pihak telah terpenuhi. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut telah

terpenuhi dan tidak ada halangan untuk melangsungkan perkawinan, kepada

masing-masing calon mempelai oleh pejabat yang menurut hukum

masingmasing berwenang mencatat perkawinan diberikan surat keterangan

bahwa syarat-syarat telah terpenuhi.30

Jika menurut hukum yang berlaku bagi yang bukan warga Negara

Indonesia membolehkan, maka surat keterangan tersebut diatas dapat dibuat oleh

pejabat yang berwenang pada perwakilan negaranya di Indonesia. Jika pejabat

yang berwenang itu menolak untuk memberikan surat keterangan, maka atas

permintaan yang berkepentingan, Pengadilan dapat memberikan keputusan

apakah penolakan itu beralasan atau tidak. Jika pengadilan memutuskan bahwa

penolakan itu tidak beralasan, maka keputusan Pengadilan itu menjadi pengganti

surat keterangan tersebut. Surat keterangan atau surat keputusan pengganti

keterangan itu tidak berlaku lagi jika dalam masa enam bulan sesudah

keterangan itu diberikan tidak dilangsungkan.31

Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.

Bagi yang perkawinannya dilakukan menurut agama Islam maka dicatat di KUA

Kecamatan. Bagi yang perkawinannya dilakukan menurut agama selain Islam

maka dicatat di Kantor Catatan Sipil.

30
Direktorat jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Proyek Peningkatan sarana
Keagamaan Islam Zakat dan Wakaf, Buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah, 1998-1999, hlm. 64
31
Ibid., hlm. 65
31

g. Undang–Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi

Kependudukan Mengenai Pencatatan dan Penerbitan Biodata

Penduduk

a. Pencatatan dan Penerbitan Biodata penduduk

Dalam Pasal 4 dijelaskan bahwa Penduduk warga negara

Indonesia wajib melapor kepada Instansi Pelaksanaan melalui Kepala

Desa/Lurah dan Camat untuk dicatatkan biodatanya dan bagi warga

Negara Indonesia yang datang dari luar negeri karena pindah, Orang

Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas dan Orang Asing yang

memiliki Izin Tinggal Tetap wajib melapor kepada Instansi Pelaksana

untuk dicatatat biodatanya. Pencatatan Biodata Penduduk dilakukan

sebagai dasar pengisian dan pemutakhiran database kependudukan.

Kemudian dalam Pasal 5 dijelaskan Pencatatan biodata penduduk

Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat

(1) dilakukan setelah memenuhi syarat berupa Surat Pengantar dari

RT dan RW Dokumen Kependudukan yang harus dimiliki, antara lain

Kutipan Akta Kelahiran, Ijazah atau Surat Tanda Tamat Belajar, KK,

KTP, Kutipan Akta Perkawinan atau Kutipan Akta Nikah, atau

Kutipan Akta Perceraian bagi pasangan yang sudah bercerai. Serta

Surat Keterangan Kepala Suku atau Adat setempat, khusus bagi

komunitas terpencil atau suku terasing.

Pencatatan biodata penduduk bagi Warga Negara Indonesia yang

datang dari luar negeri karena pindah sebagaimana dimaksud pada


32

Pasal 4 ayat (2) dilakukan setelah memenuhi syarat berupa Papor;

atau Dokumen Pengganti Paspor.

Pencatatan biodata penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal

4 ayat (2) dilakukan setelah memenuhi syarat berupa Paspor;Kartu

Izin Tinggal Terbatas; danBuku Pengawasan Orang Asing.Pencatatan

biodata penduduk bagi Orang Asing yang memiliki Surat Izin

Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)

dilakukan setelah memenuhi syarat berikut Papor;Kartu Izin Tinggal

Tetap; dan Buku Pengawasan Orang Asing.

Berikutnya adalah Pasal 6 bahwa Penduduk warga negara

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) untuk

pencatatan biodatanya membawa persyaratan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 5 ayat (1). Pencatatan biodata penduduk di Desa atau

Kelurahan dilakuakan dengan tata cara Penduduk mengisi dan

mennandatangani formulir biodata penduduk warga negara Indonesia.

Petugas registrasi mencatat dalam buku harian peristiwa

kependudukan dan peristiwa penting Petugas registrasi melakukan

verifikasi dan validasi data penduduk. Kepala desa/lurah

menandatangani formulir biodata penduduk, Petugas registrasi

menyampikan formulir biodata penduduk kepada Camat. Pencatatan

biodata penduduk di kecamatan, dilakukan dengan tata cara:

a. Petugas registrasi melakukan verifikasi dan validasi data

penduduk:
33

b. Camat menandatangani formulir biodata penduduk.

c. Petugas registrasi menyampaikan formulir biodata penduduk

kepada instansi pelaksana sebagai dasar untuk penerbitan

dokumen biodata penduduk.

Penerbitan dokumen biodata penduduk Warga Negara Indonesia

oleh instansi pelaksana, dilakukan dengan tata cara :

a. Petugas registrasi melakukan verifikasi dan validasi formulir

biodata penduduk serta merekam data kedalam database

kependudukan untuk mendapatkan NIK.

b. Kepala instansi pelaksana menerbitkan dan menandatangani

dokumen biodata penduduk setelah yang bersangkutan

mendapatkan NIK dengan sistem informasi administrasi

kependudukan.

Kemudian dalam Pasal 7 dijelaskan bahwa Warga negara

Indonesia yang datang dari luar negeri karena pindah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), untuk pencatatan biodatanya

membawa persyaratan sebagimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).

Pencatatan biodata penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

dilakukan dengan tata cara Penduduk mengisi dan menandatangani

formulir biodata penduduk warga negara Indonesia Petugas registrasi

melakukan verifikasi dan validasi data penduduk kemudian Petugas

registrasi menandatangani formulir biodata penduduk dan merekam

ke dalam database kependudukan untuk mendapatkan NIK. Kepala


34

instansi pelaksana menerbitkan dan menandatangani biodata

penduduk setelah yang bersangkutan mendapatkan NIK dengan

sistem informasi administrasi kependudukan.

