Anda di halaman 1dari 12

PERIHAL JATUHNYA HAK ASUH ANAK

(STUDI KOMPARASI HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA)

LATAR BELAKANG

Perkawinan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan seorang
wanita sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang
laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan untuk jangka
waktu selama mungkin

Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang pemeliharaan anak pasca putusnya


hubungan perkawinan orang tua dalam Pasal 105 yang menyatakan dalam hal terjadinya
perceraian: 1. Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya; 2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak
untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; 3. Biaya
pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal (2) disebutkan bahwa “perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya,” kemudian mengenai pencatatannya
diatur dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 yaitu “pencatatan perkawinan dari mereka yang
melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh PPN sebagaimana
dimaksud dalam Undangundang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk. Sehingga, Peradilan Agama dalam hal perkawinan mempunyai kewenangan absolut
mengenai proses perceraian dan pencatatannya, sedangkan pengawasan dan pencatatan
perkawinannya merupakan kewenangan Kantor Urusan Agama (KUA) yang dikepalai oleh
Pegawai Pencatat Nikah.

Anak-anak yang belum dewasa dan tidak dibawah kekuasaan orang tua harus ditaruh
dibawah perwalian menurut sistem Burgerlijk Wetboek. Setelah pihak orang tua bercerai
pun harus diadakan persediaan mengenai perwalian dari anak-anak mereka yang masih
di bawah umur. Sebelum berlakunya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, di Indonesia terdapat beraneka ragam hukum Perkawinan yang berlaku
bagi berbagai golongan penduduk dari berbagai daerah,

1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang
telah diresepir dalam hukum adat.
2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya, berlaku hukum adat.
3. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijke Ordonantie
Christen Indonesia.
4. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya, dan warga Negara Indonesia keturunan Cina
berlaku ketentuan kitab undang-undang hukum perdata dengan sedikit perubahan.
5. Bagi orang-orang Eropa dan warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang
disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Masalah mengenai hak asuh anak ini, bagi warga Indonesia asli berlaku hukum
adatnya masing-masing. Adapun dalam Undang-Undang, hak asuh anak bila terjadi
perceraian orang tua sudah dijelaskan dalam beberapa pasal. Diantaranya pasal 45 ayat (2),
pasal 98, dan pasal 105. Dengan adanya dasar hukum dan Undang-undang yang mengatur,
diharapkan anak tetap sejahtera dan tumbuh sebagaimana mestinya meskipun orang tuanya
berpisah. Walaupun secara jelas sudah dicantumkan dalam pasal 10a) Kompilasi Hukum
Islam (KHI) bahwa: Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (dibawah 1 tahun) menjadi
hak ibunya. Jika anak tersebut sudah dewasa, maka diserahkan kepada keputusan anak
tersebut apakah memilih bersama ibunya atau bersama ayahnya.

Dalam istilah fiqh digunakan dua kata namun ditunjukkan untuk maksud yang sama
yaitu kafalah atau hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau kafalah dalam arti yang
sederhana, ialah “pemeliharaan atau pengasuhan “. Dalam arti yang lebih lengkap, adalah
pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putusnya perkawinan. Hal ini
dibicarakan dalam fiqih, karena secara praktis antara suami isteri telah terjadi perpisahan,
sedangkan anak-anak masih memerlukan bantuan dari ayah atau ibunya. (Amir Syarifuddin,
2006)

Dalam pasal 156 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan apabila pemegang
hak asuh anak (hadhanah) ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani
anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat
yang bersangkutan Pengadilan agama dapat memindahkan hak asuh anak (hadhanah)
kepada kerabat lain yang mempunyai hak asuh anak (hadhanah).

