0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
12 tayangan3 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang perlindungan hukum bagi anak di luar nikah di Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan hak keperdataan tertentu bagi anak tersebut, seperti hak atas penafkahan dari ayah biologis jika hubungan darah terbukti melalui ilmu pengetahuan. Namun, hak waris dan perwalian hanya diberikan kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah menurut agama masing-masing.
Dokumen tersebut membahas tentang perlindungan hukum bagi anak di luar nikah di Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan hak keperdataan tertentu bagi anak tersebut, seperti hak atas penafkahan dari ayah biologis jika hubungan darah terbukti melalui ilmu pengetahuan. Namun, hak waris dan perwalian hanya diberikan kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah menurut agama masing-masing.
Dokumen tersebut membahas tentang perlindungan hukum bagi anak di luar nikah di Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan hak keperdataan tertentu bagi anak tersebut, seperti hak atas penafkahan dari ayah biologis jika hubungan darah terbukti melalui ilmu pengetahuan. Namun, hak waris dan perwalian hanya diberikan kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah menurut agama masing-masing.
1. Legal/ rechtfinding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak
hukum lainnya, dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Hasil penemuan hukum ini yang dijadikan dasar dalam mengambil suatu keputusan. Secara umum tujuan hukum Islam adalah untuk merealisasi kepentingan umat manusia yang dapat terjadi bila kepentingan primer (dhoruriat), sekunder (hajiat) dan tertiernya (tahsiniat) dapat dipenuhi. Bila kepentingan-kepentingan di atas tidak diperdulikan, tidak bisa diharap umat Islam akan merasakan gunanya agama, malah sebaliknya hanya dirasakan sebagai beban yang merupakan sebab keterbelakangan. 2. Undang-undang Perkawinan memuat aturan dispensasi perkawinan yang berbeda dengan rumusan UU sebelumnya. Dispensasi adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah meski belum mencapai batas minimum usia pernikahan. Artinya, seseorang boleh menikah diluar ketentuan itu jika dan hanya jika keadaan “menghendaki” dan tidak ada pilhan lain (ultimum remedium). Dalam UU Perkawinan terbaru “Penyimpangan” dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan dispensasi oleh orang tua salah satu atau kedua belah pihak calon mempelai. Bagi pemeluk agama Islam menjadi kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri bagi pemeluk agama lain. Keadaan “menghendaki” yang dimaksud diatas adalah adanya alasan mendesak atau suatu keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa untuk tetap dilangsungkannya pernikahan tersebut. Alasan-alasan tersebut harus benar-benar dibuktikan dan tidak sekedar klaim. Dalam UU Perkawinan yang baru, telah berusaha mengakomodir dengan keharusan adanya bukti-bukti yang cukup, diantaranya surat keterangan tentang usia kedua mempelai yang masih dibawah ketentuan UU dan surat keterangan tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut mendesak untuk dilakukan. Disamping itu juga, perihal orang tua mempelai jika sebelumnya yang dimintai keterangan oleh hakim hanya terbatas pada pemohon (yang mengajukan dispensasi) pada UU Perkawinan yang baru ini hakim wajib mendengar keterangan kedua mempelai yaitu pemohon dan juga keterangan dari calon besan 3. Putusan ini menimbulkan konsekuensi adanya hubungan nasab anak luar nikah dengan bapak biologisnya; adanya hak dan kewajiban antara anak luar nikah dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya. Hal ini tentunya berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi seperti : tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa benar anak diluar nikah tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya itu 4. Sehubungan dengan UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka baik Pasal 43 ayat 1 Undang-undang Perkawinan pasca uji materiil dan Pasal 100 KHI tidak bertentangan sama sekali dengan undang-undang perlindungan anak tersebut. Tentu saja dalam memberikan perlindungan anak anak di luar nikah harus didasarkan kepada semua regulasi peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Republik Indonesia. a. Perlindungan anak yang dapat ditemukan melalui UU RI No.1 Tahun 1974 adalah tidak ada ruang atau celah untuk memberikan perlindungan tanpa adanya dengan pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan dalam perkawinan dalam undang-undang itu merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi bagi setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam yang hendak melangsungkan perkawinan. b. Perlindungan anak dalam hukum Islam dapat dilakukan dengan menentukan asal-usul nasab bagi anak dalam perkawinan yang sah dan perlindungan itu pula dapat diberikan kepada anak melalui pengakuan. c. Perlindungan anak diluar nikah baik perkawinan yang tidak dicatat maupun anak yang lahir tanpa nikah dapat direalisasikan di Pengadilan Agama. Perlindungan anak diluar nikah yang perkawinan orang tuanya tidak dicatat dapat dilakukan melalui itsbat nikah dan penerapan Pasal 43 ayat 1 UU RI No.1 Tahun 1974 pasca uji materiil Mahkamah Konstitusi. Anak di luar nikah yang lahir tanpa perkawinan yang sah tidak dapat diberikan perlindungan melalui itsbat nikah, karena tidak memiliki dasar hukum untuk dimohonkan itsbat nikah, namun perlindungan yang dapat diberikan oleh hakim Pengadilan Agama ter-hadap anak tersebut hanya dapat diberikan melalui Pasal 43 ayat 1 pasca uji materiil Mahkamah Konstitusi. Hak-hak yang dapat diberikan kepada anak di luar nikah tanpa perkawinan yang sah terbatas hanya pada hak- hak perdata mengenai hak nafkah hidup, hak pendidikan dan kesehatan dan hak untuk mendapatkan pelayanan publik, sehingga hak perdata yang terkait dengan hak kewarisan dan hak perwalian tidak dapat diberikan kepada anak di luar nikah tanpa perkawinan yang sah. 5. Dengan adanya Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 adalah sebuah putusan yang memberi warna bagi perkembangan hukum keluarga di Indonesia. Putusan tersebut menjadikan anak-anak luar nikah dapat meminta hak-hak keperdataanya kepada ayah biologisnya selama dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah dengan ayahnya. Oleh karena itu, ayah biologis tidak lagi dapat menolak untuk tidak menafkahi kebutuhan dari anaknya hasil dari hubungan diluar perkawinan. Dengan Putusan MK semakin mempertegas kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam hubungan antara anak luar nikah dengan ayah biologisnya dalam hal bertanggung jawab untuk menafkahi dan memberikan penghidupan kepada anak luar nikah tersebut, jadi beban untuk memelihara, memberikan nafkah bagi anak luar nikah bukan hanya ditanggung oleh salah satu keluarga saja (ibu dari anak luar nikah) akan tetapi harus ditanggung bersama dengan keluarga dari si ayah ibiologisnya juga. Dengan diakuinya status keperdataan anak luar nikah bukan berarti secara otomatis anak luar pernikahan ini mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki yang menghamili ibunya. Karena MK mengelompokan anak pada dua kelompok, yaitu: a. Kelomok pertama, adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah menurut agamnya masing-masing. b. Kelompok kedua, adalah anak yang dilahirkan tanpa ikatan perkawinan. Terhadap anak kelompok yang pertama, Mahkamah Konstitusi memberikan hak Keprdataan berupa hak nasab. Dengan hak nasab ini maka anak juga mendapatkan hak nafkah, hak perwalian, hak pengasuhan dan hak waris. Sedangkan untuk anak yang masuk dalam kelompok kedua, hak keperdataan yang di berikan oleh MK adalah selain hak nasab. Sehingga anak tersebut tidak mempunyai hak nafkah, hak perwalian, hak pengasuhan dan hak waris dari ayah biologisnya. Hak keperdataan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi kepada anak yang masuk dalam kelompok kedua ini hanyalah hak keperdataan sebatas hubungan individu antara anak dan ayah biologisnya. Jika anak merasa dirugikan maka bisa menuntut ayah biologisnya untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian tersebut. Jadi Putusan Mahkamah konstitusi ini tidak bertentangan sama sekali dengan hukum Islam yang menghubungkan nasab anak luar nikah hanya kepada ibunya, karena hak yang diberikan oleh MK kepada anak yang lahir tanpa adanya ikatan perkawinan orang tuanya, bukan yang berkaitan dengan hak nasab.