Dalam Pasal 8 bawah Orang asing yang memiliki izin tinggal

terbatas dan orang asing yang memiliki ozon tinggal tetap

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), untuk pencatatan

biodatanya membawa persyaratan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4). Pencatatan biodata orang asing

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tata cara :

a. Orang asing yang memiliki izin tinggal terbatas mengisi dan

menandatangani formulir biodata orang asing tinggal terbatas

b. Orang asing yang memiliki izin tinggaal tetap mengisi dan

menandatangani formulir biodata orang asing tinggal tetap.

c. Petugas registrasi menandatangani formulir biodata orang

asing dan merekam ke dalam database kependudukan untuk

mendapatkan NIK.

(1) Kepala instansi pelaksana menerbitkan dan menandatangani biodata

penduduk setelah yang bersangkutan mendapatkan NIK dengan

sistem informasi administrasi kependudukan.

a) Pasal 9

(1) Dalam hal terjadi perubahan biodata bagi penduduk warga negara

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), warga

negara indonesia yang datang dari luar negeri karena pindah atau
35

orang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), wajib

melaporkan kepada instansi pelaksana untuk dicatatkan perubahan

biodatanya.

(2) Pencaatatan perubahan biodata sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan dengan menggunakan :

a) Surat pernyataan perubahan data kependudukan

b) Formulir perubahan biodata penduduk warga negara Indonesia

c) Formulir perubahan biodata orang asing tinggal terbatas atau

d) Formulir perubaahan hiodata orang asing tinggal tetap

(3) Perunahan pencatatan biodata penduduk warga negara Indonesia di

Kelurahan/Desa, dilakukan dengan cara :

a) Penduduk mengisi dan menandatangani surta pernyataan

perubahan data kependudukan dan formulir perubahan biodata

penduduk warga negara Indonesia

b) Petugas registrasi mencatat dalam buku harian peristiwa

kependudukan dan peristiwa penting

c) Petugas registrasi melakukan verifikasi dan validasi data

kependudukan

d) Kepala desa/lurah menandatangani formulir perubahan biodata

penduduk

e) Petugas registrasi menyampaikan surat pernyataan perubahan data

kependudukan dan formulir perubahan biodata penduduk warga

negara Indonesia kepada Camat


36

(4) Pencatatan perubahan biodata penduduk warga negara Indonesia di

kecamatan dilakukan dengan tata cara :

a) Petugas registrasi melakukan verifikasi dan validasi data

penduduk

b) Camat menandtangani formulir perubahan biodata oenduduk

warga negara Indonesia

c) Petugas registrasi menyampaikan formulir perubahan biodata

penduduk warga negara Indonesia kepada Inatansi pelaksana.

(5) Pencatatan perubahan biodata penduduk warga negara Indonesia di

instansi pelaksana dilakukan dengan tata cara melakukan verifikasi

dan validasi data penduduk serta merekam data kedalam database

kependudukan.

(6) Kepala instansi pelaksana menerbitkan dan menandatangani biodata

penduduk yang telah diubah.

(7) Pencatatan biodata penduduk bagi orang asing yang memiliki izin

tinnggal tetap di instansi pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), dilakukan dengan tata cara :

(8) Orang asing yang memiliki izin tinggal terbatas mengisi dan

menandatangani surat pernyataan perubahan data kependudukan dan

formulir perubahan biodata orang asing tinggal terbatas

(9) Orang asing yang memiliki izin tinggal tetap mengisi dan

menandatangani surat pernyataan perubahan data kependudukan dan

formulir perubahan biodata orang asing tinggal tetap.


37

a) Petugas registrasi melakukan verifikasi dan validasi data

penduduk

b) Petugas registrasi menandatangani formulir perubahan biodata

prang asing dan merekam kedalam database kependudukan.

(10) Kepala instansi pelaksana menerbitkan dan menandatangani biodata

orang asing yang telah diubah.

h. Perkawinan Antar Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara

Asing Setelah Berlakunaya Undang – Undang Perkawinan

Dari uraian terdahulu, kita mengetahui bahwa keadaan hukum

perkawinan di Indonesia adalah bercorak ragam sifatnya. Bagi setiap golongan

penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan penduduk

yang lainnya. Keadaan ini telah menimbulkan persoalan hukum antar golongan

di bidang perkawinan, yaitu peraturan hukum perkawinan yang manakah yang

akan diberlakukan terhadap suatu perkawinan antara dua orang yang berbeda

golongan penduduk dan hukumnya.

Dengan maksud memecahkan persoalan itulah kemungkinan Pemerintah

Hindia Belanda dahulu dengan penetapan Raja tanggal 29 Desember 1896

Nomor 23 (Staatblad 1898 Nomor 15) telah mengeluarkan peraturan tentang

perkawinan campuran (Religion op de Gemengde Huwelijken) yang dalam

perjalanan sejarahnya kemudian telah dirubah dan ditambah yang dimuat dalam

beberapa Staatblads (Lembaran Negara Hindia Belanda). 32 Pasal 1 dari Religion

op de Gemengde Huwelijken (GHR) itu menyatakan bahwa yang dinamakan

32
http:// Perkawinan Campuran Dalam Hukum Positif di Indonesia, di akses 04 Juni 2022
38

perkawinan campuran ialah “Perkawinan antar orang - orang yang di Indonesia

tunduk kepada hukum - hukum yang berlainan”.

Menurut pendapat kebanyakan ahli hukum dan Yurisprudensi yang

dimaksudkan diatur selaku perkawinan Campuran itu ialah perkawinan antara

seorang laki - laki dan seorang perempuan yang masing - masing pada umumnya

tunduk atau takluk pada hukum yang berlainan.

Dalam menentukan hukum mana yang berlaku bagi orang - orang yang

melakukan perkawinan campuran, GHR (Religion op de Gemengde Huwelijken)

selanjutnya menyatakan bahwa dalam hal seorang perempuan melakukan

perkawinan campuran, maka ia selama pernikahan itu belum putus, tunduk

kepada hukum yang berlaku bagi suaminya baik dilapangan hukum publik

maupun hukum sipil (Pasal 2 Religion op de Gemengde Huwelijken). Dengan

kata lain perempuan yang melakukan perkawinan campuran berubah statusnya

menjadi mengikuti status pihak suaminya. Jadi ada penggantian hukum, dari

hukumnya sendiri menjadi tunduk kepada hukum sang suami dengan melakukan

pemilihan hukum.

Mengenai pemilihan hukum disini, S. Gautama (Gouw Giok Siong)

mengatakan bahwa walaupun anasir memilih hukum tak demikian kentara, tetapi

anasir memilih ini dapat dikatakan nampak pula, karena adanya syarat

“toestemmnino” (persetujuan) dari pihak perempuan yang selalu disyaratkan

sebelum dapat dilangsungkan suatu perkawinan campuran.33 Pihak perempuan

dapat dikatakan mengetahui apa yang hendak diperbuatnya dengan segala akibat

- akibat yang dikehendakinya juga.


33
Ibid,
39

Hal ini yang perlu kita perhatikan adalah bahwa dalam perkawinan

campuran ini, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) GHR (Religion op

de Gemengde Huwelijken), perbedaan agama, bangsa atau asal, sama sekali tidak

menjadi halangan untuk melangsungkan perkawinan.

Setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana

diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan,

telah terjadi unifikasi di lapangan hukum perkawinan. Walaupun demikian,

pembuat Undang - Undang tidak menutup kemungkinan terjadinya perkawinan

campuran di kalangan penduduk Negara Indonesa dan karenanya masalah

perkawinan campuran ini tetap masih dapat kita jumpai pengaturannya dalam

Undang - Undang Perkawinan, yaitu sebagaimana yang diatur dalam bagian

ketiga dari bab XII, ketentuan – ketentuan lain.

Bagian ketiga dari bab XII Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, terdiri dari 6 Pasal, yaitu dimulai dari Pasal 57 sampai

dengan Pasal 62. Pasal 57 memberikan pengertian tentang apa yang

dimaksudkan dengan perkawinan campuran yaitu “perkawinan antara dua orang

yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan

kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Dari rumusan Pasal 57 di atas, kita melihat bahwa Undang – Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memperjelas pengertian

perkawinan campuran dan membatasinya hanya pada perkawinan antara seorang

Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.

Dengan demikian perkawinan antar sesama Warga Negara Indonesia


40

yang tunduk kepada hukum yang berlainan tidak temasuk ke dalam rumusan

Pasal 57 Undang – Undang Perkawinan. Hal demikian itu adalah sejalan dengan

pandangan Pemerintah Indonesia yang hanya mengenal pembagian penduduk

atau warga negara dengan bukan warga negara dan sejalan juga dengan cita –

cita unifikasi hukum yang dituangkan dalam ketentuan – ketentuan Undang –

Undang Perkawinan.

Hal pertama yang perlu mendapat perhatian ialah bahwa rumusan

perkawinan menurut Undang - Undang Perkawinan, membatasi diri hanya pada

perkawinan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.

Sedangkan perkawinan antara sesama Warga Negara Indonesia yang tunduk

pada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan antara agama, tidak termasuk

dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut Undang – Undang

Perkawinan.

Ada beberapa perbedaan pengertian mengenai istilah perkawinan

campuran diantaranya yang dinyatakan dalam perundang - undangan dan yang

sering dinyatakan oleh anggota masyarakat sehari - hari. Khususnya didalam

perundang - undangan, Seperti kita ketahui, bahwa sebelum Undang - Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku secara efektif di Indonesia

terdapat beraneka ragam hukum perkawinan, antara lain : tentang perkawinan

campuran atau Regeling Op de Gemengde Huwelijken Stb. 1898 Nomor 158

selanjutnya disebut GHR (Regeling Op de Gemengde Huwelijken).

Mengenai perkawinan campuran, Undang – Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan mengaturnya didalam Pasal 57 sampai dengan Pasal


41

62. Berdasarkan Pasal 66 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan GHR dinyatakan tidak berlaku.

Adapun pengertian perkawinan campuran adalah sebagai berikut :

1. Pasal 1 GHR S. 1898 Nomor 158

Perkawinan campuran yaitu perkawinan antara orang – orang yang di

Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan. Dengan demikian yang

termasuk perkawinan campuran yaitu :

a. Perkawinan Internasional;

b. Perkawinan antar golongan

c. Perkawinan antar tempat (antar adat)

d. Perkawinan antar agama.

2. Pasal 57 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Perkawinan campuran yaitu, perkawinan antara dua orang yang di

Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan karena perbedaan

kewarganegaraan dan salah satu berkewarganegaraan Indonesia.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan dari bunyi Pasal 57 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan

campuran adalah perkawinan campuran Internasional (perkawinan yang

dilakukan oleh warganegara Indonesia dengan warganegara asing).

Dari 2 (dua) Pasal di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian

perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan lebih sempit daripada GHR, Karena Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membatasi pada “karena


42

perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan

Indonesia”, sedangkan menurut GHR “antara orang-orang yang di

Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan “ dengan tidak

ada pembatasan.

Yang dimaksud dengan hukum yang berlainan adalah karena perbedaan

kewarganegaraan, tempat, golongan dan agama. Dengan adanya

pembatasan pada perbedaan kewarganegaraan itu, maka perkawinan

antara dua orang yang berlainan golongan (umpamanya : Bumi Putra dan

Timur Asing) atau berlainan agama (umpamanya : Islam dan Kristen)

tetapi sama - sama warganegara Indonesia, tidak merupakan perkawinan

campuran menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, sedangkan menurut GHR adalah perkawinan campuran. Jadi

perkawinan campuran menurut Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan adalah sebagai berikut34 :

a. Seorang pria warganegara Indonesia kawin dengan seorang wanita

warganegara asing ; atau

b. Seorang wanita warganegara Indonesia kawin dengan seorang pria

warganegara asing.

Sehubungan dengan masalah kewarganegaraan tersebut, maka ditentukan

dalam Pasal 58 Undang – Undang Perkawinan, bahwa orang yang

melakukan perkawinan campuran itu, dapat memperoleh

kewarganegaraan dari suami atau isterinya dan dapat pula kehilangan

kewarganegaraannya, menurut cara - cara yang telah ditentukan dalam


34
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm 46
43

Undang - Undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang telah

berlaku.