Berdasarkan analisa awal penulis dan pada umumnya, anak yang berumur dibawah
sepuluh tahun, pengasuhnya atau perwaliannya diserahkan kepada ibunya. Sedangkan bagi
anak yang berumur di atas sepuluh tahun terserah kepada pilihan si anak sendiri, apakah dia
akan ikut kepada ibunya ataukah memilih ikut pada bapaknya dalam hal hak asuh bagi anak.
Apabila hal yang demikian ini terjadi maka putusan pengadilan yang menentukan siapakah
yang lebih berhak menjadi hak asuh anak tersebut.

PENELITIAN TERDAHULU

Andi Tenri Sucia dengan judul “Kedudukan Hak Asuh Anak Pasca Terjadinya
Perceraian Karena Salah Satu Orang Tuanya Murtad Menurut Hukum Positif dan
Hukum Islam (Studi Perbandingan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di
Makassar)”

Penelitian ini adalah penelitian lapangan yakni meneliti secara langsung


pelaksanaan kedudukan hak asuh anak pasca terjadinya perceraian karena salah satu
orang tuanya murtad di Pengadilan Negeri Makassar dan Pengadilan Agama Makassar.
Metode penelitian ini ialah pendekatan normatif-empiris.

Pada penelitiannya, peneliti Andi Tenri Sucia menulis bahwa dari pendapat
safri, perbedaan hakim pengadilan negeri dan hakim pengadilan agama dalam
memutuskan perkara dilihat dari dasar hukmnya misalnya hakim pada pengadilan
negeri dalam memutus perkara pada sengketa anak dasar hukm biasanya dipakai
memacu pada UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, UU Kesejahteraan Anak serta
peraturan perundangundangan yang terkait serta yang terpenting ialah melakukan
penafsiran hukum atas ketentuan hukum hak asuh anak. Sedangkan dalam Hakim

Pengadilan Agama biasanaya berpedoman dalam sumber hukum Islam AL-


Qur‟an dan As-Sunnah serta produk hukum seperti Kompilasi Hukum Islam, Undang-
Undang Peradilan Agama, Undang-Undang Peradilan Anak serta Hak Asasi Manusia,
serta prinsip hukum yang diterapkan dan melihat dari beberapa aspek baik dari segi
yuridis, sosiologis, dan filsofis. Dan mengedepankan asas prioritas.

Adapun persamaan yang penulis temukan dalam skripsi ini ialah sama-sama
membahas hak asuh anak, namun perbedaannya ialah saudari Andi Tenri Sucia
menitikberatkan permasalahnya kepada konsep hak asuh anak setelah terjadinya
perceraian karena salah satu orang tuaya murtad, sedangkan penulis disini
menitikberatkan permasalahan pada hak asuh anak dari perkawinan yang dibatalkan,
dan membandingkan perspektif antara hukum Islam dan hukum Perdata

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan
masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hak asuh anak akibat pembatalan perkawinan dalam perspektif hukum
Islam dan hukum Perdata di Indonesia?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan hukum Islam dan hukum Perdata di
Indonesia tentang hak asuh anak akibat pembatalan perkawinan?

METODE PENULISAN/PENELITIAN

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif


dengan melakukan pendekatan melalui studi kepustakaan (library research) yang dimuat
dalam buku teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
permasalahan dalam penelitian.

