Anda di halaman 1dari 25

PENALARAN HUKUM HAKIM TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

Analisis Putusan Pengadilan Agama atas Kasus Keturunan Anak

Abstrak

Tulisan ini mengkaji empat putusan Pengadilan Agama tentang status hukum anak, khususnya
anak keturunan, setelah putusan Mahkamah Konstitusi tentang status hukum anak yang lahir di
luar nikah. Putusan Mahkamah Konstitusi memicu kontroversi tentang hak anak yang lahir di
luar nikah karena kurangnya penjelasan tentang istilah 'hubungan hukum perdata dengan ayah
biologis'. Untuk mengkaji putusan-putusan tersebut, penulis menggunakan pendekatan filsafat
hukum, baik dalam ilmu hukum maupun hukum Islam, yang difokuskan pada nalar hukum yang
digunakan oleh hakim dalam memutus hak asuh anak. Hasilnya, penulis menemukan dua jenis
penalaran hukum yang digunakan oleh hakim pengadilan agama dalam menangani kasus-kasus
orang tua anak, penalaran hukum berbasis doktrinal-deduktif dan penalaran hukum berbasis
maslaha. Ia berpendapat bahwa penggunaan penalaran hukum doktrinal-deduktif oleh hakim
tidak menguntungkan anak-anak sehingga perlindungan hak-hak anak belum dilakukan secara
optimal dan bahwa penggunaan penalaran hukum berbasis maslaha oleh hakim telah mengarah
pada perlindungan hak anak yang lebih baik.

A. Pendahuluan
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Februari 2012 telah
mengubah status anak yang lahir di luar nikah. Putusan tersebut menyatakan bahwa anak yang
lahir di luar nikah mempunyai hubungan hukum perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya, dan
dengan seorang laki-laki sebagai bapaknya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti yang sah lainnya. , mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan hukum perdata dengan kerabat ayahnya.

Namun persoalan muncul karena putusan tersebut tidak menjelaskan istilah “hubungan
hukum perdata” antara anak yang lahir di luar nikah dengan ayah kandungnya. Istilah “anak luar
nikah” juga rancu, apakah istilah tersebut terbatas pada anak yang lahir dari perkawinan di luar
nikah, atau termasuk anak yang lahir di luar perkawinan. Adalah tugas pengadilan untuk
menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap status hukum anak yang lahir di luar nikah,
termasuk Pengadilan Agama.

Menurut Pasal 49 (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
terdapat dua kewenangan pengadilan terhadap status anak, kewenangan memutus perkara
legalitas anak, dan kewenangan menentukan keturunan anak. Yurisdiksi pertama terkait dengan
kasus di mana orang tua mempermasalahkan legalitas anak, apakah anak itu sah atau tidak. Hal
itu dapat terjadi ketika seorang suami mengingkari sahnya anaknya, sementara istrinya mengakui
keabsahannya, maka sang suami dapat membenarkan keabsahannya dengan li'an di depan sidang
pengadilan. Yang terakhir terkait dengan asal usul anakketika orang tua biasanya mengajukan
permohonan status hukum anak sebagai anak dari ayah dan ibu.

Yurisdiksi untuk menentukan asal usul anak mendominasi perkara yang disidangkan di
Pengadilan Agama. Kasus tersebut biasanya muncul dari pernikahan siri yang dilakukan oleh
pasangan muslim. Setelah memiliki anak, pasangan tersebut menikah di hadapan pencatat nikah
dan menerima akta nikah dari Kantor Urusan Agama. Masalah muncul ketika pasangan mencari
akta kelahiran untuk anak mereka. Kantor Catatan Sipil hanya akan mencatatkan anak sebagai
anak dari ibu tanpa ayah karena anak tersebut lahir sebelum perkawinan orang tuanya dicatat.
Berhadapan dengan kasus tersebut, pasangan tersebut mengajukan permohonan ke Pengadilan
Agama untuk menentukan silsilah anak tersebut. Sudah menjadi kecenderungan umum bahwa
pengadilan akan mengabulkan permohonan dengan syarat perkawinan siri yang dilakukan oleh
pasangan-pasangan tersebut terbukti sah, dalam arti perkawinan tersebut memenuhi rukun dan
rukun perkawinan yang dirumuskan dalam fikih Islam. Dalam hal ini, anak yang lahir dari
perkawinan yang tidak tercatat akan ditetapkan oleh pengadilan sebagai anak sah dari pasangan
tersebut dan sebagai akibat hukumnya, anak tersebut akan memperoleh hak-hak hukum
keperdataan yang meliputi hak asuh, perwalian, pemeliharaan, dan pewarisan.

Selain kasus di atas, kasus lain biasanya muncul dari pasangan yang hidup bersama dan
melakukan hubungan seksual di luar nikah yang mengakibatkan lahirnya anak di luar nikah.
Setelah anak lahir, pasangan tersebut menikah di hadapan pencatat nikah. Masalah muncul
ketika pasangan ingin anak mereka yang lahir di luar nikah dicatatkan di akta kelahiran sebagai
anak dari pasangan dan bukan dari ibu saja. Berhadapan dengan kasus tersebut, pasangan
tersebut mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama untuk menentukan silsilah anak
tersebut.

Mengenai masalah pengasuhan anak khususnya dan perlindungan hak-hak anak menurut
hukum Islam telah banyak dilakukan penelitian dan kajian. Diantaranya, penulis telah
menemukan beberapa. Eva Schlumpf mempelajari status hukum anak yang lahir di luar nikah di
Maroko.* akibat perzinahan. Atas permohonan suami, pengadilan memberikan putusan tentang
sah tidaknya anak tersebut. Dia membahas pengaruh Konvensi PBB tentang Hak Anak terhadap
perbaikan situasi anak yang lahir di luar nikah di Maroko. Dia berpendapat bahwa kesetaraan
penuh belum dan tidak dapat dicapai dengan reformasi hukum keluarga Maroko Hukum Status
Pribadi (Moudawana) pada tahun 2004. Selama anak-anak yang lahir di luar nikah diperlakukan
berbeda dari anak-anak yang lahir dari pasangan yang sudah menikah dan selama karena
hubungan seksual di luar nikah tetap merupakan tindak pidana, anak-anak ini akan distigmatisasi
dan tidak dapat diberikan hak hukum penuh. Shaheen Sardar Ali mempelajari dampak Konvensi
Hak Anak (CRC) di yurisdiksi Muslim termasuk Yordania, Mauritania, dan Maroko, dengan
fokus pada inisiatif reformasi legislatif yang dilakukan di negara-negara tersebut yang
memengaruhi hak anak, menyoroti kesesuaian atau sebaliknya dengan ketentuan substantif dari
CRC. Berargumen dari pendekatan sosio-legal dan hukum-dalam-konteks, dia mengusulkan
kerangka kerja untuk meningkatkan konvergensi tradisi hukum Islam dan CRC untuk
menciptakan lingkungan yang mendukung hak-hak anak di yurisdiksi tersebut.