Mengenai status kewarganegaraan dalam perkawinan campuran menurut

hukum positif Indonesia saat ini mengacu kepada Undang - Undang

Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Pada prinsipnya

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

menganut asas persamaan kedudukan yang mana wanita atau laki-laki

yang kawin dengan orang asing dapat kehilangan kewarganegaraan

indonesianya akibat perkawinan tersebut.

Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang – Undang Perkawinan berbunyi sebagai

berikut :

a. Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki

Warga Negara Asing kehilangan Kewarganegaraan Republik

Indonesia jika menurut hukum Negara asal suaminya,

kewarganegaraan isteri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai

akibat perkawinan tersebut

b. Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan Perempuan

Warga Negara Asing kehilangan Kewarganegaraan Republik

Indonesia jika menurut hukum Negara asal isterinya,

kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan isteri sebagai

akibat perkawinan tersebut.

Dalam Undang – Undang Perkawinan, perkawinan campuran tidak

dengan sendirinya menentukan isteri takluk pada status kewarganegaraan


44

suami, artinya tidak dengan sendirinya isteri takluk pada hukum yang

berlaku bagi suami. Jadi dari ketentuan tersebut, baik laki – laki maupun

perempuan memiliki kedudukan yang sama yang mana akan dapat

kehilangan kewarganegaraan Indonesia akibat perkawinan campuran

tersebut.

Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang – Undang Nomor

12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang mana laki-laki atau

wanita yang melakukan perkawinan campuran akan mengikuti status

isteri atau suami apabila Negara dari isteri atau suami menghendaki

demikian. Namun apabila tidak, Undang-Undang memperbolehkan

masing-masing pihak mempertahankan kewarganegaraannya.

Perkawinan antara bangsa yang terjadi di Indonesia, Undang-Undang

memberikan kesempatan bagi suami dan isteri untuk memilih

kewarganegaraannya, yang berarti suami dapat memperoleh

kewarganegaraan isteri jika ia memilih mengikuti kewarganegaraan

isterinya, demikian juga isteri dapat memperoleh kewarganegaraan suami

jika isteri dengan kehendak sendiri menentukan mengikuti

kewarganegaraan suami.35 Apabila dalam perkawinan campuran tersebut

baik suami maupun isteri masing – masing tetap pada kewarganegaraan

semula atau antara suami dan isteri menganut kewarganegaraan yang

berbeda, maka akan timbul masalah pada saat terjadi perceraian.

35
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Sahir co, Medan, 1975, hlm 240
45

2. Kerangka Pemikiran atau konsep

Realitas laju perkembangan zaman kian menuntut mobilitas warga negara

yang tidak lagi terbatas pada wilayah negaranya sendiri. Dapat kita saksikan

banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian ke luar negeri dengan

ragam tujuan, mulai dari soal pekerjaan, pendidikan sampai pada pernikahan.

Dalam hal negara tempat dimana seseorang berasal dengan negara tempat

dimana ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang

sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Namun demikian, manakala

kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat

terjadi keadaan yang mengharuskan seseorang untuk menyandang status dwi-

kewarganegaraan (double citizenship), atau sebaliknya malah menjadi tidak

berkewarganegaraan sama sekali (stateless).

Berbagai kasus permasalahan tentang perkawinan campuran yang di

alami oleh para publik figur/artis Indonesia. Pasal 57 UU No.1 Tahun 1974

tentang Perkawinan (UUP), yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah

perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Indonesia.

Pertama kasus perkawinan dari Maury Issak salah satu artis film di

Indonesia berdasarkan sumber yang peneliti akses dari halawan web

http/CNN_kabar terkini selebriti tanah air/blogspot.Maury Issak, yang menikah

dengan laki-laki warga negara Swedia, menyebut proses birokrasi Indonesia

tidak mudah. Awalnya ia berharap proses pernikahan akan semudah yang


46

disampaikan di situsweb. Persyaratan yang ada telah dipenuhi, tapi pada

praktiknya yang terjadi di Kantor Urusan Agama (KUA) tidak sesederhana itu.

Salah satu hal yang memberatkan adalah syarat surat mualaf.

Suami Mauri, yang berasal dari negara sekuler, menolak membuat surat

pernyataan keyakinan. Prosedur birokrasi pun membuat Maury terhambat untuk

melangsungkan pernikahanya. Ia mencontohkan tentang perlunya spesimen

tanda tangan kepala KUA. Ia baru tahu tentang spesimen ini saat mengurus surat

di Kemenlu dan Kemenkumham.

Karena tinggal di Jawa Timur, ia mesti bolak-balik mengurus segalanya

sendiri. Bahkan KUA di tempatnya tinggal petugas KUA bahkan tidak tahu ada

form dan kewajiban seperti itu. Berikut penjelasanya birokrasi atau peraturan-

peraturan perundang-undangan di Indonesia terntaya ada ketimpangan antara

hukum satu dengan yang lainya, dan juga karena kurangnya sosialisasi sehinga

menyebabpakn warga Negara menajdi buta hukum. Karena peraturan di

Indonesia jika ingin menikah dengan Warga Asing maka harus melalui beberapa

prosedur kusus bagi pemeluk agama Islam menikah melalui lembaga Pencatatan

Nikah Kantor Urusan Agama (KUA) bagi Agama selain Islam melalui lembaga

Pencatatan Sipil.36

Ia membandingkan proses pernikahannya di Denmark yang dianggap

sangat efektif. Mereka yang ingin menikah cukup pergi ke kommune, semacam

lembaga setingkat kecamatan di Indonesia. Syarat nikah resmi di Denmark juga

hanya paspor dan surat keterangan belum menikah. Sedangkan di Indonesia

tidak diperkenankan memiliki kewarganegaraan ganda. Salah satu harus


36
http://beritaliputan.com/betapa-rumitnya-menikah-dengan-orang-asing/, di akses 04 Juni 2022
47

mengugurkan kewarganegaraanya jika ingin pernikahanya mendapatkan legalitas

hukum.

