DOI: https://doi.org/10.31933/unesrev.v5i4
Diterima: 29/04/2023, Diperbaiki: 09/06/2023, Diterbitkan: 10/06/2023
ABSTRACT
In this Era of Globalization, people’s lives have increased greatly, the increasing number of
nations has led to a country becoming open or having international relations with other
countries. Mixed marriages have traversed all corners of the country and society, information
globalization, economy, transportation, cyberspace have increased mobility by migratingfrom
one country to another, causing people to meet and communicate with various different ethnic
groups, cultures, religions and the customs and communication habits allow Indonesian citizens
(WNI) to carry out marriage with foreign citizens (WNA) so that what is called mixed marriages
arises. Mixed marriages result in legal consequences, including the legal relationship between
parents and children, especially the legal status of child citizenship. And the promulgation of
Law No 12 Year 2006 about Republic Indonesia of Citizenship executing dual citizenship to
children of mixed marriage gives impact to International Civil Law in which they have to obey
the law of two different countries.
ABSTRAK
Di Era Globalisasi ini hidup masyarakat sangat meningkat, kebutuhan yang meningkat
membawa suatu negara menjadi terbuka atau melakukan hubungan internasional dengan negara
lain. Perkawinan Campuran telah merambah seluruh pelosok tanah air dan lapisan masyarakat.
Globalisasi informasi, ekonomi, transportasi, dunia maya telah meningkatkan mobilitas manusia
dengan jalan migrasi dari satu negara ke negara lain, meneyebabkan seseorang bertemu dan
berkomunikasi dengan berbagai macam suku bangsa yang berbeda budaya, agama maupun
kebiasaan. Pertemuan dan komunikasi tersebut memungkinkan Warga Negara Indonesia (WNI)
melangsungkan perakawinan dengan Warga Negara Asing (WNA) sehingga timbullah apa yang
dinamakan perkawinan campuran. Perkawinan Campuran menimbukan akibat hukum,
Page 1830
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023
diantaranya adanya hubungan hukum antara orang tua dan anak, terutama status hukum
kewargaanegaraan anak. Dan dengan di Undangkanya Undang-Undang No 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang memberlakukan dua kewarganegaraan bagi
anak-anak hasil perkawinan campuran.
PENDAHULUAN
Sigmun Freud, seorang ahli Psikologi mengatakan bahwa salah satu kebutuhan dasar
manusia yang hakiki adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup. Kebutuhan untuk
mempertahankan hidup ini diuraikan lebih lanjut sebagai usaha untuk melangsungkan keturunan,
mempertahankan rasnya, sehingga manusia akan terus berusaha untuk beranak pinak. Salah satu
jalan untuk melangsungkan keturunan adalah melalui perkawinan, karena dengan perkawinan
manusia dapat melahirkan keturunan sekaligus memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu
hingga kini. Perkawinan merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan di dalam
maupun di luar peraturan hukum. Dari perkawinan akan timbul hubungan hukum antara
suami-isteri kemudian dengan lahirnya anak-anak, menimbulkan hubungan hukum antara
orang tua dan anak-anak mereka. Pada umumnya perkawinan dianggap sebagai sesuatu
yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan kaedah-kaedah perkawinan
dengan kedah-kaedah agama. 1 Perkawinan adalah sah,apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku yakni Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang
perubahan atas UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perkawinan campuran diatur dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 62 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan disebutkan Perkawinan Campuran adalah “Perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”
Hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan campuran tidak diatur, baik
menurut hukum perkawinan Islam, Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perkawinan, dalam hal ini semua hak dan kewajiban suami isteri dalam perkawinan
biasa dan campuran adalah sama. 2 Di Indonesia, perkawinan campuran yang terjadi dapat
dalam dua bentuk yaitu, Wanita Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI)
dengan Pria Warga Negara Asing (selanjutnya disebut WNA) dan Pria WNI dengan Wanita
1
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan ke- 3, Jakarta Selatan; Indonesia Legal Center
Publishing,2011
2
Laurensius Mamahit, Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Akibat Perkawinan Campuran Ditinjau Dari Hukum Positif
Indonesia, Jurnal Lex Privatum, Volume I, Nomor 1 Januari- Maret 2013,hlm. 2
Page 1831
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023
WNA. Faktor perbedaan kewarganegaraan inilah yang membuat suatu perkawinan disebut
Perkawinan campuran. 3
Anak adalah subyek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri
harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Beberapa pengertian
batas usia anak yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia
yaitu: Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, sebagaimana
telah diubah dengan Undang– undang nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU
No.1 Tahun !974 tentang Perkawinan, tidak mengatur secara langsung tolak ukur kapan
seseorang digolongkan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut tersirat dalam Pasal 7 ayat (1)
memuat batasan minimum usia untuk dapat kawin bagi pria dan wanita sudah mencapai
umur 19 ( Sembilan belas ) tahun 4.
Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan Undang-undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 1 angka 1, menerangkan bahwa anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
Masalah anak sah diatur di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2019, pada
Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44. Terkait pengaturan status dan kedudukan anak dari hasil
perkawinan campuran (beda kewarganegaraan) dalam Undang-Undang Kewarganegaraan
baru yaitu Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 memberi perubahan yang positif,
terutama dalam hubungan anak dengan ibunya karena memberikan Dwi- kewarganegaraan
terbatas bagi anak dari hasil perkawinan campuran (beda kewarganegaraan).
Pada peraturan perundang undangan di Indonesia harusnya diatur mengenai anak hasil
perkawinan campuran agar tidak terjadi diskriminasi hak terhadap anak hasil perkawinan
campuran di Indonesia. Dimana perundang undangan tersebut mengatur hak - hak anak hasil
perkawinan campuran terlebihnya dalam hal hak- hak keperdataan anak.
Contoh kasus Selama lebih dari 30 tahun Cipta C.C harus terus menerus mengurus visa untuk
dapat tinggal di Indonesia. Cipta yang lahir sebelum UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan disahkan, membuatnya harus mengikuti kebangsaan ayahnya yang berasal dari
Inggris.5 “Waktu saya masih sekolah, dibawa bapak saya yang kerja di sini. Sejak bapak saya
almarhum, saya terpaksa jadi turis atau jadi tamu di negara saya sendiri”, kisah Cipta.
Selama bersekolah Cipta harus menggunakan visa Sosial Budaya untuk tinggal di Indonesia
dengan undangan dari ibunya sendiri. Dan sejak bekerja 15 tahun yang lalu, dia terpaksa
menggunakan KITAS atau Kartu Izin Tinggal Terbatas, yang harus diperpanjang setiap tahun.
“Walaupun saya dapat KITAS, tetap saja itu Kartu Izin Tinggal Terbatas dan itu yang saya tak
suka. Kenapa saya tinggal di negara saya sendiri terbatas,” kata Cipta.
3
Antonin Scalia, 2012, Reading Law : The Interpretation Of Legal Texts, Thomson, St. Paul, hal.51
4
Amran Suadi, Aspek Perlindungan Anak Indonesia, Jakarta Timur : Prenadamedia Group,2018,hlm,46-47
5
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/10/161005_indonesia_kisah_dwikenegaraan
Page 1832
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023
“Saya tak betah di Inggris, saya tak betah di manapun kecuali di Indonesia. Indonesia is my
home. (Indonesia adalah rumah saya).”
Cipta yang senang bepergian memang memilih untuk tetap memiliki paspor Inggris karena
memudahkannya ketika bepergian.
Memang paspor Indonesia tidak terlampau memberikan 'kelancaran' dalam bepergian keliling
dunia.
"Saya juga harus pikirin saya sebagai orang yang ingin lihat dunia juga, ingin travel (bepergian).
Kalau menggunakan paspor Indonesia, saya akan banyak masalah. Sudah terbukti beberapa kali.
Kalau saya travel dengan bos-bos saya dari Indonesia yang WNI. Kalau mau ke Amerika saya
dikasih visa 10 tahun, bos saya dikasih visa tiga bulan. Itu bedanya,” kilah Cipta.
Sebagai warga negara asing, Cipta pun kesulitan jika ingin memiliki aset di Indonesia.
“Saya sudah memiliki mobil sendiri, atas nama saya sendiri, tapi itu susah banget. Kalau saya
memiliki tanah, itu harus atas nama ibu saya, kalau ibu saya meninggal, itu tanah atas nama
siapa?”