KAJIAN PUSTAKA

Anak

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Anak merupakan amanah dan karunia tuhan
yang maha esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. (UU. No. 11
Tahun 2012 dan UU No. 23 Taun 2002). Konsep perlindungan anak terterdiri beberapa aspek
diantaranya; perlindungan terhadap hakhak asasi dan kebebasan anak, perlindungan anak
dalam proses peradilan, perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga,
pendidikan dan lingkungan sosial), perlindungan anak dalam masalah penahanan dan
perampasan kemerdekaan, perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan,
perdagangan anak, pelacuran, pornografi, perdagangan/penyalahgunaan obat-obatan,
memperalat anak dalam melakukan kejahatan dan sebagainya). Perlindungan hukum bagi
anak mempunyai spektrum yang cukup luas. Dalam berbagai dokumen dan pertemuan
internasional terlihat bahwa perlunya perlindungan hukum bagi anak dapat meliputi
berbagai aspek, yaitu: perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak,
perlindungan anak dalam proses peradilan, perlindungan kesejahteraan anak (dalam
lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan sosial), perlindungan anak dalam masalah
penahanan dan perampasan kemerdekaan, perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi
(perbudakan, perdagangan anak, pelacuran, pornografi, perdagangan/ penyalahgunaan
obat-obatan, memperalat anak dalam melakukan kejahatan dan sebagainya), perlindungan
terhadap anak-anak jalanan, perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik
bersenjata, perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan. Dari penjelasan tersebut, dapat
diketahui bahwa pembuat undang-undang (DPR dan Pemerintah) memiliki politik hukum
yang responsif terhadap perlindungan anak. Anak ditempatkan pada posisi yang mulia
sebagai amanah Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki peran strategis dalam menjamin
kelangsungan eksistensi Negara ini. Melalui UU No.23 Tahun 2002 tersebut, jaminan hak
anak dilindungi, bahkan dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang memiliki
tanggungjawab untuk meningkatkan efektivitas perlindungan anak. Konstitusi Indonesia,
UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi telah menggariskan bahwa “setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”. (Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945) Dengan dicantumkannya hak
anak tersebut dalam batang tubuh konstitusi, maka bisa diartikan bahwa kedudukan dan
perlindungan hak anak merupakan hal penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan
dijalankan dalam kenyataan sehari-hari. Di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dirumuskan 15 pasal 52-56 yang khusus merumuskan hak-hak anak, karena
pembentuk UU menyadari bahwa anak merupakan kelompok yang rentan terhadap
pelanggaran HAM. Pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadikan kita harus bersikap
responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Melihat definisi anak sebagaimana diungkapkan di atas, kita dapat pahami secara
komprehensif. Namun, untuk menentukan batas usia dalam hal definisi anak, maka kita akan
mendapatkan berbagai macam batasan usia anak, mengingat beragamnya definisi batasan
usia anak dalam beberapa Undang-undang, dapat kita lihat sebagai berikut ini: ( L.N. 1931-
1954 dan L.N. 1917-1938).

1. UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun


bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki;
2. UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahhteraan Anak mendefinisikan anak berusia 21
tahun dan belum pernah kawin;
3. UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefiniskan anak adalah orang
yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapan tahun, tetapi belum mencapai
18 tahun dan belum pernah kawin;
4. UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin;
5. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja 15 tahun;
6. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan Wajib
Belajar 9 Tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun;
7. UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) menjeskan
bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah
anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
8. Secara Hukum Adat menyebutkan bahwa hukum adat tidak ada menentukan siapa
yang dikatakan anak-anak dan siapa yang dikatakan orang dewasa. Akan tetapi dalam
hukum adat ukuran anak dapat dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia tetapi pada
ciri tertentu yang nyata. Mr.R.Soepomo berdasarkan hasil penelitian tentang hukum
perdata jawa Barat menyatakan bahwa kedewasaan seseorang dapat dilihat dari cirri-
ciri sebagi berikut: 1. Dapat bekerja sendiri, 2. Cakap untuk melakukan apa yang
disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab, 3. Dapat
mengurus harta kekayaan sendiri

PEMBAHASAN

Hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat
perkawinan yang telah ditentukan sebagaimana yang telah di bahas pada bab II skripsi
ini, terkait bagaimana anak yang telah lahir dari perkawinan yang dibatalkan, hukum
Islam menjelaskan bahwa anak tersebut tetap dianggap anak yang sah dan memiliki hak
yang harus di penuhi oleh kedua orangtuanya, salah satunya ialah hak asuh.

Pada hadis yang dinyatakan shahih oleh Imam Hakim menyebutkan bahwa ibu
lebih berhak selama dia belum menikah dengan orang lain. Para ulama juga sepakat
bahwa seorang ibu apabila telah menikah kembali dan telah berhubungan intim dengan
suaminya yang baru, maka pengasuhannya gugur.

