Anda di halaman 1dari 5

Veronika Ira P

19.C1.0041
HUKUM PERKAWINAN 02

Pada tahun 1958-1959, pemerintah Indonesia telah berusaha membuat Rancangan


Undang-Undang (RUU) sendiri. Tahun 1967-1971. Pada kala itu, DPR juga membahas
mengenai RUU Perkawinan, dimana berisikan mengenai tentang RUU Perkawinan. RUU
Perkawinan disahkan oleh DPR RI menjadi undang-undang. Pada saat, tanggal 2 Januari 1974,
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Lembaran Negara Nomor 1
Tahun 1974.

Perkawinan dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaan dengan begitu harus
dicatat melalui petugas pencatat, agar terdapat di administrasi pemerintahan dan kependudukan.
Terciptanya administrasi kependudukan dapat menghindarkan masyarakat terhadap kekacauan
administrasi yang berhubungan dengan kepastian kedudukan hukum seseorang.

Indonesia, memiliki hukum perkawinan yang secara tertulis, didalamnya merupakan


wujud dari hukum-hukum perkawinan berlaku di dalam masyarakat, baik itu hukum perkawinan
adat maupun hukum perkawinan menurut agama. Adanya perkawinan memerlukan melengkapi
syarat-syarat administrasi untuk membuat akta kelahiran, kartu keluarga dan lain-lain.

Pada perkawinan memiliki hakikat, yaitu berupa persekutuan hidup antara pria dan
wanita, atau dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap dan memiliki
tujuan yang sama, yaitu saling membahagiakan. Selain itu, menurut pasal 1 UUP yaitu ikatan
lahir batin antara seorang pria dg seorang wanita sebagai suami isteri, dimana ada unsur lahir dan
ada unsur batin. Serta dalam Pasal 26 KUHPerdata.

Asas perkawinan adalah monogami, bahwa seorang laki-laki diperbolehkan mempunyai


satu orang perempuan sebagai istrinya. Jadi, didalam sebuah perkawinan hanya terdiri dari
seorang perempuan hanya boleh mempunyai satu orang laki-laki sebagai suaminya. Asas
Monogami, bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal, maka tindakan yang akan dapat
mengakibatkan putusnya suatu perkawinan yaitu sebuah perceraian. Apabila itu terjadi akan
membawa akibat luas, tidak hanya menyangkut diri suami atau istri tetapi nasib anak-anak juga
harus diperhatikan.

Pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana


perkawinan dilangsungkan. Pegawai pencatat perkawinan kemudian pencegahan tersebut dapat
diberitahukan kepada calon mempelai. Jika perkawinan terlanjur dilaksanakan bisa dibatalkan.
Pencegahan dapat disampaikan kepada pejabat pencatat perkawinan yang kemudian dapat
menyampaikan pemberitahuan tersebut kepada calon. Tetapi, pencegahan perkawinan biasanya
berkenaan dengan masalah kafaah dan mahar. Pihak keluarga perempuan merasa harga dirinya
jatuh bila anak perempuannya kawin dengan lai-laki yang tidak setuju atau status sosialnya lebih
rendah. Maka karena adanya alasan yang seperti itulah, biasanya anggota keluarganya yang lain
mencegah terjadinya suatu perkawinan diantara kedua pasangan tersebut.

Pada pembatalan perkawinan, terdapat pada Pasal 22 UUP, mengenai perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untk melangsungkan perkawinan.
Dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dari suami atau isteri, suami atau istri, pejabat yang berwenang, pejabat yg ditunjuk,
jaksa, kepentingan secara langsung dengan perkawinan. Akibat hukum pembatalan perkawinan
yaitu, Bagi para pihak, yaitu menyebabkan perkawinan dianggap tidak pernah ada. Bagi Anak yg
dilahirkan dlm perkawinan, anak yg telah dilahirkan dalam perkawinan dianggap sebagai anak
sah. Sedangkan, bagi pihak ketiga, pihak ketiga tidak boleh dirugikan karena adanya pembatalan
perkawinan.

Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Keturunan menurut UU No.1 Tahun 1974, hal
itu berarti anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah adalah anak yang tidak sah. Apa
yang diatur oleh UU No.1 Tahun 1974 tentang anak sah (dan anak tidak sah sebagai konsekuensi
sebaliknya) tidaklah berbeda dengan yang ada dalam KUHPdt/BW. Seorang suami, melakukan
penyangkalan atas sahnya anak yang dilahirkan dari istrinya, bilamana ia dapat membuktikan
bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut, dibandingkan dengan
KUHPdt/BW tidak terdapat perbedaan. Sedangkan anak luar kawin (anak tidak sah) menurut UU
No.1 Tahun 1974, tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya,
sedangkan dalam KUHPdt/BW hubungan hukum itu ada hanya dengan orang yang mengakuinya
saja.
Perjanjian perkawinan dibuat oleh calon suami dengan calon isteri jika diperlukan untuk
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan harta kekayaan atau lain-lainya. Perjanjian itu harus
dibuat sebelum akat nikah dilangsungkan atau pada saat mau melakukan akat nikah. Perjanjian
perkawinan dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum.

Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian misalnya salah satu pihak
berbuat zina/pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Salah
satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Salah satu pihak mendapat cacat
badan, atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau istri,dll.

Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan
dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah dan warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang suami atau istri tidak
menentukan lain. Pasca perceraian orang tua wajib mendidik anak-anaknya, demi kepentingan
anak, bila terjadi perselisihan mengenai penguasaaan anak pengadilan yang akan memberikan
putusan. Sedangkan si ayah bertanggung jawab atas semua pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak, kecuali tidak mampu, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
menanggung biaya tersebut.

Apabila anak-anak yang dilahirkan dari perzinaan tentu saja akan menempatkan anak
keturunan sebagai anak tidak sah secara materiil maupun formil. Pasal 42 Undang-Undang
Perkawinan menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan sah. Apabila suatu perkawinan tidak memenuhi kedua unsur sebagai mana diatur
dalam pasal tersebut di atas, maka perkawinan dianggap tidak sah menurut hukum negara
maupun hukum agama.

Sedangkan kedudukan anak hasil pernikahan sirih memiliki hubungan perdata


dengan ibunya sementara dengan ayahnya tidak memiliki hubungan hukum kecuali adanya
pengakuan ayahnya terhadap anak tersebut yang harus dilakukan denganakta otentik.
Untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera, maka orang tua membina dan mendidik
anaknya dengan cinta kasih, perhatian yang cukup termasuk pendidikan, kesehatan dan
kecakapan. Namun akibat hukum apabila perkawinan tidak dicatatkan, status anak yang
dilahirkan dari perkawinan menjadi tidak pasti.

Secara administrasi karena perkawinan kedua orangtuanya tidak dicatat. Suatu


perkawinan tidak dicatat, walaupun secara agama sah, tetapi secara perkawinan tidak terdaftar,
sehingga tidak memiliki bukti perkawinan sah menurut ketentuan perundangan. Walaupun anak
tersebut anak sah, tetapi tidak mempunyai bukti otentik sehingga dapat menguatkan bahwa anak
tersebut adalah sah kedua orangtuanya.

Undang-Undang Perkawinan, mengenal dua macam status anak sah dan anak luar nikah.
Anak sah pada asasnya dibawah kekuasaan orangtua, sedangkan anak luar nikah berada dibawah
perwalian. Selain itu, hak bagian anak sah dalam pewarisan orang tuanya lebih besar dari pada
anak luar nikah, surat wasiat dibatasi. Anak dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan
akan kesulitan mendapatkan akta kelahiran.

Tidak adanya akta kelahiran terhadap anak, maka negara mempunyai hambatan dalam
memenuhi kepentingan administrasi anak. Jika terjadi perceraian, suami tidak lagi memberikan
nafkah baik lahir maupun bathin, istri akan mengalami kesulitan untuk menggugat suaminya. Hal
ini, disebabkan tidak adanya bukti, bahwa mereka telah melangsungkan perkawinan. Demikian
juga, mengenai anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan akan sangat sulit
mendapatkan yang menjadi hak-haknya.

Salah satu, permasalahan yang dapat diambil dari materi perkawinan, yaitu perkawinan
campuran dimana terjadi sebuah perkawinan antara perkawinan antara dua orang berbeda
kewarganegaraannya, satu berkewarganegaraan Indonesia dan satu berkewarganegaraan asing.
Perbedaan disini dibatasi pada perbedaan kewarganegaraan bukan pada perbedaan agama.
Sedangkan mengenai syarat-syarat perkawinan campuran sudah diatur dalam UU nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Kelengkapan surat-surat dari negara Indonesia ataupun negara
asal dari orang asing akan menikah tersebut. Seperti surat-surat yang menjadi syarat perkawinan
di Indonesia dan yang menjadi syarat di negara asing tempat dia berdiam atau sebagai warga
negara disana. Syarat Perkawinan yaitu berupa persetujuan kedua calon mempelai, izin dari
kedua orangtua/wali bagi yang belumberumur 21 tahun, dan sebagaimana terdapat di UU
Perkawinan.
Dalam UU, memperbolehkan adanya kewarganegaraan ganda bagi anak hasil dari
perkawinan campuran hingga dia berusia delapan belas tahun. Hal ini diatur dalam pasal 6 ayat
(1) yang menentukan bahwa anak tersebut bisa mengikuti kewarganegaraan ayahnya atau ibunya
sebelum ia berusia delapan belas tahun atau sudah menikah. Dan setelah ia berusia delapan belas
tahun atau sudah menikah maka ia harus menentukan sendiri mengenai status
kewarganegaraannya sendiri.
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran
bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing. Upaya memberikan
perlindungan kepada warga Negara Indonesia yang melakukan pernikahan dengan warga asing
serta menghilangkan diskriminasi bagi warga negara Indonesia perempuan, lahirlah Undang-
undang. Undang–undang, memperbolehkan adanya kewarganegaraan ganda bagi anak-anak hasil
kawin campur. Hal ini, merupakan ketentuan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan
kewarganegaran dari perkawinan campuran. Akan tetapi adakalanya bagi seseorang anak untuk
dapat memiliki kewarganegaraan ganda. Hal tersebut dikarena untuk mencegah adanya orang
yang tanpa kewarganegaraan.
Ada beberapa konsekuensi yang harus diterima bila menikah dengan seorang WNA, dan
memiliki seorang anak , maka anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak
berusia 18 tahun atau sudah kawin maka anak tersebut harus menentukan pilihannya. Dalam
perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia, maka harus didaftarkan terlebih
dahulu di kantor Catatan Sipil paling lama selama 1 tahun, setelah yang bersangkutan kembali ke
Indonesia. Bila tidak, maka perkawinan anda belum diakui oleh hukum kita.

Anda mungkin juga menyukai