Anda di halaman 1dari 13

E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023

DOI: https://doi.org/10.31933/unesrev.v5i4
Diterima: 29/04/2023, Diperbaiki: 09/06/2023, Diterbitkan: 10/06/2023

PERMASALAHAN BAGI ANAK KAWIN CAMPUR UNTUK


MEMILIH KEWARGANEGARAAN

Sry Rahayu Eka Pratiwi Neoe1, Elfrida Ratnawati 2


1)
Magister Ilmu Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta, Indonesia.
Email: neoeayu9@gmail.com
2)
Magister Ilmu Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta, Indonesia.
Email: elfrida.r@trisakti.ac.id

ABSTRACT
In this Era of Globalization, people’s lives have increased greatly, the increasing number of
nations has led to a country becoming open or having international relations with other
countries. Mixed marriages have traversed all corners of the country and society, information
globalization, economy, transportation, cyberspace have increased mobility by migratingfrom
one country to another, causing people to meet and communicate with various different ethnic
groups, cultures, religions and the customs and communication habits allow Indonesian citizens
(WNI) to carry out marriage with foreign citizens (WNA) so that what is called mixed marriages
arises. Mixed marriages result in legal consequences, including the legal relationship between
parents and children, especially the legal status of child citizenship. And the promulgation of
Law No 12 Year 2006 about Republic Indonesia of Citizenship executing dual citizenship to
children of mixed marriage gives impact to International Civil Law in which they have to obey
the law of two different countries.

Keywords : Mixed Marriage, Dual Citizenship, Children

ABSTRAK
Di Era Globalisasi ini hidup masyarakat sangat meningkat, kebutuhan yang meningkat
membawa suatu negara menjadi terbuka atau melakukan hubungan internasional dengan negara
lain. Perkawinan Campuran telah merambah seluruh pelosok tanah air dan lapisan masyarakat.
Globalisasi informasi, ekonomi, transportasi, dunia maya telah meningkatkan mobilitas manusia
dengan jalan migrasi dari satu negara ke negara lain, meneyebabkan seseorang bertemu dan
berkomunikasi dengan berbagai macam suku bangsa yang berbeda budaya, agama maupun
kebiasaan. Pertemuan dan komunikasi tersebut memungkinkan Warga Negara Indonesia (WNI)
melangsungkan perakawinan dengan Warga Negara Asing (WNA) sehingga timbullah apa yang
dinamakan perkawinan campuran. Perkawinan Campuran menimbukan akibat hukum,

Page 1830
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023

diantaranya adanya hubungan hukum antara orang tua dan anak, terutama status hukum
kewargaanegaraan anak. Dan dengan di Undangkanya Undang-Undang No 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang memberlakukan dua kewarganegaraan bagi
anak-anak hasil perkawinan campuran.

Kata Kunci : Perkawinan Campuran, Kewarganegaraan Ganda, Anak

PENDAHULUAN
Sigmun Freud, seorang ahli Psikologi mengatakan bahwa salah satu kebutuhan dasar
manusia yang hakiki adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup. Kebutuhan untuk
mempertahankan hidup ini diuraikan lebih lanjut sebagai usaha untuk melangsungkan keturunan,
mempertahankan rasnya, sehingga manusia akan terus berusaha untuk beranak pinak. Salah satu
jalan untuk melangsungkan keturunan adalah melalui perkawinan, karena dengan perkawinan
manusia dapat melahirkan keturunan sekaligus memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu
hingga kini. Perkawinan merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan di dalam
maupun di luar peraturan hukum. Dari perkawinan akan timbul hubungan hukum antara
suami-isteri kemudian dengan lahirnya anak-anak, menimbulkan hubungan hukum antara
orang tua dan anak-anak mereka. Pada umumnya perkawinan dianggap sebagai sesuatu
yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan kaedah-kaedah perkawinan
dengan kedah-kaedah agama. 1 Perkawinan adalah sah,apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku yakni Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang
perubahan atas UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perkawinan campuran diatur dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 62 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan disebutkan Perkawinan Campuran adalah “Perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”
Hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan campuran tidak diatur, baik
menurut hukum perkawinan Islam, Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perkawinan, dalam hal ini semua hak dan kewajiban suami isteri dalam perkawinan
biasa dan campuran adalah sama. 2 Di Indonesia, perkawinan campuran yang terjadi dapat
dalam dua bentuk yaitu, Wanita Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI)
dengan Pria Warga Negara Asing (selanjutnya disebut WNA) dan Pria WNI dengan Wanita
1
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan ke- 3, Jakarta Selatan; Indonesia Legal Center
Publishing,2011
2
Laurensius Mamahit, Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Akibat Perkawinan Campuran Ditinjau Dari Hukum Positif
Indonesia, Jurnal Lex Privatum, Volume I, Nomor 1 Januari- Maret 2013,hlm. 2

