LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan seorang
wanita sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang
laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan untuk jangka
waktu selama mungkin
Anak-anak yang belum dewasa dan tidak dibawah kekuasaan orang tua harus ditaruh
dibawah perwalian menurut sistem Burgerlijk Wetboek. Setelah pihak orang tua bercerai
pun harus diadakan persediaan mengenai perwalian dari anak-anak mereka yang masih
di bawah umur. Sebelum berlakunya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, di Indonesia terdapat beraneka ragam hukum Perkawinan yang berlaku
bagi berbagai golongan penduduk dari berbagai daerah,
1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang
telah diresepir dalam hukum adat.
2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya, berlaku hukum adat.
3. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijke Ordonantie
Christen Indonesia.
4. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya, dan warga Negara Indonesia keturunan Cina
berlaku ketentuan kitab undang-undang hukum perdata dengan sedikit perubahan.
5. Bagi orang-orang Eropa dan warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang
disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Masalah mengenai hak asuh anak ini, bagi warga Indonesia asli berlaku hukum
adatnya masing-masing. Adapun dalam Undang-Undang, hak asuh anak bila terjadi
perceraian orang tua sudah dijelaskan dalam beberapa pasal. Diantaranya pasal 45 ayat (2),
pasal 98, dan pasal 105. Dengan adanya dasar hukum dan Undang-undang yang mengatur,
diharapkan anak tetap sejahtera dan tumbuh sebagaimana mestinya meskipun orang tuanya
berpisah. Walaupun secara jelas sudah dicantumkan dalam pasal 10a) Kompilasi Hukum
Islam (KHI) bahwa: Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (dibawah 1 tahun) menjadi
hak ibunya. Jika anak tersebut sudah dewasa, maka diserahkan kepada keputusan anak
tersebut apakah memilih bersama ibunya atau bersama ayahnya.
Dalam istilah fiqh digunakan dua kata namun ditunjukkan untuk maksud yang sama
yaitu kafalah atau hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau kafalah dalam arti yang
sederhana, ialah “pemeliharaan atau pengasuhan “. Dalam arti yang lebih lengkap, adalah
pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putusnya perkawinan. Hal ini
dibicarakan dalam fiqih, karena secara praktis antara suami isteri telah terjadi perpisahan,
sedangkan anak-anak masih memerlukan bantuan dari ayah atau ibunya. (Amir Syarifuddin,
2006)
Dalam pasal 156 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan apabila pemegang
hak asuh anak (hadhanah) ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani
anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat
yang bersangkutan Pengadilan agama dapat memindahkan hak asuh anak (hadhanah)
kepada kerabat lain yang mempunyai hak asuh anak (hadhanah).
Berdasarkan analisa awal penulis dan pada umumnya, anak yang berumur dibawah
sepuluh tahun, pengasuhnya atau perwaliannya diserahkan kepada ibunya. Sedangkan bagi
anak yang berumur di atas sepuluh tahun terserah kepada pilihan si anak sendiri, apakah dia
akan ikut kepada ibunya ataukah memilih ikut pada bapaknya dalam hal hak asuh bagi anak.
Apabila hal yang demikian ini terjadi maka putusan pengadilan yang menentukan siapakah
yang lebih berhak menjadi hak asuh anak tersebut.
