Oleh :
Abstrak
PENDAHULUAN
Anak merupaka karunia sekaligus amanat dari Allah SWT, yang senantiasa harus dijaga
karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi. Bagi orang tua anak merupakan asset dan karunia Allah yang tak ternilai, ia
sebagai penyejuk hati, penerus keturunan dan cita-cita ideal orang tua, dan dari sisi kehidupan
berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa.
Pada Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dinyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak
kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan”.
Secara rinci hak-hak anak disebutkan dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 18 UU Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun
2014, yang antara lain “anak berhak mengetahui orang tuanya”. Mengetahui orang tuanya
berkaitan dengan asal-usul anak. Asal usul anak ini dapat dibuktikan antara lain dengan akta
kelahiran. Bagi anak yang lahir dari perkawinan yang sah untuk mendapatkan akta kelahiran
tidaklah sulit, tinggal diurus sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ditentukan, sehingga
anak yang lahir dari perkawinan yang sah mendapatkan perlindungan yang sempurna berkaitan
dengan “hifdlun nasl” (pemeliharaan keturunan) dengan segala akibat hukumnya. Namun bagi
anak yang dilahirkan tidak dari perkawinan yang sah, untuk mengetahui asal-usul anak harus
melalui putusan Pengadilan, dan tidaklah semua permohonan asal-usul anak dikabulkan oleh
Pengadilan. Pengadilan hanya mengabulkan permohonan asal-usul anak, jika permohonan
tersebut terbukti berdasarkan dan beralasan hukum. Jika permohonan tidak berdasarkan dan tidak
beralasan hukum, maka permohonan tersebut akan ditolak.
PEMBAHASAN
Menurut Chatib Rasyid dalam makalahnya “Anak lahir di luar nikah (secara
hukum) berbeda dengan anak hasil zina”, bahwa ditinjau dari status kelahirannya, ada
tiga (3) macam status anak, yaitu : Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah (anak yang sah); Anak yang lahir di luar perkawinan; dan Anak yang lahir tanpa
perkawinan (anak hasil zina).
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan perkawinan yang sah menurut UUP adalah
perkawinan yang secara materiil dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya, dan secara formil dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku (vide : Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UUP).
Anak yang sah secara otomatis mempunyai hubungan nasab dengan ayah dan
keluarga ayahnya kecuali ayah (suami dari ibu yang melahirkannya)
mengingkari/menyangkalnya. Sabda Nabi SAW :
، إن فالنًا ابني، يا رسول هللا: قام رجل فقال:عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال
ُ ْعَاهَر
، ال دعوة في اإلسالم: فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم،ت بأمه في الجاهلية
) وللعاهر الحجر (رواه أبو داود، الولد للفراش،ذهب أمر الجاهلية
“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: seseorang berkata:
Ya rasulallah, sesungguhnya si fulan itu anak saya, saya menzinai ibunya ketika masih masa
jahiliyyah, rasulullah saw pun bersabda: “tidak ada pengakuan anak dalam Islam, telah lewat
urusan di masa jahiliyyah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang
melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum)” (HR. Abu Dawud).
Berdasarkan hadits ini, Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya, “At Tamhid”
(8/183) sebagaimana dikutip dalam fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan “Para
Ulama telah sepakat, apabila ada seseorang berzina dengan perempuan yang memiliki
suami kemudian melahirkan anak, maka anak tidak dinasabkan kepada lelaki yang
menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak
menafikan/ mengingkari anak tersebut.
" وجعل رسول هللا صلى هللا،وأجمعت األمة على ذلك نقالً عن نبيها صلى هللا عليه وسلم
إال أن ينفيه بلعان على،عليه وسلم كل ولد يولد على فراش لرجل الحقًا به على كل حال
"حكم اللعان
Umat telah ijma’ (bersepakat) tentang hal itu dengan dasar hadis nabi saw, dan rasul saw
menetapkan setiap anak yang terlahir dari ibu, dan ada suaminya, dinasabkan kepada ayahnya
(suami ibunya), kecuali ia menafikan anak tersebut dengan li’an, maka hukumnya hukum li’an.