Page 1831
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023

WNA. Faktor perbedaan kewarganegaraan inilah yang membuat suatu perkawinan disebut
Perkawinan campuran. 3
Anak adalah subyek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri
harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Beberapa pengertian
batas usia anak yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia
yaitu: Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, sebagaimana
telah diubah dengan Undang– undang nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU
No.1 Tahun !974 tentang Perkawinan, tidak mengatur secara langsung tolak ukur kapan
seseorang digolongkan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut tersirat dalam Pasal 7 ayat (1)
memuat batasan minimum usia untuk dapat kawin bagi pria dan wanita sudah mencapai
umur 19 ( Sembilan belas ) tahun 4.
Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan Undang-undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 1 angka 1, menerangkan bahwa anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
Masalah anak sah diatur di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2019, pada
Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44. Terkait pengaturan status dan kedudukan anak dari hasil
perkawinan campuran (beda kewarganegaraan) dalam Undang-Undang Kewarganegaraan
baru yaitu Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 memberi perubahan yang positif,
terutama dalam hubungan anak dengan ibunya karena memberikan Dwi- kewarganegaraan
terbatas bagi anak dari hasil perkawinan campuran (beda kewarganegaraan).
Pada peraturan perundang undangan di Indonesia harusnya diatur mengenai anak hasil
perkawinan campuran agar tidak terjadi diskriminasi hak terhadap anak hasil perkawinan
campuran di Indonesia. Dimana perundang undangan tersebut mengatur hak - hak anak hasil
perkawinan campuran terlebihnya dalam hal hak- hak keperdataan anak.
Contoh kasus Selama lebih dari 30 tahun Cipta C.C harus terus menerus mengurus visa untuk
dapat tinggal di Indonesia. Cipta yang lahir sebelum UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan disahkan, membuatnya harus mengikuti kebangsaan ayahnya yang berasal dari
Inggris.5 “Waktu saya masih sekolah, dibawa bapak saya yang kerja di sini. Sejak bapak saya
almarhum, saya terpaksa jadi turis atau jadi tamu di negara saya sendiri”, kisah Cipta.
Selama bersekolah Cipta harus menggunakan visa Sosial Budaya untuk tinggal di Indonesia
dengan undangan dari ibunya sendiri. Dan sejak bekerja 15 tahun yang lalu, dia terpaksa
menggunakan KITAS atau Kartu Izin Tinggal Terbatas, yang harus diperpanjang setiap tahun.
“Walaupun saya dapat KITAS, tetap saja itu Kartu Izin Tinggal Terbatas dan itu yang saya tak
suka. Kenapa saya tinggal di negara saya sendiri terbatas,” kata Cipta.

3
Antonin Scalia, 2012, Reading Law : The Interpretation Of Legal Texts, Thomson, St. Paul, hal.51
4
Amran Suadi, Aspek Perlindungan Anak Indonesia, Jakarta Timur : Prenadamedia Group,2018,hlm,46-47
5
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/10/161005_indonesia_kisah_dwikenegaraan