PENELITIAN TERDAHULU
Andi Tenri Sucia dengan judul “Kedudukan Hak Asuh Anak Pasca Terjadinya
Perceraian Karena Salah Satu Orang Tuanya Murtad Menurut Hukum Positif dan
Hukum Islam (Studi Perbandingan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di
Makassar)”
Pada penelitiannya, peneliti Andi Tenri Sucia menulis bahwa dari pendapat
safri, perbedaan hakim pengadilan negeri dan hakim pengadilan agama dalam
memutuskan perkara dilihat dari dasar hukmnya misalnya hakim pada pengadilan
negeri dalam memutus perkara pada sengketa anak dasar hukm biasanya dipakai
memacu pada UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, UU Kesejahteraan Anak serta
peraturan perundangundangan yang terkait serta yang terpenting ialah melakukan
penafsiran hukum atas ketentuan hukum hak asuh anak. Sedangkan dalam Hakim
Adapun persamaan yang penulis temukan dalam skripsi ini ialah sama-sama
membahas hak asuh anak, namun perbedaannya ialah saudari Andi Tenri Sucia
menitikberatkan permasalahnya kepada konsep hak asuh anak setelah terjadinya
perceraian karena salah satu orang tuaya murtad, sedangkan penulis disini
menitikberatkan permasalahan pada hak asuh anak dari perkawinan yang dibatalkan,
dan membandingkan perspektif antara hukum Islam dan hukum Perdata
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan
masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hak asuh anak akibat pembatalan perkawinan dalam perspektif hukum
Islam dan hukum Perdata di Indonesia?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan hukum Islam dan hukum Perdata di
Indonesia tentang hak asuh anak akibat pembatalan perkawinan?
METODE PENULISAN/PENELITIAN
KAJIAN PUSTAKA
Anak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Anak merupakan amanah dan karunia tuhan
yang maha esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. (UU. No. 11
Tahun 2012 dan UU No. 23 Taun 2002). Konsep perlindungan anak terterdiri beberapa aspek
diantaranya; perlindungan terhadap hakhak asasi dan kebebasan anak, perlindungan anak
dalam proses peradilan, perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga,
pendidikan dan lingkungan sosial), perlindungan anak dalam masalah penahanan dan
perampasan kemerdekaan, perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan,
perdagangan anak, pelacuran, pornografi, perdagangan/penyalahgunaan obat-obatan,
memperalat anak dalam melakukan kejahatan dan sebagainya). Perlindungan hukum bagi
anak mempunyai spektrum yang cukup luas. Dalam berbagai dokumen dan pertemuan
internasional terlihat bahwa perlunya perlindungan hukum bagi anak dapat meliputi
berbagai aspek, yaitu: perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak,
perlindungan anak dalam proses peradilan, perlindungan kesejahteraan anak (dalam
lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan sosial), perlindungan anak dalam masalah
penahanan dan perampasan kemerdekaan, perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi
(perbudakan, perdagangan anak, pelacuran, pornografi, perdagangan/ penyalahgunaan
obat-obatan, memperalat anak dalam melakukan kejahatan dan sebagainya), perlindungan
terhadap anak-anak jalanan, perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik
bersenjata, perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan. Dari penjelasan tersebut, dapat
diketahui bahwa pembuat undang-undang (DPR dan Pemerintah) memiliki politik hukum
yang responsif terhadap perlindungan anak. Anak ditempatkan pada posisi yang mulia
sebagai amanah Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki peran strategis dalam menjamin
kelangsungan eksistensi Negara ini. Melalui UU No.23 Tahun 2002 tersebut, jaminan hak
anak dilindungi, bahkan dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang memiliki
tanggungjawab untuk meningkatkan efektivitas perlindungan anak. Konstitusi Indonesia,
UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi telah menggariskan bahwa “setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”. (Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945) Dengan dicantumkannya hak
anak tersebut dalam batang tubuh konstitusi, maka bisa diartikan bahwa kedudukan dan
perlindungan hak anak merupakan hal penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan
dijalankan dalam kenyataan sehari-hari. Di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dirumuskan 15 pasal 52-56 yang khusus merumuskan hak-hak anak, karena
pembentuk UU menyadari bahwa anak merupakan kelompok yang rentan terhadap
pelanggaran HAM. Pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadikan kita harus bersikap
responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Melihat definisi anak sebagaimana diungkapkan di atas, kita dapat pahami secara
komprehensif. Namun, untuk menentukan batas usia dalam hal definisi anak, maka kita akan
mendapatkan berbagai macam batasan usia anak, mengingat beragamnya definisi batasan
usia anak dalam beberapa Undang-undang, dapat kita lihat sebagai berikut ini: ( L.N. 1931-
1954 dan L.N. 1917-1938).