Untuk konteks Indonesia, Simon Butt mengkaji Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010. Ia mengkritisi putusan penerapannya karena ketidakjelasan putusan dan
menanyakan apakah pengadilan agama Indonesia akan menanggapi putusan tersebut atau hakim
pengadilan agama akan tetap menerapkan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam. Keturunan di
Pengadilan Agama Bantul dalam tesis S2-nya Dengan menggunakan pendekatan sosiologi
hukum, ia menyimpulkan bahwa putusan MK kurang berdampak terhadap putusan wali anak di
Pengadilan Agama Bantul Menurut hakim di Pengadilan Agama Bantul, anak yang lahir di luar
nikah hanya berhak atas nafkah, dan tidak berhak atas nasab, perwalian, dan warisan dari ayah
biologisnya.”

Tulisan ini mengkaji empat putusan Pengadilan Agama terhadap perkara hak asuh anak,
baik yang berkaitan dengan anak yang lahir dari perkawinan di luar nikah maupun anak yang
lahir di luar nikah, setelah putusan Mahkamah Konstitusi mengenai status hukum anak yang lahir
di luar nikah. Keempatnya dipilih untuk mewakili kasus-kasus lain yang diselesaikan di
Pengadilan Agama Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memetakan jenis-jenis penalaran hukum
dan apa dampaknya bagi perlindungan hak anak. Hal ini penting karena keturunan adalah kunci
untuk semua hak-hak lainnya karena hanya melalui penetapan keturunan dapat seorang anak
menjadi sah dan karena itu berhak atas hak-hak lainnya. Keputusan tersebut adalah keputusan
nomor 0071/Pdt.P/2013/PA.Mpw, keputusan nomor 0008/Pdt.P/2013/PA.Yk, keputusan nomor
0156/Pdt.P/2013/PA.JS, dan keputusan nomor 0078/ Pdt.P/2014/PA.Mgt. Tulisan ini diawali
dengan pembahasan tentang status anak dalam fikih Islam yang dilanjutkan dengan bagian yang
membahas tentang aturan tentang status anak. Tiga bab terakhir akan menelaah empat putusan
pengadilan agama, menganalisis pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam menangani
kasus hak asuh anak, dan memetakan tipologi pertimbangan hukum dan dampaknya terhadap
hak-hak anak.

B. Status Hukum Anak dalam Fikih Islam

Garis keturunan anak terhadap ibunya dapat diputuskan dalam kondisi apapun
kelahirannya, baik kelahiran anak tersebut sesuai dengan syariat Islam maupun bertentangan
dengan syariat Islam. Akan tetapi, nasab anak kepada bapak hanya dapat diputuskan dari
perkawinan yang sah, perkawinan yang cacat (fasid), persetubuhan dengan wanita yang dianggap
oleh suami sebagai istrinya (wat'u shubha), dan pengakuan paternitas (igrar bi al-nasab).

Secara umum, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk mengakui seorang anak.
Pertama, anak harus dari orang tua yang tidak diketahui. Kedua, masuk akal bahwa laki-laki itu
sebenarnya adalah ayah dari anak tersebut. Jadi, misalnya, perlu ada perbedaan usia tertentu
antara ayah dan anak. Ketiga, anak perlu menyetujui pengakuan tersebut jika sudah dewasa.
Keempat, pihak laki-laki perlu memastikan bahwa anak tersebut bukanlah keturunan dari
hubungan terlarang.

Kelahiran anak dianggap sesuai dengan hukum Islam jika anak lahir antara waktu
minimum kehamilan dan waktu maksimum kehamilan. Menurut mayoritas ulama klasik,
minimal masa kehamilan adalah enam bulan, sedangkan mengenai batas maksimal masa
kehamilan, para ulama klasik berbeda pendapat, bisa antara sembilan bulan sampai lima tahun
berdasarkan penanggalan bulan. anak yang lahir kurang dari enam bulan kehamilan sejak
perkawinan, menurut mazhab Hanafi, atau sejak kemungkinan hubungan seksual, menurut
mayoritas ulama Islam klasik, nasab anak tidak dapat berhubungan dengan suami (ayah), kecuali
suami mengakui anak sebagai anaknya, dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi
anak.” Hal ini sejalan dengan ketentuan baik dalam UU No. 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi
Hukum Islam, yang tidak mengatur minimal waktu kelahiran sejak perkawinan, sebagai syarat
anak sah.13

Menurut madzhab Hanafi, nikah cacat (nikab fasid) terjadi jika pernikahan tidak
memenuhi salah satu syarat sahnya perkawinan, seperti perkawinan tanpa saksi atau perkawinan
dalam masa tunggu, sedangkan mayoritas ulama Islam klasik memandang perkawinan itu tidak
sah. Menurut pandangan Hanafi perkawinan itu mempunyai akibat hukum yang sama dengan
perkawinan yang sah mengenai nasab anak.” Artinya, anak yang lahir dari perkawinan yang
cacat itu dapat berhubungan dengan suami sebagai bapaknya.

Mengenai anak yang lahir dari hasil zina, mayoritas ulama Islam klasik memandang
bahwa anak tersebut tidak dapat dihubungkan dengan bapaknya, baik anak yang lahir di luar
nikah maupun di luar nikah, berdasarkan hadits: “al-walad li'l- firash, wa lil-'ahir al-bajar."
Sebaliknya, menurut Ishaq bin Rahawaih, 'Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Muhammad
bin Sirin, 'Ata', Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qoyyim, jika anak yang lahir di luar nikah dan
pasangan ibu yang berzinah dengan ibu - mengakui anak, garis keturunan anak bisa
berhubungan dengannya. Menurut mereka, hadits di atas berkaitan dengan perselisihan antara
laki-laki pezina dengan suami (sabibu'l-firash) tentang status anak perempuan/istri yang sudah
menikah.

Muncul hadits tentang perselisihan yang timbul antara Sa'ad bin Abi Waqas dan
Abdullah bin Zam'ah tentang status anak. Sa'ad berkata: "Wahai Rasulullah, dia adalah anak dari
saudaraku Utbah bin Abi Waqas, dia menyatakan kepadaku bahwa anak ini adalah anaknya."
Abdullah bin Zam'ah berkata: "Ini saudaraku ya Rasulullah, dia lahir di tempat tidur ayahku dari
ibunya, kemudian Rasulullah mengamati dan melihat kemiripan yang nyata.
C. Aturan Status Hukum Anak: Perkembangan Terkini dalam Sistem Hukum Indonesia

Berdasarkan perkawinan orang tua, status anak dapat dibedakan menjadi dua kategori:
anak sah dan anak luar kawin. Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan
bahwa anak sah adalah anak yang lahir selama masih ada atau sebagai akibat perkawinan yang
sah. Ketentuan tersebut juga dapat ditemukan dalam Pasal 99 (a) Kompilasi Hukum Islam atau
yang disebut KHI.

