Anda di halaman 1dari 6

PENENTUAN PERWALIAN ATAS ANAK DILUAR PERKAWINAN

TUGAS PAPER HUKUM PERDATA

Disusun oleh :

NAMA : FADHILA PRAMESTI SETYAJATI


NIM : 19410501

PROGRAM STUDI S1
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

1
A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai harkat dan martabat yang lebih tinggi
(sempurna) dibanding dengan makhluk-makhluk lainya. Oleh sebab itu diantara fitrah
dimiliki oleh manusia sejak lahir adalah hidup dalam lingkungan sosial dan berintegrasi
dengan kelompok sosial lainya dalam masyarakat. Salah satu bentuk kebutuhan manusia
adalah kebutuhan biologis dalam pergaulan suami isteri, sekaligus bertujuan memenuhi
harapan agar memperoleh keturunan yang sehat jasmani dan rohani.

Salah satu hubungan manusia yang satu dan manusia lainnya antara lain adanya
perkawinan. Perkawinan dilakukan memiliki tujuan utama yaitu membentuk keluarga yang
bahagia. Selain itu perkawinan juga bertujuan untuk menghasilkan keturunan atau anak.
Namun salah satu yang menjadi permasalahan adalah adanya anak di luar perkawinan. Di
dalam masyarakat secara luas, anak di luar perkawinan merupakan hal yang tabu untuk
dibicarakan. Anak di luar perkawinan seringkali dikucilkan dan dianggap sebagai anak
haram. Meskipun anak di luar perkawinan telah melanggar norma-norma yang hidup di
dalam masyarakat, salah satunya adalah norma agama, namun sebenarnya peraturan
perundang-undangan Indonesia telah mengatur tentang anak di luar perkawinan tersebut
untuk menghindari gesekan-gesekan sosial di dalam masyarakat.

Anak yang lahir tersebut hanya mempunyai status serta biologis dan yuridis dengan ibu
kandungnya saja, tidak mempunyai hubungan yuridis dengan seorang ayah. Hal ini
disebabkan oleh tidak jelasnya siapa yang menjadi ayah dari anak luar kawin tersebut, yakni
sudah dapat dipastikan anak luar kawin tersebut tidak akan memperoleh hak-haknya secara
maksimal sebagai anak bangsa.

2
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:

1. Bagaimana kepastian hukum terkait anak diluar kawin ?

2. Bagaimanakah perwalian terkait anak diluar kawin ?

C. Pembahasan

1. Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan


hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan sewenang-wenang, sehingga hukum
memberikan tanggung jawab pada negara untuk menjalankannya.

Berkenaan dengan kepastian hukum dijadikan pisau analisis dalam usaha menemukan
hakikat dalam menemukan anak luar kawin dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974,
maka dikaji lebih dalam : 1) sifat sakral perkawinan bagi bangsa indonesia; 2) syarat
keabsahan perkawinan; 3) kedudukan kawin siri; 4) status anak yang dilahirkan dari
perkawinan siri; 5) eksistensi pasal 43 UU perkawinan 1974; dan 6) nuansa agamawi dalam
UU perkawinan menyangkut kedudukan anak luar kawin.

Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua:
pertama, anak sah. Kedua, anak luar kawin. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No.
1 Tahun 1974 pasal 42: adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan :
“anak sah adalah” : (a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.(b).
Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

3
2. Perwalian Anak Diluar Perkawinan

Dalam kedudukan hukum, anak luar kawin yang diakui selalu berada di bawah
perwalian. Karena perwalian hanya ada, bilamana ada perkawinan, maka dengan sendirinya
anak luar kawin yang diakui berada pada perwalian bapak atau ibunya yang telah
mengakuinya.