Page 1832
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023

“Saya tak betah di Inggris, saya tak betah di manapun kecuali di Indonesia. Indonesia is my
home. (Indonesia adalah rumah saya).”
Cipta yang senang bepergian memang memilih untuk tetap memiliki paspor Inggris karena
memudahkannya ketika bepergian.
Memang paspor Indonesia tidak terlampau memberikan 'kelancaran' dalam bepergian keliling
dunia.
"Saya juga harus pikirin saya sebagai orang yang ingin lihat dunia juga, ingin travel (bepergian).
Kalau menggunakan paspor Indonesia, saya akan banyak masalah. Sudah terbukti beberapa kali.
Kalau saya travel dengan bos-bos saya dari Indonesia yang WNI. Kalau mau ke Amerika saya
dikasih visa 10 tahun, bos saya dikasih visa tiga bulan. Itu bedanya,” kilah Cipta.
Sebagai warga negara asing, Cipta pun kesulitan jika ingin memiliki aset di Indonesia.
“Saya sudah memiliki mobil sendiri, atas nama saya sendiri, tapi itu susah banget. Kalau saya
memiliki tanah, itu harus atas nama ibu saya, kalau ibu saya meninggal, itu tanah atas nama
siapa?”
Padahal menurutnya, banyak temannya yang juga anak dari perkawinan campur atau yang
menikah dengan WNI, yang ingin tinggal di Indonesia dan membangun usaha di sini.
“Kalau mereka bisa memiliki bisnis di Indonesia, mereka bisa membantu ekonomi Indonesia
juga, mereka orang-orang pintar semua, tapi mereka susah datang ke Indonesia.”
Cipta berharap Indonesia nantinya akan memberlakukan dwikewarganegaraan bagi orang-orang
yang terlahir dari perkawinan campur, atau bagi orang yang memang mencintai Indonesia.
“Kalau saja boleh memiliki dua paspor, saya pasti akan memiliki paspor Indonesia juga. Tapi
selama pemerintah bilang saya tidak bisa memiliki dua paspor, saya tidak berani. Saya ingin itu
legitimate (sah). Saya ingin Indonesia mengakui saya sebagai orang Indonesia.”
Akibat perkawinan campuran terhadap anak (akibat hukum terhadap anak) menimbulkan
hubungan hukum antara orangtua dan anak khususnya status hukum anak mengenai
kewarganegaraan anak, terdaat perbedaan yang signifikan setelah dikeluarkannya Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2006 dibandingkan dengan peraturan sebelumnya (Undang- undang
No. 62 Tahun 1958).
(Diamantina, 2014) (Hidayat, Oktober 2013) (Suadi, 2018)Berdasarkan Latar
Belakang masalah di atas, rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian ini adalah
Bagaimana akibat hukum bagi anak-anak kawin campur yang terlambat memilih
kewarganegaraan dan juga tidak mendaftarkan kepada Menteri Hukum dan HAM dalam
rentang waktu yang sudah ditentukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006?
Sementara itu, tujuan penelitian untuk mengetahui dan menganalisis status
Perlindungan Hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan Campuran dan
tinggal di Indonesia.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang bahan penulisanya
dikumpulkan dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku

Page 1833
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023

yaitu Undang- undang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan


Republik Indonesia yang kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah
Nomor 21 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007
tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia. Selain itu bahan hukum sekunder yaitu tulisan dari
para hali yang tercantum di dalam literatur-literatur, serta bahan hukum tersier yang meliputi
informasi serta bahan tertulis yang sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian
ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengertian Perkawinan dan Perkawinan Campuran Ikatan perkawinan merupakan unsur
pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih, maka dalam
pelaksanaan perkawinan tersebut diperlukan norma hukum yang mengaturnya. Penerapan
norma hukum dalam pelaksanaan perkawinan terutama diperlukan dalam rangka mengatur hak,
kewajiban, dan tanggung jawab masing - masing anggota keluarga guna membentuk rumah
tangga yang bahagia dan sejahtera. Perkawinan selain merupakan masalah keagamaan juga
merupakan suatu perbuatan hukum, sebab dalam melangsungkan perkawinan, kita harus tunduk
pada peraturan-peraturan perkawinan yang ditetapkan oleh negara yaitu Undang-Undang No. 1
tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) yang diundangkan pada
tanggal 2 Januari 1974 dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(selanjutnya disebut PP No.9 Tahun 1975) yang berlaku efektif pada tanggal 1 Oktober 1975.
Sebelum membahas perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
perlu diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian perkawinan, menurut Undang-Undang
Perkawinan pengertian tentang perkawinan yang diatur dalam Pasal 1 yang berbunyi :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuksebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Mengenai perkawinan campuran terdapat beberapa
perbedaan pengertian diantaranya yang dinyatakan dalam perundang-undangan dan pengertian
perkawinan campuran yang berkembang dalam masyarakat sehari-hari. Dalam khasanah
perundang-undangan, dikenal adanya Regeling Op de Gemengde Huwelijken Stb. 1898 Nomor
158 selanjutnya disebut GHR (Regeling Op de Gemengde Huwelijken).