Pasal 43 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang lahir di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan hukum perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya.
Ketentuan yang sama juga dapat ditemukan dalam Pasal 100 KHI. Yang terakhir menggunakan
istilah 'nasab (garis keturunan) untuk mendefinisikan hubungan antara anak dan ibunya.17

Status anak luar kawin berubah sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi nomor
46/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Februari 2012 yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 43
(1) UU No. 1/1974 yang diajukan oleh Aisyah Mochtar. Putusan tersebut menyatakan bahwa
anak yang lahir di luar nikah mempunyai hubungan hukum perdata dengan ibunya dan kerabat
ibunya, dan seorang laki-laki sebagai bapaknya yang dapat dibuktikan, berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti yang sah lainnya, mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan hukum perdata dengan kerabat ayahnya. Keputusan ini menyiratkan bahwa
hak anak secara otomatis mengalir dari hubungan darah alami dengan ayah biologis. Mukti
Arto, Hakim Agung di Kamar Agama sejak 2015, berpendapat bahwa hubungan perdata yang
lahir dari hubungan darah meliputi hubungan hukum, hak dan kewajiban antara anak dan orang
tuanya seperti nasab, larangan perkawinan (mabram), hak dan hubungan tugas, waris, dan wali
nikah bagi anak perempuan.”
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang status anak yang lahir di luar nikah memicu
kontroversi. Organisasi muslim seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) menentang keputusan
tersebut. MUI mengklaim bahwa perzinahan dilegalkan karena keputusan tersebut, yang
menegaskan bahwa kata 'di luar nikah' tidak hanya merujuk pada pernikahan yang tidak
dicatatkan secara Islam tetapi juga pada perzinahan. Ditegaskan pula bahwa putusan pengadilan
telah melampaui Syariah dan melampaui apa yang sebenarnya dimohonkan oleh pemohon.”
Alhasil, MUI mengeluarkan fatwa nomor 11/2012 pada 10 Maret 2012 untuk menanggapi
putusan tersebut. Menurut fatwa tersebut , anak yang lahir di luar nikah tidak memiliki hak
hubungan nasab, wali nikah, warisan, dan nafkah dari ayah kandungnya, merupakan kewenangan
pemerintah untuk menghukum ayah kandungnya untuk mencukupi kebutuhan anaknya yang
lahir di luar nikah. menyerukan kepada pemerintah untuk memberlakukan kewajiban kepada
ayah untuk menafkahi anak kandungnya dan memberikan mereka wasiat wajib (wasiat wajibah)
bukan berdasarkan status mereka sebagai ayah tetapi sebagai hukuman (bukuman ta'gir) atas
perilaku zina mereka.21

Meski ditentang, putusan MK dinilai sesuai dengan teori tufi tentang maslahah
(kepentingan umum). Putusan tidak tergantung pada teks UU, tetapi mengutamakan
kemaslahatan. Menurut Tufi, ketika terjadi konflik antara maslahah dengan teks al-Qur'an atau
hadis, maka maslahah harus didahulukan.". Sementara itu, berdasarkan Surat Edaran MA No. 7
Tahun 2012, MA telah menginstruksikan kepada hakim di pengadilan agama bahwa anak yang
lahir di luar nikah dapat dinyatakan sah berdasarkan keputusan hakim bahwa orang tua anak
tersebut menikah sesuai dengan hukum Islam. . Hal ini akan memungkinkan anak-anak yang
lahir dari perkawinan yang tidak tercatat untuk mencari penegakan dukungan dan hak waris dari
ayah biologis mereka.23

D. Keturunan Anak dalam Empat Putusan Pengadilan Agama


Penulis telah mengumpulkan empat putusan pengadilan agama untuk ditelaah dalam
tulisan ini. Dua keputusan pertama mengenai hak asuh anak dari perkawinan yang tidak
dicatatkan di mana perkawinan tersebut terbukti tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang
sah atau cacat (asid), dan dua keputusan terakhir menyangkut hak asuh anak dari perilaku zina
antara orang tua dan anak. lahir di luar perkawinan. Keempat putusan pengadilan agama
tersebut akan diuraikan secara singkat sebagai berikut.

Kasus pertama disidangkan di Pengadilan Agama Mempawah, Pontianak. Kasus


tersebut melibatkan Tn. A dan Ny. B yang menikah pada tanggal 14 Mei 2011. Pada saat
menikah, Tn. A masih memiliki hubungan pernikahan dengan istri pertamanya, sedangkan Ny. B
masih dalam masa penantian dari mantan istrinya. suami. Akibatnya, pernikahan mereka tidak
bisa dicatatkan di Kantor Urusan Agama Siantan. Dalam perkawinan tersebut, Ny. B melahirkan
seorang bayi laki-laki pada tanggal 10 Juli 2012, dan dalam pembuatan akta kelahiran, silsilah
anak tersebut masih ada hubungan dengan Ny.B hanya karena lahir dari perkawinan di luar
nikah. Tuan A dan Nyonya B mengajukan permohonan status anak sebagai anaknya di
Pengadilan Agama Mempawah, Pontianak.24.

Menyikapi kasus tersebut, Pengadilan Agama Mempawah menyatakan bahwa


perkawinan Tuan A dan Nyonya B adalah cacat (fasid). Perkawinan tersebut bertentangan
dengan Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 40 (b) KHI (Kompilasi
Hukum Islam) karena Ny. B masih dalam masa penantian saat melangsungkan pernikahan.
Perkawinan tersebut juga bertentangan dengan Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
yang mensyaratkan Tuan A memiliki izin dari pengadilan untuk menikah dengan lebih dari
seorang wanita dalam waktu yang bersamaan.25

Meskipun pernikahan tersebut cacat (fasid), namun pengadilan menetapkan anak


tersebut sebagai anak dari Tuan A dan Nyonya B. Pengadilan mengadopsi pendapat Wahbah al-
Zuhaili dalam bukunya “al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,” volume VII, halaman 690, yang
menyatakan:

“Perkawinan yang sah atau yang cacat (fasid) adalah suatu sebab untuk menentukan nasab,
dan cara menentukan nasab yang sebenarnya adalah jika perkawinan itu telah dilangsungkan,
meskipun perkawinan itu cacat atau perkawinan adat, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan,
maka anak yang dilahirkan mempunyai garis keturunan dari perkawinan itu.”

Mahkamah juga mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010


tanggal 13 Februari 2012 tentang Status Anak Luar Nikah, Pasal 55 (2) UU Nomor 1 Tahun
1974 dan Pasal 103 (2) Kompilasi Hukum Islam ke menyatakan anak tersebut sebagai anak dari
Bapak A dan Ibu B.26

Kasus kedua adalah dari Yogyakarta. Kasus ini melibatkan Tn. A dan Ny. B yang
menikah pada tanggal 3 Juni 2007 tanpa dicatatkan oleh pencatat nikah dari Kantor Urusan
Agama. Tuan A dan Nyonya B dikaruniai seorang anak perempuan dari pernikahannya pada
tanggal 25 Juli 2007. Tuan A dan Nyonya B melakukan perkawinan kedua yang didaftarkan oleh
pegawai pencatat nikah Kantor Urusan Agama Mantrijeron Yogyakarta pada tanggal 3 Januari
2009. Untuk memiliki akte kelahiran anak yang menetapkan anak sebagai anak dari Tuan A dan
Nyonya B, dan bukan hanya anak dari Nyonya B, Tuan A dan Nyonya B mengajukan
permohonan pengesahan anak ke Pengadilan Agama Yogyakarta.” Berdasarkan keterangan para
saksi terungkap bahwa pada saat perkawinan terjadi, wali nikah digantikan oleh orang lain
karena ayah mempelai yang berbeda keyakinan (Kristen).

