Email: riskayunitasari013@gmail.com
Abstrak
Abstract
1
PENDAHULUAN
2
Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (Undang-Undang Perubahan Perlindungan Anak 2014)
3
dari persyaratan perkawinan adalah pembatasan usia perkawinan. UU No 1 Tahun
1974, dalam pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa : “usia nikah seorang pria adalah
19 tahun (Sembilan belas) tahun, sedangkan usia perkawinan seorang perempuan
adalah ketika ia mencapai 16 (enam belas) tahun”. Hal yang bertolak belakang
dengan indikasi hukum tercermin di dalam salah satu prinsip atau asas perkawinan
menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 prinsip tersebut adalah prinsip
kedewasaan calon mempelai yang kemudian dipertegas dengan adanya pembatasan
usia perkawinan. (Amin Summa, 2004:173-183)
METODE PENELITIAN
4
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan mencari,
memilah, menyajikan dan menganilisis data yang sesuai dengan tema penelitian.
Setelah data dikumpulkan kemudian dikategorikan data pustaka sebagai data
primer atau sekunder. Data yang didapat selanjutnya dideskripsikan dan diolah
sehingga mendapati data yang ringkas dan sistematis.
5
tertulis. Hukum perkawinan orang Indonesia asli yang beragama Islam tercantum
dalam kitab-kitab fikih, sementara menurut sistem hukum yang berlaku, hal
tersebut tidak dapat digolongkan kedalam kategori “hukum tertulis” karena tidak
tertulis di dalam peraturan perundang-undangan. Hukum tertulis yang dimaksud
jelas hukum positif yang dapat diberlakukan dan diterapkan secara pasti, terutama
bagi hakim yang menyelesaikan perkara, juga sebagai pedoman masyarakat luas
dalam melakukan tindakan hukum, sehingga jika terjadi pelanggaran hak orang lain
dapat dilakukan tindakan hukum yang sifatnya mengikat secara pasti. (Daud Ali,
2011: 21)
6
Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 bab dan 73 pasal. RUU ini
mempunyai tiga tujuan, yaitu :
(b) untuk melindungi hak-hak kaum perempuan sekaligus memenuhi keinginan dan
harapan kaum perempuan serta
7
tentang Kompilasi Hukum Islam, yang keduanya hanya merupakan catatan kaki dan
pelengkap dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
8
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka
dengan karunia-Nya, dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(Q.s. al-Nû r [24]: 32).
Dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa ayat ini adalah sebuh perintah
untuk menikah sebagaimana pendapat sebagian dari ulama mewajibkan nikah bagi
mereka yang mampu. Al-Maraghy menafsirkan sebagaimana yang dikutip oleh
Mustofa, kalimat washâ lihîn, para laki-laki atau perempuan yang mampu untuk
menikah dan menjalankan hak-hak suami istri, seperti berbadan sehat, mempunyai
harta dan lain-lain. (Ibnu Katsir al-Damasqy, 2004: 269) Quraish Shihab menafsirkan
ayat tersebut “washalihin”, yaitu seseorang yang mampu secara mental dan spiritual
untuk membina rumah tangga, bukan berarti yang taat beragama, karena fungsi
perkawinan memerlukan persiapan bukan hanya materi, tetapi juga persiapan
mental maupun spiritual, baik bagi calon laki-laki maupun calon perempuan.
Disebutkan juga dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 6, yakni sebagai berikut :
وا ٱلنِّ َكا َح فَ ِإ ۡن َءانَ ۡس تُم ِّم ۡنهُمۡ ر ُۡش ٗدا فَ ۡٱدفَع ُٓو ْا ِإلَ ۡي ِهمۡ َأمۡ ٰ َولَهُمۡۖ َواَل ْ وا ۡٱليَ ٰتَ َم ٰى َحتَّ ٰ ٓى ِإ َذا بَلَ ُغ
ْ َُو ۡٱبتَل
يرا فَ ۡليَ ۡأ ُك ۡلٗ ِان فَق َ ف َو َمن َك ۖۡ ِان َغنِ ٗيّ ا فَ ۡليَ ۡس تَ ۡعف
َ ُوا َو َمن َك ْ ۚ تَ ۡأ ُكلُوهَٓا ِإ ۡس َر ٗافا َوبِ َدارًا َأن يَ ۡكبَ ر
٦ وا َعلَ ۡي ِهمۡۚ َو َكفَ ٰى بِٱهَّلل ِ َح ِسيبٗ ا ِ ۚ بِ ۡٱل َم ۡعر
ْ ُوف فَِإ َذا َدفَ ۡعتُمۡ ِإلَ ۡي ِهمۡ َأمۡ ٰ َولَهُمۡ فََأ ۡش ِه ُد
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak
yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesagesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara
itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)
dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah
sebagai Pengawas (atas persaksian).(Q.s. al-Nisa’ [4]: 6)
9
Dalam Tafsir Ayat al-Ahkam bahwa seseorang anak dikatakan baligh apabila
laki-laki telah bermimpi, sebagaimana telah disepakati ulama bahwa anak yang
sudah bermimpi lantas ia junub (keluar mani) maka dia telah baligh, sedangkan ciri-
ciri wanita ketika sudah hamil atau haidh maka itulah batasan baligh. ( Ali al-Shabuny,
2004: 153) Dijelaskan juga dalam Tafsir Al-Misbah, makna kata dasar rushdan adalah
ketepatan dan kelurusan jalan. Maka lahir kata rushd bagi manusia adalah
kesempurnaan akal dan jiwa yang menjadikanya mampu bersikap dan bertindak
setepat mungkin. Al-Maraghi menafsirkan, yang dikutip oleh Mustofa, dewasa
“rushdan” yaitu apabila seseorang mengerti dengan baik cara menggunakan harta
dengan membelanjakannya, sedang yang disebut baligh al-nikah ialah jika umur
telah siap menikah. Ini artinya, al-Maraghi menginterpretasikan bahwa orang yang
belum dewasa tidak boleh dibebani persoalan-persoalan tertentu. Menurut Rasyid
Ridha, kalimat “baligh al-nikah” menunjukkan bahwa usia seseorang untuk
menikah, yaitu sampai bermimpi, pada umur ini seseorang telah dapat melahirkan
anak dan memberikan keturunan sehingga tergerak hatinya untuk menikah.
Kepadanya juga dibebankan hukum agama, seperti ibadah dan mu’amalah serta
diterapkannya hudud. Karena itu rusydan adalah kepantasan sesorang dalam
bertasarruf serta mendatangkan kebaikan. Pandai dalam mentasyarrufkan dan
menggunakan harta kekayaan, walaupun masih awam dan bodoh dalam agama.
(LTN PBNU, 2010: 9)
Menurut Hanafi, tanda baligh bagi seorang laki-laki ditandai dengan mimpi
dan keluarnya mani, sedangkan perempuan ditandai dengan haid, namun jika tidak
10
ada tanda-tanda bagi keduanya maka ditandai dengan tahun yaitu 18 tahun bagi
laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Menurut Imam Malik, baligh ditandai
dengan tanda keluarnya mani secara mutlak dalam kondisi menghayal atau sedang
tertidur, atau ditandai dengan beberapa tumbuhnya rambut di anggota tubuh.
Menurut Imam Syafi’i bahwa batasan baligh adalah 15 tahun bagi laki-laki dan 9
tahun bagi perempuan. Menurun Hanbali, bagi laki-laki ditandai dengan mimpi atau
umur 15 tahun, sedangkan bagi perempuan ditandai dengan haidh. Hal ini dapat
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu kedewasaan pada dasarnya
dapat ditentukan dengan umur, dan dapat pula dengan tanda-tanda, sebagaimana
hadis yang diriwayatkan Aisyah yang berbunyi:
“Dari Aisyah ra. dari Nabi Saw., bersabda: terangkat qalam (pertanggungjawaban)
dari tiga hal: orang yang tidur hingga ia terbangun, dari anak kecil hingga ia mimpi,
dari orang gila hingga ia siuman (sembuh), dan sadar”. (H.r. Ahmad dan Imam Empat
kecuali Timidzi).
Di dalam Bab I pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan tentang definisi dan
tujuan perkawinan, yaitu “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Banyak faktor yang harus diperhatikan untuk dapat terwujudnya keluarga yang
bahagia dan kekal tersebut, antara lain adalah kesiapan dan kematangan calon
suami maupun istri untuk berumah tangga. Kesiapan dan kemantangan ini
11
mencakup fisik, mental, dan material. Sehubungan dengan hal tersebut, ketentuan
batas usia perkawinan menurut UU Nomor 1 tentang Perkawinan 1974, dijelaskan
pada pasal 7 berikut ini:
Pasal 7 :
(1) Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
pria maupun pihak wanita.
Pada dasarnya batasan usia perkawinan di Indoneia tidak konsisten. Di satu sisi,
pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seseorang
yang belum mencapai umur 21 harus mendapatkan ijin kedua orang tua, di sisi lain
pada pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Bedanya, jika kurang dari 21 tahun, yang diperlukan ijin orang tua, dan jika kurang
dari 19 tahun, perlu ijin pengadilan. Secara lengkap pasal 6 yang membahas tentang
batasan usia perkawinan 21 tahun dan perlu ijin dari pihak orang tua atau wali,
sebagai berikut:
Pasal 6:
12
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke bawah selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat
(2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak
menyatakan kehendaknya maka pengadilan dalam daerah hukum tempat orang
yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.79 Perbedaan batasan perkawinan yang
berlaku di Indonesia dalam kacamata ijtihad, adalah hal yang wajar karena
bersifat
13
membolehkan anak yang belum dewasa (berumur dibawah 21 tahun bagi laki-laki
dan dibawah 18 tahun bagi perempuan) untuk melangsungkan perkawinan.
14
Konsep anak atau seseorang dikatakan dewasa, sehingga mampu
bertanggung jawab sangat bervariasi. Undang-undang R.I No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak disebutkan pada pasal 1 ayat (1) :
”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. termasuk anak yang
masih dalam kandungan”.
”Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin”.
Pada pasal 4 ayat (1) disebutkan: ”Batas umur Anak Nakal yang dapat
diajukan ke Sidang Anak adalah sekurangkurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”. Usia anak
sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang R.I No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pada pasal 26:
”Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun”.
Sedang yang dimaksud dengan anak dalam Undang-undang R.I No. 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak pasal 2 disebutkan: Anak adalah seseorang yang
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
Ketetapan batas usia anak yang terdapat dalam regulasi atau aturan perundang-
undangan tersebut bervariasi. Demikian pula batas usia berkaitan dengan hak-hak
yang diberikan kepada seseorang, ketika ia dianggap mampu atau cakap untuk
bertindak di dalam hukum juga bervariasi.
15
Dalam Undang-undang R.I No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
disebutkan pada pasal 7 (ayat 1): ”Syarat mendapat izin perkawinan laki-laki
minimal 19 tahun dan perempuan 16 tahun”. Adapun penjelasan pasal itu yakni
untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas
umur untuk perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam, ketentuan tersebut
semakin ditegaskan, sebagaimana dinyatakan pada pasal 15 ayat (1) sebagi berikut:
Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7
Undang-undang R.I No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Bahkan di
dalam Peraturan Pemerintah R.I No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Hukum
Perkawinan diatur ulang. Bagi pasangan yang ingin menikah di bawah usia yang
telah ditetapkan diperbolehkan, dengan syarat mendapatkan dispensasi nikah dari
Pengadilan Agama. Hal ini berarti memberi peluang bagi seseorang untuk
melakukan pernikahan pada usia anak-anak.
Batas usia yang digunakan dalam Undang-undang R.I No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, jelas bertentangan dengan Undang-undang R.I No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak (1990) yang diratifikasi
melalui Kepres R.I Tahun 2000 mengenai Hak Anak yang isinya menegaskan batas
usia anak adalah 18 tahun. Dengan demikian, tuntutan perubahan standar usia
perkawinan dalam undang-undang perkawinan, hendaknya di respon positif oleh
para penentu kebijakan. Sebagai produk hukum, UUP perlu dikaji ulang setelah 34
tahun diberlakukan. Perlu dilakukan evaluasi, sejauhmana efektifitasnya dalam
mengatur perilaku masyarakat dalam perkawinan dan bagaimana respon
masyarakat terhadap UUP, apakah masih relevan untuk digunakan saat ini.
Diharapkan aturan hukum yang ditetapkan, dapat dipatuhi oleh masyarakat, dengan
menitikberatkan pada aspek maslahah (manfaat) yang menjadi tujuan
ditetapkannya aturan tersebut.
SIMPULAN
16
Ketidaktegasan undang-undang dalam menentukan batas usia perkawinan
berimplikasi terhadap pelaksanaannya di dalam masyarakat. Apalagi di dalam
keyakinan agama yang dianut masyarakat juga tidak ditentukan secara tegas.
Mengingat tujuan perkawinan yang luhur, batas usia untuk melangsungkan
perkawinan perlu ditegaskan oleh undang-undang, yaitu 21 tahun bagi pria dan 19
tahun bagi wanita (merevisi pasal 7 ayat 1 yang menyebutkan 19 tahun bagi pria
dan 16 tahun bagi wanita). Tidak perlu ada dispensasi terhadap hal tersebut seperti
yang disebutkan dalam pasal 7 ayat 2 dan 3.
DAFTAR PUSTAKA
17
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: CV Akademika Pressindo,
1987)
Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 57. Penjelasan Umum UU No. 1 tahun 1974 jo.
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Perkawinan, (Jakarta, Pradnya
Paramita, , 1977)
al-Imam Abi Fada’ al-Hafidz Ibnu Katsir al-Damasqy, Tafsir Ibnu Katsir,
(Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004
Muhammad Ali al-Shabuny, Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, (Bayrut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999)
18