A. Pengertian perkawinan campuran menurut Stb. 1898 No. 158 dalam pasal 1
dinyatakan sebagai berikut :
perkawinan campuran yaitu perkawinan antara orang-
orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan. Dari pengertian tersubut maka
yang termasuk sebagai perkawinan campuran adalah :
a. Perkawinan Internasional ; yaitu antara waganegara dan orang asing, antara orang-orang
asing dengan hukum berlainan, dan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri;

Page 1834
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023

b. Perkawinan antar golongan ; (intergentiel). Adanya perkawinan campuran antar golongan


adalah disebabkan adanya pembagian golongan penduduk oleh Pemerintah Kolonial;
c. Perkawinan antar Adat, misalnya perkawinan antara perempuan Sunda dengan Pria Jawa; d.
Perkawinan antar Agama, perkawinan yang berlainan agama disebut pula perkawinan
campuran. Contoh perempuan beragama Islam menikah dengan pria beragama Kristen.
Dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974ketentuan tersebut tidak berlaku.
Pengertian perkawinan campuran dalam UU Perkawinan diatur dalam Pasal
57, yang berbunyi : ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam
Undang-undang ini ialah perkawinan antar dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Perkawinan seperti perkawinan campuran dan perkawinan yang dilakukan
di luar Indonesia berkemungkinan menyangkut 2 (dua) sistem hukum yang berbeda, sehingga
tata cara dan ketentuan yang mempengaruhi sah atau tidaknya perkawinan tersebut serta akibat
hukumnya perlu memperhatikan sistem hukum masing-masing mempelai. Dengan perkawinan
yang sah akan menimbulkan akibat hukum yang sah , demikian juga dengan perkawinan
campuran akan menimbulkan akibat hukum yaitu :
1) Hubungan hukum antara suami istri,
2). Akibat hukum terhadap harta perkawinan dan
3). Hubungan hukum antara orang tua dengan anak.

B. Status Hukum Anak Akibat perkawinan campuran terhadap anak diatur dalam pasal
62 UU No. 1 Tahun 1974, yang menyatakan:
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur dengan pasal 59 Ayat (1) undang-
undang ini. Dengan demikian akibat perkawinan campuran terhadap anak yaitu: anak yang
dilahirkan sebagai akibat perkawinan campuran memperoleh hukum pubik maupun hukum
perdata dari ayahnya.
Untuk mengetahui status anak yang lahir dalam perkawinan campuran dengan sendirinya pun
harus berpedoman pada ketentuan UU Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958. Pada dasarnya UU
No. 62 Tahun 1958 menganut azas ius sanguinis sebagaimana dapat dibaca dalam pasal 1 huruf b
yang berbuni: “orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan
dengan ayahnya seorang warga Negara Indonesia, dengan pengertian tersebut telah ada sebelum
anak tersebut berumur 18 tahun, atau sebelum ia kawin di bawah usia 18 tahun. Keturunan dan
hubungan darah antara ayah dengan anak dipergunaan sebagai dasar menentukan kependudukan
kewarganegaraan anak yang dilahirkan alam perkawinan.
Seorang anak dianggap memiliki status kewarganegaraan seorang ayah, bila ada hubungan
keluarga. Jadi bila anak dilahirkan dalam perakawinan yang sah seperti tersebut dalam Pasal 42
UU No.1 Tahun 1974 maka kewarganegaraan ayah dengan sendirinya menentukan
kewarganegaraan anaknya.

