Anda di halaman 1dari 6

Tinjauan Yuridis Problematika Alasan-Alasan Bolehnya Suami Poligami Pada

Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974


Dede Iman Risman
Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Bandung, Prodi Hukum Keluarga Islam

dedeimanrisman@gmail.com

Abstrak

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, polus yang berarti banyak, gamien yang artinya kawin. Jadi
poligami merupakan perkawinan yang dilakukan kepada lebih dari seorang pasangan, yaitu suami yang
beristri lebih dari satu pada waktu yang bersamaan. Dalam bahasa arab poligami disebut taadud
(berbilang). Secara syariat hukum poligami itu boleh atau mubah. Yang menjadi permasalahan manakala
kita saksikan banyak keluarga berakhir di Pengadilan Agama dikarenakan poligami. Dalam menyikapi
fenomena masyarakat itu tentulah kita tidak boleh menyatakan bahwa syariat poligami sudah tidak
relevan dengan zaman atau poligami merupakan bentuk kezaliman dalam rumah tangga. Lalu siapakah
yang salah dalam kekacauan realita tersebut? Semuanya bermuara pada persyaratan kapan seorang
suami boleh berpoligami. Dalam artikel ini terdapat beberapa masukan dan kritik terhadap Undang-
Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan bagian mana saja yang harus jadi perhatian dalam
pengaplikasian poligami demi terwujudnya keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah.

Kata Kunci: Poligami

A. PENDAHULUAN

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1/1974 Bagi
Pegawai Negeri Sipil, merupakan undang-undang yang mengatur tata cara perkawinan dan perceraian di
Indonesia. Bahkan, secara khusus, mengatur tata cara melakukan poligami. Aturan poligami bagi PNS
dipisahkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10/1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil. Adapun sebagai hukum materil bagi orang Islam, terdapat ketentuan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan berikut aturan


pelaksanaannya berprinsip pada asas monogami, satu suami untuk satu istri. Dalam hal atau alasan
tertentu, seorang suami diberi izin untuk beristri lebih dari seorang, tetapi alasan tersebut tergambar
dalam serangkaian persyaratan yang berat. Dapat tidaknya seorang suami beristri lebih dari seorang
ditentukan Pengadilan Agama berdasarkan terpenuhi atau tidaknya persyaratan termaksud.

Meskipun poligami menurut undang-undang diperbolehkan, beratnya persyaratan yang harus


ditempuh mengisyaratkan bahwa pelaksanaan poligami di Pengadilan Agama menganut prinsip menutup
pintu terbuka, artinya poligami itu tidak dibuka, kalau memang tidak diperukan dan hanya dalam kedaan
tertentu pintu dibuka.”1

1
Rahmat Hakim. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia. hlm. 121
B. PEMBAHASAN

Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang berkaitan langsung dengan poligami
adalah dalam Pasal 4 dan Pasal 5. Dalam Pasal 4 yang terdiri atas 2 ayat dijelaskan sebagai berikut:

1. Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3
ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah
tempat tinggalnya;
2. Pengadilan dimaksud ayat (1) Pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila;
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dalam Pasal 5 dijelaskan bahwa untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan,


sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:

a. Adanya persetujuan dari isteri/istri-isteri;


b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pada Pasal 4 ayat (2) huruf (c) dinyatakan bahwa
suami yang diberi izin melakukan poligami adalah yang “keadaan isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri”2. Pasal tersebut memberikan kesempatan kepada suami untuk
melaksanakan poligami apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Apabila
dikaitkan dengan Pasal 5 ayat 1 yang menyebutkan, “Untuk dapat mengajukan permohonannya kepada
Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;


b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka;3

Dengan penjelasan Pasal 5 ayat 1 tersebut, dapat dipahami bahwa suami harus meminta izin
dari istri, maka istri yang mandul pun memiliki hak prerogatif untuk memberi atau tidak memberi izin

2
Subekti dan Tjitrosudibio. 1985. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan Tambahan Undang-Undang Pokok
Agraria dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Pradya Paramita. hlm. 538
3
Hasan, Musthafa. Pengantar Hukum Keluarga. Bandung: CV Pustaka Setia. hlm. 247
kepada suaminya yang bermaksud poligami. Akan tetapi, karena kondisi istri yang demikian, sangat tidak
rasional atau tidak mungkin bila ia tidak memberi izin suaminya. Tentu saja keadaan tersebut sangat
memprihatinkan bagi istri dan beralasan sangat kuat bagi suami untuk melakukan poligami.

Dengan pemahaman terhadap Pasal 4 ayat (2) (a) yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan, posisi perempuan atau isteri yang tidak dapat melahirkan keturunan
ada dalam posisi dilematis, artinya terjebak dalam dua pilihan yang merugikan dan terpojok pada
pelaksanaan undang-undang yang keadilannya dipertanyakan atau lebih menguntungkan pihak laki-laki
atau suami.