Juga disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mughni (9/123)
sebagai berikut:
وأجمعوا على أنه إذا ولد على فراش رجل فادعاه آخر أنه ال يلحقه
Para Ulama bersepakat (ijma’) atas anak yang lahir dari ibu, dan ada suaminya, kemudian
orang lain mengaku (menjadi ayahnya), maka tidak dinasabkan kepadanya.
Apabila suami menyangkal/mengingkari sahnya anak yang dilahirkan istrinya,
dan ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina baik dengan cara sumpah li’an
maupun dengan bukti-bukti lainnya, maka suami tersebut harus mengajukan gugatan
pengingkaran anak kepada Pengadilan. Apabila berdasarkan pemeriksaan di Pengadilan,
gugatan tersebut terbukti kebenarannya (berdasarkan dan beralasan hukum), maka
gugatan pengingkaran/penyangkalan anak dari suami tersebut dikabulkan. Sehingga
kelahiran anak tersebut merupakan akibat dari perzinaan. (vide: Pasal 44 UUP jo. Pasal
101 KHI).
Dengan demikian, anak yang lahir di luar perkawinan berbeda dengan anak yang
lahir tanpa perkawinan. Pengertian luar perkawinan berbeda dengan pengertian tanpa
perkawinan. Meskipun tidak sama persis tetapi pengertian ini dapat dianalogikan dengan
dengan pengertian “Fulan berkeja di luar kantor” dengan “Fulan bekerja tanpa kantor”.
Fulan bekerja di luar kantor berarti ada kantornya tetapi dia sedang bekerja di luar kantor,
sedang Fulan bekerja tanpa kantor berarti dia bekerja tanpa ada kantornya.
Demikian pula anak yang lahir di luar perkawinan, berarti anak tersebut lahir dari
pria dan wanita yang secara materiil ada ikatan perkawinan tetapi perkawinan tersebut
secara formil tidak ada karena tidak dicatatkan/tidak dilaksanakan di hadapan Pegawai
Pencatat Nikah.
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk sebuah perkawinan yang
tidak tercatat, ada yang menyebut kawin di bawah tangan, kawin syar'i, kawin modin, dan
kerap pula disebut kawin kiyai (Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita
Hamil, hal 110). Perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan yang secara material telah
memenuhi ketentuan syari'ah sesuai dengan maksud Pasal 2 ayat (1) UUP tetapi secara
formil tidak memenuhi ketentuan ayat (2) Pasal tersebut jo Pasal 10 ayat (3) PP Nomor 9
Tahun 1975.
Berdasarkan Pasal 4, 5 dan 6 KHI, perkawinan tersebut sah menurut hukum Islam
tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum. Agar perkawinan tersebut mempunyai kekuatan
hukum, maka harus dimintakan itsbat nikah kepada Pengadilan Agama. (Pasal 7 ayat (2)
KHI).
Oleh karena perkawinan yang dilakukan sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP
dalam perspektif fikih Islam merupakan perkawinan yang sah, maka konsekuwensinya
anak yang lahir dari perkawinan yang demikian ini, juga merupakan anak sah, yang
mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya (suami dari istri yang melahirkannya) dengan
segala akibat hukumnya.
Anak zina adalah anak yang lahir akibat hubungan biologis antara laki-laki dan
perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan. Meskipun terlahir sebagai anak zina, ia tetap
dilahirkan dalam keadaan suci dan tidak membawa dosa turunan. Namun demikian, anak
hasil zina tetap tidak mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki yang menzinai ibunya,
ia hanya dinasabkan dengan ibu yang melahirkannya. Sabda Nabi SAW.
)قال النبي صلى هللا عليه وسلم في ولد الزنا " ألهل أمه من كانوا" (رواه أبو داود
Nabi saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya ...” (HR. Abu
Dawud).