Page 1835
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023

a. Pasal 1 huruf c UU No. 62 Tahun 1958 menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan dalam 300
hari setelah ayahnya wafat, apabila waktu meninggal dunia ayahnya adalah warga
Negara Republik Indonesia, maka anak tersebut memperoleh kewarganegaraan Republik
Indonesia.
b. Anak yang belum berusia 18 tahun pada waktu ayahnya memperoleh atau melepaskan
kewarganegaraan Republik Indonesia dan antara ayah dan anak terdapat hubungan hukum
keluarga, bila ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia karena naturalisasi,
maka anak yang belum berusia 18 tahun memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dan
anak tersebut harus bertempat tinggal di Indonesia (Pasal 14 Ayat (1) UU No. 62 Tahun 1958).
c. Hubungan keluarga antara anak dengan ayah tidak ada, apabila terjadi apa yang dimaksud
dalam pasal 43 UU Perkawinan, yaitu apabila terjadi anak dilahirkan di luar perkawinan. Dalam
hal demikian maka hanya ada hubungan anak dengan ibunya, dan anak memperoleh
kearganegaraan ibunya.
d. Juga dapat terjadi anak-anak kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya disebabkan
ayah atau ibunya kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia (Pasal 16 UU No. 62 Tahun
1958). Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 Pasal 4 huruf c dan d tentang
Kewarganegaraan RI Anak dari perkawinan campuran memiliki kewarganegaraan ganda hingga
di anak berusia 18 tahun atau sudah kawin dalam waktu paling lama tiga tahun setelah mencapai
umur 18 tahun maka anak harus menyatakan memilih kewarganegaraannya akan menjadi WNI
atau WNA, Negara asal ayah atau ibunya.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 6 apabila status kewarganegaraan ini menyebabkan anak
berkewarganegaraan ganda, maka setelah usia 18 tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus
menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Hal ini disebabkan karena UU No. 12 Tahun 2006 menganut asas kewarganegaraan ganda
terbatas bagi anak. Ketentuan ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemertintah No.2
tahun 2007 tentang Tata Cara, Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan Dan Memperoleh Kembali
Kewarganegaraan Indonesia, sedangkan pemberian fasilitas keimigrasian bagi anak
berkewarganegaraan ganda diatur dalam peraturan menteri dan HAM No. M.80- HI.04.01 Tahun
2007 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pencatatan dan Pemberian Fasilitas Kewarganegaraan
sebagai warga Negara Indonesia yang berkewarganegaraan Ganda.
Hal ini sejalan dengan Pasal 29 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa apabila terjadi perkawinan campuran antara warga
Negara Indonesia dan warga Negara asing anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak
memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Undang-undang No.12 Tahun 2006 ini menganut prinsip umum dan universal yang
diakui keberadaannya oleh negara-negara di dunia. Sejumlah prinsip itu antara lain pertama, asas
ius sanguinis adalah penentuan kewarganegaraan berdasarkan keturunan. Ius sanguinis,
menetapkan kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan kewarganegaraan orang tuanya,
tanpa mengindahkan di mana ia dilahirkan. Kedua, asas ius soli, adalah penentuan

Page 1836
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023

kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran seseorang. Dengan kata lain, kewarganegaraan