Berdasarkan kondisi di atas, alternatif yang dipilih oleh istri adalah sebagai berikut.

a. Bercerai secara baik-baik, walaupun praktiknya sangat dilematis. Suami atau istri tersebut
tidak bertengkar, tidak bermusuhan, dan tidak bertentangan, bahkan mempunyai tujuan
membina keluarga serta sama-sama mendambakan keluarga yang sakinah, mawaddah,
warahmah. Akan tetapi, sulit untuk menceraikan istri atau istri yang meminta cerai. Di
samping itu, kalau perceraian dilakukan, akan terjadi kemadaratan baru. Padahal, kaidah
hukum tidak membenarkan melakukannya, yaitu mencari kemaslahatan, namun
meninggalkan kemadaratan di belakangnya. Madaratnya bagi perempuan adalah sulit
mengganti suaminya karena ketidakmampuannya bertindak sebagai istri, siapa mau orang
lain mengawininya. Ujung-ujungnya adalah penderitaan panjang bagi perempuan yang tidak
berakhir. Akan tetapi, pada sisi lain, jika kondisinya yang mengakibatkan istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri, hal itu menjadi alasan bolehnya perceraian
dilakukan atas inisiatif suaminya.
b. Merelakan suaminya untuk menikah lagi, sebagai kemungkinan terakhir dan hanya satu-
satunya. Tindakan ini pun dirasakan berat, terutama bagi perempuan. Sulit bagi istri
menerima kenyataan pahit ini, bahkan kemungkinan ini merupakan keadaan terburuk
sepanjang hidupnya. Betapa tidak, suaminya akan bercumbu dengan orang lain, perbuatan
yang selama ini dilakukan suami kepada dirinya (Rahmat Hakim, 2000: 117).

Dalam Peraturan Pemerintah No. 9/1974 Pasal 19 huruf (e) dikatakan bahwa perceraian dapat
dilakukan dengan alasan bahwa salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. Dengan pasal ini, tentu saja suami
mendapatkan dua pilihan, ketika istrinya mandul atau sebab lain yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri, yakni poligami atau menceraikannya.

Posisi perempuan sebagai istri oleh undang-undang maupun oleh Peraturan Pemerintah Ri
sebagaimana diuraikan di atas ada dalam posisi yang dilematis, karena jika istri mandul, berarti suami
boleh poligami atau kalau tidak diizinkan, ia akan menceraikannya. Sebaliknya, jika suaminya yang
mandul, tidak ada poliandri, karena pernikahan tersebut dilarang oleh undang-undang maupun oleh
ajaran agama, terutama Hukum Islam. Bila demikian halnya, keterjebakan istri yang tidak dapat
memberikan keturunan semakin jelas.

Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 9/1975 Pasal 41 huruf (d) ditegaskan juga bahwa suami
harus berlaku adil terhadap istri-istrinya, untuk itu Pengadilan memeriksa ada tidaknya jaminan bahwa
suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka melalui surat pernyataan atau perjanjian
dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.4

Alasan suami yang bermaksud poligami adalah alasan yuridis yang dibenarkan oleh Pengadilan,
misalnya istri tidak dapat memberikan keturunan. Bila suami bermaksud untuk poligami dengan alasan
tersebut, Pengadilan akan memeriksanya dengan teliti hingga ada jaminan tertulis dari suami bahwa
dirinya akan berlaku adil.

Keadilan yang dikemukakan oleh Undang-Undang Nomor 1/1974 dan Peraturan Pemerintah RI
nomor 9/1974 Pasal 41 adalah keadilan dari sisi materi, tidak terdapat sedikit pun kalimat yang
menyatakan dari sisi perasaan atau batiniah istri yang di poigami, dan pemeriksaan atas syarat yang
ketat bagi suami yang akan poligami seolah-olah mempersulit suami untuk melakukan poligami, padahal
di sisi lain sulitnya persyaratan poligami tersebut akan mempermudah pencarian alasan lain bagi suami
yang bermaksud menikah lagi. Apabila alasan bahwa istri tidak dapat memberikan keturunan dan suami
bermaksud poligami, tetapi istri tidak memberikan persetujuan, tentu saja suami dapat mengajukan
permohonan talak ke Pengadilan dengan alasan istri terkena penyakit atau cacat badan yang berakibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, artinya tidak dapat memberikan keturunan.
Sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah RI/1975 pasal 19 huruf (e) berkaitan dengan alasan
terjadinya perceraian.

Pada pihak lain mungkinkah istri demikian "tidak akan” memberikan persetujuan? Keadaannya
semakin terpojok oleh pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1/1974 maupun oleh
Peraturan Pemerintah RI Nomor 9/1975, sementara pasal-pasal tersebut tidak menyebutkan pernyataan-
pernyataan yang menguntungkan bagi pihak istri apabila ternyata yang tidak dapat menjalankan
kewajibannya adalah pihak suami. Adakah pilihan bagi istri? Sebagaimana pilihan yang dibenarkan oleh
undang-undang dan peraturan lainnya.

Ketetapan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 4 Ayat 2 huruf (c) yang menyebutkan
isteri yang tidak dapat melahirkan keturunan boleh dipoligami oleh suaminya, dirasakan kurang
menunjukkan rasa adil karena undang-undang tidak menyebutkan apabila suami yang mengalami hal
yang sama, istri berhak mengajukan hal yang sama atau tindakan yuridis lainnya yang dapat dibenarkan
oleh undang-undang.

4
Pengantar Hukum Keluarga, hlm. 248
Dalam Pasal 4 ayat (1) dikatakan bahwa dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari
seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya; (2) pengadilan dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;


b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dalam Pasal 5 ayat (1) ditegaskan lagi bahwa untuk dapat mengajukan permohonan kepada
Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-
syarat, yaitu: (a) adanya persetujuan dari isteri/ isteri-isteri; (b) adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; (c) serta adanya jaminan bahwa
suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan memberikan Syarat-syarat yang cukup berat
bagi suami yang bermaksud poligami, bukan hanya masalah materi yang harus dipenuhi oleh suami, juga
syarat yang ditimbulkan oleh kondisi istrinya. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa poligami dapat
dibolehkan oleh hukum jika istri cacat badan, tidak memberikan keturunan, tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri. Dengan alasan tersebut, secara yuridis, mungkinkah suami yang berniat
poligami menunggu alasan-alasan demikian? Terlebih lagi, istri yang keadaannya sudah demikian masih
harus dimintai persetujuannya oleh suami yang hendak poligami? Bahkan, persetujuan istri harus
dinyatakan di depan majelis hakim di Pengadilan.

Pernyataan Undang-Undang No. 1/1974 tentang Asas Monogami, tetapi memberi peluang
kepada suami untuk poligami, dapat dipahami sebagai bentuk ketidaktegasan pembuatan asas itu
sendiri, sehingga tidak dapat secara mutlak dikatakan sebagai asas, tetapi hanya visi dalam pernikahan
yang dapat berubah karena berubahnya situasi dan kondisi, sebagaimana “dibolehkannya suami
poligami” karena alasan-alasan sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 undang-undang yang
dimaksudkan. Dengan demikian tidak setegas Hukum Perdata (BW) yang berlaku bagi penganut agama
Kristen, yang memaknakan “asas monogami” secara mutlak dengan apa pun alasannya.

Hal itu terjadi, karena pijakan utama dalam merancang UndangUndang Perkawinan adalah
sumber ajaran Islam, yakni Al-Quran dan As-Sunnah, sedangkan dalam kedua sumber tersebut poligami
dibolehkan.

Dalam kaitannya dengan kebolehan poligami sebagaimana ditegaskan oleh Undang-Undang


Nomor 1/1974, secara otomatis implikasi dari poligami yang dilakukan oleh suami adalah pengaturan
prinsip keadilan dalam menjalankan manajemen rumah tangganya. Menurut Undang-Undang Nomor
1/1974 untuk menegakkan keadilan, suami yang bermaksud melakukan poligami harus dapat menjamin
bahwa keadilan tersebut akan dilakukan dengan baik dan benar. Dalam Pasal 5 ditegaskan hal-hal
sebagai berikut:

Bahwa untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri,


b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka,
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

C. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983, dapat disimpulkan bahwa
suami yang hendak melakukan poligami adalah suami yang mendapat tempat di hati istri-istrinya karena
ia mendapat persetujuan untuk poligami, suami yang memiliki rasa tanggung jawab yang besar, yang
tidak cenderung ke salah satu istrinya saja, tetapi semua istrinya mendapatkan cinta dan kasih sayang
yang tulus, suami yang kaya raya, yang mampu menghidupi istri dan anak-anaknya. Sebaliknya, seorang
suami yang miskin, tidak mendapat tempat dari hati istri-istrinya, kemungkinan untuk poligami sangat
sulit. Bukan hanya tidak mendapatkan persetujuan dari istri-istrinya dan pengadilan, bahkan untuk
kehidupan diri dan istrinya yang seorang saja, belum terpenuhi secara ekonomi maupun batiniahnya.
Keadilan dalam poligami adalah proporsional dalam sikap dan tindakan, secara materiil dan spiritual,
lahiriah dan batiniah, istri memberikan tempat yang bermakna bagi suami yang poligami, sebaliknya
suami memberikan curahan kasih sayang kepada istri-istrinya secara rasional dan seimbang.5

D. REFERENSI
Buku:
A. Hamdani H.S.A. 1989. Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka
Amani.
Hasan, Musthafa. 2011. Pengantar Hukum Keluarga. Bandung: CV Pustaka Setia
Rahmat Hakim. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia
Subekti dan Tjitrosudibio. 1985. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan
Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta:
Pradya Paramita.

Daring:
https://peraturan.bpk.go.id/Details/47406/uu-no-1-tahun-1974
https://peraturan.bpk.go.id/Details/67678/pp-no-9-tahun-1975
https://peraturan.bpk.go.id/Details/64898/pp-no-10-tahun-1983

5
A. Hamdani H.S.A. 1989. Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka Amani. hlm. 79

Anda mungkin juga menyukai