Dalam hadits yang lain, Nabi SAW juga menyatakan tidak adanya hubungan
kewarisan antara anak hasil zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya, antara
lain:
" أيما رجل:عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال
سنن الترمذى- ال يرث وال يورث " ( رواه الترمذى، عاهر بحرة أو أمة فالولد ولد زنا
1717
“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa rasulullah saw bersabda: Setiap
orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak hasil
zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“. (HR. Al-Turmudzi).
Dalam rangka memberikan perlindungan hak-hak dasar anak hasil zina, MUI
melalui Fatwanya Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan “Pemerintah berwenang
menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak
dengan mewajibkan untuk : a. Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut, b. Memberikan
harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik,
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Pasal 103 ayat (1) KHI, “Asal usul
seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya”.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran
yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte
kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan 3 (tiga) macam status anak tersebut,
maka anak sah dengan mudah akan mendapatkan akta kelahiran yang pertalian
nasabnya dihubungan dengan ayah dan ibu yang melahirkannya dengan segala
akibat hukumnya karena akta kelahirannya didasarkan alas hukum antara lain Akta
Nikah orang tuanya. Adapun untuk anak hasil perzinaan, akta kelahirannya pertalian
nasabnya hanya dihubungkan dengan ibunya dan tidak dapat diajukan
permohonan asal usul anak karena kelahirannya tanpa adanya ikatan perkawinan.
Kalaupun diajukan permohonan asal usul anak bagi anak hasil perzinaan, tentu akan
ditolak oleh Pengadilan Agama. Sedangkan anak yang dilahirkan dari perkawinan di
bawah tangan yang secara meteriil sah berdasarkan hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan
sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum, maka untuk mendapatkan akta kelahiran
anak yang pertalian nasabnya dihubungkan dengan ayah dan ibu yang melahirkannya,
dapat ditempuh beberapa kemungkinan sebagai berikut :
- Pada tanggal 5 Mei 2000 lahir anak laki-laki yang bernama Y;
- Pada tanggal 6 Juni 2019 A+B hendak mengurus Akta Kelahiran Y ke
Disdukcapil dengan meminta agar Y dinyatakan lahir dari suami istri A+B tetapi
oleh Disdukcapil ditolak karena tidak ada Akta Nikahnya.
- Pada tanggal 1 Juli 2019 A+B mengajukan permohonan itsbat nikah pada
Pengadilan Agama Mojokerto.
- Setelah dilakukan pemeriksaaan sesuai dengan Hukum Acara ternyata terbukti
A+B telah menikah sesuai ketentuan hukum Islam dan tidak melanggar UUP,
sehingga misalnya pada hari Rabu, tanggal 24 Juli 2019 Pengadilan Agama
Mojokerto menjatuhkan penetapan yang inti amarnya, “Menyatakan sah
perkawinan antara A dengan B yang dilaksanakan pada tanggal 2 Februari
1995 di Wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pacet Kabupaten
Mojokerto” (Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama, hal 156).
- A+B menyampaikan salinan penetapan itsbat nikah tersebut kepada KUA
Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto. Kemudian KUA Pacet menerbitkan
Akta Nikah berdasarkan penetapan Pengadilan Agama Mojokerto, dimana
tanggal pernikahannya diisi tanggal 2 Februari 1995.
- Oleh karena anak tersebut ( Y ) lahir pada tanggal 5 Mei 2000 berarti
kelahirannya setelah pernikahan, maka berdasarkan Akta Nikah dimaksud, A+B
dapat mengurus Akta Kelahiran anak laki-lakinya Y dan kalau pengurusan
tersebut sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku, niscaya
Disdukcapil akan menerbitkan Akta Kelahiran Y tersebut. Jadi dalam kasus yang
seperti ini tidak perlu ada penetapan asal usul anak dari Pengadilan.
- Akta kelahiran menjadi bukti otentik tentang asal usul anak tersebut.
Mahkamah Agung RI, Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama
Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak hasil Zina dan
Perlakuan Terhadapnya.