Seorang ibu dianggap lebih tepat dari pada ayah untuk mengasuh anak, karena
ibu memeiliki sikap lebih lemah lembut kepada anak, mengetahui cara mendidik, peduli
terhadap tumbuh kembang anak, juga lebih sabar dan lebih memiliki kasih sayang yang
besar.

Suami istri yang perkawinannya di batalkan akan mengakibatkan antara


keduanya seolah-seolah tidak pernah ada atau terjadi perkawinan diantara keduanya,
meskipun suatu pembatalan itu pada dasarnya bertujuan untuk mengembalikan
keadaan seperti pada waktu perbuatan yang dibatalkan itu belum terjadi, tetapi dalam
suatu perkawinan yang dibatalkan tidak boleh beranggapan seolah-olah tidak pernah
terjadi suatu perkawinan karena banyak kepentingan dari berbagai pihak yang harus
dilindungi.

Pada hukum Perdata Hak asuh anak tidak dijelaskan secara khusus dan rinci atau
tidak ada penegasan, namun dari pembatalan perkawinan hukum perdata jelas
menyebutkan bahwa suatau perkawinan meskipun dibatalkan tetap mempunyai akibat
perdata baik terhadap suami istri maupun anak dari perkawinan tersebut. Hal ini dimuat
pada pasal 95 KUHPerdata.

Secara implisit pasal tersebut jelas menyatakan Anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang dibatalkan adalah anak-anak yang juga secara keperdataan dan akibat
hukumnya dianggap sama kedudukannya sebagai anak yang sah.

Pada hukum Perdata hak asuh anak tidak dijelaskan secara khusus dan rinci,
namun didapati pada pasal 300 KUHPerdata bahwa:
“Kecuali jika terjadi pelepasan atau pemecatan dan berlaku ketentuanketentuan
mengenai pisah meja dan ranjang, bapak sendiri yang melakukan kekuasaan
itu.”

“Bila bapak berada dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan
orang tua, kekuasaan orang tua, kekuasaan itu dilakukan oleh ibu, kecuali dalam
hal adanya pisah meja dan ranjang. “

“Bila ibu juga tidak dapat atau tidak berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri
diangkat seorang wali sesuai dengan Pasal 359.”1

Dalam pasal 300 KUHPerdata tersebut menyatakan bapak memiliki kekuasaan


apabila terjadinya pisah meja dan ranjang. Hal tersebut memang tidak menyebutkan
secara mutlak bahwa hak asuh anak jatuh kepada sibapak, namun penulis
menganalogikan bahwa kata “kekuasaan” yang terdapat pada pasal tersebut salah
satunya ialah kekuasaan terhadap anak.

Persamaan dan Perbedaan Hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut
Hukum Islam dan Hukum Perdata
Batalnya suatu perkawinan disebabkan tidak terpenuhiya syarat dan rukun
perkawinan yang telah ditentukan. Seperti halnya yang disebutkan dalam hukum Islam
dan KUH Perdata bahwa perkawinan sedarah atau sepersusuan tidak diperbolehkan,
atau adanya unsur paksaan, ancaman dan unsur kesalah sangkaan maka perkawinan
tersebut batal atau dapat dibatalkan.

Pasal 86 KUH Perdata menyebutkan sebab batalnya suatu perkawinan apabila


memiliki lebih dari seorang istri. Sedangkan dalam hukum Islam tidak membolehkan
apabila suami memiliki istri lebih dari 4, dan Pada pasal 88 dan 89 KUH Perdata juga
disebutkan sebab seorang yang tidak sempurna akalnya, serta belum mencapai umur
yang telah ditetapkan.
Apabila perkawinan yang salah satu dari suami atau istri murtad,dan salah satu
pihak pernah saling melaknat, dalam Islam maka perkawinan tersebut batal. Namun
dalam KUH Perdata hal tersebut tidak dijelaskan atau disebutkan.

