Anda di halaman 1dari 39

HUKUM ACARA PERADILAN

AGAMA
Perkawinan
Dalam Undang- undang Perkawinan diartikan sebagai
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan
perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah
akad yang sangat kuat miitsaaqan gholidon untuk
mematuhi perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.[1] Perkawinan ini dinyatakan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya[2] dan kepercayaannya itu.
Pencatatan Nikah
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang- undangan yang berlaku Oleh sebab itu maka
hukum Islam memandang bahwa perkawinan tidak hanya
dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga dilihat dari
aspek agama dan sosial.
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang
dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal pernikahan
tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan
isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Yang berhak
mengajukan isbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak
mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan
perkawinan itu
Isbat nikah ini terbatas pada hal-hal
yang berkenaan dengan:
1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian
2. Hilangnya akta nikah
3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu
syarat perkawinan
4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU
Perkawinan No 1 tahun 1974
5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan
Asas Monogami
Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang isteri. Begitu juga
sebaliknya seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami. (asas monogami). Namun demikian
Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristeri lebih dari seorang (terbatas sampai
empat orang istri pada waktu bersamaan) apabila
dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan.
Pengadilan yang dimaksud disini adalah Pengadilan
agama dan pengadilan umum. (Pasal 63 UUP)
Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari
seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan
kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri;
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan;
3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan (Pasal 4 UUP,
Pasal 57 KHI)
Untuk dapat mengajukan permohonan izin
poligami kepada Pengadilan, harus
dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan
sebagai berikut :

1. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; Persetujuan


dapat diberikan secara lisan maupun tulisan, tetapi
sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang
Pengadilan. Persetujuan ini tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak.
2. perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
isterinya selama sekurang- kurangnya 2 (dua)
tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
(Pasal 58 KHI)
3. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-
anak mereka.
4. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak- anak mereka.
(Pasal 5 UUP)
5. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama
kepada semua isteri dan anaknya.
6. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak
mempunyai hak atas harta bersama yang telah
ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua
atau berikutnya itu terjadi.
7. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas
harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya
masing-masing. (Pasal 65 UUP)
Izin Poligami
Asas perkawinan adalah monogami dengan
pembolehan poligami dengan syarat dan
ketentuan yang ketat. Apabila seorang
suami bermaksud untuk beristri lebih dari
seorang, maka ia wajib mengajukan
permohonan secara tertulis kepada
Pengadilan.
1.Kemudian
SahPengadilan
tidaknya alasan
memeriksa mengenai:yang memungkinkan seorang