PEMBAHASAN
Hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat
perkawinan yang telah ditentukan sebagaimana yang telah di bahas pada bab II skripsi
ini, terkait bagaimana anak yang telah lahir dari perkawinan yang dibatalkan, hukum
Islam menjelaskan bahwa anak tersebut tetap dianggap anak yang sah dan memiliki hak
yang harus di penuhi oleh kedua orangtuanya, salah satunya ialah hak asuh.
Pada hadis yang dinyatakan shahih oleh Imam Hakim menyebutkan bahwa ibu
lebih berhak selama dia belum menikah dengan orang lain. Para ulama juga sepakat
bahwa seorang ibu apabila telah menikah kembali dan telah berhubungan intim dengan
suaminya yang baru, maka pengasuhannya gugur.
Seorang ibu dianggap lebih tepat dari pada ayah untuk mengasuh anak, karena
ibu memeiliki sikap lebih lemah lembut kepada anak, mengetahui cara mendidik, peduli
terhadap tumbuh kembang anak, juga lebih sabar dan lebih memiliki kasih sayang yang
besar.
Pada hukum Perdata Hak asuh anak tidak dijelaskan secara khusus dan rinci atau
tidak ada penegasan, namun dari pembatalan perkawinan hukum perdata jelas
menyebutkan bahwa suatau perkawinan meskipun dibatalkan tetap mempunyai akibat
perdata baik terhadap suami istri maupun anak dari perkawinan tersebut. Hal ini dimuat
pada pasal 95 KUHPerdata.
Secara implisit pasal tersebut jelas menyatakan Anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang dibatalkan adalah anak-anak yang juga secara keperdataan dan akibat
hukumnya dianggap sama kedudukannya sebagai anak yang sah.
Pada hukum Perdata hak asuh anak tidak dijelaskan secara khusus dan rinci,
namun didapati pada pasal 300 KUHPerdata bahwa:
“Kecuali jika terjadi pelepasan atau pemecatan dan berlaku ketentuanketentuan
mengenai pisah meja dan ranjang, bapak sendiri yang melakukan kekuasaan
itu.”
“Bila bapak berada dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan
orang tua, kekuasaan orang tua, kekuasaan itu dilakukan oleh ibu, kecuali dalam
hal adanya pisah meja dan ranjang. “
“Bila ibu juga tidak dapat atau tidak berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri
diangkat seorang wali sesuai dengan Pasal 359.”1
Persamaan dan Perbedaan Hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut
Hukum Islam dan Hukum Perdata
Batalnya suatu perkawinan disebabkan tidak terpenuhiya syarat dan rukun
perkawinan yang telah ditentukan. Seperti halnya yang disebutkan dalam hukum Islam
dan KUH Perdata bahwa perkawinan sedarah atau sepersusuan tidak diperbolehkan,
atau adanya unsur paksaan, ancaman dan unsur kesalah sangkaan maka perkawinan
tersebut batal atau dapat dibatalkan.
1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Wacana Intelektual Press: 2007, hlm. 65.
Pembatalan perkawinan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh
pengadilan atas permohonan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Mengenai pihak
atau siapa saja yang boleh melaporkan perkawinan tersebut, dalam pasal 90 KUH
Perdata disebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan oleh suami atau istri, atau
keluarga sedarah mereka dalam garis lurus ke atas, baik pula oleh mereka yang memiliki
kepentingan atas pembatalan itu, ataupun oleh jawatan kejaksaan, dan pernyataan ini
sama dengan apa yang disebutkan dalam hukum Islam.
Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuaya.
Hal itu meliputi berbagai hal, masalah ekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang
menjadi kebutuhan pokok anak. Begitu juga halnya dengan anak yang dilahirkan dari
akibat dibatalkannya perkawinan diantara kedua orang tuanya. Sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam pasal 28 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan suami
istri membawa konsekuensi beberapa hak dan kewajiban secara timbal balik antara
orang tua sebagai kewajiban, dan sebaliknya orang tua juga mempunyai hak yang harus
dipenuhi oleh anak.