Menyikapi kasus tersebut, Majelis Hakim Agama Yogyakarta Pengadilan


menyatakan perkawinan Tuan A dan Nyonya B cacat (fasid) karena wali nikah Ny. B diganti
dengan orang lain yang bukan Kepala Kantor Urusan Agama. Menurut hakim, berdasarkan
Permenag (Peraturan Menteri Agama) Nomor 30 Tahun 2005, Kepala Kantor Urusan Agama
yang bisa mewakili sebagai wali (wali bakim) bagi mempelai perempuan yang tidak memiliki
wali keturunan. Hakim menetapkan anak tersebut sebagai anak yang lahir di luar nikah karena
perkawinan salah orang tuanya. Hakim juga merujuk pada hadits yang berkaitan dengan
perselisihan antara laki-laki pezina dengan suami (sāḥibu'l-firash) tentang status anak
perempuan/istri yang sudah menikah. Mereka mengartikan kata “firash” sebagai ibu, sehingga
anak kandung itu berkerabat dengan ibunya. Berdasarkan pertimbangan di atas, pengadilan
menolak permohonan Tuan A dan Nyonya B, dan menyatakan bahwa anak tersebut mempunyai
garis keturunan ibu saja. Namun, dengan merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi nomor
46/PUU-VIII/2010, pengadilan menilai bahwa anak tersebut memiliki hubungan hukum perdata
dengan Tuan A sebagai ayah biologis, sehingga Tuan A harus menyediakan kebutuhan
anaknya.”

Kasus ketiga datang dari Jakarta Selatan. Kasus ini melibatkan Tn. A dan Ny. B yang
anak perempuannya lahir di luar nikah pada tanggal 2 Maret 2013. Tn. A dan Ny. B menikah
pada tanggal 31 Maret 2013 dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama Kebayoran Lama. Tuan A
dan Ny. B telah menerima akte kelahiran anaknya yang menyatakan anak tersebut sebagai anak
dari ibu saja yaitu Ny. B. Agar ada kepastian hukum tentang status anak tersebut sebagai anak
dari Tuan A dan Ny. B mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Menyikapi kasus tersebut, Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengacu pada fatwa MUI
nomor 11/2012 yang dikeluarkan pada 10 Maret 2012. Dalam fatwa tersebut, anak yang lahir di
luar nikah tidak berhak atas hubungan nasab, wali nikah, warisan, dan pemeliharaan dari ayah
biologisnya. Merupakan kewenangan pemerintah untuk menghukum ayah kandung untuk
mencukupi kebutuhan anaknya yang lahir di luar nikah. MUI meminta pemerintah untuk
memberlakukan kewajiban kepada ayah untuk menafkahi anak kandungnya dan memberi mereka
wasiat wajib (wasiat wajibab) bukan berdasarkan status mereka sebagai ayah tetapi sebagai
hukuman (bukuman ta'ir) atas perilaku zina mereka. Berdasarkan fatwa tersebut, pengadilan
mengabulkan karena wali nikah Ny. B diganti dengan orang lain yang bukan Kepala Kantor
Urusan Agama. Menurut hakim, berdasarkan Permenag (Peraturan Menteri Agama) Nomor 30
Tahun 2005, Kepala Kantor Urusan Agama yang bisa mewakili sebagai wali (wali bakim) bagi
mempelai perempuan yang tidak memiliki wali keturunan. Hakim menetapkan anak tersebut
sebagai anak yang lahir di luar nikah karena perkawinan salah orang tuanya. Hakim juga
merujuk pada hadits yang berkaitan dengan perselisihan antara laki-laki pezina dengan suami
(sāḥibu'l-firash) tentang status anak perempuan/istri yang sudah menikah. Mereka mengartikan
kata “firash” sebagai ibu, sehingga anak kandung itu berkerabat dengan ibunya. Berdasarkan
pertimbangan di atas, pengadilan menolak permohonan Tuan A dan Nyonya B, dan menyatakan
bahwa anak tersebut mempunyai garis keturunan ibu saja. Namun, dengan merujuk pada
putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010, pengadilan menilai bahwa anak
tersebut memiliki hubungan hukum perdata dengan Tuan A sebagai ayah biologis, sehingga
Tuan A harus menyediakan kebutuhan anaknya.”

Kasus ketiga datang dari Jakarta Selatan. Kasus ini melibatkan Tn. A dan Ny. B yang
anak perempuannya lahir di luar nikah pada tanggal 2 Maret 2013. Tn. A dan Ny. B menikah
pada tanggal 31 Maret 2013 dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama Kebayoran Lama. Tuan A
dan Ny. B telah menerima akte kelahiran anaknya yang menyatakan anak tersebut sebagai anak
dari ibu saja yaitu Ny. B. Agar ada kepastian hukum tentang status anak tersebut sebagai anak
dari Tuan A dan Ny. B mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Menyikapi kasus tersebut, Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengacu pada fatwa MUI
nomor 11/2012 yang dikeluarkan pada 10 Maret 2012. Dalam fatwa tersebut, anak yang lahir di
luar nikah tidak berhak atas hubungan nasab, wali nikah, warisan, dan pemeliharaan dari ayah
biologisnya. Merupakan kewenangan pemerintah untuk menghukum ayah kandung untuk
mencukupi kebutuhan anaknya yang lahir di luar nikah. MUI meminta pemerintah untuk
memberlakukan kewajiban kepada ayah untuk menafkahi anak kandungnya dan memberi mereka
wasiat wajib (wasiat wajibab) bukan berdasarkan status mereka sebagai ayah tetapi sebagai
hukuman (bukuman ta'ir) atas perilaku zina mereka. Berdasarkan fatwa tersebut, pengadilan
mengabulkan permohonan Tuan A dan Nyonya B dengan menyatakan anak sebagai anak hasil
hubungan luar nikah antara Tuan A dan Nyonya B, dan anak tersebut mempunyai hubungan
hukum perdata dengan Tuan A sebatas kewajiban ayah untuk memberikan nafkah dan wajib
mewariskan sepertiga dari hartanya kepada anak.
Kasus terakhir berasal dari Magetan, Jawa Timur. Kasus ini melibatkan Tn. A dan Ny. B
yang melakukan hubungan seksual di luar nikah pada tahun 1995. Akibatnya, Ny. B hamil dan
melahirkan seorang bayi laki-laki pada tanggal 4 November 1996. Tn. A dan Ny. B menikah
sebelum pencatat nikah Kantor Urusan Agama Magetan pada 27 Maret 1999. Mereka kesulitan
ketika meminta Kantor Catatan Sipil untuk mengubah akta kelahiran anak tersebut sehingga anak
tersebut dinyatakan sebagai anak dari Tuan A dan Ny. B. Untuk mengubah akta tersebut, Tuan
A dan Nyonya B mengajukan permohonan status anak kepada Pengadilan Agama Magetan untuk
menetapkan anak tersebut sebagai anak kandung dari Tuan A dan Nyonya B.

Menyikapi kasus tersebut, hakim di Pengadilan Agama Magetan mengacu pada putusan
Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010. Namun mereka mengartikan istilah
“hubungan hukum perdata dengan ayah kandung” bagi umat Islam harus dibedakan antara anak
yang lahir di luar nikah dan anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat. Untuk yang
pertama, hak anak terbatas pada nafkah dari ayah, dan garis keturunan dari ibu, sedangkan untuk
yang terakhir asalkan perkawinan di luar nikah sah, hak anak meliputi nafkah dari ayah, garis
keturunan dari kedua orang tua. , pewarisan, dan perwalian. Majelis hakim menyebut anak yang
lahir di luar nikah sebagai anak kandung.