Padahal menurutnya, banyak temannya yang juga anak dari perkawinan campur atau yang
menikah dengan WNI, yang ingin tinggal di Indonesia dan membangun usaha di sini.
“Kalau mereka bisa memiliki bisnis di Indonesia, mereka bisa membantu ekonomi Indonesia
juga, mereka orang-orang pintar semua, tapi mereka susah datang ke Indonesia.”
Cipta berharap Indonesia nantinya akan memberlakukan dwikewarganegaraan bagi orang-orang
yang terlahir dari perkawinan campur, atau bagi orang yang memang mencintai Indonesia.
“Kalau saja boleh memiliki dua paspor, saya pasti akan memiliki paspor Indonesia juga. Tapi
selama pemerintah bilang saya tidak bisa memiliki dua paspor, saya tidak berani. Saya ingin itu
legitimate (sah). Saya ingin Indonesia mengakui saya sebagai orang Indonesia.”
Akibat perkawinan campuran terhadap anak (akibat hukum terhadap anak) menimbulkan
hubungan hukum antara orangtua dan anak khususnya status hukum anak mengenai
kewarganegaraan anak, terdaat perbedaan yang signifikan setelah dikeluarkannya Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2006 dibandingkan dengan peraturan sebelumnya (Undang- undang
No. 62 Tahun 1958).
(Diamantina, 2014) (Hidayat, Oktober 2013) (Suadi, 2018)Berdasarkan Latar
Belakang masalah di atas, rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian ini adalah
Bagaimana akibat hukum bagi anak-anak kawin campur yang terlambat memilih
kewarganegaraan dan juga tidak mendaftarkan kepada Menteri Hukum dan HAM dalam
rentang waktu yang sudah ditentukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006?
Sementara itu, tujuan penelitian untuk mengetahui dan menganalisis status
Perlindungan Hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan Campuran dan
tinggal di Indonesia.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang bahan penulisanya
dikumpulkan dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku
Page 1833
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023
A. Pengertian perkawinan campuran menurut Stb. 1898 No. 158 dalam pasal 1
dinyatakan sebagai berikut :
perkawinan campuran yaitu perkawinan antara orang-
orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan. Dari pengertian tersubut maka
yang termasuk sebagai perkawinan campuran adalah :
a. Perkawinan Internasional ; yaitu antara waganegara dan orang asing, antara orang-orang
asing dengan hukum berlainan, dan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri;
Page 1834
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023
B. Status Hukum Anak Akibat perkawinan campuran terhadap anak diatur dalam pasal
62 UU No. 1 Tahun 1974, yang menyatakan:
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur dengan pasal 59 Ayat (1) undang-
undang ini. Dengan demikian akibat perkawinan campuran terhadap anak yaitu: anak yang
dilahirkan sebagai akibat perkawinan campuran memperoleh hukum pubik maupun hukum
perdata dari ayahnya.
Untuk mengetahui status anak yang lahir dalam perkawinan campuran dengan sendirinya pun
harus berpedoman pada ketentuan UU Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958. Pada dasarnya UU
No. 62 Tahun 1958 menganut azas ius sanguinis sebagaimana dapat dibaca dalam pasal 1 huruf b
yang berbuni: “orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan
dengan ayahnya seorang warga Negara Indonesia, dengan pengertian tersebut telah ada sebelum
anak tersebut berumur 18 tahun, atau sebelum ia kawin di bawah usia 18 tahun. Keturunan dan
hubungan darah antara ayah dengan anak dipergunaan sebagai dasar menentukan kependudukan
kewarganegaraan anak yang dilahirkan alam perkawinan.
Seorang anak dianggap memiliki status kewarganegaraan seorang ayah, bila ada hubungan
keluarga. Jadi bila anak dilahirkan dalam perakawinan yang sah seperti tersebut dalam Pasal 42
UU No.1 Tahun 1974 maka kewarganegaraan ayah dengan sendirinya menentukan
kewarganegaraan anaknya.
Page 1835
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023
a. Pasal 1 huruf c UU No. 62 Tahun 1958 menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan dalam 300
hari setelah ayahnya wafat, apabila waktu meninggal dunia ayahnya adalah warga
Negara Republik Indonesia, maka anak tersebut memperoleh kewarganegaraan Republik
Indonesia.
b. Anak yang belum berusia 18 tahun pada waktu ayahnya memperoleh atau melepaskan
kewarganegaraan Republik Indonesia dan antara ayah dan anak terdapat hubungan hukum
keluarga, bila ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia karena naturalisasi,
maka anak yang belum berusia 18 tahun memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dan
anak tersebut harus bertempat tinggal di Indonesia (Pasal 14 Ayat (1) UU No. 62 Tahun 1958).
c. Hubungan keluarga antara anak dengan ayah tidak ada, apabila terjadi apa yang dimaksud
dalam pasal 43 UU Perkawinan, yaitu apabila terjadi anak dilahirkan di luar perkawinan. Dalam
hal demikian maka hanya ada hubungan anak dengan ibunya, dan anak memperoleh
kearganegaraan ibunya.
d. Juga dapat terjadi anak-anak kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya disebabkan
ayah atau ibunya kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia (Pasal 16 UU No. 62 Tahun
1958). Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 Pasal 4 huruf c dan d tentang
Kewarganegaraan RI Anak dari perkawinan campuran memiliki kewarganegaraan ganda hingga
di anak berusia 18 tahun atau sudah kawin dalam waktu paling lama tiga tahun setelah mencapai
umur 18 tahun maka anak harus menyatakan memilih kewarganegaraannya akan menjadi WNI
atau WNA, Negara asal ayah atau ibunya.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 6 apabila status kewarganegaraan ini menyebabkan anak
berkewarganegaraan ganda, maka setelah usia 18 tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus
menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Hal ini disebabkan karena UU No. 12 Tahun 2006 menganut asas kewarganegaraan ganda
terbatas bagi anak. Ketentuan ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemertintah No.2
tahun 2007 tentang Tata Cara, Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan Dan Memperoleh Kembali
Kewarganegaraan Indonesia, sedangkan pemberian fasilitas keimigrasian bagi anak
berkewarganegaraan ganda diatur dalam peraturan menteri dan HAM No. M.80- HI.04.01 Tahun
2007 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pencatatan dan Pemberian Fasilitas Kewarganegaraan
sebagai warga Negara Indonesia yang berkewarganegaraan Ganda.
Hal ini sejalan dengan Pasal 29 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa apabila terjadi perkawinan campuran antara warga
Negara Indonesia dan warga Negara asing anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak
memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Undang-undang No.12 Tahun 2006 ini menganut prinsip umum dan universal yang
diakui keberadaannya oleh negara-negara di dunia. Sejumlah prinsip itu antara lain pertama, asas
ius sanguinis adalah penentuan kewarganegaraan berdasarkan keturunan. Ius sanguinis,
menetapkan kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan kewarganegaraan orang tuanya,
tanpa mengindahkan di mana ia dilahirkan. Kedua, asas ius soli, adalah penentuan
Page 1836
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023
6
A. Mufti Hidayat. Implikasi Perkawinan Campuran Terhadap Status Kewarganegaraan Anak, Al-Daulah Vol. 3,
No.2, Oktober 2013, hlm. 389.
Page 1837
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023
wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-
anak yang dibawah umur.7
C. Perlindungan Hukum Bagi Anak yang Lahir dari Perkawinan Campuran yang
Berdomisili di Indonesia
Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman
terhadap hak asasi manusia yang dirugikan oleh orang lain dan perlindungan hukum itu
diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak yang diberikan oleh
hukum.8
Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua:
a. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan yang diberikan oleh
pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran.
b. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif adalah perlindungan akhir berupa sanksi seperti
denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi
sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk
mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum
sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk
yang bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka
menegakkan peraturan hukum. 9
Perlindungan hukum terhadap anak sebagaimana dinyatakan oleh Arif Gosta bahwa
perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Melindungi anak
adalah melindungi manusia, yaitu melindungi manusia seutuhnya. Mengabaikan
masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat
tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang
dapat menganggu ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional. Maka berarti
bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan
pembangunan nasional yang memuaskan. 10
Perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, namun secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-
7
https://jurnalhukum.blogspot.com/status-hukum-anak-hasil-perkawinan.