suami kawin lagi antara lain istri tidak dapat


menjalankan kewajibannya sebagai istri,
mendapat cacat badan
2. atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan
istri tidak dapat melahirkan keturunan.
3. Ada tidaknya persetujuan dari istri, baik
persetujuan lisan maupun tertulis. Apabila
persetujuan itu lisan haruslah diucapkan di depan
sidang Pengadilan
4. Ada tidaknya kemampuan suami untuk menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak dengan
memperlihatkan antara lain; surat keterangan mengenai
penghasilan yang ditandatangani oleh bendahara
tempat bekerja; atau surat
5. keterangan pajak penghasilan; atau surat keterangan lain
yang dapat diterima oleh Pengadilan
6. Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku
adil terhadap isteri-istri dan anak-anaknya dengan
pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam
bentuk yang ditetapkan untuk itu.
7. Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang
bersangkutan. Pemeriksaan Pengadilan itu selambat-
lambatnya 30 hari setelah diterimanya permohonan
Syarat-Syarat Perkawinan
Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan. Dalam KHI
untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami.
Calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab kabul.
Kemudian ditambah dengan mahar yaitu pemberian dari
calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik
berbentuk barang, uang, atau jasa. Kewajiban menyerahkan
mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.
Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu
akad nikah, tidaklah menyebabkan batalnya perkawinan.
Begitu juga halnya dalam keadaan mahar masih terutang
tidak mengurangi sahnya perkawinan. ( Pasal 34 KHI)
Tiap perkawinan di catat sesuai dengan peraturan-
perudang-undangan yang berlaku, dengan beberapa
syarat:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai
wanita dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan
tulisan, lisan atau isyarat, dapat juga berupa diam dalam
arti selama tidak ada penolakan yang tegas. (Pasal 16
KHI)
2. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Dalam hal penyimpangan ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau
3. pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua
pihak pria maupun pihak wanita.
4. Untuk melangsungkan perkawinan seorang
yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu)
tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
5. Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua
telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya, maka izin ini
cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
6. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh
dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas selama mereka masih
hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendakny
 Perkawinan
Larangan dilarang antara dua orang yang: (pasal 8
Perkawinan
UUP)
Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke
bawah ataupun ke atas;
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan
antara seorang dengan saudara neneknya;
2. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak tiri;
3. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan,
anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman
susuan;
4. Berhubungan saudara dengan isteri atau
sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam
hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
5. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku, dilarang kawin. Misalnya seorang
perempuan Islam dilarang menikah dengan pria non muslim
6. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain
tidak dapat kawin lagi, kecuali mendapat izin dari
pengadilan.
7. Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu
dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka
diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
8. Wanita yang masih dalam masa tunggu (iddah) dengan pria
lain
Pencegahan Perkawinan
1. Pencegahan perkawinan adalah upaya untuk
merintangi/ menghalangi suatu perkawinan.
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan.(Pasal 13 UUP) Pencegahan ini bertujuan
untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang.
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon
suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan
perudang-udangan (Pasal 60 KHI)
2. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah,
saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang
calon mempelai dan pihak-pihak yang
berkepentingan. Di samping itu mereka juga
3. berhak mencegah berlangsungnya perkawinan apabila
salah seorang dari calon mempelai berada di bawah
pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut
nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon
mempelai yang lainnya (Pasal 14 UUP)
4. Dalam undang-undang Perkawinan juga disebutkan
barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat
dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas
dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah
perkawinan yang baru, kecuali apabila perkawinan
tersebut telah mendapat izin dari pengadilan
5. Pencegahan perkawinan juga dapat dilakukan oleh
pejabat yang ditunjuk apabila terjadi perkawinan
yang dilakukan oleh pasangan di bawah umur,
terkena larangan perkawinan, terikat dalam
perkawinan, suami istri bercerai untuk kedua
kalinya, dan tidak memenuhi tata cara pelaksanaan
perkawinan. (Pasal 16 UUP )
6. Pencegahan perkawinan diajukan kepada
Pengadilan dalam daerah hukum di mana
perkawinan akan dilangsungkan dengan
memberitahukan juga kepada pegawai pencatat
perkawinan. Pencegahan perkawinan dapat
dicabut dengan putusan Pengadilan atau
dengan menarik kembali permohonan
pencegahan pada Pengadilan oleh yang
mencegah. Perkawinan tidak dapat
dilangsungkan apabila pencegahan belum
dicabut.
7. Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa
terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut
Undang-undang ini maka ia akan menolak
melangsungkan perkawinan. Di dalam hal penolakan,
maka permintaan salah satu pihak yang ingin
melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat
perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis
dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan
penolakannya. Para pihak yang perkawinannya ditolak
berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di
dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang
mengadakan penolakan berkedudukan untuk
memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat
keterangan penolakan tersebut di atas.
Pembatalan Perkawinan
Pembatalan berasal dari kata batal, yaitu menganggap
tidak sah, menganggap tidak pernah ada. Jadi
pembatalan perkawinan berarti menganggap
perkawinan yang telah
dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau
dianggap tidak pernah ada.Pembatalan perkawinan
adalah suatu upaya untuk membatalkan
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila:
1. Perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat
perkawinan (Pasal 22 UUP) Perkawinan yang
dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau
yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang
saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari
suami atau isteri.
2. Suami/istri yang masih mempunyai ikatan perkawinan
melakukan perkawinan tanpa seijin dan
sepengetahuan pihak lainnya (Pasal 24 UUP)
3. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum. Seorang suami atau isteri dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum, dan pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
isteri. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah
sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup
sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya
untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka
haknya gugur. (Pasal 27 UUP)
4. Salah satu pihak memalsukan identitas dirinya. Identitas
palsu misalnya tentang status, usia atau agama.
Hak untuk membatalkan oleh suami atau
isteri gugur apabila mereka telah hidup
bersama sebagai suami isteri dan dapat
memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat
pegawai pencatat perkawinan yang tidak
berwenang dan perkawinan harus
diperbaharui supaya sah. (Pasal 26 UUP)
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan
yaitu:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari
suami atau isteri;
2. Suami atau isteri;
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan
belum diputuskan;
4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16
Undang- undang Perkawinan dan setiap orang yang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah
perkawinan itu putus.
5. Barangsiapa karena perkawinan masih terikat
dirinya dengan salah satu dari kedua belah
pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan
dapat mengajukan pembatalan perkawinan
yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan
Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang
Perkawinan
Batalnya suatu perkawinan dimulai
setelah keputusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.


2. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik,
kecuali terhadap harta bersama,bila pembatalan
perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain
yang lebih dahulu.
3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a
dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak
dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Perkawinan batal adalah suatu perkawinan yang
sejak semula dianggap tidak ada misalnya:

1. Suami melakukan perkawinan. Sedang ia tidak berhak melakukan


akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun
salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i
2. Seorang menikahi bekas istrinya yang telah di li’an, seorang
menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi talak tiga. Kecuali
bila bekas itri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang
kemudian bercerai lagi dan telah habis masa iddahnya
3. Perkawinan yang dilakukan antara dua orang yang memiliki
hubungan darah semenda dan sesusuan
.
Perkawinan dapat dibatalkan adalah
suatu perkawinan yang telah
berlangsung antara calon pasangan
suami istri, namun salah satu pihak
dapat meminta kepada pengadilan
supaya perkawinan itu dibatalkan.
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :
1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan
2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi
istri orang lain yang mafqud[7]
3. Perempuan yang dikawini masih dalam iddah
4. Perkawinan melanggar batas umur perkawinan
5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang
tidak berhak
6. Perkawinan dilaksanakan dengan paksaan
7. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman melanggar hokum
8. Sewaktu melangsungkan perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
mengenai diri suami atau istri. (batas waktu nya adalah 6 bulan)
Permohonan pembatalan
perkawinan diajukan kepada
pengadilan dalam daerah hukum
dimana perkawinan dilangsungkan
atau di tempat tinggal kedua suami
isteri,
suami atau isteri. batas waktu pengajuan
pembatalan perkawinan dibatasi hanya dalam
waktu enam bulan setelah perkawinan terjadi. Jika
sampai lebih dari enam bulan anda masih hidup
bersama sebagai suami istri, maka hak untuk
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
dianggap gugur (pasal 27 UU No. 1 tahun 1974).
Sementara itu, tidak ada pembatasan waktu untuk
pembatalan perkawinan bagi suami yang telah
menikah lagi tanpa sepengetahuan isteri.
Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan
Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya
perkawinan.
Keputusan Pembatalan Perkawinan tidak berlaku
surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut. Artinya, anak-anak dari
perkawinan yang dibatalkan, tetap merupakan
anak yang sah dari suami anda. Dan berhak atas
pemeliharaan dan pembiayaan serta waris (pasal
28 UU No. 1 Tahun 1974).
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai