Anda di halaman 1dari 3

Nama : IMADDUDIIN SUTADI

NIM : 2010200004

1. Legal/ rechtfinding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak


hukum lainnya, dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang
konkrit. Hasil penemuan hukum ini yang dijadikan dasar dalam mengambil suatu
keputusan. 
Secara umum tujuan hukum Islam adalah untuk merealisasi kepentingan umat
manusia yang dapat terjadi bila kepentingan primer (dhoruriat), sekunder (hajiat) dan
tertiernya (tahsiniat) dapat dipenuhi. Bila kepentingan-kepentingan di atas tidak
diperdulikan, tidak bisa diharap umat Islam akan merasakan gunanya agama, malah
sebaliknya hanya dirasakan sebagai beban yang merupakan sebab keterbelakangan.
2. Undang-undang Perkawinan memuat aturan dispensasi perkawinan yang berbeda
dengan rumusan UU sebelumnya. Dispensasi adalah pemberian hak kepada seseorang
untuk menikah meski belum mencapai batas minimum usia pernikahan. Artinya,
seseorang boleh menikah diluar ketentuan itu jika dan hanya jika keadaan
“menghendaki” dan tidak ada pilhan lain (ultimum remedium). Dalam UU
Perkawinan terbaru “Penyimpangan” dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan
dispensasi oleh orang tua salah satu atau kedua belah pihak calon mempelai. Bagi
pemeluk agama Islam menjadi kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri bagi pemeluk agama lain. Keadaan “menghendaki” yang dimaksud diatas
adalah adanya alasan mendesak atau suatu keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat
terpaksa untuk tetap dilangsungkannya pernikahan tersebut. Alasan-alasan tersebut
harus benar-benar dibuktikan dan tidak sekedar klaim. Dalam UU Perkawinan yang
baru, telah berusaha mengakomodir dengan keharusan adanya bukti-bukti yang
cukup, diantaranya surat keterangan tentang usia kedua mempelai yang masih
dibawah ketentuan UU dan surat keterangan tenaga kesehatan yang mendukung
pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut mendesak untuk dilakukan.
Disamping itu juga, perihal orang tua mempelai jika sebelumnya yang dimintai
keterangan oleh hakim hanya terbatas pada pemohon (yang mengajukan dispensasi)
pada UU Perkawinan yang baru ini hakim wajib mendengar keterangan kedua
mempelai yaitu pemohon dan juga keterangan dari calon besan
3. Putusan ini menimbulkan konsekuensi adanya hubungan nasab anak luar nikah
dengan bapak biologisnya; adanya hak dan kewajiban antara anak luar nikah dan
bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya. Hal ini
tentunya berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi seperti : tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan
bahwa benar anak diluar nikah tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki
sebagai ayah biologisnya itu
4. Sehubungan dengan UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka
baik Pasal 43 ayat 1 Undang-undang Perkawinan pasca uji materiil dan Pasal 100
KHI tidak bertentangan sama sekali dengan undang-undang perlindungan anak
tersebut. Tentu saja dalam memberikan perlindungan anak anak di luar nikah harus
didasarkan kepada semua regulasi peraturan perundang-undangan yang berlaku di
negara Republik Indonesia.
a. Perlindungan anak yang dapat ditemukan melalui UU RI No.1 Tahun 1974
adalah tidak ada ruang atau celah untuk memberikan perlindungan tanpa
adanya dengan pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan dalam
perkawinan dalam undang-undang itu merupakan syarat mutlak yang harus
dipenuhi bagi setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam yang
hendak melangsungkan perkawinan.
b. Perlindungan anak dalam hukum Islam dapat dilakukan dengan menentukan
asal-usul nasab bagi anak dalam perkawinan yang sah dan perlindungan itu
pula dapat diberikan kepada anak melalui pengakuan.
c. Perlindungan anak diluar nikah baik perkawinan yang tidak dicatat maupun
anak yang lahir tanpa nikah dapat direalisasikan di Pengadilan Agama.
Perlindungan anak diluar nikah yang perkawinan orang tuanya tidak dicatat
dapat dilakukan melalui itsbat nikah dan penerapan Pasal 43 ayat 1 UU RI
No.1 Tahun 1974 pasca uji materiil Mahkamah Konstitusi. Anak di luar nikah
yang lahir tanpa perkawinan yang sah tidak dapat diberikan perlindungan
melalui itsbat nikah, karena tidak memiliki dasar hukum untuk dimohonkan
itsbat nikah, namun perlindungan yang dapat diberikan oleh hakim Pengadilan
Agama ter-hadap anak tersebut hanya dapat diberikan melalui Pasal 43 ayat 1
pasca uji materiil Mahkamah Konstitusi. Hak-hak yang dapat diberikan
kepada anak di luar nikah tanpa perkawinan yang sah terbatas hanya pada hak-
hak perdata mengenai hak nafkah hidup, hak pendidikan dan kesehatan dan
hak untuk mendapatkan pelayanan publik, sehingga hak perdata yang terkait
dengan hak kewarisan dan hak perwalian tidak dapat diberikan kepada anak di
luar nikah tanpa perkawinan yang sah.
5. Dengan adanya Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 adalah sebuah putusan yang
memberi warna bagi perkembangan hukum keluarga di Indonesia. Putusan tersebut
menjadikan anak-anak luar nikah dapat meminta hak-hak keperdataanya kepada ayah
biologisnya selama dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan/atau alat bukti lain
yang menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah dengan ayahnya. Oleh
karena itu, ayah biologis tidak lagi dapat menolak untuk tidak menafkahi kebutuhan
dari anaknya hasil dari hubungan diluar perkawinan. Dengan Putusan MK semakin
mempertegas kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam hubungan antara anak
luar nikah dengan ayah biologisnya dalam hal bertanggung jawab untuk menafkahi
dan memberikan penghidupan kepada anak luar nikah tersebut, jadi beban untuk
memelihara, memberikan nafkah bagi anak luar nikah bukan hanya ditanggung oleh
salah satu keluarga saja (ibu dari anak luar nikah) akan tetapi harus ditanggung
bersama dengan keluarga dari si ayah ibiologisnya juga. Dengan diakuinya status
keperdataan anak luar nikah bukan berarti secara otomatis anak luar pernikahan ini
mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki yang menghamili ibunya. Karena MK
mengelompokan anak pada dua kelompok, yaitu:
a. Kelomok pertama, adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah menurut
agamnya masing-masing.
b. Kelompok kedua, adalah anak yang dilahirkan tanpa ikatan perkawinan.
Terhadap anak kelompok yang pertama, Mahkamah Konstitusi memberikan hak
Keprdataan berupa hak nasab. Dengan hak nasab ini maka anak juga mendapatkan hak
nafkah, hak perwalian, hak pengasuhan dan hak waris. Sedangkan untuk anak yang
masuk dalam kelompok kedua, hak keperdataan yang di berikan oleh MK adalah selain
hak nasab. Sehingga anak tersebut tidak mempunyai hak nafkah, hak perwalian, hak
pengasuhan dan hak waris dari ayah biologisnya. Hak keperdataan yang diberikan oleh
Mahkamah Konstitusi kepada anak yang masuk dalam kelompok kedua ini hanyalah hak
keperdataan sebatas hubungan individu antara anak dan ayah biologisnya. Jika anak
merasa dirugikan maka bisa menuntut ayah biologisnya untuk mendapatkan ganti rugi
atas kerugian tersebut. Jadi Putusan Mahkamah konstitusi ini tidak bertentangan sama
sekali dengan hukum Islam yang menghubungkan nasab anak luar nikah hanya kepada
ibunya, karena hak yang diberikan oleh MK kepada anak yang lahir tanpa adanya ikatan
perkawinan orang tuanya, bukan yang berkaitan dengan hak nasab.

Anda mungkin juga menyukai