Pasal 353 Ayat (1) KUH Perdata menyebutkan, seorang anak tak sah bernaung demi
hukum di bawah perwalian bapaknya atau ibunya yang telah dewasa dan yang masing-
masing telah mengakuinya, kecuali si bapak atau ibunya yang telah dikecualikan dari
perwalian atau telah kehilangan hak mereka menjadi wali atau perwalian itu sudah ditugaskan
pada orang lain selama bapak atau ibu belum dewasa, atau wali telah mendapat tugas itu
sebelum anak diakui.

Anak luar kawin diakui, jika pengakuan itu dilakukan oleh bapak maupun ibunya,
sehingga orang tua yang mengakui lebih dahulu itu yang menjadi wali. Apabila pengakuan
itu dilakukan dalam waktu yang sama, si bapaklah yang harus memangku perwalian (Pasal
353 Ayat (2) KUH Perdata).

Jika di antara ibu dan bapak yang menurut ketentuan diangkat sebagai wali, lalu diantara
mereka ada yang meninggal terlebih dahulu, dipecat atau di bawah pengampuan, maka orang
tua yang lain (bapak atau ibu) yang mengakui dengan sendirinya menjadi wali. Kecuali ia
telah, dikecualikan, dipecat atau kawin lagi. Bilamana si bapak atau si ibu tidak ada, maka
pengadilan negeri harus diangkat sebagai wali (Pasal 353 Ayat (3) KUH Perdata).

Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat, ini diatur di dalam
Pasal 355 ayat (1) yang menentukan bahwa orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua
atau wali seorang anaknya atau lebih, berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu.
Jika perwalian sesudah bapak atau ibu meninggal dan tidak ada perwalian pada orang tua
yang lain, baik sendiri atau karena putusan hakim, seperti yang tercantum di dalam Pasal 353
Ayat (5) KUH Perdata, atau dengan kata lain orang tua masing-masing yang menjadi wali
atau memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali, kalau perwalian tersebut
memang masih terbuka.

Di dalam perwalian ini, orang-orang yang menjadi wali ada beberapa kekecualian.
Memang pada asasnya setiap orang dapat menjadi wali. Yang dikecualikan oleh undang-
undang tidak berhak menjadi wali adalah sebagi berikut:

4
1. Mereka yang sakit ingatan;

2. Mereka yang belum dewasa;

3. Mereka yang ada di bawah pengampuan;

4. Mereka yang telah dipecat, baik kekuasaan orang tua maupun dari perwalian.

Namun yang demikian itu hanya terhadap anak-anak yang belum dewasa, yang mana
dengan ketetapan hakim mereka kehilangan kekuasaan orang tua atau perwalian mereka
(Pasal 379 KUH Perdata). Ketentuan ini merupakan alasan-alasan sebelum pengangkatan
wali dilakukan.

Anak di luar perkawinan dapat memperoleh perwalian dari orang tua baik bapak atau ibu
yang mengakuinya. Di dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya, baik di dalam UU
No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menyatakan anak di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya saja
sepanjang bapaknya tidak mengakui. Namun Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan
sebaliknya, anak di luar nikah memiliki hubungan dengan kedua orang tua biologisnya.
Putusan MK ini telah bertentangan dengan norma agama dan cenderung kontraproduktif.

D. Kesimpulan

5
Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang tidak
berada dalam kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur
oleh undang-undang. Dengan demikian, berada di bawah perwalian.

Yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar
pernikahan yang sah, sebagaimana yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan
Nasional. Dalam kedudukan hukum, anak luar kawin yang diakui selalu berada di bawah
perwalian. Karena perwalian hanya ada, bilamana ada perkawinan, maka dengan sendirinya
anak luar kawin yang diakui berada pada perwalian bapak atau ibunya yang telah
mengakuinya.

E. Daftar Pustaka

R Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Orang Dan Keluarga, Airlangga University

Press, Surabaya, 2000

Dr. I Nyoman Sujana, Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin, ASWAJA PRESS,

Yogyakarta, 2010

http://telaahhukum.blogspot.com/2015/11/perwalian-terkait-anak-di-luar.html

Anda mungkin juga menyukai