seseorang ditentukan berdasarkan daerah/negara tempat ia dilahirkan. Ketiga, nondiskriminatif.
Kewarganegaraan Indonesia tidak membedakan perlakuan antar warga negara, yang didasarkan
perbedaan suku, ras, agama, golongan dan gender. Keempat, penghormatan terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM). Kewarganegaraan Indonesia menghormati hak asasi pada umumnya dan hak
warga negara pada khususnya yang tercantum dalam peraturan perundangan di Indonesia.
Kelima, persamaan di muka hukum dan pemerintahan. Setiap warga negara Indonesia akan
mendapat perlakuan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan dalam pelayanan bidang
kewarganegaraan dan kependudukan. Keenam, mencegah terjadinya apatride (tanpa
kewarganegaraan) dan bipatride (kewarganegaraan ganda).6
Oleh karena itu, pada dasarnya kewarganegaraan ganda tidaklah ada dalam UU No. 12
Tahun 2006 tentang kewarganegaraan ini, hanya dikhususkan bagi anak hasil perkawinan
campuran, baik perkawinan itu dilangsungkan antara wanita warga negara Indonesia dengan pria
warga negara asing atau seorang pria warga negara Indonesia dengan seorang wanita warga
negara asing. Namun, kewarganegaraan ganda tersebut tidak selamanya dimiliki oleh anak hasil
perkawinan campuran. Karena ketika anak sudah berusia 18 tahun, anak tersebut disuruh
memilih kewarganegaraannya, apakah dia ikut kewarganegaraan ayahnya ataukah ibunya.
Artinya, tetap tidak akan terjadi kewarganegaraan ganda dalam sitem kewarganegaraan di
Indonesia, kecuali hanya sementara. Pemberian status kewarganegaraan ganda pada anak
tersebut tidak lain demi menegakkan hak-hak asasi manusia khususnya bagi anak, karena hak
anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara, sekaligus sebagai wujud implementasi
Undang- undang Dasar 1945 pasal 26 tentang hak atas kewarganegaraan.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak
hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini
akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan
ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum perdata Internasional peninggalan Hindia Belanda.
Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam
Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil
Perancis). Berdasarkan Pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal.
Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal
yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum
nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada
dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal
tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang
termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak,

6
A. Mufti Hidayat. Implikasi Perkawinan Campuran Terhadap Status Kewarganegaraan Anak, Al-Daulah Vol. 3,
No.2, Oktober 2013, hlm. 389.

Page 1837
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023

wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-
anak yang dibawah umur.7

C. Perlindungan Hukum Bagi Anak yang Lahir dari Perkawinan Campuran yang
Berdomisili di Indonesia
Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman
terhadap hak asasi manusia yang dirugikan oleh orang lain dan perlindungan hukum itu
diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak yang diberikan oleh
hukum.8
Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua:
a. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan yang diberikan oleh
pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran.
b. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif adalah perlindungan akhir berupa sanksi seperti
denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi
sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk
mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum
sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk
yang bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka
menegakkan peraturan hukum. 9
Perlindungan hukum terhadap anak sebagaimana dinyatakan oleh Arif Gosta bahwa
perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Melindungi anak
adalah melindungi manusia, yaitu melindungi manusia seutuhnya. Mengabaikan
masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat
tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang
dapat menganggu ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional. Maka berarti
bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan
pembangunan nasional yang memuaskan. 10
Perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, namun secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-

7
https://jurnalhukum.blogspot.com/status-hukum-anak-hasil-perkawinan.

8
Satjipto Raharjo. Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2014, hlm.53.
9
Dewi Nasitah, Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Perkawinan Campuran (Analisis Yuridis Penetapan
Pengadilan Agama Trenggalek Nomor: 0102/Pdt.P/2013/Pa.Tl), hlm. 16.
10
Sri Turatmiyah, Hak-Hak Keperdataan Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi R.I. No. 46/PUU-
VIII/2010, Jurnal Simbur Cahaya, Volume XX, Nomor 50 Januari 2013, hlm.3458.