Hakim juga merujuk pada hadits terkait perselisihan antara laki-laki pezina dengan suami
(sabibu'l-firash) tentang status anak perempuan/istri yang sudah menikah. Mereka mengartikan
kata “firash” sebagai ibu, sehingga anak kandung itu berkerabat dengan ibunya. Namun, mereka
mempertimbangkan dampak penghapusan ayah kandung pada akta kelahiran bagi anak yang
lahir di luar nikah. Merujuk pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang mengatur: “setiap anak berhak mengetahui orang tuanya, dibesarkan
dan diasuh oleh anaknya sendiri orang tua”, menurut hakim tidak bijaksana dan tidak adil untuk
mengeluarkan ayah biologis dari akta kelahiran anak yang lahir di luar nikah. Dalam artian akta
kelahiran harus memuat ayah kandung, tetapi tidak berarti anak kepada bapaknya, kecuali demi
perlindungan hukum dan kepastian hukum Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas,
hakim mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Tuan A dan Nyonya B dengan penetapan
bahwa anak tersebut adalah anak kandung dari Tuan A dan Nyonya B.

E. Penalaran Hukum Hakim dalam Kasus Keturunan Anak

Penalaran hukum yang digunakan oleh hakim Pengadilan Agama dalam menangani
perkara hak asuh anak berdampak pada status hukum anak, dan hak-hak hukum keperdataan
yang diperoleh anak. Dalam konteks status hukum anak yang lahir dari perkawinan di luar nikah
yang cacat dan anak yang lahir di luar nikah inilah hakim pengadilan agama menggunakan
pertimbangan hukum yang berbeda sehingga menimbulkan disparitas putusan yang berakibat
pada berkurangnya perlindungan hak anak.

Dalam perkara pertama, putusan nomor 0071/Pdt.P/2013/PA.Mpw, hakim menggunakan


penalaran hukum menurut utilitarianisme. Pola penalaran hukum utilitarianisme memiliki titik
tolak yang sama dengan positivisme hukum. Norma positif dalam sistem hukum menjadi standar
pengaturan. Namun berbeda dengan positivisme hukum yang memiliki dua arah pola penalaran,
top-down dan bottom-up. Gerakan top-down menuntut legitimasi atau keabsahan yuridis,
sedangkan gerakan bottom-up menuntut kemanjuran hukum dalam masyarakat karena
kegunaannya bagi masyarakat. Gerakan ganda tidak bekerja secara bersamaan, tetapi satu per
satu. Kepastian adalah tujuan hukum utama untuk utilitarianisme, diikuti dengan utilitas sebagai
tujuan sekunder. Dalam hal ini, seorang hakim utilitarian akan mampu mempertimbangkan
aspek utilitas sepanjang norma-norma positif yang dirumuskan dalam proposisi disjungtif.

Dapat dibuktikan bahwa meskipun pengadilan menyatakan perkawinan tersebut cacat


(fasid), namun pengadilan menetapkan anak tersebut sebagai anak dari Tuan A dan Nyonya B
dengan mengacu pada pendapat Wahbah al-Zuhaili. Dalam hal ini hakim mempertimbangkan
aspek utilitas sepanjang norma-norma positif dirumuskan dalam proposisi disjungtif.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur perkawinan cacat dalam Pasal 71. Menurut
KHI, perkawinan cacat itu "dapat dibatalkan" atau dirumuskan sebagai proposisi disjungtif. Sifat
dari norma tersebut menunjukkan kebolehan, dalam arti bahwa pengadilan dapat membatalkan
perkawinan atau tidak dapat membatalkan perkawinan. Pengadilan akan mempertimbangkan
aspek kemanfaatan putusan bagi para pihak atau masyarakat.

Aspek kemanfaatan dalam perkara nomor 0071/Pdt.P/2013/PA.Mpw adalah untuk


mempertahankan status anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah dan tidak tercatat sebagai
anak dari Tuan A dan Nyonya B, meskipun bertentangan dengan Pasal 42 UU No. 1 Tahun
1974 dan Pasal 99 (a) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa anak sah adalah anak
yang lahir selama masih hidup atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Putusan tersebut juga
sejalan dengan pandangan Hanafi bahwa perkawinan yang cacat memiliki akibat hukum yang
sama dengan perkawinan yang sah mengenai nasab anak. Dalam artian bahwa seorang anak
yang lahir dari perkawinan yang cacat dapat berhubungan dengan suami sebagai bapaknya.

Dengan mempertahankan status hukum anak hasil perkawinan cacat sebagai anak sah
dari pasangan perkawinan, akan menjamin hak-hak anak dari orang tuanya termasuk nafkah, hak
asuh, waris, dan perwalian.

Dalam perkara kedua Putusan Nomor 0008/Pdt.P/2013/PA.Yk, Majelis Hakim


menetapkan perkawinan antara Tuan A dan Nyonya B cacat Ja>sid) karena wali nikah diganti
oleh orang lain yang dapat tidak menjadi wali nikah secara sah. Menurut Permenag (Peraturan
Menteri Agama) Nomor 30 Tahun 2005, Kepala Kantor Urusan Agama yang dapat mewakili
sebagai wali (wali bakim) bagi mempelai wanita yang tidak memiliki wali keturunan.
Pengadilan menetapkan anak tersebut sebagai anak yang lahir di luar nikah karena perkawinan
salah orang tuanya. Berdasarkan pertimbangan di atas, pengadilan menolak permohonan Tuan A
dan Nyonya B, dan menyatakan bahwa anak tersebut mempunyai garis keturunan ibu saja.

Nampaknya para hakim menggunakan pola penalaran menurut legal positivism, yaitu
top-down/doctrinal-deductive satu arah. Norma positif dalam sistem hukum menjadi standar
pengaturan. Norma positif digunakan sebagai premis utama untuk diterapkan pada kasus-kasus
konkrit sebagai premis minor. Permenag (Peraturan Menteri Agama) Nomor 30 Tahun 2005
digunakan sebagai premis mayor, sedangkan perkawinan Tuan A dan Nyonya B sebagai premis
minor. Konsekuensinya, perkawinan Tuan A dan Nyonya B yang bertentangan dengan norma
positif, dinyatakan sebagai perkawinan yang cacat.

Majelis hakim juga menggunakan ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974 dan Pasal 99 (a) Kompilasi Hukum Islam sebagai premis mayor untuk diterapkan pada
anak yang lahir dari perkawinan yang cacat sebagai premis minor. Akibatnya, anak tersebut
dinyatakan sebagai anak yang lahir di luar perkawinan, dan berdasarkan Pasal 43 (a) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, hakim menetapkan anak
tersebut mempunyai garis keturunan ibu saja. Dalam hal ini, pengadilan mengabaikan aspek
kemanfaatan putusan bagi anak, dan lebih menekankan kepastian hukum sebagai tujuan utama
positivisme hukum. Namun, keputusan tersebut sejalan dengan pandangan mayoritas ulama
Islam klasik yang menyatakan batalnya nikah cacat.

Pertanyaan yang muncul terkait putusan tersebut adalah bagaimana hakim dapat
menerapkan norma positif, Permenag (Peraturan Menteri Agama) Nomor 30 Tahun 2005,
terhadap perkawinan di luar nikah yang tidak sah? Ini bukan penalaran hukum apple to apple.