Dalam praktiknya, warga negara asing yang ada di Indonesia bisa

memiliki beberapa jenis dokumen kewarganegaraan sementara. Ada Kitas (Kartu

Izin Tinggal Terbatas), Kitap (Kartu Izin Tinggal Tetap), dan Faskim (Fasilitas

Imigrasi). Kitas berlaku 1 hingga 2 tahun, tergantung pengunaan dan pengurusan

izinnya. Umumnya, Kitas 1 tahun berlaku untuk pekerja dan 2 tahun untuk

investor atau pelajar. Sedangkan persyaratan pengurusan Kitap adalah warga

negara asing yang sudah dua tahun menikah dengan orang Indonesia.

Warga asing tersebut juga harus membuat pernyataan integritas. Selain

itu, imigrasi juga akan mendatangi rumah bersangkutan untuk melakukan

pengecekan kebenaran mereka tinggal dan berkeluarga. Standar SOP pembuatan

Kitas dan Kitap membutuhkan waktu satu bulan. Yang kemudian jadi masalah

adalah Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda. Artinya, jika

mengajukan surat keinginan jadi warganegara, mereka harus memilih jadi orang

Indonesia atau ikut pasangannya. Bagaimana jika ikut kewarganegaraan

pasangan?Salah satu hal yang pasti adalah kita kehilangan hak-hak dasar warga

negara Indonesia, seperti kehilangan hak memiliki properti di Indonesia.

Hak lain yang hilang adalah anak dari pasangan campur bisa kehilangan

kewarganegaraan Indonesia. Hal ini diatur pada UU Nomor 12 Tahun 2006

tentang kewarganegaraan. Pasal 5 ayat 1 menyebut anak Warga Negara

Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan

belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang
48

berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia. seperti

kasus yang terjadi pada Gloria Natapradja Hamel, paskibraka asal Jawa Barat

yang sempat tidak dikukuhkan Presiden Jokowi karena memiliki paspor Prancis

pada Agustus tahun lalu.Pada kasus Gloria, ia dianggap kehilangan

kewarganegaraan karena memiliki paspor Perancis dan mengikuti

kewarganegaraan ayahnya. Selanjutnya orangtua Gloria, Ira Hartini Natapradja

Hamel, menggugat Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal 41 UU

Kewarganegaraan yang dinilai tidak memberikan kepastian hukum dan

bertentangan dengan UUD 1945.

MK kemudian menolak gugatan tersebut karena hakim menilai bahwa

hilangnya status kewarganegaraan karena kesalahan dan kelalaian yang

bersangkutan. Menurut hakim, alasan ketidaktahuan tidak bisa menjadi dasar

penuntutan apalagi membuat seseorang menjadi bebas dari hukum atau peraturan

perundang-undangan.

Gloria yang lahir pada tahun 2000 seharusnya didaftarkan ke

Kemenkumham dalam rentang waktu 1 Agustus 2006 sampai 1 Agustus 2010

jika hendak memperoleh kewarganegaraan Indonesa. Menurut Kementerian

Dalam Negeri pencatatan kehilangan status kewarganegaraan Republik

Indonesia dilakukan dalam bentuk pemberian catatan pinggir pada akte

kelahiran, serta pencabutan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga

(KK) bagi penduduk yang berubah status kewarganegaraan dari WNI menjadi

WNA.

Namun dalam kasus Gloria, selama ini ia hanya tahu bahwa ia warga
49

negara Indonesia dan tidak tahu menahu tentang UU Nomor 12 Tahun 2006

khususnya pasal 41.37 Menpora Imam Nahrawi mengatakan Gloria baru

diketahui sebagai seorang Warga Negara Asing saat dia dan teman-temannya

diminta menunjukkan paspor.Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam

Nahrawi akhirnya membeberkan alasan tak lolosnya Gloria Natapradja Hamel

sebagai anggota Apsukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2016. Menpora

bahkan menceritakan momen disaat tim seleksi menyadari jiak Gloria masih

berstatus Warga Negara Asing

a. Sanksi Pelaksanaan Administrasi Perkawinan Campuran di

Indonesia

Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 57

perkawinan yang dilakukan antara warga negara Indonesia dan warga negara

asing disebut sebagai perkawinan campuran. Dokumen dan persyaratan

administrasi untuk melaksanakan perkawinan campuran di Kantor Urusan

Agama (KUA) bagi yang beragama Islam adalah sebagai berikut:

a. Untuk calon pengantin yang berkewarganegaran Indonesia

Membuat ssurat Pernyataan belum pernah menikah (masih gadis atau

jejaka) diatas segel atau materai bernilai Rp.6000,- (enam ribu

rupiah) diketahui RT, RW, dan Lurah setempat. Kelengkapan surat

surat berupa: adanuya Surat Pengantar dari RT-RW setempat, Surat

Keterangan Nikah (N1,N2,N4) dari Kelurahan/Desa tempat domisili,

Persetujuan kedua calon pengantin (N3), Surat Rekomendasi/Pindah

Nikah bagi yag bukan penduduk asli daerah tersebut.


37
https://tirto.id/Pernikahan Raisa, di akses 04 Juni 2022
50

Selain itu harus melengkapi ;Fotokopi KTP,KK/Keterangan Domisili.

Akta Kelahiran dan Ijazah, masing-masing 2 lembar.,Fotokopi

keterangan vaksin/imunisasi TT (Tetanus Toxoid) bagi catin wanita.