Anak memperoleh hak untuk pemeliharaan dalam kehidupan yang layak, jaminan
kesehatan, sandang pangan, papan, pendidikan yang memadai dari orang tua baik
berlaku dalam masa perkawinan atau sesudah perkawinan itu terputus.
Hukum Islam dan KUH Perdata memberikan pengertian yang sama terkait hak
asuh anak. Dimana hak asuh anak merupakan pemeliharaan terhadap anak yang masih
kecil, baik anak itu lelaki maupun perempuan.
Alasan murtad dalam pembatalan perkawinan di atur dalam Islam juga di atur
dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, tentang
pembatalan perkawinan yang dengan alasan murtad hanya di putus dengan perceraian.
Namun ada penambahan pasal selanjutnya yang menyebutkan bahwa suami istri yang
murtad juga dapat dibatalkan pernikahannya.
Dalam Islam apabila perkawinan yang putus karena salah satunya murtad maka
dalam hal kewarisan anak tidak dapat memperoleh hak waris dari bapak maupun ibunya,
dan ini disebut sebagai penghalang kewarisan.
“Yang tak patut menjadi waris dan karenanya pun dikecualikan dari pewarisan ialah:
4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang
meninggal.2 KUHPerdata juga tidak menyatakan sebab batalnya suatau
perkawinan apabila suami istreri telah berbeda keyakinan.
Matrik Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum perdata Terhadap Hak
Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan
PERSAMAAN PERBEDAAN
HUKUM PERDATA
1. Anak yang belum 1. Hak asuh anak diberikan 1. (Pasal 300) bapak
mumayyiz harus kepada ibu memiliki kekuasaan
diberikan hak 2. Ibu ataupun seseorang apabila terjadi
asuhnya baik anak yang memiliki keyakinan pemisahan meja dan
itu laki-laki berbeda dengan seorang ranjang
anak tidak dapat 2. Tidak ada larangan bagi
maupun perempuan
diberikan hak asuh orang tua yang berbeda
2. Anak yang lahir dari
3. Anak tidak dapat hak keyakinan dengan
perkawinan yang
mewarisi terhadap orang anaknya untuk
dibatalkan tetap
tuanya yang berbeda mendapat hak asuh.
dianggap sebagai anak
keyakinan dengan anak 3. (Pasal 838) Anak dapat
yang sah.
tersebut. mewarisi harta orang
KESIMPULAN
Dari uraian tentang hak asuh anak akibat pembatalan perkawinan studi
perbandingan hukum Islam dan hukum Perdata tersebut di atas, maka dapat penulis
simpulkan sebagai berikut:
Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan tetap di anggap sebagai anak
yang sah, anak tersebut tetap memiliki hubungan keperdataan kepada keluarga si
ayah dan si ibu. Anak tersebut juga mempunyai hak untuk dapat mewarisi dari kedua
orang tuanya terkecuali salah satu atau kedua orang tuanya murtad hal ini
disebutkan dalam hukum Islam, namun hukum Perdata tidak menyebutkan
ketidakbolehan anak tersebut untuk mewarisi.
Hukum Islam dan hukum Perdata memberikan pengertian yang sama terhadap hak
asuh anak. Pengasuhan terhadap anak dari perkawinan yang dibatalkan hukum Islam
memberikan hak asuh kepada ibu, karena ibu dianggap sebagai orang yang lebih
mampu dan memiliki kasih sayang terhadap anak. namun didalam hukum Perdata
tidak menegaskan kepada siapa hak asuh anak diberikan.
SARAN
Dalam hukum Perdata tidak menegaskan dengan jelas terhadap hak asuh anak yang
apabila kedua orang tuanya berpisah. Alangkah baik apabila adanya amandemen
terhadap KUHPerdata tersebut khususnya pada pasal 300 KUHPerdata yang
membahas tentang Hak asuh anak apabila orangtuanya berpisah.
Daftar Pustaka