Dengan menyatakan anak yang lahir dari perkawinan yang cacat itu sama dengan anak
yang lahir di luar perkawinan yang garis keturunannya hanya dari ibunya, maka anak tersebut
tidak memperoleh hak perwalian dan warisan dari ayahnya.

Dalam perkara ketiga, putusan nomor 0156/Pdt.P/2013/PA.JS, majelis hakim merujuk


pada fatwa MUI Nomor 11/2012, sebagai tanggapan atas putusan Mahkamah Konstitusi nomor
46/PUU-VIII/2010 yang tidak mengatur penjelasan tentang hubungan hukum perdata antara
anak yang lahir di luar nikah dengan bapak kandung. Menurut fatwa tersebut, anak yang lahir di
luar nikah tidak memiliki hak hubungan nasab, wali nikah, warisan, dan nafkah dari ayah
kandungnya. Merupakan kewenangan pemerintah untuk menghukum ayah kandung untuk
mencukupi kebutuhan anaknya yang lahir di luar nikah. MUI meminta pemerintah untuk
memberlakukan kewajiban kepada ayah untuk memelihara anak kandungnya dan memberikan
mereka wasiat wajib bukan berdasarkan status mereka sebagai ayah tetapi sebagai hukuman atas
perilaku zina mereka.

Majelis hakim menggunakan nalar hukum positivisme dalam menangani perkara tersebut.
Fatwa MUI digunakan sebagai premis mayor, dan anak yang lahir di luar nikah digunakan
sebagai premis minor. Hasilnya, pengadilan menyatakan anak tersebut sebagai anak hasil
hubungan luar nikah (bubungan di luar nikah) antara Tuan A dan Nyonya B, dan anak tersebut
mempunyai hubungan hukum perdata dengan Tuan A sebatas kewajiban ayah untuk
memberikan nafkah dan wasiat wajib sepertiga dari hartanya kepada anak itu.

Dalam perkara terakhir, putusan nomor 0078/Pdt.P/2014/PA.Mgt, majelis hakim tampak


ambivalen antara memutuskan anak luar nikah sebagai anak kandung dari pasangan tersebut, dan
membatasi hak pemeliharaan anak dari sang ayah saja. Para hakim menggunakan nalar hukum
positivisme. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002, dan Hadits Perselisihan Laki-laki Pezina dengan Suami (sabibu'l-firash)
tentang status anak perempuan/istri yang sudah menikah digunakan sebagai premis mayor, dan
anak yang lahir di luar nikah sebagai premis minor. Hasilnya, hakim mengabulkan permohonan
yang diajukan oleh Tuan A dan Nyonya B dengan menyatakan bahwa anak tersebut sebagai anak
kandung dari Tuan A dan Nyonya B sehingga ayah dapat dicantumkan dalam akta kelahiran,
tetapi tidak berarti untuk menghubungkan nasab anak dengan ayahnya. Dalam hal ini,
ambivalensi muncul ketika hakim mempertimbangkan kepastian hukum di satu sisi, dan aspek
kemanfaatan bagi anak luar nikah di sisi lain, sementara proposisi disjungtif dalam norma positif
tidak ada.
F. Penalaran Hukum Berbasis Doktrin-Deduktif dan Penalaran Hukum Berbasis
Maşlabah Serta Dampaknya Terhadap Perlindungan Hak Anak

Dari analisis terhadap empat putusan Pengadilan Agama tentang hak asuh anak di atas,
dapat dijelaskan bagaimana bentuk penalaran hukum tersebut berdampak terhadap perlindungan
hak-hak anak. Dalam hal ini, ada dua jenis penalaran hukum yang digunakan oleh para hakim,
penalaran hukum yang bersifat doktrinal-deduktif dan penalaran hukum yang berbasis maslahah.

Penalaran hukum doktrinal-deduktif dapat ditemukan dalam tiga kasus terakhir.


Penalaran hukum jenis ini menganut paham positivisme hukum. Norma positif dalam sistem
hukum menjadi standar pengaturan. Norma positif digunakan sebagai premis mayor untuk
diterapkan pada kasus-kasus konkrit sebagai premis minor. Tujuan utama positivisme hukum
adalah untuk mencapai kepastian hukum. Predictability merupakan inti dari kepastian hukum,
yaitu kemampuan untuk persepsi "seorang individu harus berperilaku dengan cara tertentu."
Menurut Ahmad Rofii, sejak diundangkannya Kompilasi, pertimbangan yuridis yang digunakan
oleh peradilan agama pada umumnya bersifat legalistik. Tugas pengadilan hanyalah menerapkan
hukum dalam kasus-kasus tertentu. Proses penalaran mengikuti silogisme formal atau logika
deduktif.38

Dalam wacana hukum Islam, penalaran hukum jenis ini dapat diklasifikasikan dalam
pendekatan literalis, mengingat makna literal dari naskah-naskah dan mengabaikan tujuannya.”
Menurut Hallaq, dalam hukum Islam, ahli hukum hanya terikat pada premis-premis ditentukan
oleh sumber-sumber agama, dan, kecuali ambiguitas tertentu dalam premis memungkinkan
dimasukkannya atau pengecualian fakta material tertentu, tidak ada yang tidak mengikuti dari
premis yang dapat atau harus digabungkan dengan kesimpulan.

Dalam hal anak lahir dari perkawinan tidak tercatat yang cacat, penggunaan penalaran
hukum deduktif doktrinal oleh hakim akan mengurangi perlindungan hak-hak anak. Majelis
hakim akan menggunakan Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 99 (a) Kompilasi Hukum
Islam - yang menyatakan bahwa anak sah adalah anak yang lahir selama ada atau sebagai akibat
dari perkawinan yang sah - sebagai premis utama yang akan diterapkan. kepada anak yang lahir
dari perkawinan yang cacat sebagai premis minor. Mereka yang lahir dari perkawinan di luar
nikah yang cacat, akan dihitung sebagai anak yang lahir di luar perkawinan dan akan kehilangan
garis keturunan dari ayahnya. Akibatnya, mereka tidak akan mendapatkan hak perwalian dan
warisan dari sang ayah. Apalagi keputusan tersebut sejalan dengan pandangan mayoritas ulama
Islam klasik yang menyatakan batalnya perkawinan cacat.

Dalam hal anak lahir di luar nikah, karena ketiadaan penjelasan mengenai istilah
“hubungan hukum keperdataan” antara anak yang lahir di luar nikah dengan ayah biologisnya,
hakim akan merujuk pada fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tanggal 10 Maret 2012. Menurut
fatwa tersebut, anak yang lahir di luar nikah tidak memiliki hak hubungan nasab, wali nikah,
warisan, dan nafkah dari ayah kandungnya. Merupakan kewenangan pemerintah untuk
menghukum ayah kandung untuk mencukupi kebutuhan anaknya yang lahir di luar nikah. MUI
meminta pemerintah untuk memberlakukan kewajiban kepada ayah untuk menafkahi anak
kandungnya dan memberi mereka wasiat wajib (wasiat wajibah) bukan berdasarkan status
mereka sebagai ayah tetapi sebagai hukuman (bukuman ta'sir) atas perilaku zina mereka. Dalam
hal ini fatwa digunakan sebagai premis mayor, dan anak yang lahir di luar nikah sebagai premis
minor. Namun status fatwa yang tidak mengikat secara hukum, akan menjadi acuan hakim
ketika terjadi kekosongan hukum. Apalagi MUI dianggap sebagai wakil ulama Islam di
Indonesia terlepas dari otoritasnya dalam mengeluarkan fatwa.

Jenis penalaran hukum ini juga akan menerapkan hadis “al-walad li'l-firash, wa lil-abir
al-bajar untuk semua kasus anak yang lahir di luar nikah sehingga tidak mungkin ada hubungan
nasab dengan bapaknya. Akibatnya, permohonan istilḥaq anak luar nikah tidak dapat
diakomodasi, dalam hal ini teks agama menjadi premis-premis mayor sebagaimana norma-norma
positif dalam sistem hukum perdata.+2
Penalaran hukum berbasis maslabab dapat ditemukan pada kasus pertama. Dalam ilmu
hukum, jenis penalaran hukum ini dekat dengan utilitarianisme. Pola penalaran hukum
utilitarianisme memiliki titik tolak yang sama dengan positivisme hukum. Norma positif dalam
sistem hukum menjadi standar pengaturan. Namun berbeda dengan positivisme hukum yang
memiliki dua arah pola penalaran, top-down dan bottom-up. Gerakan top-down menuntut
legitimasi atau keabsahan yuridis, sedangkan gerakan bottom-up menuntut keberlakuan hukum
dalam masyarakat karena kegunaannya bagi masyarakat. Gerakan ganda tidak bekerja secara
bersamaan, tetapi satu per satu. Kepastian adalah tujuan hukum utama untuk utilitarianisme,
diikuti dengan utilitas sebagai tujuan sekunder. Dalam hal ini, seorang hakim utilitarian akan
mampu mempertimbangkan aspek utilitas sepanjang norma-norma positif yang dirumuskan
dalam proposisi disjungtif.

Dalam wacana hukum Islam, jenis penalaran hukum ini sesuai dengan teori Tufi tentang
maslaha (kepentingan umum). Menurut Tufi, ketika terjadi konflik antara maslaha dengan teks
al-Qur'an atau hadis, maka maslabah harus diutamakan. Dalam hal ini, tujuan hukum yaitu
mencapai maslahah dan menghindari mafsada harus digunakan untuk menilai aturan. Melihat
hasil aturan dan menilainya berdasarkan tujuan hukum memungkinkan ahli hukum untuk
menemukan hukum baru yang selaras dengan tujuan itu dan mengadaptasi aturan yang ada
ketika aturan itu tidak memenuhi tujuannya." Dalam wacana Islam tentang perubahan hukum,
maslaha memiliki dua fungsi yang berbeda, satu fungsi berlaku surut, maslaha menjelaskan
aturan-aturan yang dibentuk oleh masyarakat Islam awal yang tidak secara langsung didasarkan
pada nash-nash yang diwahyukan, fungsi lainnya adalah untuk mencapai perubahan hukum
dengan melegitimasi baik itu aturan tekstual yang ada dapat dikesampingkan atau bahwa
keputusan baru itu sah secara agama.

Dalam hal anak lahir dari perkawinan yang cacat, penggunaan nalar hukum berdasarkan
maslaha akan meningkatkan perlindungan hak-hak anak. Majelis hakim akan merujuk pada
pendapat Wahbah al-Zuhaili:

“Perkawinan yang sah atau yang cacat (fasid) merupakan suatu sebab untuk menentukan nasab,
dan cara menentukan nasab yang sebenarnya adalah jika perkawinan itu telah dilangsungkan,
meskipun perkawinan itu cacat atau perkawinan adat, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan,
lahir anak memiliki garis keturunan dari perkawinan tersebut.”

Selain itu, majelis hakim akan mengacu pada Pasal 71 KHI di mana perkawinan yang
cacat itu “dapat dibatalkan” atau dirumuskan dalam proposisi disjungtif. Sifat dari norma
tersebut menunjukkan kebolehan, dalam arti bahwa pengadilan dapat membatalkan perkawinan
atau tidak dapat membatalkan perkawinan. Majelis hakim akan mempertimbangkan aspek
kemanfaatan putusan bagi para pihak atau masyarakat.

Berdasarkan penalaran hukum berdasarkan maslaha, anak yang lahir dari perkawinan di
luar nikah yang cacat tetap diperhitungkan sebagai anak sah dari orang tuanya, meskipun
bertentangan dengan Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 99 (a) Kompilasi Hukum Islam.
Hal ini juga sejalan dengan pandangan Hanafi bahwa perkawinan yang cacat memiliki akibat
hukum yang sama dengan perkawinan yang sah mengenai nasab anak. Dalam artian bahwa
seorang anak yang lahir dari perkawinan yang cacat dapat berhubungan dengan suami sebagai
bapaknya. Akibatnya, anak akan memperoleh hak-hak dari orang tua yang meliputi
pemeliharaan, hak asuh, warisan, dan perwalian.

Dalam hal anak lahir di luar nikah, penggunaan nalar hukum berdasarkan maslaha akan
memajukan hak-hak anak. Penting untuk disinggung putusan Pengadilan Agama Sleman nomor
408/Pdt.G/2006/PA.Smn tanggal 27 Juli 2006 di sini. Hakim mengabulkan permohonan
pengakuan anak yang diajukan oleh suami dengan memerintahkan agar anak yang lahir di luar
nikah sebagai anak sah dari suami istri berdasarkan pengakuan suami. Sebelum menikah, suami
dan istri tinggal bersama dan melakukan hubungan seksual hingga sang istri melahirkan bayi
laki-laki di luar nikah.

Majelis hakim menilai Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur tentang pengakuan anak,
melainkan Kompilasi Hukum Islam mengatur perkawinan wanita hamil dengan laki-laki yang
bersetubuh dengannya dalam Pasal 53. Hakim menafsirkan bahwa tujuan Pasal 53 adalah untuk
melindungi dan memelihara kepentingan anak pada saat proses tumbuh kembang anak terjadi
sejak orang tua melahirkan. belum menikah. Hakim juga merujuk pada kaidah hukum “hukum
mengikuti manfaat yang utama (al-hukm yattabi'u'l-maslaat ar-rajihah),” dan Pasal 3 UU No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam doktrin hukum klasik (figh), ada doktrin pengakuan paternitas. Dalam hal anak
yang orang tuanya tidak diketahui, sebagai lagi atau anak terlantar, seseorang --yang menemukan
dan mengklaim anak itu sebagai miliknya-- dapat mempertalikan anak tersebut, atau melalui
lembaga istilḥaq (pengakuan paternitas). Tentu saja, permohonan pengakuan paternitas tersebut
akan dikabulkan oleh pengadilan jika tidak ada gugatan dari pihak lain.47

Alasan lembaga istilḥaq adalah untuk melindungi hak-hak anak. Berdasarkan logika
penafsiran hukum, yaitu argumentum a fortiori atau al-mafbum al-muwafaqah, jika silsilah anak
yang tidak diketahui orang tuanya dapat dikaitkan dengan seseorang yang mengaku, maka anak
yang diketahui bapak kandungnya itu dapat yang ditetapkan dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi, keterangan saksi atau alat bukti lain, dapat dihubungkan dengan ayah kandungnya.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, Ibnu Taimiyah adalah salah satu ulama Islam yang
berpendapat bahwa anak yang lahir di luar nikah dapat berhubungan dengan ayah biologisnya.
Menurut Ibnu Taimiya, silsilah anak yang lahir di luar nikah (perzinahan) dapat dihubungkan
dengan ayah kandungnya, jika sang ayah meminta pengakuan anak, dan sang ayah belum
menikah dengan ibunya. Pendapat ini didukung oleh Ibn al-Qayyim.