1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Wacana Intelektual Press: 2007, hlm. 65.
Pembatalan perkawinan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh
pengadilan atas permohonan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Mengenai pihak
atau siapa saja yang boleh melaporkan perkawinan tersebut, dalam pasal 90 KUH
Perdata disebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan oleh suami atau istri, atau
keluarga sedarah mereka dalam garis lurus ke atas, baik pula oleh mereka yang memiliki
kepentingan atas pembatalan itu, ataupun oleh jawatan kejaksaan, dan pernyataan ini
sama dengan apa yang disebutkan dalam hukum Islam.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XI pasal 76 disebutkan “Batalnya suatu


perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang
tuanya”. Maka dapat dipahami bahwa anak-anak yang terlanjur lahir dari perkawinan
yang telah ditetapkan batal oleh pengadilan, anak-anak tersebut tetap dianggap anak
sah. Hal ini didasarkan pada nilai kemanusiaan dan kepentingan anak tersebut ketika
beranjak dewasa, agar memilki perlindungan hukum. Jadi dalam hal nasab dan
perwalian tetap di nisbatkan pada ayahnya, serta anak tersebut dapat mewarisi harta
dari ayah atau ibunya dan juga anak itu mempunyai hubungan kekeluargaan dengan
keluarga si ayah. Kecuali apabila pembatalan perkawinan disebabkan karena salah satu
dari suami istri ada yang murtad.

Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuaya.
Hal itu meliputi berbagai hal, masalah ekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang
menjadi kebutuhan pokok anak. Begitu juga halnya dengan anak yang dilahirkan dari
akibat dibatalkannya perkawinan diantara kedua orang tuanya. Sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam pasal 28 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan suami
istri membawa konsekuensi beberapa hak dan kewajiban secara timbal balik antara
orang tua sebagai kewajiban, dan sebaliknya orang tua juga mempunyai hak yang harus
dipenuhi oleh anak.

Anak memperoleh hak untuk pemeliharaan dalam kehidupan yang layak, jaminan
kesehatan, sandang pangan, papan, pendidikan yang memadai dari orang tua baik
berlaku dalam masa perkawinan atau sesudah perkawinan itu terputus.
Hukum Islam dan KUH Perdata memberikan pengertian yang sama terkait hak
asuh anak. Dimana hak asuh anak merupakan pemeliharaan terhadap anak yang masih
kecil, baik anak itu lelaki maupun perempuan.

Dalam Islam tentang hal pengasuhan beberapa hadis telah menjelaskan


berkenaan dengan siapa yang layak untuk mengasuh anak lebih-lebih ketika perkawinan
itu putus (baik karena perceraian maupun karena suatu hal yang menjadikan perkawinan
itu terputus atau dibatalkan) dan hadist itu menunjukkan pengasuhan berada pada ibu
kandung si anak. Sementara pada KUH Perdata tidak menjelaskan secara rinci terkait
kepada siapa hak asuh anak diberikan, pada pasal 300 KUHPerdata menyebutkan bahwa
apabila adanya pemisaahan meja dan ranjang maka bapaklah yang memiliki kekuasaan.

Di dalam Islam terdapat bermacam-macam status anak dari para anak.


Perkawinan menentukan status anak, sang anak bergantung kepada perkawinan atau
hubungan antara ibu dan bapaknya. Adapun anak menurut bahasa adalah keturunan
kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita.

Alasan murtad dalam pembatalan perkawinan di atur dalam Islam juga di atur
dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, tentang
pembatalan perkawinan yang dengan alasan murtad hanya di putus dengan perceraian.
Namun ada penambahan pasal selanjutnya yang menyebutkan bahwa suami istri yang
murtad juga dapat dibatalkan pernikahannya.

Dalam Islam apabila perkawinan yang putus karena salah satunya murtad maka
dalam hal kewarisan anak tidak dapat memperoleh hak waris dari bapak maupun ibunya,
dan ini disebut sebagai penghalang kewarisan.