Akta cerai asli bagi janda/duda yang sebelumnya bercerai hidup

Apabila salah satu ada yang meninggal dunia maka ada surat

keterangan/Akta Kematian suami/isteri dan kutipan akta nikah

terdahulu bagi janda/duda karena meninggal dunia. Kedua calon

menyPasphoto 2x3 darahkan n 3x4 latar belakang biru, masig-masing

4 lembar. Bagi anggota TNI atau Polri harus mengenakan seragam

kesatuan dan mendaptkanizin dari Komandan (dari kesatuannya) bagi

anggota TNI/Polri. Bagi yang belum berusia 21 Tahun mendaptkan

izin dari orang tua. Kemudian Taukil wali secara tertulis dari KUA

setempat bagi wali nikah. (dari pihak perempuan) yang tidak dapat

menghadiri akad nikah dan di buktikan dengan Surat keterangan

memeluk agama Islam.

b. Calon Pengantin yang berkewarganegaraan Asing

Syarat-syarat yang harus di penuhi oleh calon pengatin

berkewarganegaraan asing ialah Izin dari Kedutaan/Konsulat

perwakilan di Indonesia melampirkan Fotokopi passport yang masih

berlaku, Fotokopi VISA/KITAS yang masih berlaku dan dibuktikan

dengan Surat tanda melapor diri (STMD) dari kepolisian dan Surat

Keterangan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil apabila yang

bersangkutan menetap di Indonesia serta Fotokopi Akta Kelahiran


51

yang jika sudah menikah ataupun cerai maka harus melampirkan

surat Akta cerai bagi Janda/Duda cerai. Berikutnya adalah Pasphoto

terpisah 2x3 dan 3x4 background biru, masing-masing 4 lembar.

Bahwa di Indonesia sendiri tidak diperkenankan pernikahan lintas

agama jika beragama islam dan salah satu calon pengantinya itu

beragama lain maka harus menentukan apakah memeluk ataukah

yang lain jika memilih untuk beragama Islam maka menyertakan

Surat Keterangan memeluk Islam bagi muallaf dan juga taukil wali

secara tertulis bagi wali nikah (dari pihak Perempuan) yang tidak

dapat menghadiri akad nikah.

Semua dokumen dalam bahasa asing harus diterjemahkan ke dalam

Bahasa Indonesia (yang dilakukan oleh Penerjemah tersumpah).

Setiap negara memiliki aturan masing-masing dalam syarat dan

ketentuan administrasi warga negaranya dalam melakukan

perkawinan di Indonesia. Calon Pengantin yang berkewarganegaran

asing harap mencari informasi dan melakukan pelaporan yang sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.Kedua calon pengantin harus

mendaftarkan diri ke KUA tempat akan dilangsungkannya akad nikah

selambat-lambatnya 10 hari kerja dari waktu melangsungkan

Pernikahan.

Untuk melakukan perkawinan di luar Indonesia maka harus dapat

membuktikan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi syarat-

syarat perkawinan. Syarat pendaftaran Surat Bukti Perkawinan yang


52

pertama ialah Surat keterangan dari kepala Desa/Lurah yang

mewilayahi tempat tinggal mereka. Lampiran Fotokopi passport

dengan memperlihatkan aslinya dan juga Fotokopi dari surat bukti

perkawinan. Dang yang terakir adalah Fotokopi sertifikat Nikah dari

KBRI atau fotokopi Akta Nikah dari KBRI atau surat keterangan

KBRI setempat.

Tata Cara Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan. Ketentuan mengenai tata cara perkawinan

diatur dalam BAB III pasal 8 dan 10 Peraturan Nomor 9 Tahun 1975,

sebagai berikut38 :

Perkawinan dilangsungkan setelah sepuluh hari sejak pengumuman

kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat nikah yang dimaksud

dalam Pasal 8 Peraturan Nomor 9 Tahun 1975. Tata cara Perkawinan

Dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya. Dengan mengidahkan tata cara Perkawinan menurut

masing-masing hukum agamanya dan kepercayaanya itu, perkawinan

dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat nikah dan dihadiri dua

orang saksi. Sesaat setelah Perkawinan dilangsungkan, akta

perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat nikah lalu di

tanda tangani oleh Kedua Mempelai, Kedua orang saksi yang

menghadiri berlangsungnya perkawinan itu, Pegawai pencatat nikah.

Khusus bagi mereka yang melangsungkan Perkawinan menurut

38
Republik Indonesia, Peraturan Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undangundang Nomor
1 tahun 1974
53

agama Islam, akta perkawinan harus di tanda tangani oleh wali nikah

atau yang mewakili. Dengan Menandatangani akta perkawinan oleh

pihak-pihak yang ditentukan dalam Pasal 11 ayat (2) Peraturan

Pelaksana Nomor 9 Tahun 57 Republik Indonesia, Peraturan Nomor

9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun

1974. 36 1975 maka perkawinan itu resmi dicatat.

Menurut Hilman Hadikusuma, tata cara perkawinan adalah mengenai

pencatatan dan pemberitahuan perkawinan, tentang cara perkawinan

dan akta perkawinan.39 Pencatatan Perkawinan merupakan salah satu

syarat formil perkawinan yang harus dilakukan setelah

berlangsungnya perkawinan. Pasal 2 ayat (2) UU perkawinan

disebutkan:Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang- undangan yang berlak.40

39
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, hlm. 81
40
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Lembaran Negara tahun 1974 No. 1
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Pengaturan Hukum Tentang Perkawinan Campuran Beda Negara

yang tidak di daftarkan di Kantor Catatan Sipil Negara Republik

Indonesia (Studi Kasus di Kantor Catatan Sipil Pemerintah Kota

Batam).

Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok tanah air dan

kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi

telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara

ekspatriat kaya dan orang Indonesia.41

Jalur perkenalan yang membawa pasangan beda kewarganegaan menikah

antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja atau

bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah atau kuliah, dan sahabat

pena. Perkawinan campuran juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan

tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campuran di

Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran

ini diakomodir dengan baik dalam Perundang - Undangan di Indonesia.

Perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia dilaksanakan

berdasarkan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia. Untuk melaksanakan

perkawinan campuran, terlebih dahulu harus dipenuhi syarat - syarat materiil dan

syarat formil. Syarat formil ditentukan berdasarkan hukum personal para pihak

41
http: // Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan Hukum Indonesia, 04 Juni
2022.

17
18

(sesuai Pasal 16 AB), misalnya kewenangan atau kemampuan untuk kawin

(batas usia minimum untuk kawin, ijin orang tua dan sebagainya) untuk

membuktikan semua syarat materiil untuk melaksanakan perkawinan campuran

telah dipenuhi, maka para pihak harus memiliki surat ijin kawin dan surat

keterangan tidak ada halangan untuk kawin dari kantor catatan sipil atau

pengadilan dan negara yang bersangkutan.

Untuk syarat formal, formalitas perkawinan campuran di Indonesia

dilakukan menurut ketentuan hukum perkawinan Indonesia (Pasal 59 ayat (2)

Undang – Undang Perkawinan). Untuk keabsahan perkawinan campuran yang

dilakukan di luar wilayah Indonesia harus dilakukan menurut perkawinan yang

berlaku di negara dimana perkawinan tersebut dilangsungkan (sesuai Pasal 18

AB) dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar Undang – Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 56 ayat (2).42

Secara khusus tempat dan tata cara pencatatan Perkawinan campuran

tidak ada diatur di dalam Undang - Undang Perkawinan, akan tetapi sesuai

dengan Pasal 59 ayat (2) Undang Perkawinan dan Pasal 1 ayat (1) AB,

menegaskan bahwa bentuk suatu perbuatan hukum dilakukan menurut hukum

dimana perbuatan hukum itu dilakukan. Oleh karena itu tata cara dan pencatatan

perkawinan campuran itu dilakukan menurut hukum Nasional Indonesia. Tata

cara dari pada perkawinan menurut Undang – Undang Perkawinan, termasuk di

dalamnya perkawinan campuran menyangkut tata cara yang mendahului

perkawinan dan tata cara pada saat pencatatan dan perkawinan dilangsungkan,

42
http: // Keabsahan dan Akibat Hukum Perkawinan Campuran oleh Perempuan Warga Negara
Indonesia Menurut Hukum Indonesia, 04 Juni 2022
19

tata cara ini harus didukung oleh syarat – syarat perkawinan yang diperlukan

yang ditentukan agar perkawinan dapat dilangsungkan.

Mengenai tempat pencatatan perkawinan campuran antara Warga Negara

Indonesia dan Warga Negara Asing, sesuai dengan Pasal 59 ayat (2) Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ialah dilakukan pada pegawai

pencatatan perkawinan pada kantor Catatan Sipil di wilayah tingkat II dimana

perkawinan itu dilangsungkan

Pada umumnya mereka yang melangsungkan perkawinan campuran

pertama-tama dilakukan adalah dengan upacara keagamaan dan adat istiadat

yang mereka anut khususnya bagi masyarakat Bali, bagi mempelai yang

beragama Hindu bahwa perkawinan dilakukan dengan upacara Mebeakala dan

Widhi Widana, sedangkan mempelai yang beragama Kristen perkawinan mereka

dilakukan secara Grejani dengan upacara di Gereja, dan bagi mempelai yang

beragama Islam perkawinan mereka dilakukan dihadapan penghulu.43

Setelah dilakukan upacara agama barulah mereka mencatatkan

perkawinan di kantor Catatan Sipil. Disamping itu sebagian lagi dalam

melangsungkan perkawinan campuran prosedur yang lebih dahulu ditempuh

adalah mencatatkan perkawinannya di kantor Catatan Sipil, setelah itu barulah

mereka melakukan upacara perkawinan sesuai dengan agamanya masing-masing

berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (bagi mempelai yang berbeda

agamanya), tetapi ada juga diantara mereka yang hanya melangsungkan

perkawinan dan sekaligus mencatatkan perkawinannya di kantor Catatan Sipil

43
I Ketut Mandra, studi tentang pelaksanaan dan sahnya perkawinan Campuran Antar Warga
Negara Indonesia dan Warga Negara Asing di Bali, Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas
Udayana, 1986, hlm 15
20

saja tanpa disertai dengan upacara keagamaan.

Dalam hal para mempelai melangsungkan dan mencatatkan

perkawinannya di kantor Catatan Sipil prosedur yang ditempuh mereka adalah:

Tahap Pertama :

Pemberitahuan kehendak kedua mempelai untuk melangsungkan

perkawinan dengan cara bersama – sama datang menghadap ke kantor Catatan

Sipil bagian pencatatan perkawinan, untuk memberitahukan maksudnya itu.

Selanjutnya pegawai pencatatan perkawinan memberitahukan kepada kedua

calon mempelai agar mengisi formulir yang telah disediakan oleh kantor Catatan

Sipil, kemudian formulir yang telah diisi itu diserahkan kepada pegawai pencatat

perkawinan disertai dengan syarat – syarat yang diperlukan yakni44 :

1. Surat permohonan dan pernyataan bersama kedua mempelai

2. Akte kelahiran atau Paspor bagi Warga Negara Asing

3. Kartu Tanda Penduduk (identitas) atau surat keterangan domisili

4. Surat bukti kewarganegaraan bagi Warga Negara Indonesia

Keturunan

5. Surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian

6. Surat ijin atau keterangan dari konsulat atau kedutaannya yang

dinamakan Certificate Of Ability to Marry

7. Surat keterangan tidak / belum kawin atau surat perceraian dari

Pengadilan Negeri setempat (bagi mempelai yang sudah pernah

kawin)

44
Wawancara dengan Bapak Heryanto, SE, Kepala Kantor Catatan sipil Kota Batam tanggal 22
Mei 2022.
21

8. Surat keterangan atau ijin orang tuanya bagi mempelai yang belum

berumur 21 (duapuluh satu) tahun

9. Surat keterangan sehat dari dokter

10. pas photo.

Adapun tujuan pemberitahuan diatas adalah dimaksudkan untuk

mengetahui dan mengecek apakah syarat materiil perkawinan telah dipenuhi atau

tidak. Cara pengawasan ini dilakukan antara lain dengan mengadakan penelitian

terhadap surat yang dilampirkan oleh para pihak pada waktu menyatakan

pemberitahuan itu, dengan demikian dapat kiranya dihindarkan adanya

perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan.

Tahap Kedua :

Pada tahap ini mengenai pengumuman akan dilangsungkannya

perkawinan oleh pejabat kantor Catatan Sipil agar diketahui oleh umum.

Pengumuman ini untuk memberi kesempatan kepada pihak lain atau keluarganya

untuk mencegah atau menghalangi dilangsungkannya perkawinan campuran

tersebut. Apabila ternyata ada syarat – syarat yang dipalsukan oleh salah satu

pihak yang akan melangsungkan perkawinan, maka pihak yang merasa dirugikan

atau keberatan dapat membatalkan perkawinan campuran tersebut dengan

melaporkan kepada pejabat Catatan Sipil. Pengumuman dapat dilakukan di dua

tempat yakni :

1. Di kantor Pencatatan perkawinan ditempat pernikahan akan

dilangsungkan

2. Dikantor pencatatan perkawinan tempat kediaman masing – masing


calon mempelai.45

Tahap Ketiga :

Jika dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak pengumuman itu ditempelkan

dan diumumkan ternyata tidak ada sanggahan atau keberatan dari kalangan

publik atau masyarakat, keluarga ataupun pihak lain, maka pejabat kantor

Catatan Sipil memberikan ijin untuk melangsungkan perkawinan

Tahap Keempat :

Pada tahap ini merupakan tahap pelaksanaan atau dilangsungkan

perkawinan oleh calon mempelai sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya

masing-masing. Dalam hal ini hukum adat dan kebiasaan adat masing – masing

mempunyai peranan di dalam melangsungkan perkawinan khususnya

perkawinan campuran di Kota Batam.

Tahap Kelima :

Mengenai pencatatan / pendaftaran serta pembuatan akta perkawinan di

kantor Catatan Sipil menurut ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 sebagaimana pelaksanaan dari Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa perkawinan yang

dilangsungkan itu harus dicatatkan, masing-masing pihak (suami – isteri) harus

menandatangani akta perkawinan dan dilanjutkan penandatanganan oleh saksi-

saksi dan disahkan oleh pejabat pencatat perkawinan.

Dengan dibuatnya akta perkawinan tersebut maka perkawinan yang

mereka lakukan dianggap sah dan telah tercatat secara resmi, dengan demikian

apa yang dikehendaki oleh Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
45
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm 98

22
perkawinan terutama Pasal 2 baik ayat (1) dan (2) telah dipenuhi.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa perkawinan campuran

bagi Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing menjadi Trend

khususnya bagi masyarakat di Kota Batam yang sering kali melakukan

perkawinan campuran tersebut.

Dari hasil wawancara penulis dengan para responden yang melakukan

perkawinan campuran, dapat disimpulkan bahwa menurut mereka merupakan

suatu kebanggaan dapat menikah dengan Warga Negara Asing. Selain didasari

perasaan cinta dan kecocokan diantara mereka, adapun yang menjadi faktor atau

alasan mereka melakukan perkawinan campuran adalah sebagai berikut46 :

1. Untuk memperbaiki keturunan.

2. Dapat berkunjung ke negara asal pasangan mereka.

3. Untuk mengenal budaya negara asal pasangan mereka.

4. Untuk memperluas bisnis ke negara asal pasangan mereka.

5. Beranggapan bahwa Warga Negara Asing banyak uang (untuk

memperbaiki ekonomi keluarga).

Berdasarkan faktor atau alasan yang disebut di atas, terutama yang

menyangkut masalah ekonomi, maka bagi pasangan yang akan melaksanakan

perkawinan campuran biasanya membuat perjanjian kawin, hal ini untuk

menjaga harta yang telah mereka miliki apabila terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan.

Berikut hasil wawancara penulis dengan Notaris Rosalia Marlina, SH,

bahwa pembuatan akta perjanjian kawin dibuat atau dilakukan sehari sebelum
46
Kesimpulan hasil wawancara dengan para responden, 23 Mei 2022.

23
pernikahan / perkawinan dilaksanakan kemudian didaftarkan ke Panitera

Pengadilan Negeri setempat agar dapat mengikat pihak ketiga, dan baru

dicatatkan pada kantor Catatan Sipil setempat bersamaan dengan pencatatan

perkawinannya, berikut syarat - syarat pembuatan akta Perjanjian kawin, adalah

sebagai berikut :46

24
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku–Buku atau makalah (Jurnal)

Argyo Demartoto. Pemaknaan Perkawinan (Studi Kasus Pada Perempuan lajang


Yang Bekerja Di Kecamatan Bulukerto Kabupaten Wonogiri):. Jurnal
Analisa Sosiologi. 2015. hal 76.

Benyamin, Fenomena Hukum Campuran Di Indonesia, di dalam: Reminchel,


Jaksa Sebagai Pengacara Negara Menurut Undang-Undang Kejaksaan,
Jurnal Advokasi, Vol. 7, No. 1, 2015, hal 17.

Hotman Siahaan, Perkawinan Antar Negara Di Indonesia Berdasarkan Hukum


Perdata Internasional. Jurnal Volume 17 Nomor 2. 2019. hal 140

Novie Yulianie, Upaya Perlindungan Hukum Bagi Istri Warga Negara Indonesia
Yang Melangsungkan Perkawinan Campuran, Tesis, Magister Kenotariatan,
Universitas Indonesia, 2012, hal 5

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, 1990, hlm. 15.

Yaswirman, 2011. Hukum Keluaraga-Karakteristik Dan Prospek Doktirn Islam


Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, Jakarta: Rajawali
Press, h. 134.

Yearlina S, Pengakuan dan Pengesahan Anak Luar Kawin Dari pasangan Suami
Istri yang Berbeda Kewarganegaraan. Tesis, Magister Hukum, Universitas
Sumatra Utara, 2017, hal 28

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang – Undang Dasar 1945 pasal 26

Pasal 80 KUHPerdata

Pasal 81 KUHPerdata

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

C. Internet

Badan Pusat Statistik Kota Batam, Penduduk WNI Kota Batam Menurut Rasio
Jenis Kelamin Tahun 2020, diakses melalui https://batamkota.bps.go.id/,
pada tanggal 12 Januari 2022, pukul 15.30 WIB.
Http://mammet.blogspot.com/2010/12/kisahperjalan-christian-gonzales.html

25

Anda mungkin juga menyukai