Selain itu, kita harus membedakan antara hubungan orang tua dan hubungan antara orang
tua dan anak. Yang pertama harus dibedakan antara yang sah dan yang tidak sah, karena pihak-
pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut (hubungan seksual) adalah cakap sebagai subjek
hukum. Sebaliknya, yang kedua, anak tidak menjadi subyek hukum selama perbuatan dilakukan,
karena anak merupakan akibat perbuatan yang dilakukan oleh orang tuanya. Tentu saja
perlakuan hukum yang tidak dapat dibenarkan jika kita memberikan penilaian yang sama antara
hubungan orang tua dan hubungan anak dengan orang tua sebagai tidak sah. Hal ini sejalan
dengan tujuan yang digariskan oleh Piagam Hak dan Kebebasan Fundamental Eropa, di mana
kelahiran 'dianggap sebagai salah satu keadaan yang tidak membenarkan perlakuan hukum yang
berbeda untuk anak-anak (Pasal 21).""
Dalam perkembangan terakhir, Bahruddin Muhammad, Ketua Pengadilan Tinggi Agama
Mataram, menyatakan bahwa akibat hukum terhadap hak anak yang lahir di luar nikah meliputi
hak kebendaan dan hak kebendaan. Hak kebendaan meliputi pemeliharaan anak dan warisan,
dan yang terakhir termasuk perwalian perkawinan dan hak asuh. Pendapatnya berdasarkan
interpretasi yang luas terhadap konsep nasab anak yuridis (berdasarkan perkawinan yang sah)
terhadap nasab anak kandung (berdasarkan hubungan darah). Konsep nasab anak kandung
menjadi ratio legis sebagai pertimbangan atas fakta hak-hak keperdataan anak tersebut.

Muhammad telah menelusuri bagaimana pengaruh sistem patrilineal di Arab terhadap


konsep garis keturunan anak pada masa itu. Muhammad menyatakan:

"Sistem patrilineal yang menjadi latar belakang sosial masyarakat Arab selalu menisbahkan anak
pada pengakuan ayah lebih dominan, sehingga jika terjadi hubungan zina, maka perempuan
berikut anak zina menjadi korban subordinasi kaum laki-laki. Nasab pada masa lalu tidak lebih
sebagai alat untuk melegitimasi dan meyakinkan para raja dan sekadar pencitraan ayah.Nasab
pada masa lalu tidak lebih sebagai citra identitas, tanpa menghiraukan hak-hak anak dan hak-hak
perempuan. Oleh karena itu perlu purifikasi makna nasab kepada nasab anak biologis.”

Sistem patrilineal sebagai latar belakang sosial masyarakat Arab selalu mengaitkan anak
dengan pengakuan bapak secara dominan, sehingga dalam kasus zina, perempuan dan anak
menjadi korban subordinasi laki-laki. Silsilah (nasab) di masa lalu tidak lebih dari sebuah alat
melegitimasi dan meyakinkan raja-raja dan hanya untuk citra ayah. Silsilah di masa lalu hanya
untuk pencitraan identitas mengabaikan hak-hak anak dan perempuan. Oleh karena itu perlu
untuk memurnikan makna nasab terhadap keturunan anak kandung."

Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dapat mengakomodir permohonan pengakuan


(istilbag) anak yang lahir di luar nikah. Akomodasi tersebut sejalan dengan pandangan Ishaq bin
Rahawaih, 'Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Muhammad bin Sirin, Ata', Ibnu Taimiyah,
dan Ibnu Qoyyim. Dengan demikian, anak akan memperoleh seluruh hak hukum keperdataan
dari ayahnya sama seperti anak yang sah.
G. Penutup

Dari pemeriksaan empat putusan Pengadilan Agama tentang hak asuh anak di atas,
terdapat perbedaan pertimbangan hukum yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan.
Dalam hal anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat yang cacat, terdapat perbedaan
pemidanaan terhadap status hukum anak. Hakim Pengadilan Agama Mempawah menetapkan
anak sebagai anak dari pasangan tersebut, sedangkan hakim Pengadilan Agama Yogyakarta
menyatakan anak tersebut sebagai anak luar nikah yang garis keturunannya hanya dari ibu.

Dalam hal anak lahir di luar nikah, hakim Jakarta Selatan mengacu pada fatwa MUI No.
11 Tahun 2012 yang mengakibatkan tidak adanya hak anak terhadap ayahnya, namun kewajiban
ayah untuk memberikan nafkah dan wajib mewariskan sepertiga dari hartanya kepada anak itu.
Sedangkan hakim Pengadilan Agama Magetan menafsirkan hubungan hukum perdata dengan
ayah kandung bagi anak yang lahir di luar nikah terbatas pada hak nafkah dari ayah. Hakim
Jakarta Selatan tampak ragu-ragu untuk menyatakan anak yang lahir di luar nikah sebagai anak
kandung dari orang tuanya dengan rumusan anak hasil hubungan di luar perkawinan dari orang
tua. Sedangkan hakim Pengadilan Agama Magetan menyatakan anak yang lahir di luar nikah
secara jelas sebagai anak kandung dari orang tuanya. Berdasarkan analisis terhadap empat
putusan Pengadilan Agama tentang hak asuh anak, terdapat dua jenis penalaran hukum yang
digunakan oleh hakim, yaitu penalaran hukum yang bersifat doktrinal-deduktif dan penalaran
hukum berbasis maslahab.

Penggunaan penalaran hukum doktrinal-deduktif oleh hakim akan mengurangi


perlindungan hak-hak anak. Dalam hal anak yang lahir dari perkawinan di luar nikah cacat,
maka mereka yang lahir dari perkawinan di luar nikah yang cacat, akan diperhitungkan sebagai
anak yang lahir di luar perkawinan dan akan kehilangan garis keturunan dari ayahnya.
Akibatnya, mereka tidak akan mendapatkan hak perwalian dan warisan dari sang ayah. Dalam
hal anak lahir di luar perkawinan, anak mempunyai hubungan hukum perdata dengan ayah
kandungnya sebatas kewajiban ayah untuk memberikan nafkah dan mewariskan secara wajib
sepertiga dari harta peninggalannya kepada anak, dan tidak mungkin mengakomodir
permohonan pengakuan. (istilḥaq) anak yang lahir di luar nikah.

Penggunaan nalar hukum berbasis maslahab akan meningkatkan perlindungan hak-hak


anak. Dalam hal anak lahir dari perkawinan tidak tercatat yang cacat, maka anak tersebut akan
diperhitungkan sebagai anak sah dari orang tuanya sehingga anak tersebut memperoleh hak-hak
dari orang tuanya yang meliputi nafkah, hak asuh, waris, dan perwalian. Dalam hal anak lahir di
luar nikah, dapat menampung permohonan pengakuan (istilbag) anak luar nikah. Akomodasi
tersebut sejalan dengan pandangan Ishaq bin Rahawaih, 'Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar,
Muhammad bin Sirin, Ata', Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qoyyim. Dengan demikian, anak akan
memperoleh seluruh hak hukum keperdataan dari ayahnya sama seperti anak yang sah.

Anda mungkin juga menyukai