Page 1838
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023

UndangNomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa


perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi dan siatuasi yang
memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif yang
merupakan pula perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan
demikian, perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang penghidupan dan
kehidupan bernegara, bermasyarakat dan berkeluarga berdasarkan hukum, demi
perlakuan benar, adil dan kesejahteraan anak.
Dalam hubungannya dengan perlindungan hukum anak harus terdapat adanya
kepastian hukum. Dalam praktek banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum, di mana
ketika dihadapkan dengan substansi norma hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak
jelas atau kurang sempurna sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda yang
akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum. Kepastian hukum, keadilan,
dan manfaat. Ketiga hal tersebut merupakan tujuan keberlakuan hukum. Hukum sebagai
suatu aturan, dan peraturan yang dapat mengatur struktur, lembaga, dan proses hukum
nya. Hukum dapat memberi manfaat bagi masyarakat, memberi keadilan bagi
masyarakat, dan hukum mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Hukum harus
dapat membuat kesebandingan antara keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum.
Hukum dapat mengusahakan secara proposional antara serasi, seimbang dan
selaras. Hukum tidak identik dengan undang-undang, jika hukum diidentikkan dengan
perundang-undangan, maka salah satu akibatnya dapat dirasakan, adalah kalau ada
bidang kehidupan yang belum diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan
hukum tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Demikian juga kepastian hukum
tidak identik dengan dengan kepastian undang-undang. Apabila kepastian hukum
diidentikkan dengan kepastian undangundang, maka dalam proses penegakan hukum
dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan hukum yang berlaku.
Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil
yang ada dalam undang-undang akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat.
Sebaiknya penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup.Lebih
jauh para penegak hukum harus memperhatikan budaya hukum, untuk memahami sikap,
kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam
sistem hukum yang berlaku.
Menurut Undang–Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (sebagai
pengganti Undang–undang Nomor 62 tahun 1958 tentang kewarganegaraan).
Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran Undang-Undang

Page 1839
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023

kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal.


Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut: 11
a. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara
tempat kelahiran.
b. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang
diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
c. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang.
d. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang ini.
Menurut hemat penulis dalam Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal
kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride).
Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini
merupakan suatu pengecualian. Namun dari pada itu hak – hak wanita atas anaknya
lebih di perhatikan daripada Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958. Mengenai
hilangnya kewarganegaraan anak ( apabila anak tersebut tidak punya hubungan
hukum dengan ayahnya ), maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu tidak
secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.
perlindungan anak belum dijamin dengan peraturan perundang-undangan yang
mantap, sehingga menghambat pelaksanaan perlindungan anak. Pelaksanaan atau
implementasi dari Undang-Undang belum berjalan sepenuhnya sesuai dengan harapan
masyarakat dalam upaya Perlindungan anak. Saran-saran agar Penyelenggara Perlindungan
Anak Indonesia berjalan efektif.
Regulasi terkait Kewarganegaraan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, kita mengenal Kewarganegaraan Tunggal dan
Kewarganegaraan Ganda terbatas.
Seiring berjalannya waktu dan timbulnya kebutuhan, terdapat hal yang menjadi permasalahan
dalam pelaksanaan UU Kewarganegaraan dalam hal ini salah satunya tentang anak hasil
perkawinan campuran yang biasa disebut anak berkewarganegaraan ganda,

11
Anugerah Gilang Priandena, Perlindungan Hukum Bagi Anak yang Lahir dari Perkawinan Campuran, Jurnal
Jurisprudence, Vol. 4 No. 1 Maret 2014,hlm. 18.

Page 1840
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023

Dalam UU Kewarganegaraan hanya dikenal prinsip kewarganegaraan tunggal dan dwi


kewarganegaraan terbatas atau ganda terbatas yang diartikan seorang anak dapat memiliki
kewarganegaraan ganda hingga umur 18 tahun dan setelah itu paling lambat umur 21 tahun, anak
tersebut harus menentukan sendiri menyatakan memilih salah satu kewarganegaraan dalam
rentang usia yang ditentukan dalam UU (18 sampai dengan 21 tahun). Di sisi lain bagi anak-anak
hasil perkawinan campuran yang lahir sebelum berlakunya UU Kewarganegaraan (UU Nomor
12 Tahun 2006), harus didaftarkan kepada Menteri Hukum dan HAM paling lambat 4 tahun
setelah UU kewarganegaraan diundangkan guna memperoleh Surat Keputusan anak
berkewarganegaraan ganda sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU Nomor 12 Tahun 2006.
Pada pelaksanaannya, banyak yang telat memilih kewarganegaraan dan juga tidak mendaftarkan
kepada Menteri Hukum dan HAM dalam rentang waktu yang sudah ditentukan Undang-Undang.
Akibatnya anak hasil perkawinan campuran terancam menjadi warga negara asing,”
Saat ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sedang melakukan upaya penyelesaian
terhadap permasalahan kewarganegaraan tersebut melalui proses perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh,Kehilangan,Pembatalandan
Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia yang merupakan turunan dari
UU Kewarganegaraan.
Salah satu materi perubahannya adalah mengenai tata cara pewarganegaraan bagi anak-
anak yang tidak mendaftar sesuai ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
dan anak yang telah mendaftar sesuai ketentuan Pasal 41 namun tidak memilih Kewarganegaraan
Republik Indonesia sampai batas waktu yang ditentukan berakhir.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan :
1. Menurut UU No. 62 Tahun 1958:
a. anak yang dilahirkan dalam perkawinan campuran memperoleh status kewarganegaraan
ayahnya;
b. anak yang lahir di luar perkawinan antara keduanya yang berlainan status warga Negara, anak
itu mengikuti status kewarganegaraan ibunya yang melahirkan.

2. Menurut UU No. 12 Tahun 2006, anak yang lahir dalam perkawinan campuran mengikuti
kewarganegaraan ayah dan ibunya. Status hukum anak tersebut.
Ketika di telaah lebih lanjut bahwa Anak adalah subjek hukum yang belum cakap
melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang
memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU
Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak
dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak
hasil perkawinan campuran.

Page 1841
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023

DAFTAR PUSTAKA
A. Mufti Hidayat. Implikasi Perkawinan Campuran Terhadap Status Kewarganegaraan Anak,
Al-Daulah Vol. 3, No.2, Okt (Scalia, 2012)ober 2013, hlm. 389.
Amran Suadi, Aspek Perlindungan Anak Indonesia, Jakarta Timur : Prenadamedia
Group,2018,hlm,46-47
Andrean Hertawan, Status Kewarganegaraan Anak Dari Hasil Perkawinan Campuran.
http://andreanhartawaneblogs.blogspot.com/2011/11/status- kewarganegaraan-anak- dari-
hasil.html
Antonin Scalia, 2012, Reading Law : The Interpretation Of Legal Texts, Thomson, St. Paul,
hal.51
Anugerah Gilang Priandena, (Priandena, Maret 2014 ) Jurnal Jurisprudence, Vol. 4 No. 1 Maret
2014,hlm. 18
Dewi Nasitah, Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Perkawinan Campuran (Analisis Yuridis
Penetapan Pengadilan Agama Trenggalek Nomor: 0102/Pdt.P/2013/Pa.Tl), hlm. 16. 2013
https://jurnalhukum.blogspot.com/status-hukum-anak-hasil- perkawinan.
Laurensius Mamahit, Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Akibat Perkawinan Campuran Ditinjau
Dari Hukum Positif Indonesia, Jurnal Lex Privatum, Volume I, Nomor 1 Januari- Maret
2013,hlm. 2
Marsella, Kajian Hukum Terhadap Anak Dari Perkawinan Campuran, Mercatoria, Vol. 8 No.2
Desember 2015. (Marsella, 2015)
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan ke- 3, Jakarta Selatan;
Indonesia Legal Center Publishing,2011
Moch Faisal Salam, (Salam, 2005), Hukum Peradilan Anak di Indonesia (Bandung: Mandar
Maju, 2005), hlm. 2.
Satjipto Raharjo. Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2014,
hlm.53. (Rharjo, 2014)
Sri Turatmiyah, Hak-Hak Keperdataan Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
R.I. No. 46/PUU-VIII/2010, Jurnal Simbur Cahaya, Volume XX, Nomor 50 Januari 2013,
hlm.34 , 58. (Turatmiyah, 2014)
Amalia Diamantina, Perlindungan Hak Perempuan dalam Konteks
Hukum Kewarganegaraan yang Berkeadilan, Desertasi tahun 2014Hu
Norma dasar Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI
UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI
GHR Statblaad 1898 No. 158 tentang Perkawinan Campuran
UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Page 1842

Anda mungkin juga menyukai