Terhadap hubungan hukum yang berkaitan dengan kewarisan, KUHPerdata tidak


mempermasalahkan perbedaan agama. Sebagaimana disebutkan pada pasal 838:

“Yang tak patut menjadi waris dan karenanya pun dikecualikan dari pewarisan ialah:

1. Mereka yang telah dihukum karena dipermasalahkan telah membunuh atau


mencoba membunuh si yang meninggal.
2. Mereka dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah
mengajukan pegaduan terhdap si yang meninggal, ialah suatu pengaduan telah
melakukan suatu kejahatan yang terancam dengan hukuman lima tahun penjara
lamanya atau hukuman yang lebih berat.

3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang


meninggak untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya.

4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang
meninggal.2 KUHPerdata juga tidak menyatakan sebab batalnya suatau
perkawinan apabila suami istreri telah berbeda keyakinan.

Matrik Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum perdata Terhadap Hak
Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan

PERSAMAAN PERBEDAAN

HUKUM ISLAM DAN HUKUM ISLAM HUKUM PERDATA

HUKUM PERDATA
1. Anak yang belum 1. Hak asuh anak diberikan 1. (Pasal 300) bapak
mumayyiz harus kepada ibu memiliki kekuasaan
diberikan hak 2. Ibu ataupun seseorang apabila terjadi
asuhnya baik anak yang memiliki keyakinan pemisahan meja dan
itu laki-laki berbeda dengan seorang ranjang
anak tidak dapat 2. Tidak ada larangan bagi
maupun perempuan
diberikan hak asuh orang tua yang berbeda
2. Anak yang lahir dari
3. Anak tidak dapat hak keyakinan dengan
perkawinan yang
mewarisi terhadap orang anaknya untuk
dibatalkan tetap
tuanya yang berbeda mendapat hak asuh.
dianggap sebagai anak
keyakinan dengan anak 3. (Pasal 838) Anak dapat
yang sah.
tersebut. mewarisi harta orang

2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Wacana Intelektual Press: 2007,


tua yang berbeda
keyakinan dengannya.

KESIMPULAN

Dari uraian tentang hak asuh anak akibat pembatalan perkawinan studi
perbandingan hukum Islam dan hukum Perdata tersebut di atas, maka dapat penulis
simpulkan sebagai berikut:

 Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan tetap di anggap sebagai anak
yang sah, anak tersebut tetap memiliki hubungan keperdataan kepada keluarga si
ayah dan si ibu. Anak tersebut juga mempunyai hak untuk dapat mewarisi dari kedua
orang tuanya terkecuali salah satu atau kedua orang tuanya murtad hal ini
disebutkan dalam hukum Islam, namun hukum Perdata tidak menyebutkan
ketidakbolehan anak tersebut untuk mewarisi.
 Hukum Islam dan hukum Perdata memberikan pengertian yang sama terhadap hak
asuh anak. Pengasuhan terhadap anak dari perkawinan yang dibatalkan hukum Islam
memberikan hak asuh kepada ibu, karena ibu dianggap sebagai orang yang lebih
mampu dan memiliki kasih sayang terhadap anak. namun didalam hukum Perdata
tidak menegaskan kepada siapa hak asuh anak diberikan.
SARAN

 Dalam hukum Perdata tidak menegaskan dengan jelas terhadap hak asuh anak yang
apabila kedua orang tuanya berpisah. Alangkah baik apabila adanya amandemen
terhadap KUHPerdata tersebut khususnya pada pasal 300 KUHPerdata yang
membahas tentang Hak asuh anak apabila orangtuanya berpisah.

 Bagi pihak-pihak yang hendak melangsungkan perkawinan sebaiknya harus


memperhatikan rukun dan syarat yang telah ditentukan berkenaan dengan hal-hal
yang dapat membatalkan perkawinan. Hal ini agar terhindar dari segala kesalahan
dan untuk kemaslahatan bersama terutama anak.

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai