Anda di halaman 1dari 18

DINAMIKA PEMBAHARUAN BATAS USIA PERKAWINAN

(Analisis batas umur melangsungkan pernikahan dalam Hukum


Nasional Indonesia)
Riska Yunitasari

Mahasiswa PASCASARJANA IAIN Tulungagung, Indonesia

Email: riskayunitasari013@gmail.com

Abstrak

Terjadi inkonsistensis terhadap batas usia perkawinan dalam peraturan perundang-


undangan, dimana dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan disebutkan bahwa kedewasaan seorang anak adalah apabila
laki-laki berumur 21 tahun dan perempuan berumur 18 tahun. Dalam pasal 7 ayat
(1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa
perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita
telah mencapai umur 16 tahun.

Kata kunci: undang-undang, perkawinan, kedewasaan.

Abstract

There is an inconsistency towards the marriage age limit in statutory regulations,


where in Article 7 paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 concerning marriage it is
stated that the maturity of a child is if a 21-year-old male and female 18-year-old. In
Article 7 paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 concerning marriage it is stated that
marriage is only permitted if men have reached the age of 19 years and women have
reached the age of 16 years.

Keyword : law, marriage, maturity.

1
PENDAHULUAN

Angka perkawinan anak di Indonesia realitasnya relatif tinggi, yaitu sekitar 1


di antara 9 anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun atau sekitar 375 anak
perempuan menikah setiap hari. Dampak dari perkawinan anak sangat beragam,
yakni bagi anak yang dikawinkan akan kehilangan hak-hak untuk tumbuh dan
kembang, hak atas pendidikan tercerabut, dan kerentanan mengalami kekerasan
seksual. Dampak lainnya, kehamilan anak berkontribusi terhadap tingginya angka
kematian ibu yang melahirkan, sehingga banyak terdapat kelahiran bayi-bayi
malnutrisi dan anak stunting.

Praktik perkawinan anak di Indonesia terjadi karena berbagai faktor yang


saling memengaruhi: kemiskinan, budaya, intepretasi agama, dan dampak negatif
dari perkembangan teknologi. Selain itu, kondisi-kondisi khusus seperti konflik dan
migrasi turut berpengaruh terhadap terjadinya praktik perkawinan anak. Hukum
termasuk faktor yang memberi peluang bagi masyarakat untuk melegitimasi
perkawinan anak. Undang-Undang Perkawinan memberikan batas usia minimum
perkawinan yang berbeda, yaitu 16 tahun untuk calon mempelai perempuan dan 19
tahun untuk calon mempelai laki-laki. Selain itu, praktik perkawinan anak di bawah
usia minimum perkawinan juga terjadi. Pasangan yang salah satu atau keduanya di
bawah usia minimum dapat melangsungkan perkawinan setelah mendapatkan
dispensasi dari Pengadilan atau pejabat lainnya. Ketentuan ini jelas bertentangan
dengan Undang-Undang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa mereka yang
berusia 0-18 tahun tergolong anak dan Negara berkewajiban untuk melindungi,
menghormati, menegakkan dan memenuhi hak-hak anak sebagaimana diatur dalam
undang-undang tersebut.

Apabila kita melihat Pasca-Reformasi 1998, produk-produk hukum berupa


undang-undang yang menjamin hak anak dibentuk oleh DPR dan Pemerintah RI.
Undang-undang tersebut antara lain meliputi:

• Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU


Perlindungan Anak 2002) yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 35

2
Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (Undang-Undang Perubahan Perlindungan Anak 2014)

• Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi
Undang-undang.

• Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Bahwa undang-undang tersebut menunjukkan politik hukum Indonesia


menjunjung hak-hak anak dan memberikan jaminan perlindungan terhadap hak
anak. Hanya saja, masih terdapat disharmoni antara UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UU Perkawinan) dengan peraturan perundang-undangan yang
menjamin perlindungan hak anak dalam hal usia perkawinan. Undang-undang yang
secara khusus mengatur perlindungan hak-hak anak mendefinisikan anak sebagai
seseorang yang belum berusia 18 tahun.

Seseorang di bawah usia 18 tahun diperlakukan sebagai anak dan karenanya


berlaku hak-hak anak sebagaimana diatur di dalam beberapa undang-undang di
atas. Undang-Undang Perkawinan mengatur usia perkawinan sebagai berikut:
pertama, usia ideal perkawinan, yaitu 21 tahun. Pada usia ini, seseorang dianggap
sudah dapat melakukan perkawinan tanpa membutuhkan persetujuan kedua orang
tuanya. Kedua, usia minimal perkawinan yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan: 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Perkawinan yang
diselenggarakan dalam batasan usia perkawinan tersebut hingga 21 tahun, maka
perkawinan hanya dapat dilakukan berdasarkan izin dari orang tua. Selanjutnya,
perkawinan di bawah usia

Batas usia perkawinan sangatlah penting yang perlu diperhatikan dalam


melakukan suatu perkawianan. Karena dengan usia yang terlalu muda ketika
seseorang melakukan suatu perkawinan dapat mempengaruhi dalam menjalanakan
rumah tangganya. Adapun hal yang paling rentan terhadap terjadinya pengabaian

3
dari persyaratan perkawinan adalah pembatasan usia perkawinan. UU No 1 Tahun
1974, dalam pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa : “usia nikah seorang pria adalah
19 tahun (Sembilan belas) tahun, sedangkan usia perkawinan seorang perempuan
adalah ketika ia mencapai 16 (enam belas) tahun”. Hal yang bertolak belakang
dengan indikasi hukum tercermin di dalam salah satu prinsip atau asas perkawinan
menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 prinsip tersebut adalah prinsip
kedewasaan calon mempelai yang kemudian dipertegas dengan adanya pembatasan
usia perkawinan. (Amin Summa, 2004:173-183)

Pemerintah dalam menetapkan batas usia perkawinan memiliki perhatian


khusus terhadap pelaksanaan perkawinan. Terutama mengenai batas usia
pemerintah sudah mempertimbangkan berbagai hal untuk menetapkan batas usia
perkawinan. Pemerintah menetapkan usia perkawinan salah satunya juga
mempertimbangkan tingkat kedewasaan seseorang. Dikarenakan pemerintah
merupakan pihak yang paling berpengaruh dalam efektivitas penerapan batas usia
perkawinan. Batas Usia nikah yang terdapat dalam Undang-Undang No 1 Tahun
1974 merupakan dasar atau batas usia terhadap seseorang dikatakan mampu
berbuat hukum dan dapat dimintai pertanggung jawaban atas apa yang telah
diperbuatnya. Untuk itu dalam melakukan suatu perbuatan hukum tentunya
seseorang sudah dapat dikatakan dewasa, dewasa dalam pemikiran maupun
perbuatan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat studi


kepustakaan, hal ini berkaitan dengan hal-hal yang menitikberatkan pada masalah
batas ideal pernikahan, yaitu berusaha mendiskripsikan secara detail tentang batas
usia ideal pernikahan dari berbagai perspektif, yaitu dari al-Qur’an dan hadis, UU
No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan juga menurut Undang-undang
Perlindungan Anak. Sumber data dari penelitian ini diambil dari Al-Qur’an dan
Hadis, kitab Undang-undang, buku-buku dan beberapa sumber yang berkaitan
dengan masalah batas usia perkawinan.

4
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan mencari,
memilah, menyajikan dan menganilisis data yang sesuai dengan tema penelitian.
Setelah data dikumpulkan kemudian dikategorikan data pustaka sebagai data
primer atau sekunder. Data yang didapat selanjutnya dideskripsikan dan diolah
sehingga mendapati data yang ringkas dan sistematis.

Historisitas Pembentukan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Sebelum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan lahir,


umat Islam di Indonesia menggunakan hukum Islam sebagai pedoman hukum
perkawinannya. Hukum Islam yang telah diresepsi ke dalam hukum adat
mendapatkan pengakuan dari Indische Staats Regeling (ISR), khususnya pasal 163,
yang membedakan tiga golongan penduduk, yaitu :

a) Golongan Eropa (termasuk Jepang)

b) Golongan pribumi (orang Indonesia asli)

c) Golongan Timur Asing.

Bagi golongan pribumi yang beragama Islam berlaku hukum adatnya.


Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa
dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah
mendapat pengakuan hukum dalam ISR, kaum perempuan merefleksikan hal
tersebut dalam pertemuanpertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-
Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo (Arso Sosroatmojo, dkk, 2010:9) mencatat
sejak Kongres Perempuan Indonesia pada tahun 1928, diadakan forum yang
membahas permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan
umat Islam, seperti perkawinan paksa, perkawinan anak di bawah umur, poligami
dan talak yang sewenang-wenang.

Berdasarkan hal-hal tersebut, kaum perempuan mendesak untuk


dibentuknya suatu perundang-undangan yang dapat melindungi kaum perempuan
dalam perkawinan, yang hak-hak dan kewajibannya tidak diatur dalam hukum

5
tertulis. Hukum perkawinan orang Indonesia asli yang beragama Islam tercantum
dalam kitab-kitab fikih, sementara menurut sistem hukum yang berlaku, hal
tersebut tidak dapat digolongkan kedalam kategori “hukum tertulis” karena tidak
tertulis di dalam peraturan perundang-undangan. Hukum tertulis yang dimaksud
jelas hukum positif yang dapat diberlakukan dan diterapkan secara pasti, terutama
bagi hakim yang menyelesaikan perkara, juga sebagai pedoman masyarakat luas
dalam melakukan tindakan hukum, sehingga jika terjadi pelanggaran hak orang lain
dapat dilakukan tindakan hukum yang sifatnya mengikat secara pasti. (Daud Ali,
2011: 21)

Setelah Indonesia merdeka, langkah perbaikan yang dilakukan oleh


pemerintah antara lain mengeluarkan Undang-undang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk (NTR) pada tahun 1946. Disusul dengan Peraturan Mentri Agama mengenai
wali hakim dan tata cara pemeriksaan perkara fasid nikah, talak dan rujuk di
Pengadilan Agama. Namun demikian, tuntutan untuk perbaikan belumlah terpenuhi,
karena undang-undang dan peraturan-peraturan tersebut hanya terkait dengan
masalah formal belaka. Hukum materilnya, yaitu undang-undang yang mengatur
perkawinan itu sendiri belum ada. Pada akhir tahun 1950, berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuk
Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat
Islam. Sementara itu, berbagai organisasi terus menerus mendesak Pemerintah dan
DPR agar secepat mungkin merampungkan penggarapan Rancangan Undang-
undang (RUU) hukum perkawinan untuk segera diundangkan. Usaha umat Islam
untuk memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam
tersebut tidak berhasil, dan DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan
RUU tersebut ke pemerintah.

Selain itu, Badan Musyawarah Organisasi Wanita Islam Indonesia pada


tanggal 22 Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak
pemerintah agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat
Islam dan RUU tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan. Akhirnya setelah
bekerja keras, tanggal 31 Juli 1973 pemerintah menyampaikan RUU tentang

6
Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 bab dan 73 pasal. RUU ini
mempunyai tiga tujuan, yaitu :

(a) memberikan kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab


sebelum adanya undang-undang maka perkawinan hanya bersifat judge made
law

(b) untuk melindungi hak-hak kaum perempuan sekaligus memenuhi keinginan dan
harapan kaum perempuan serta

(c) menciptakan undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Dengan melalui proses yang cukup panjang ini, setelah mendapat


persetujuan dari DPR, Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Perkawinan
pada tanggal 2 Januari 10974 dalam Lembaran Negara Nomor 1 tahun 1974. Pada
tanggal 1April 1975, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang
memuat peraturan pelaksanaan UU Perkawinan tersebut. Pada tanggal 1 Oktober
1975, UU No. 1 tahun 1974 sudah dapat berjalan dengan efektif.

Disahkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan


memang menjadi angin segar dan oase di tengah gurun protes beberapa organisasi
besar terhadap pemerintah, khususnya aktivis perempuan Indonesia dari kalangan
muslim, yang merasa hak-haknya terkebiri oleh pemahaman konvensional tentang
peran dan kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat serta
pemahaman fikih klasik yang cenderung patriarkhis. Reaksi atas keburukan-
keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat muslim seperti
perkawinan di bawah umur, kawin paksa, talak serampangan dan sebagainya,
mendapatkan tanggapan positif dari pemegang kebijakan pada waktu itu dengan
lahirnya undang-undang tersebut. Sudah hampir setengah abad Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut berlaku bagi seluruh warga negara
Indonesia. Hanya ada beberapa perundang-undangan dan peraturan yang
dikeluarkan setelah itu, seperti Undang-Undang No. 10 tahun 1983 tentang izin
perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil dan Inpres No. 1 Tahun 1991

7
tentang Kompilasi Hukum Islam, yang keduanya hanya merupakan catatan kaki dan
pelengkap dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Selanjutnya, pada tanggal 16 September 2019  Dewan Perwakilan Rakyat


(DPR) RI secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan menjadi Undang-undang. Proses persetujuan
diambil melalui rapat paripurna ke-8 tahun sidang 2019-2020 yang digelar di
Kompleks MPR/DPR, Jakarta. Dimana batas usia perkawinan di Indonesia
menyebutkan bahwa batas usia perkawinan menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan 19
tahun juga bagi perempuan. Kebijakan ini dinilai positif karena mmpertimbangkan
aspek kematangan biologis, psikologis, dan sosial budaya. Pada usia tersebut anak
sudah menyelesaikan pendidikan pada jenjang SMA. Dari segi peraturan hukum
nasional ketentuan baru terkait batas usia perkawinan juga tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan
Konvensi Hak Anak Tahun 1990 yang telah diratifikasi melalui Kepres Tahun 2000
mengenai hak anak yang isinya menegaskan bahwa batas usia anak adalah 18 tahun.
Dengan adanya ketentuan yang mengatur batas usia perkawinan menjadi 19 tahun
bagi laki-laki dan perempuan, maka akan mempengaruhi peluang terjadinya praktik
pernikahan di bawah umur.

Batas Usia perkawinan menurut Al-Qur’an, Hadis dan Ulama’ Madzhab

Beberapa ayat tentang pernikahan dalam Alqur’an terdapat 23 ayat. Tetapi


tidak ada ayat satupun yang menjelaskan batasan usia nikah. Namun jika diteliti
lebih lanjut, ayat yang berkaitan dengan kelayakan seseorang untuk menikah ada
dua ayat dalam Alquran, yaitu surat al-Nû r ayat 32, yang artinya:

‫وافُقَ َرٓا َء ي ُۡغنِ ِه ُم ٱهَّلل ُ ِمن‬


ْ ُ‫ين ِم ۡن ِعبَ ا ِد ُكمۡ َوِإ َم ٓاِئ ُكمۡۚ ِإن يَ ُكون‬ َّ ٰ ‫وا ٱَأۡل ٰيَ َم ٰى ِمن ُكمۡ َو‬
َ ‫ٱلص لِ ِح‬ ْ ‫َوَأن ِك ُح‬
٣٢ ‫يم‬ٞ ِ‫ضلِ ِۗۦه َوٱهَّلل ُ ٰ َو ِس ٌع َعل‬
ۡ َ‫ف‬

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang


yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba

8
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka
dengan karunia-Nya, dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(Q.s. al-Nû r [24]: 32).

Dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa ayat ini adalah sebuh perintah
untuk menikah sebagaimana pendapat sebagian dari ulama mewajibkan nikah bagi
mereka yang mampu. Al-Maraghy menafsirkan sebagaimana yang dikutip oleh
Mustofa, kalimat washâ lihîn, para laki-laki atau perempuan yang mampu untuk
menikah dan menjalankan hak-hak suami istri, seperti berbadan sehat, mempunyai
harta dan lain-lain. (Ibnu Katsir al-Damasqy, 2004: 269) Quraish Shihab menafsirkan
ayat tersebut “washalihin”, yaitu seseorang yang mampu secara mental dan spiritual
untuk membina rumah tangga, bukan berarti yang taat beragama, karena fungsi
perkawinan memerlukan persiapan bukan hanya materi, tetapi juga persiapan
mental maupun spiritual, baik bagi calon laki-laki maupun calon perempuan.

Disebutkan juga dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 6, yakni sebagai berikut :

‫وا ٱلنِّ َكا َح فَ ِإ ۡن َءانَ ۡس تُم ِّم ۡنهُمۡ ر ُۡش ٗدا فَ ۡٱدفَع ُٓو ْا ِإلَ ۡي ِهمۡ َأمۡ ٰ َولَهُمۡۖ َواَل‬ ْ ‫وا ۡٱليَ ٰتَ َم ٰى َحتَّ ٰ ٓى ِإ َذا بَلَ ُغ‬
ْ ُ‫َو ۡٱبتَل‬
‫يرا فَ ۡليَ ۡأ ُك ۡل‬ٗ ِ‫ان فَق‬ َ ‫ف َو َمن َك‬ ۖۡ ِ‫ان َغنِ ٗيّ ا فَ ۡليَ ۡس تَ ۡعف‬
َ ‫ُوا َو َمن َك‬ ْ ۚ ‫تَ ۡأ ُكلُوهَٓا ِإ ۡس َر ٗافا َوبِ َدارًا َأن يَ ۡكبَ ر‬
٦ ‫وا َعلَ ۡي ِهمۡۚ َو َكفَ ٰى بِٱهَّلل ِ َح ِسيبٗ ا‬ ِ ۚ ‫بِ ۡٱل َم ۡعر‬
ْ ‫ُوف فَِإ َذا َدفَ ۡعتُمۡ ِإلَ ۡي ِهمۡ َأمۡ ٰ َولَهُمۡ فََأ ۡش ِه ُد‬

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak
yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesagesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara
itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)
dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah
sebagai Pengawas (atas persaksian).(Q.s. al-Nisa’ [4]: 6)

9
Dalam Tafsir Ayat al-Ahkam bahwa seseorang anak dikatakan baligh apabila
laki-laki telah bermimpi, sebagaimana telah disepakati ulama bahwa anak yang
sudah bermimpi lantas ia junub (keluar mani) maka dia telah baligh, sedangkan ciri-
ciri wanita ketika sudah hamil atau haidh maka itulah batasan baligh. ( Ali al-Shabuny,
2004: 153) Dijelaskan juga dalam Tafsir Al-Misbah, makna kata dasar rushdan adalah
ketepatan dan kelurusan jalan. Maka lahir kata rushd bagi manusia adalah
kesempurnaan akal dan jiwa yang menjadikanya mampu bersikap dan bertindak
setepat mungkin. Al-Maraghi menafsirkan, yang dikutip oleh Mustofa, dewasa
“rushdan” yaitu apabila seseorang mengerti dengan baik cara menggunakan harta
dengan membelanjakannya, sedang yang disebut baligh al-nikah ialah jika umur
telah siap menikah. Ini artinya, al-Maraghi menginterpretasikan bahwa orang yang
belum dewasa tidak boleh dibebani persoalan-persoalan tertentu. Menurut Rasyid
Ridha, kalimat “baligh al-nikah” menunjukkan bahwa usia seseorang untuk
menikah, yaitu sampai bermimpi, pada umur ini seseorang telah dapat melahirkan
anak dan memberikan keturunan sehingga tergerak hatinya untuk menikah.
Kepadanya juga dibebankan hukum agama, seperti ibadah dan mu’amalah serta
diterapkannya hudud. Karena itu rusydan adalah kepantasan sesorang dalam
bertasarruf serta mendatangkan kebaikan. Pandai dalam mentasyarrufkan dan
menggunakan harta kekayaan, walaupun masih awam dan bodoh dalam agama.
(LTN PBNU, 2010: 9)

Berdasarkan penafsiran ayat di atas, menunjukkan bahwa kedewasaan dapat


ditunjukkan melalui mimpi dan rusydan. Akan tetapi rusydan dan umur kadang-
kadang tidak bisa dan sukar ditentukan. Seseorang yang sudah mimpi adakalanya
belum rusydan dalam tindakannya, atau disebutkan dalam Kamus Ilmiah adalah
kedewasaan (kebenaran) telah nyata. Dijelaskan dalam Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib
al-Arba’ah, batas baligh seorang anak biasanya ditandai dengan tahun, namun
terkadang ditandai dengan tanda yaitu mimpi bagi laki-laki dan haid bagi
perempuan.

Menurut Hanafi, tanda baligh bagi seorang laki-laki ditandai dengan mimpi
dan keluarnya mani, sedangkan perempuan ditandai dengan haid, namun jika tidak

10
ada tanda-tanda bagi keduanya maka ditandai dengan tahun yaitu 18 tahun bagi
laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Menurut Imam Malik, baligh ditandai
dengan tanda keluarnya mani secara mutlak dalam kondisi menghayal atau sedang
tertidur, atau ditandai dengan beberapa tumbuhnya rambut di anggota tubuh.
Menurut Imam Syafi’i bahwa batasan baligh adalah 15 tahun bagi laki-laki dan 9
tahun bagi perempuan. Menurun Hanbali, bagi laki-laki ditandai dengan mimpi atau
umur 15 tahun, sedangkan bagi perempuan ditandai dengan haidh. Hal ini dapat
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu kedewasaan pada dasarnya
dapat ditentukan dengan umur, dan dapat pula dengan tanda-tanda, sebagaimana
hadis yang diriwayatkan Aisyah yang berbunyi:

“Dari Aisyah ra. dari Nabi Saw., bersabda: terangkat qalam (pertanggungjawaban)
dari tiga hal: orang yang tidur hingga ia terbangun, dari anak kecil hingga ia mimpi,
dari orang gila hingga ia siuman (sembuh), dan sadar”. (H.r. Ahmad dan Imam Empat
kecuali Timidzi).

Berdasarkan hadis di atas, ciri utama baligh adalah dengan tanda-tanda


seperti mimpi bagi anak laki-laki, dan haidh bagi peremuan. Hadis ini tidak
mengisyaratkan tentang batasan baligh, hanya menjelaskan tentang tanda-tanda
baligh (alamat al-baligh). Secara ekplisit para fukaha tidak sepakat tehadap batas
usia minimal perkawinan, namun berpandangan bahwa baligh bagi seorang itu
belum tentu menunjukkan kedewasaannya.

Konsep “kedewasaan” untuk melangsungkan perkawinan menurut UU No. 1 tahun


1974

Di dalam Bab I pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan tentang definisi dan
tujuan perkawinan, yaitu “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Banyak faktor yang harus diperhatikan untuk dapat terwujudnya keluarga yang
bahagia dan kekal tersebut, antara lain adalah kesiapan dan kematangan calon
suami maupun istri untuk berumah tangga. Kesiapan dan kemantangan ini

11
mencakup fisik, mental, dan material. Sehubungan dengan hal tersebut, ketentuan
batas usia perkawinan menurut UU Nomor 1 tentang Perkawinan 1974, dijelaskan
pada pasal 7 berikut ini:

Pasal 7 :

(1) Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun.

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
pria maupun pihak wanita.

(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang


tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undangundang ini, berlaku juga dalam
hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi
yang dimaksud dalam asal 6 ayat (6).

Pada dasarnya batasan usia perkawinan di Indoneia tidak konsisten. Di satu sisi,
pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seseorang
yang belum mencapai umur 21 harus mendapatkan ijin kedua orang tua, di sisi lain
pada pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Bedanya, jika kurang dari 21 tahun, yang diperlukan ijin orang tua, dan jika kurang
dari 19 tahun, perlu ijin pengadilan. Secara lengkap pasal 6 yang membahas tentang
batasan usia perkawinan 21 tahun dan perlu ijin dari pihak orang tua atau wali,
sebagai berikut:

Pasal 6:

1) Perkawinan harus didasarkan atas petunjuk kedua calon mempelai.

2) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai usia 21 (dua


puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua.

12
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.

4) Dalam hal orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke bawah selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.

5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat
(2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak
menyatakan kehendaknya maka pengadilan dalam daerah hukum tempat orang
yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.79 Perbedaan batasan perkawinan yang
berlaku di Indonesia dalam kacamata ijtihad, adalah hal yang wajar karena
bersifat

Ketentuan batas umur ini, seperti disebutkan di dalam Kompilasi Hukum


Islam pasal 15 ayat (1), di dasarkan pada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan
rumah tangga perkawinan. Untuk itulah harus dicegah adanya perkawinan antara
calon suami dan calon istri yang masih dibawah umur. Kebijakan pemerintah dalam
menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan
berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benarbenar
siap dan matang dari segi fisik, psikis, dan mental untuk melangsungkan
perkawinan. Kedewasaan seorang anak menurut undang-undang ini jika laki-laki
berumur 21 tahun dan perempuan berumur 18 tahun. Artinya, undang-undang ini

13
membolehkan anak yang belum dewasa (berumur dibawah 21 tahun bagi laki-laki
dan dibawah 18 tahun bagi perempuan) untuk melangsungkan perkawinan.

Di sisi lain, undang-undang terlihat mengakui pelanggaran terhadap


ketentuan batas umur dan kematangan calon untuk melangsungkan perkawinan.
Hal ini diakomodir dalam pasal 7 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974, bahwa pengadilan
ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak laki-laki
maupun perempuan dapat memberikan dispensasi kepada anak di bawah umur
untuk melangsungkan perkawinan. Ketidakkonsistenan UU No. 1 tahun 1974
tentang batas umur perkawinan sangat memicu terjadinya perkawinan di bawah
umur. Apalagi di dalam pasal 7 UU tersebut maupun dalam penjelasannya tidak
disebutkan suatu alasan yang dapat dijadikan dasar dapatnya diberikan dispensasi,
sehingga setiap orang dapat dengan mudah memperoleh dispensasi tersebut.
Dengan demikian, ketetapan undang-undang tersebut menjadi sangat bersifat
longgar dan tidak terlalu mengikat, karena perkawinan dibawah batas usia minimal
tersebut dapat disahkan oleh undang-undang.

Selanjutnya, undang-undang menyebutkan bahwa jika seorang anak belum


mencapai usia 21 tahun untuk melangsungkan perkawinan ia harus mendapat izin
dari kedua orang tuanya (pasal 6 ayat 2). Dalam hal salah seorang dari orang tua
telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan pendapatnya, maka izin
cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya (pasal 6
ayat 3). Apabila izin tidak didapat dari pihak orang tua, Pengadilan dapat
memberikan izin berdasarkan atas permintaan orang-orang yang hendak
melangsungkan perkawinan. Ketentuan terakhir ini, juga terlihat cukup longgar dan
sangat berpotensi untuk diabaikan, karena jika orang tua tidak dapat memberikan
izin, pengadilanpun dapat menggantikan peran mereka. (Dedi Supriadi, dkk, 2009:
27)

Telaah Undang-Undang Perlindungan Anak terhadap ketentuan UU No. 1 tahun 1974


tentang Batas Usia Minimal Perkawinan

14
Konsep anak atau seseorang dikatakan dewasa, sehingga mampu
bertanggung jawab sangat bervariasi. Undang-undang R.I No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak disebutkan pada pasal 1 ayat (1) :

”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. termasuk anak yang
masih dalam kandungan”.

Jika merujuk pada peraturan perundang-undangan ini, maka seseorang yang


masih berusia di bawah 18 tahun adalah tergolong usia anak serta berhak diberi
perlindungan atas hak-hak yang mesti didapatkannya. Usia anak juga disebutkan
dalam UndangUndang R. I No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 1 ayat
(1):

”Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin”.

Pada pasal 4 ayat (1) disebutkan: ”Batas umur Anak Nakal yang dapat
diajukan ke Sidang Anak adalah sekurangkurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”. Usia anak
sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang R.I No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pada pasal 26:

”Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun”.

Sedang yang dimaksud dengan anak dalam Undang-undang R.I No. 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak pasal 2 disebutkan: Anak adalah seseorang yang
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
Ketetapan batas usia anak yang terdapat dalam regulasi atau aturan perundang-
undangan tersebut bervariasi. Demikian pula batas usia berkaitan dengan hak-hak
yang diberikan kepada seseorang, ketika ia dianggap mampu atau cakap untuk
bertindak di dalam hukum juga bervariasi.

15
Dalam Undang-undang R.I No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
disebutkan pada pasal 7 (ayat 1): ”Syarat mendapat izin perkawinan laki-laki
minimal 19 tahun dan perempuan 16 tahun”. Adapun penjelasan pasal itu yakni
untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas
umur untuk perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam, ketentuan tersebut
semakin ditegaskan, sebagaimana dinyatakan pada pasal 15 ayat (1) sebagi berikut:
Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7
Undang-undang R.I No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Bahkan di
dalam Peraturan Pemerintah R.I No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Hukum
Perkawinan diatur ulang. Bagi pasangan yang ingin menikah di bawah usia yang
telah ditetapkan diperbolehkan, dengan syarat mendapatkan dispensasi nikah dari
Pengadilan Agama. Hal ini berarti memberi peluang bagi seseorang untuk
melakukan pernikahan pada usia anak-anak.

Batas usia yang digunakan dalam Undang-undang R.I No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, jelas bertentangan dengan Undang-undang R.I No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak (1990) yang diratifikasi
melalui Kepres R.I Tahun 2000 mengenai Hak Anak yang isinya menegaskan batas
usia anak adalah 18 tahun. Dengan demikian, tuntutan perubahan standar usia
perkawinan dalam undang-undang perkawinan, hendaknya di respon positif oleh
para penentu kebijakan. Sebagai produk hukum, UUP perlu dikaji ulang setelah 34
tahun diberlakukan. Perlu dilakukan evaluasi, sejauhmana efektifitasnya dalam
mengatur perilaku masyarakat dalam perkawinan dan bagaimana respon
masyarakat terhadap UUP, apakah masih relevan untuk digunakan saat ini.
Diharapkan aturan hukum yang ditetapkan, dapat dipatuhi oleh masyarakat, dengan
menitikberatkan pada aspek maslahah (manfaat) yang menjadi tujuan
ditetapkannya aturan tersebut.

SIMPULAN

16
Ketidaktegasan undang-undang dalam menentukan batas usia perkawinan
berimplikasi terhadap pelaksanaannya di dalam masyarakat. Apalagi di dalam
keyakinan agama yang dianut masyarakat juga tidak ditentukan secara tegas.
Mengingat tujuan perkawinan yang luhur, batas usia untuk melangsungkan
perkawinan perlu ditegaskan oleh undang-undang, yaitu 21 tahun bagi pria dan 19
tahun bagi wanita (merevisi pasal 7 ayat 1 yang menyebutkan 19 tahun bagi pria
dan 16 tahun bagi wanita). Tidak perlu ada dispensasi terhadap hal tersebut seperti
yang disebutkan dalam pasal 7 ayat 2 dan 3.

Batas usia tersebut ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan,


sebagaimana sudah dipaparkan. Tidak kalah pentingnya harus diperhatikan adalah
pendidikan yang cukup bagi kedua calon pengantin. Calon pengantin yang
mempunyai pendidikan dan wawasan yang cukup akan sangat berpengaruh
terhadap kualitas perkawinan dan kualitas keturunan yang akan dihasilkan dari
perkawinan tersebut. Melangsungkan pernikahan di bawah batas usia yang telah
ditentukan oleh undang-undang berarti pelanggaran terhadap hukum atau
perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, sanksi bagi pelanggaran tersebut
tidak diatur sama sekali di dalam undang-undang. Inilah kelemahan hukum
keluarga di Indonesia pada umumnya, dan khususnya hukum perkawinan, sehingga
banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan.

DAFTAR PUSTAKA

17
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: CV Akademika Pressindo,
1987)

Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 57. Penjelasan Umum UU No. 1 tahun 1974 jo.
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Perkawinan, (Jakarta, Pradnya
Paramita, , 1977)

al-Imam Abi Fada’ al-Hafidz Ibnu Katsir al-Damasqy, Tafsir Ibnu Katsir,
(Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004

Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,


(Bandung: Pustaka Al-Fikris, 2009)

LTN PBNU, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar,


Munas dan Konbes Nahdhatul Ulama, (Surabaya: Khalista, 2010)

Imam al-Muhaqqiqin wa Qadwah al-Mudaqqiqin al-Qadhi Nashir al-Din Abi


Sa’id Abdillah bin Umar bin Muhammad al-Syairazy al-Baydhawy, Tafsar a-
lBaydhawy, (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2013),

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Isam,


(Jakarta:Raja Grafindo Persada 2004)

Muhammad Ali al-Shabuny, Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, (Bayrut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999)

18

Anda mungkin juga menyukai