8
Satjipto Raharjo. Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2014, hlm.53.
9
Dewi Nasitah, Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Perkawinan Campuran (Analisis Yuridis Penetapan
Pengadilan Agama Trenggalek Nomor: 0102/Pdt.P/2013/Pa.Tl), hlm. 16.
10
Sri Turatmiyah, Hak-Hak Keperdataan Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi R.I. No. 46/PUU-
VIII/2010, Jurnal Simbur Cahaya, Volume XX, Nomor 50 Januari 2013, hlm.3458.
Page 1838
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023
Page 1839
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023
11
Anugerah Gilang Priandena, Perlindungan Hukum Bagi Anak yang Lahir dari Perkawinan Campuran, Jurnal
Jurisprudence, Vol. 4 No. 1 Maret 2014,hlm. 18.
Page 1840
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan :
1. Menurut UU No. 62 Tahun 1958:
a. anak yang dilahirkan dalam perkawinan campuran memperoleh status kewarganegaraan
ayahnya;
b. anak yang lahir di luar perkawinan antara keduanya yang berlainan status warga Negara, anak
itu mengikuti status kewarganegaraan ibunya yang melahirkan.
2. Menurut UU No. 12 Tahun 2006, anak yang lahir dalam perkawinan campuran mengikuti
kewarganegaraan ayah dan ibunya. Status hukum anak tersebut.
Ketika di telaah lebih lanjut bahwa Anak adalah subjek hukum yang belum cakap
melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang
memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU
Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak
dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak
hasil perkawinan campuran.
Page 1841
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 5, Issue 4, Juni 2023
DAFTAR PUSTAKA
A. Mufti Hidayat. Implikasi Perkawinan Campuran Terhadap Status Kewarganegaraan Anak,
Al-Daulah Vol. 3, No.2, Okt (Scalia, 2012)ober 2013, hlm. 389.
Amran Suadi, Aspek Perlindungan Anak Indonesia, Jakarta Timur : Prenadamedia
Group,2018,hlm,46-47
Andrean Hertawan, Status Kewarganegaraan Anak Dari Hasil Perkawinan Campuran.
http://andreanhartawaneblogs.blogspot.com/2011/11/status- kewarganegaraan-anak- dari-
hasil.html
Antonin Scalia, 2012, Reading Law : The Interpretation Of Legal Texts, Thomson, St. Paul,
hal.51
Anugerah Gilang Priandena, (Priandena, Maret 2014 ) Jurnal Jurisprudence, Vol. 4 No. 1 Maret
2014,hlm. 18
Dewi Nasitah, Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Perkawinan Campuran (Analisis Yuridis
Penetapan Pengadilan Agama Trenggalek Nomor: 0102/Pdt.P/2013/Pa.Tl), hlm. 16. 2013
https://jurnalhukum.blogspot.com/status-hukum-anak-hasil- perkawinan.
Laurensius Mamahit, Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Akibat Perkawinan Campuran Ditinjau
Dari Hukum Positif Indonesia, Jurnal Lex Privatum, Volume I, Nomor 1 Januari- Maret
2013,hlm. 2
Marsella, Kajian Hukum Terhadap Anak Dari Perkawinan Campuran, Mercatoria, Vol. 8 No.2
Desember 2015. (Marsella, 2015)
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan ke- 3, Jakarta Selatan;
Indonesia Legal Center Publishing,2011
Moch Faisal Salam, (Salam, 2005), Hukum Peradilan Anak di Indonesia (Bandung: Mandar
Maju, 2005), hlm. 2.
Satjipto Raharjo. Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2014,
hlm.53. (Rharjo, 2014)
Sri Turatmiyah, Hak-Hak Keperdataan Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
R.I. No. 46/PUU-VIII/2010, Jurnal Simbur Cahaya, Volume XX, Nomor 50 Januari 2013,
hlm.34 , 58. (Turatmiyah, 2014)
Amalia Diamantina, Perlindungan Hak Perempuan dalam Konteks
Hukum Kewarganegaraan yang Berkeadilan, Desertasi tahun 2014Hu
Norma dasar Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI
UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI
GHR Statblaad 1898 No. 158 tentang Perkawinan Campuran
UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Page 1842